Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

HUKUM INTERNASIONAL TENTANG


PELANGGARAN HAM

NAMA : JORDI SETYA RAHMAN

NPM : 18.01.0053-IH

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

KELAS : MALAM

SEMESTER : II

TAHUN PELAJARAN 2018/2019

STIH PERTIBA PANGKALPINANG


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dengan lahirnya Deklarasi HAM Sedunia pada 10 Desember 1948 diharapkan
keadilan di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di dunia ini dapat
ditegakkan. Deklarasi tersebut mempunyai arti penting yang besar karena menjadi
dasar untuk mengubah dan membebaskan peradaban manusia yang telah berabad-
abad didominasi ketidak-adilan, di mana hak asasi manusia tidak mendapat
perlindungan, jutaan manusia sampai abad XIX masih berstatus budak, yang
kehilangan hak-hak asasinya dan dianggap sebagai benda yang dapat diperjual
belikan.
Baru di abad XX dengan meningkatnya kesadaran akan rasa keadilan dan
kemanusiaan maka lahirlah Deklarasi HAM Sedunia PBB. Meskipun demikian
deklarasi tersebut hanyalah suatu deklarasi semata-mata, yang tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat bagi negara anggota PBB, apalagi bagi negara yang
tidak menjadi anggota PBB. Hanya sesudah materi dari deklarasi tersebut diadopsi di
dalam perundang-undangan (konstitusi, UU dan lain-lainnya) negara bersangkutan
barulah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Meskipun UUD 1945 (asli)
tidak memuat banyak pasal tentang HAM tetapi hal itu tidak berarti bahwa RI tidak
menyetujui HAM. Sebab Dasar Negara Pancasila memuat inti dasar dari norma-
norma HAM.
Di samping itu dalam Pembukaan UUD 1945 memuat suatu pernyataan
tentang hak asasi yang lebih agung dan mulia nilainya, sebab sifatnya tidak
individualistik, melainkan sifat kolektif besar manusia – bangsa: “Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.” Deklarasi yang tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945 tersebut lahir 3 tahun lebih awal dari pada Deklarasi HAM Sedunia, dan
yang lebih super-penting lagi deklarasi dalam UUD 1945 tersebut adalah deklarasi
Hak Asasi mengenai hak dan kedaulatan atas tanah air, atas sumberdaya alam yang
berabad-abad telah dirampas oleh kaum kolonialis. Jelas di sini terdapat dikotomi
antara penjajah dan yang dijajah, yang tidak mungkin dikaburkan. Sedang HAM dari
Deklarasi PBB hanyalah bersifat perorangan – individualistik, meskipun tidak
diragukan arti pentingnya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, tapi
individualisme (nyawa dari ideologi libralisme) ini di era globalisasi bisa mencampur-
adukkan atau mengaburkan antara sipenjajah dan yang dijajah dengan selimut hak
kebebasan berpendapat dan hak asasi lainnya. Jelasnya, dalam era globalisasi
neokolonialisme bisa menggunakan baju HAM. Maka kita harus dengan bijak
menggunakan HAM, jangan latah, jangan sampai HAM menelan HAB – hak asasi
bangsa Indonesia atas kemerdekaan dan kedaulatan atas kekayaan alamnya.
Setelah mencapai kemerdekaan, stadium selanjutnya bagi bangsa Indonesia
ialah berjuang menegakkan nilai-nilai HAM. Ketentuan-ketentuaan hak asasi manusia
yang tercantum dalam dokumen PBB (Deklarasi HAM Sedunia, Kovenan Hak Sipil
dan Politik, Kovenan Hak Ekonomi dan Sosial-budaya, dll) sudah diratifikasi dan
diadopsi dalam perundang-undangan Indonesia. UUD 1945 setelah mengalami 4 kali
amandemen telah memuat banyak pasal mengenai hak asasi manusia. UU organik
juga sudah terbentuk. Dengan telah terbentuknya UU Pengadilan HAM, seharusnya
banyak kasus pelanggaran HAM yang sudah bisa dituntaskan. Tapi kenyataannya
tidak demikian. Banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia tidak mendapat
penyelesaian semestinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa keadilan tidak ditegakkan.
