Anda di halaman 1dari 9

HUKUM HAK ASASI MANUSIA

INTERNATONAL CRIME COURTH (ICC)


Dosen Pengampuh: Dr. Hotlan Samosir, S.H.,M.H

OLEH:
ATIKA NURUL HABIBI
NIM: 2021021014091
REGULER A

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN RISET, DAN TEKNOLOGI


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSUITAS CENDRAWASIH
JAYAPURA
2023
APA ITU ICC ?
International Criminal Court (ICC) adalah suatu mahkamah yudisial permanen, bersifat
mandiri dan berskala internasional untuk mengadili crimes of genocide, crimes against
humanity, war crimes, dan crimes of aggression sebagai  four core of International
crimes yang merupakan hostis humanis generis. Kejahatan-kejahatan demikian oleh Hukum
Internasional ditetapkan sebagai Delicto Jus Gentium karena sifatnya yang sangat potensial
menciptakan ketidaktertiban, ketidakamanan, menghancurkan perdamaian dunia, dan pada
akhirnya sangat merugikan kepentingan state nations, Bassiouni, M. C.(1986).
ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma (1998), secara efektif mulai berlaku sejak
tanggal 17 Juli 2002, di samping memiliki yurisdiksi kriminal sebagaimana dikemukakan di atas,
juga memiliki yurisdiksi personal untuk menyelidiki, mengadili, dan memidana individu tanpa
memandang official capacity yang dimiliki oleh pelakunya di dalam negara nasionalnya. Tidak
perduli, apakah ia seorang kepala negara, kepala pemerintahan, komandan militer, atau sebagai
atasan, seorang sipil atau tentara bayaran. Jika terbukti bersalah melakukan kejahatan yang
menjadi yurisdiksi kriminal ICC, maka pelakunya sudah dapat dinyatakan shall be individually
responsible, oleh karena itu liable for punishment. Namun yurisdiksi kriminal dan personal yang
dimiliki ICC hanya dapat diterapkan terhadap warga negara yang negara nasionalnya ikut
meratifikasi Statuta Roma 1998, artinya berstatus sebagai State Party, Muladi. (2011).

UNTUK APA ICC DI BENTUK?

Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court atau Cour Pénale


Internationale) merupakan sebuah pengadilan permanen untuk menuntut individual atas
tindakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. ICC dirancang untuk
membantu sistem yudisial nasional yang telah ada. Namun, pengadilan ini hanya dapat
melaksanakan yurisdiksi apabila pengadilan negara enggan atau tidak sanggup untuk
menginvestigasi atau menuntut kejahatan seperti yang disebutkan di atas, dan menjadi
"pengadilan usaha terakhir", meninggalkan kewajiban utama untuk menjalankan yurisdiksi
terhadap kriminal tertuduh kepada negara individual ICC dibentuk untuk berupaya meminta
pertanggungjawaban kepada mereka yang bersalah atas beberapa kejahatan yang dilakukannya.
Dengan kata lain dibentuknya ICC adalah untuk mendukung supremasi hukum dan menawarkan
keadilan bagi para korban kekejamannya. Selain itu, tujuan pembentukan ICC adalah untuk
mengakhiri impunitas atas kekejaman massal dan membawa keadilan bagi kejahatan yang
membutuhkan perhatian internasional, Arie Siswanto,(2106).
Kedudukan ICC dalam masyarakat internasional adalah sebagai international order. Hal
ini terlihat dari tujuan dari international order, yaitu mewujudkan tujuan- tujuan dari masyarakat
internasional yang bersifat mendasar, utama dan universal terdiri dari menjaga rasa aman para
anggotanya dari kekerasan yang sewenang- wenang dengan membatasi kekerasan
(menggambarkan jaminan penghormatan HAM dan penegakan hukum), pentaatan terhadap
perjanjian (menggambarkan prinsip resiprositas), dan jaminan penghormatan terhadap hak milik
(mengambarkan prinsip pengakuan terhadap kedaulatan negara), Mauna, B. (2013).

APA SAJA KEWENANGAN ICC?


