Pendahuluan
Bagi sebagian besar umat manusia, besarnya korban jiwa dan berbagai kejahatan
perang yang melanggar hak asasi manusia selama Perang Dunia Kedua [“PD2”] merupakan
sebuah peristiwa yang begitu brutal dan sadis sehingga harus dicegah agar tidak dapat
terulang kembali. Sesuai dengan keinginan tersebut, maka dibentuklah sebuah organisasi
bernama Perserikatan Bangsa-bangsa [“PBB”] yang salah satu prinsip dasarnya adalah
untuk mencegah terulangnya tragedi PD2 dengan mengedepankan dan menjamin
perlindungan Hak Asasi Manusia [“HAM”].1
Seiring dengan perkembangan perlindungan HAM, maka terbentuklah melalui
berbagai perjanjian internasional dan undang-undang [“UU”] nasional, berbagai instrumen-
instrumen perlindungan HAM yang menjabarkan secara rinci apa saja hak asasi manusia
yang dilindungi. Instrumen seperti International Covenant on Civil and Political Rights
[“ICCPR”] yang melindungi hak sipil dan politik, International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights [“ICESCR”] yang melindungi hak ekonomi, sosial dan kultur, Convention
against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment [“CAT”]
untuk mengentaskan penyiksaan dan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi atau
merendahkan martabat serta banyak instrumen hukum internasional lainnya. Sehingga dari
berbagai perkembangan seiring jaman, maka hakikat dari konsep HAM dapat disimpulkan
sebagai hak individu yang tidak dapat dicabut dan dilindungi oleh Hukum dari campur
tangan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh negara.2
Pelanggaran HAM pun dapat diklasifikasikan menjadi pelanggaran HAM ringan,
maupun pelanggaran HAM berat. Baik dalam UU di Indonesia maupun Perjanjian
Internasional, pelanggaran HAM berat merupakan Kejahatan Genosida dan Kejahatan
terhadap Kemanusiaan3 (pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan, dll).4 Akan
tetapi, terdapat beberapa pelanggaran selain kedua kejahatan tersebut yang dapat
dianggap sebagai pelanggaran HAM berat seperti pelanggaran berat dan sistematis
terhadap hak ekonomi dan sosial dan hak-hak lainnya.5
2. Definisi Pelanggaran HAM Berat
Meskipun dalam Hukum Pidana Internasional yang mana identitas dan culpa sang
pelaku merupakan faktor yang penting,6 Hukum HAM dan Humaniter lebih memandang
kepada keberadaan suatu peristiwa yang melanggar obligasi internasional mengenai HAM
yang timbul karena omisi atau aksi7 yang dapa diatribusikan kepada negara.8 Dari berbagai
sumber hukum baik nasional maupun internasional (konvensi, hukum kebiasaan
internasional, prinsip-prinsip hukum umum, putusan pengadilan atau mahkamah, ajaran ahli
hukum)9 dapat diambil kesimpulan bahwa sebuah pelanggaran HAM berat dapat ditafsirkan
berdasarkan10 1) karakter dan jenis dari HAM yang dilanggar yaitu apakah hak yang
dilanggar masuk dalam hak yang non-derogable atau jus cogens seperti hak untuk bebas
1
Pembukaan ¶2, Pasal [“Psl”] 1(3), Psl 55(c), Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa [“Piagam PBB”]
2
P.Malanczuk, Modern Introduction to International Law, 7th ed, Routledge, 1997, hlm. 209.
3
Psl 7, UU Nomor 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia [“UU 26 Tahun 2000”];
Psl 1, 6, 7, Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional, 1998 [“Statuta Roma”].
4
Psl. 9, UU 26 Tahun 2000.
5
Psl 11, Optional Protocol [“OP”] to the ICESCR, Psl 8, OP-CEDAW.
6
G. Mettraux, Using human rights law for the purpose of defining international criminal offences – the
practice of the international criminal tribunal for the former Yugoslavia, 2002, p. 189.
7
Velasquez Rodriguez v. Honduras, IACtHR, Judgment, 1988, para. 173
8
Article 1-11, Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts [“ARSIWA”], 2001.