Bisa dihitung dengan jari mengenai berapa kasus HAM yang sudah diselesaikan oleh
Pengadilan. Yang sangat menyolok mata dan memprihatinkan adalah belum
dijamahnya oleh para penegak hukum kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang
terjadi tahun 1965-66 berkaitan dengan peristiwa G30S.
Sudah berlalu 42 tahun pelanggaran HAM berat tersebut sepertinya dianggap
tidak terjadi apa-apa. Padahal tanpa dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum
yang berlaku jutaan manusia telah dibantai, ribuan orang dibuang ke pulau Buru dan
dijebloskan di penjara-penjara, ratusan warganegara Indonesia di luar negeri dicabuti
paspornya. Sejatinya fakta-fakta tersebut di atas saja sudah merupakan bukti yang
cukup dan tak terbantahkan adanya tindak pelanggaran HAM berat. Tambahan pula
adanya jutaan sanak saudara mereka yang tak mengerti apa-apa didiskriminasikan
hak-hak politik dan sipilnya oleh penguasa Orde Baru, yang praktis, mereka tersebut
juga menjadi korban pelanggaran HAM kedua. Nah kasus para korban pelanggaran
HAM tersebut di atas semuanya sampai detik ini belum dituntaskan oleh para penegak
hukum. kebenaran dan keadilan masih belum ditegakkan di Indonesia, yang
dinamakan negara hukum.
Dalam usaha penegakan kebenaran dan keadilan, berkaitan dengan
pelanggaran HAM berat 1965-66, tampak ada dua jalan: pertama melalui pengadilan
HAM dan kedua melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Jalan Pengadilan HAM
agaknya sangat sulit dilaksanakan. Sebab terlalu banyak oknum yang berkepentingan
agar jalan tersebut tertutup. Mantan rejim Suharto dan pendukungnya yang sampai
sekarang masih berperan di mana-mana tidak menghendaki adanya pengadilan
terhadap pelanggaran HAM berat 1965-66. Sedang jalan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi, yang merupakan jalan kompromi dalam penyelesaian kasus pelanggaran
HAM berat masa lampau (terutama yang berkaitan dengan tahun 1965-66) ternyata
mengalami kegagalan, sebab UU KKR 2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi,
karena dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun UU KKR tersebut
jelas tidak akan menghasilkan keadilan sejati, sebab masih menyisakan eksistensi
impunity, toh telah dimatikan sebelum sempat berjalan. Kalau kedua jalan tersebut
dewasa ini tidak dapat ditembus, berarti para korban pelannggaran HAM berat masa
lampau (1965-66) sampai waktu tak tertentu tidak bakal mendapatkan keadilan.
Tampaknya masa waktu 42 tahun yang telah dilalui masih harus diperpanjang
lagi. Sampai kapan, itulah pertanyaannya. Berhubung dengan Hari Hak Asasi
Manusia Sedunia Ifdhal Kasim, Ketua KOMNAS HAM baru mempunyai niat untuk
melaksanakan fungsinya sebaik mungkin sebagai penanggung jawab kebijakan
institusi penegak HAM. Hal ini perlu didukung dan disokong sepenuhnya. Hanya
kepada Ifdhal Kasim diharapkan agar pembelaan terhadap korban pelanggaran HAM
masa lampau tidak mengulang atau melanjutkan praktek diskrimnatif (pilih kasih)
seperti telah diterangkan di atas. Kami (para korban) melihat penanganan kasus
korban pelanggaran HAM berat masa lampau (1965-66) sangat minim sekali,
sehingga terasa adanya perlakuan diskriminasi. Padahal pendiskriminasian
penanganan kasus pelanggaran HAM tersebut di atas identik dengan membiarkan
berlangsungnya ketidak adilan dan eksistensi impunitas. Dan bersamaan dengan itu
tersirat arti pembenaran terhadap tindak kejahatan melawan kemanusiaan.
Juga di dunia internasional tidak terdengar suara kepedulian para
institusi/lembaga hak asasi manusia terhadap jutaan korban pelanggaran HAM berat
1965-66 dibanding dengan kepeduliannya terhadap para korban pelanggaran HAM
lain-lainnya. Ini jelas juga merupakan tindakan diskriminasi. Fenomena tentang
tindakan diskriminasi di luar negeri dan di dalam negeri yang tampak berjalan seiring
tentu menimbulkan pertanyaan logis dan adil: Mengapa demikian terjadi? Apakah