ICC (International Criminal Court) dibentuk berdasarkan perjanjian internasional yang
tertuang di dalam Statuta Roma 1998. ICC merupakan Pengadilan Pidana Internasional pertama
yang bersifat permanen. Lembaga ini tidak menjadi bagian dari PBB, melainkan berkedudukan
sebagai sebuah organisasi internasional yang independen. ICC memiliki 4 yurisdiksi yakni
yurisdiksi personal, temporal, kriminal, dan teritorial.
1. Yurisdiksi Personal
Kewenangan yang dimiliki oleh ICC untuk mengadili setiap individu yang melakukan
kejahatan atau tindak pidana. Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 25 ayat (1) Statuta
Roma, sehingga dalam hal ini, negara bukan merupakan yurisdiksi personal dari ICC.
Mahkamah hanya bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya sebagaimana
ditentukan dalam Statuta. Mahkamah hanya memiliki yurisdiksi personal terhadap individu,
jadi tidak terahadap negara maupun subyek hukum internasional lainnya selain terhadap
individu. Khusus hubungannya dengan negara, Pasal 25 ayat (4) secara tegas menyatakan,
bahwa tiada satupun ketentuan Statuta yang berkenaan dan tanggungjawab kriminal dari
individu akan mempengaruhi tanggung jawab Negara berdasarkan hukum internasional.
Mahkamah Pidana Internasional tidak memiliki yurisdiksi personal terhadap seseorang
pelaku kejahatan yang ditetapkan dalam Statuta apabila si pelaku pada waktu terjadinya
kejahatan berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun Pasal 26 Statuta Roma 1998. Hal ini
berkaitan dengan batas umur minimum seseorang untuk dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana di dalam hukum pidana nasional negara-negara di dunia,
berkisar sekitar umur 18 (delapan belas) tahun.
Ada pula ketentuan yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapuskan tanggung
jawab pidana dari seorang individu apabila ketika perbuatan itu terjadi, individu yang
bersangkutan dalam kondisi- kondisi seperti tercantum dalam Pasal 31 ayat (1), yakni
a. Orang yang bersangkutan menderita cacat mental atau sakit ingatan
b. Orang yang bersangkutan sedang dalam keadaan mabuk ketika perbuatan itu dilakukan
sehingga mempengaruhi kemampuannya untuk menilai perbuatannya
c. Orang yang bersangkutan melakukan perbuatannya tersebut demi membela diri ataupun
membela orang lain
d. Perbuatan atau kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional itu
dilakukannya dibawah tekanan fisik ataupun mental yang tidak dapat dihindarkannya.
Dalam prakteknya, sejauh mana alasan- alasan ini dapat dibenarkan penggunaannya,
tentulah akan dinilai dan diputuskan oleh Mahkamah Pidana Internasional sendiri dalam
persidangan sesuai dengan hukum acara dan hukum pembuktiannya.