9
Psl 38(1), Statuta Mahkamah Internasional [“ICJ Statute”]
dari penyiksaan, perbudakan, dan intensitas dan kebrutalan pelanggaran, 11 serta apakah
pelanggaran tersebut terjadi secara 2) masif atau meluas, yang berdasarkan pada jumlah12
dan status13 dari para korban dan pelaku dan/atau adanya pengulangan terhadap
pelanggaran tersebut, 14 3) sistematis yaitu apakah pelanggaran HAM tersebut adalah
bagian dari sebuah rencana untuk mencapai tujuan tertentu seperti politik atau ideologi.15
Berdasarkan kriteria tersebut, Paper ini akan meninjau 2 peristiwa yang dapat
diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, yaitu Pembantaian tahun 1965-1966 pasca
kejadian G30S di Indonesia, dan Invasi Uganda di Republik Demokratik Kongo berdasarkan
putusan tahun 2005 dari Mahkamah Internasional dalam Kasus Armed Activities on the
Territory of the Congo (Democratic Republic of the Congo v. Uganda).
in Central Java, 1965", in: Journal of Current Southeast Asian Affairs, 32, 3, 37–62 (2013).
21
Gellately, Robert; Kiernan, Ben, The Specter of Genocide: Mass Murder in Historical
Perspective, 2003, Cambridge University Press. pp. 290–291.
22
IPT Rep., Hal.135-140.
23
Article 4, 8, ARSIWA.
24
UN Human Rights Committee, CCPR General Comment No. 36: Article 6 (Right to Life), 3
September 2019, CCPR/C/GC/36 [“GC36”], ¶2.
25
Prosecutor v Anto Furundzija, IT-95-17/1-T10, Judgment, 1998, ¶155-157.
26
KOMNAS HAM Report, p.2.
27
Prosecutor v. Martić, IT-95-11, Judgement, 2007, ¶430 (pervasive throughout the RSK territory)
28
IPT Rep., hal. 126.
29
IPT Rep., hal. 39.
seharusnya ditindak secara hukum untuk menetapkan pertanggung jawaban para pelaku,
meskipun mereka mungkin telah meninggal sebagai bentuk ganti rugi.
5. Kesimpulan
Berdasarkan tinjauan yang dilakukan terhadap Kejadian Pembantaian Nasional di Indonesia
pada Tahun 1965-1966 dan putusan tahun 2005 dari Mahkamah Internasional dalam Kasus
Armed Activities on the Territory of the Congo (Democratic Republic of the Congo v.
Uganda), kedua kejadian tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat,
yaitu sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, kedua kejadian tersebut
memiliki perbedaan, yaitu pelanggaran HAM yang terjadi di Kongo telah diadili secara
terbuka dan pertanggung jawaban negara pun telah ditetapkan. Ini berbeda dengan
Kejadian Pembantaian Nasional di Indonesia pada Tahun 1965-1966 yang hingga saat ini
masih terkesan ditutup-tutupi oleh pemerintah, terutama TNI, serta tidak adanya
pertanggung jawaban negara maupun pidana bagi para pelaku kejahatan terhadap
kemanusiaan dengan membantai, menyiksa, menghilangkan saudara sebangsanya sendiri.
38
S/2000/1156, The Fifth Report of the Secretary-General on MONUC, 2000, ¶75; S/2002/621, The
Eleventh Report of the Secretary-General on MONUC, 2002, ¶47; DRC v. Uganda, ¶210.
39
E/CN/4/2000/42, report of the Special Rapporteur of the Commission on Human Rights of 18
January 2000 [“E/CN/4/2000/42”], ¶112.
40
HRW Report, “Ituri: Covered in Blood. Ethnically Targeted Violence in Northeastern DR Congo”,
July 2003 [“Ituri Report”], Hal. 23.
41
DRC v. Uganda, ¶206-207.
42
Ituri Report, Hal. 19-48.
43
E/CN/4/2000/42, ¶112.
44
Ituri Report, Hal. 30.
45
DRC v. Uganda, ¶209.
46
R.C. Liwanga, The Meaning of Gross Violation of Human Rights: A Focus on International
Tribunals' Decisions over the DRC Conflicts, Denver Journal of IL & Policy, 2002, Hal. 80.