donasi dari luar negeri kepada lembaga-lembaga di Indonesia mempunyai pengaruh
kuat terhadap timbulnya fenomena tindakan diskriminasi tersebut di atas?. Adalah
suatu hal yang positif putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, bahwa: “Mantan
terpidana kealpaan dan politik dapat menjadi pejabat publik”. Pejabat publik bisa
diartikan sebagai presiden, menteri, gubernur, walikota dan lai-lainnya.
Sekali lagi kita tidak melihat jamahannya kepada para korban pelanggaran
HAM berat 1965-66. Mereka ini bukan orang-orang terpidana politik, sebab tidak
pernah diproses berdasar hukum, tetapi orang-orang yang dilanggar hak asasinya.
Mereka bukan pelaku kejahatan, tetapi mereka adalah korban tindak kejahatan
kemanusiaan. Contoh: ribuan orang yang dibuang ke pulau Buru belasan tahun tidak
pernah dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum. Mereka di sana mendapat
perlakuan yang biadab dan disiksa dengan kejam.
Kalau mantan terpidana politik (jadi ada putusan pengadilan) saja menurut
Mahkamah Konstitusi dapat menjadi pejabat publik, maka mantan tapol pulau Buru
(korban pelanggaran HAM, bukan mantan terpidana) secara logika mestinya menjadi
pejabat publik bukan masalah lagi. Tapi sebaliknya mereka ini bahkan mendapatkan
perlakuan-perlakuan yang sangat jelek – bertentangan dengan HAM, misalnya tidak
boleh menjadi pegawai negeri, tidak boleh menjadi guru dan larangan-larangan
lainnya, bahkan pernah KTPnya ditempeli kata “ET” sehingga di mana-mana
mendapatkan kesulitan dalam hidupnya. Dan kalau penegak hukum berkemauan
menjalankan fungsinya sebagai penegak keadilan maka mudah saja menunjuk hidung
siapa yang melakukan pelanggaran HAM berat 1965-66, yaitu penguasa-penguasa
militer rejim Suharto pada waktu itu. Sebab merekalah yang membuang orang-orang
tersebut di atas ke pulau Buru dan menjebloskan ke dalam penjara-penjara. Tidak
perlu susah-susah njlimet mencari data-data, sebab semuanya ada di arsip kopkamtib
(kalau belum keburu dimusnahkan). Bahkan kalau pun dokumen-dokumen tersebut
sudah dimusnakan, mestinya fakta pembuangan ke pulau Buru saja sudah merupakan
bukti kuat yang tak terbantahkan tentang adanya pelanggaran HAM berat.
Sayang sekali hal tersebut di atas tidak mendapat singgungan dari Mahkamah
Konstitusi, yang seharusnya dalam memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia
tahun ini dijadikan bagian tema penting demi transparansi dan sosialisasi penegakan
HAM, Keadilan dan Konstitusi di Indonesia. Tampak perjuangan untuk tegaknya
Keadilan dan Hak Asasi Manusia di Indonesia masih jauh dari sukses untuk
menggeser sasarannya dari titik mati. Sedang diskriminasi dalam penanganan kasus
pelanggaran HAM (terutama kasus pelanggaran HAM berat 1965-66) masih terus
berjalan. Kalau penyelenggara negara dan lembaga-lembaga HAM menyadari hal-hal
tersebut di atas penanganan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965-
66 paling tidak harus berjalan sejajar/paralel dengan penanganan masalah pelanggaran
HAM lainnya. Mengingat besarnya korban pelanggaran HAM berat 1965-66 maka
penyelesaian hukum secara adil kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 seharusnya
mendapat prioritas utama. Semoga masa depan penyelesaian masalah tersebut
mempunyai perspektif yang positif bagi penegakan demokrasi, keadilan dan HAM.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam pembuatan makalah ini adalah
sebagi berikut :
a) Apa yang menyebabkan seringnya terjadi pelanggaran HAM di luar negeri ?
b) Kasus pelanggaran HAM apa saja yang sering terjadi di luar negeri?
c) Bagaimana tanggapan dan peranan pemerintah Indonesia yang bekerja sama
dengan pihak hukum melihat kasus pelanggaran HAM yang terjadi di luar
negeri hari ini, terutama pelanggaran HAM yang menimpa TKI kita saat ini ?