2. Yurisdiksi Temporal
Kewenangan ICC sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan
bahwa ICC hanya memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan setelah mulai
berlakunya Statuta ini. Menurut yurisdiksi ini, ICC juga tidak memberlakukan asas
daluwarsa (lapse of time). Yurisdiksi kriminal adalah yurisdiksi yang dimiliki oleh ICC
dalam menjalankan tugasnya untuk mengadili kejahatan-kejahatan internasional yang
termasuk atau diatur di dalam Statuta Roma 1998. Dalam yurisdiksi kriminal ICC telah
diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma 1998 antara lain, pertama Kejahatan kemanusiaan
(Crimes against humanity). Definsi kejahatan kemanusiaan secara tegas yang dicantumkan
dalam Pasal 7 Statuta Roma 1998 yang menyebutkan:
“Penjelasan dari bunyi pasal di atas, bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan
salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai serangan yang meluas atau sistematis yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,
tindakan tersebut berupa pembunuhan, permusnahan, perbudakan, pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan
fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulannya yang didasari persamaan politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,
jenis kelamin dan alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, kejahatan apartheid, dan
tindakan-tindakan lain yang tidak berprikemanusiaan, dilakukan dengan sengaja yang
menyebabkan penderitaan terhadap tubuh atau mental atau kesehatan fisik.”
Dari definisi tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa:
a. Penyerangan langsung yang dilakukan terhadap penduduk sipil artinya suatu perbuatan
yang melibatkan banyak pihak terhadap penduduk sipil yang dijalankan atau dibantu
oleh negara atau kebijakan organisasi untuk melakukan penyerangan sedemikian.
b. Pembasmian termasuk penganiayaan atau penyengsaraan yang disengaja terhadap
kondisi hidup, penghalangan untuk mendapat makanan dan obatobatan yang dilakukan
untuk merusak bagian populasi.
c. Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa berarti pemindahan tempat secara
paksa terhadap seseorang dengan jalan pengusiran atau perbuatan paksa lainnya, dari
suatu tempat di mana seseorang diperbolehkan oleh hukum untuk tinggal, tanpa dasar-
dasar yang diizinkan oleh hukum internasional.
d. Penyiksaan berarti penyengsaraan yang disengaja untuk menimbulkan penderitaan
ataupun sakit yang amat sangat, baik terhadap fisik maupun mental, yang dilakukan
terhadap seseorang yang berada dalam perlindungan atau yang sedang menjadi tertuduh.
e. Kehamilan secara paksa berarti pembatasan secara melawan hukum terhadap seorang
wanita untuk hamil secara paksa, dengan maksud untuk membuat komposisi etnis dari
suatu populasi atau untuk melakukan pelanggaran hukum internasional lainnya.
f. Penindasan berarti penghalang- halangan secara keji terhadap hak-hak asasi yang
bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan-alasan yang berkaitan dengan
identitas suatu kelompok atau golongan tertentu.
g. Kejahatan apartheid berarti perbuatan tidak manusiawi sebagaimana perbuatan yang
dilakukan dalam rangka pelembagaan rezim penindasan yang sistematis dan didominasi
oleh sebuah kelompok ras atau kelompok-kelompok ras dan dilakukan untuk
melanggengkan rezim tersebut.
h. Penghilangan orang secara paksa berarti menangkap, menahan, menculik seseorang oleh
atau dengan kewenangan, dalam rangka mendukung atau memenuhi keinginan negara
atau sebuah organisasi politik, yang ditindaklanjuti dengan penolakan untuk mengakui
adanya pelanggaran terhadap kemerdekaan tersebut, atau menolak untuk memberikan
informasi atas nasib maupun keadaan orang tersebut, dengan niat untuk menjauhkan
mereka dari perlindungan hukum dalam jangka waktu tertentu.

3. Yurisdiksi Kriminal
Yurisdiksi Kriminal dari Mahkamah Pidana Internasional berdasarkan Statuta Roma
1998 adalah empat jenis kejahatan atau tindak pidana yang dinyatakan dalam Pasal 5 yakni,
kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan
agresi. Dalam Pasal 9 ditegaskan perlunya dirumuskan secara lebih rinci tentang unsur-unsur
dari masing-masing kejahatan (Elements Of Crimes) tersebut demi membantu Mahkamah
dalam menafsirkan dan menerapkan ketentuan dalam Pasal 6, 7, dan 8 Statuta Roma.
Adapun lembaga yang berwenang merumuskan dan memutuskannya adalah Majelis Negara-
Negara Peserta, berdasarkan persetujuan dari dua pertiga negara-negara anggotanya. Dalam
hubungan ini, ternyata Majelis Negara- Negara Peserta telah berhasil merumuskan unsur-
unsur dari masing-masing kejahatan tersebut. Sedangkan terhadap kejahatan agresi (the
crime of aggression) masih belum ditetapkandefinisi dan ruang lingkupnya sehingga untuk
sementara ini belum dapat diterapkan, karena masih menunggu adanya amandemen atas
Statuta Roma pada Pasal 121 dan peninjauan kembalinya pada Pasal 123.