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
a) Untuk mengetahui apa penyebab atau motif seringnya terjadi pelanggaran HAM di luar
negeri.
b) Untuk mengetahui kasus pelanggaran HAM yang sering terjadi di luar negeri.
c) Untuk mengetahui bagaimana peranan pemerintah yang bekerja sama dengan
pihak hukum dalam menangani kasus pelanggaran HAM yang telah menimpa TKI kita
sampai hari ini.

1.4 Metode  Penelitian


Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah melalui
media internet.

1.5 Kegunaan
Adapun kegunaan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menambah referensi serta
informasi bagi penulis. Di samping itu juga dapat dimanfaatkan oleh pembaca pada umumnya
untuk lebih mengetahui sistem dan tata cara penanganan kasus – kasus pelanggaran HAM.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pelanggaran Ham Amerika Serikat


“Human Rights Violation by The United States of America” merupakan buku yang
dikeluarkan pada 2007 oleh Departemen HAM—Kementerian Politik Luar Negeri,
Iran. Ini merupakan buku pertama yang ditulis mengenai pelanggaran HAM berat
oleh AS yang terang-terangan berdasarkan sumber-sumber dari berbagai lembaga
internasional. Buku ini menggunakan lebih dari 117 referensi sebagai sumber data dan
informasi tentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh AS.
Ketaatan, promosi dan perlindungan HAM berdasarkan penghormatan pada
perbedaan budaya dalam kerangka universalitas merupakan salah satu pilar kehidupan
modern saat ini, yang ditandai dengan globalisasi yang sedang tumbuh. Negara-
negara bertanggung jawab dalam domain HAM berdasarkan kenyataan mereka
memiliki instrumen-instrumen kekuatan yang diperlukan untuk memberi arah dan
efektualitas kepada kekuatan aktif globalisasi. Karena itu, perangai HAM para pemain
yang lebih berpengaruh di dunia memiliki dampak besar pada semua aspek kehidupan
modern, termasuk penetapan standar dan aplikasi HAM di dunia.
Kementerian Luar Negeri Republik Islam Iran, Musim Semi 2007 94 halaman
Direview oleh Hamid Sultan Saleki (Atase Pres Kedubes Iran di Jakarta) Jelas,
pelanggaran hak-hak sipil dan politik oleh Pemerintahan AS terhadap mereka yang
ada di dunia dalam apa yang disebut “ perang terhadap teror ” tak dapat disamakan
dengan pelanggaran HAM oleh sebuah pemerintahan kecil dalam wilayah yang kecil.
Situasi yang mengerikan di tempat-tempat seperti Tanjung Guantanamo dan Bagram
dan kisah – kisah tentang pusat-pusat penahanan rahasia di seluruh dunia akan
berdampak negatif terhadap struktur konsep hukum internasional tentang HAM dan
penerapannya di dunia. Lebih parah lagi, itu akan digunakan sebagai rujukan oleh
pihak lain, menemukan interpretasi negatif atas ketentuan hukum internasional
terhadap HAM di dalam kultur unilateralisme yang sedang tumbuh.
Sejak April 2004, ketika potret pertama muncul mengenai personel militar AS
menghina, menyiksa, dan juga memperlakukan dengan buruk tahanan di penjara Abu
Ghuraib di Irak, pemerintahan AS berulangkali mencoba memotret pelanggaran HAM
itu sebagai insiden yang terpisah, kerja segelintir tentara yang buruk yang bertindak
tanpa perinta. Kenyataannya, satu-satunya aspek pengecualian dari pelanggaran di
Abu Ghuraib adalah potret. Tetapi kenyataannya pola pelanggaran ini tidak berasal
dari aksi beberapa tentara yang melanggar hukum. Kejadian itu berasal dari keputusan
yang dibuat oleh Pemerintahann AS untuk membelokkan, mengabaikan, atau
mengesampingkan hukum.
Kebijakan administrasi yang menciptakan iklim Abu Ghuraib dalam tiga cara
fundamental pengelakkan dari hukum intenasional, menerapkan metode interogasi
yang bersifat memaksa dan pendekatan tidak melihat kejahatan, tidak mendengar
kejahatan pemerintahan Bush. Kendati fakta bahwa AS telah meratifikasi Konvensi
PBB yang menentang penyiksaan dan Konvensi Ketiga dan Keempat Geneva, dan