4. Yurisdiksi Teritorial
Mengenai yurisdiksi teritorialnya, tidak ada satu Pasal pun pada statuta Roma yang
menegaskannya. Hal ini disebabkan karena Mahkamah Pidana Internasional merupakan
badan peradilan kriminal yang dimaksudkan untuk menjangkau keempat jenis kejahatan
yang ditentukan dalam Statuta yang terjadi dimanapun dimuka bumi ini. Terhadap kejahatan
yang terjadinya di dalam atau lintas batas territorial dari negara-negara yang sudah menjadi
peserta pada Statuta, tentulah tidak menjadi masalah dengan penerapan yurisdiksi territorial
mahkamah sebab negara-negara itu merupakan negara yang menerima yurisdiksi
mahkamah, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 ayat (1). Dalam hubungannya dengan
negara- negara yang tidak atau menolak untuk menjadi peserta Statuta (tidak atau menolak
untuk meratifikasi Statuta), tentulah Mahkamah tidak bisa menerapkan yurisdiksinya
terhadap kejahatan yang terjad didalam wilayah negara itu. Sebagai akibatnya, si pelaku
kejahatan tersebut menjadi berada diluar jangkauan yurisdiksi mahkamah sehingga ia akan
menikmati impunitas. Hal ini sudah tentu akan menimbulkan ketidakadilan bagi
masyarakatinternasional pada umumnya, para korban dari kejahatan itu pada khususnya.
Agar pelaku kejahatan tidak menikmati impunitas, para perancang Statuta menerapkan
yurisdiksi kriminalnya terhadap kejahatan yang terjadi di wilayah negara yang belum atau
tidak meratifikasi Statuta, dengan syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 ayat (3)
yakni, negara tersebut mengeluarkan suatu pernyataan (deklarasi) yang menyatakan
penerimaannya atas yurisdiksi Mahkamah dan deklarasi tersebut disampaikan kepada
Panitera. Akan tetapi sejauh mana suatu negara semacam itu akan bersedia mengeluarkan
pernyataan tentang penerimaannya atas yurisdiksi Mahkamah, sepenuhnya tergantung pada
negara yang bersangkutan.
Dewan Keamanan PBB berdasarkan kewenangannya menurut Bab VII Piagamnya,
berhak untuk menyerahkan kepada mahkamah melalui Jaksa Penuntut (the Presecutor) atas
kejahatan yang terjadi di wilayah negara semacam itu. Hal ini secara tegas diatur dalam
Pasal 3 butir (b) Statuta. Namun penyerahan ini hanya bisa terjadi, apabila Dewan
Keamanan PBB terlebih dahulu bersidang untuk membahas masalah yang terjadi di wilayah
atau lintas batas wilayah negara-negara yang tidak menjadi peserta Statuta yang menurut
Dewan Keamanan merupakan ancaman atas keamanan dan perdamaian dunia (Bab VII
Piagam PBB) dan diakhiri dengan pengambilan keputusan (yang dituangkan dalam satu
resolusi) untuk menyerahkan kasus tersebut kepada Jaksa Penuntut (the Presecutor) untuk
ditindak lanjuti sesuai dengan ketentuan Statuta.
Maka secara teoritis terhindarlah terjadinya impunitas atas orang yang bersangkutan.
Dewan Keamanan adalah suatu lembaga politik maka nuansa politiknya sama sekali tidak
dapat dipisahkan. Dengan adanya hak veto yang dimiliki oleh lima negara anggota tetapnya
(Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Rusia, dan Cina) praktis kelima negara ini tidak akan
pernah terkena resolusi Dewan Keamanan PBB yang merugikan dirinya sendiri. Secara lebih
konkrit, jika disalah satu dari kelima negara itulah terjadinya kasus kejahatan yang tunduk
pada yurisdiksi mahkamah tetapi negara itupun tidak mengambil tindakan apa-apa terhadap
si pelakunya, maka sudah pasti tidak akan berhasil dibahas dalam persidangan Dewan
Keamanan PBB. Kalaupun dibahas dan akan diambil keputusan untuk menyerahkannya
kepada Jaksa Penuntut pada Mahkamah, sudah pasti akan diveto oleh negara tersebut.
Demikian juga jika terjadi di salah satu atau lebih Negara yang tidak menjadi peserta Statuta
yang kemudian dibahas dalam Dewan Keamanan tetapi berkat keberhasilan negara itu
mendekati salah satu dari lima negara anggota tetap supaya menggunakan hak vetonya untuk
menggagalkan resolusi yang akan diambil, maka praktis si pelakunya juga akan menikmati
impunitas. Menurut Eddy O.S. Hiarej, Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional meliputi
kejahatan agresi, kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Akan tetapi sampai dengan saat ini, definisi mengenai kejahatan agresi belum ada
kesepakatan, sedangkan definisi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan
perang tertuang dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 Statuta Roma, Arief Ainul Yaqin (2016).

APAKAH ICC DAPAT MEMBERANTAS TERORISME?


Kofi Annan dan Marry Robinson menyatakan bahwa kejahatan terorisme dapat
diklasifikasikan sebagai “Crime Against Humanity” atau kejahatan terhadap kemanusiaan,
dengan menggunakan tolak ukur kejahatan yakni adanya serangan yang mematikan terhadap
penduduk sipil (non-combatant). Setiap aksi terorisme bertujuan menyebarkan kekacauan
melalui rasa takut dan tidak aman kepada masyarakat internasional, dengan perencanaan yang
matang dan sistematis mengakibatkan pengaruh yang besar dan meluas. Hal tersebut
memperjelas bahwa kejahatan terorisme mengarah pada kejahatan kemanusian (Crime Against
Humanity) seperti yang tertuang dalam Pasal 7 Statuta Roma (1998). Disana dikatakan bahwa
kejahatan kemanusiaan bersifat meluas (Widespread) dan sistematik (Systematic).
Selain itu terorisme juga patut di golongkan ke dalam kejahatan luar biasa (Extraordinary
Crime) karena telah memenuhi unsur- unsur sebagai kejahatan luar biasa, yaitu membahayakan
nilai- nilai hak manusia yang absolut, serangan terorisme bersifat “Random, Indiscriminate, And
Non-Selective” yang kemungkinan menimpa orang- orang yang tidak bersalah, selalu
mengandung unsur kekerasan, kemungkinan keterkaitannya dengan kejahatan terorganisasi,
kemungkinan akan digunakan teknologi canggih seperti senjata kimia, biologi, bahkan nuklir.
Terorisme merupakan kejahatan internasional (International Crime) yang tergolong ke dalam
tindak kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) dan merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan (Crime Against Humanity), Nasutio and Aulia Rosa, (2012).
Berdasarkan Statuta Roma, yurisdiksi yang berlaku nanti adalah yurisdiksi teritorial dan
nasional aktif. Yurisdiksi teritorial berarti ICC berwenang mengadili kasus terorisme yang terjadi
di negara yang meratifikasi Statuta Roma. Berbeda halnya dengan yurisdiksi nasional aktif yang
menentukan bahwa ICC dapat mengadili pelaku terorisme yang merupakan seorang warga
negara dari negara yang meratifikasi Statuta Roma kendatipun tempat ia melakukan perbuatan
terorisme berada di luar wilayah negaranya.
Terorisme merupakan suatu kejahatan internasional (International Crime) yang tergolong
ke dalam kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) dan tindak kejahatan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan (Crime Against Humanity). Dalam hal tindakan terorisme merupakan kejahatan
internasional yang masuk pada kompetensi International Criminal Court (ICC) untuk mengadili,
maka Yurisdiksi yang berlaku pada tindak pidana terorisme adalah yurisdiksi teritorial dan
yurisdiksi nasional aktif. Negara asal pelaku kejahatan terorisme tidak dapat secara serta merta
dituntut pertanggungjawabannya atas kejahatan terorisme yang dilakukan oleh warga negaranya.
Negara dapat dituntut pertanggungjabannya ketika Internationally Wrongful Act dilakukan oleh
individu maupun organ yang mendapat kewenangan sebagai perwakilan negara tersebut,
Sulaiman, King Faisal, (2007).

Anda mungkin juga menyukai