bahwa Pemerintahan AS telah mengakui bahwa perjanjian – perjanjian dimaksud
mengikat dalam perang untuk pembebasan Irak, terlihat bahwa Pemerintahan Bush
mengklaim para tahanan yang diambil dari Abu Ghuraib tidak digolongkan sebagai
tahanan perang di bawah hukum internasional. Bagaimanapun, dalam jawaban,
beberapa ahli hukum telah mengungkapkan bahwa AS dapat diwajibkan untuk
mengadili beberapa prajuritnya untuk kejahatan perang dan dibawah Konvensi Ketiga
dan Keempat, tahanan perang orang sipil yang ditahan dalam suatu perang tak dapat
diperlakukan dalam perangai yang merendahkan, dan pelanggaran dalam seksi itu
adalah “pelanggaran berat”.
Sejak kejatuhan pemerintahan Taliban di Afganistan, pasukan pimpinan AS
telah menangkap dan menahan ribuan orang Afghanistan dan warga negara asing lain
di seluruh Afghanistan. Fasilitas penahanan AS yang utama di Afghanistan adalah di
pangkalan udara Bagram. CIA juga menahan tahanan yang tak jelas jumlahnya, di
pangkalan udara Bagram dan lokasi lain di Afghanistan, termasuk di Kabul. Ada
banyak laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia oleh personel militer dan
intelijen AS di Afghanistan.
Menurut Human Rights Watch, personel militer dan intelijen AS di Afghanistan
melakukan sistem interogasi yang meliputi penggunaan deprivasi tidur, deprivasi
indera, dan memaksa tahanan untuk duduk atau berdiri dalam posisi yang
menyakitkan untuk periode waktu yang lama.. Dalam hal ini, AS telah gagal memberi
penjelasan yang cukup atas tuduhan perlakukan buruk terhadap tahanan oleh personel
militar dan intelijen AS di Afghanistan. Human Rights Committee  telah mencatat
dengan keprihatinan kekuarangan-kekurangan menyangkut kemerdekaan, ketidak-
berpihakan, dan efektivitas investigasi menjadi tuduhan penyiksaan dan kekejian,
perlakukan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan yang ditimpakan
oleh militer dan personel non militer AS atau pekerja kontrak, di fasilitas penahanan
di Guantanmo, Afghanistan, Irak, dan lokasi di luar negeri lainnya, dan pada kasus-
kasus kematian yang dicurigai di tempat tahanan di salah satu lokasi-lokasi ini. The
Committee menyesal AS tidak memberikan informasi cukup menyangkut penuntutan
yang dilontarkan, hukuman-hukuman dan reparasi yang dijamin buat korban.
Sejak 2002 Kamp Guantanamo telah menjalankan perannya sebagai penjara
militer dan kamp interogasi dan menahan lebih dari 775 tahanan dari 44 negara dan
kebanyakan orang-orang yang dicurigai oleh pemerintahan AS sebagai operatif Al-
Qaeda dan Taliban, terlebih, penggunaaan Guantanamo sebagai penjara militer telah
diserang oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia dan para pengritik lain, yang
mengutip laporan-laporan bahwa para tahanan telah disiksa atau diperlakukan secara
kejam. The Committee Against Torture (CAT) menyuarakan keprihatinannya atas
laporan-laporan yang bisa dipercaya mengenai tindakan penyiksaan atau kekejian,
tidak manusiawi dan perlakukan yang menghina atau hukuman yang dilakukan oleh
anggota militer dan sipil tertentu di Afghanistan dan Irak. Juga menjadi keprihatinan
bahwa investigasi dan penuntutan banyak kasus-kasus ini, termasuk suatu hasil dalam
kematian tahanan, telah membawa pada hukuman yang lembut, termasuk sifat
administratif atau kurang dari satu tahun penjara.
Dalam hal ini, AS harus mengambil tindakan cepat untuk menghapus semua
bentuk penyiksaan dan perlakukan buruk terhadap tahanan oleh personel militer dan
sipil, di teritori mana saja dibawah juridiksinya, dan harus segera serta melakukan
tidakan investigasi secara mendalam, menuntut semua yang bertanggung jawab bagi
tindakan semacam itu, dan menjamin mereka dihukum secara wajar, menurut
keseriusan kejahatan.
Jelas, AS telah secara eksplisit dan sistematik melanggar standar internastional
menyangkut perlakukan manusiawi terhadap tahanan yang membawa pada keberatan
yang dimunculkan oleh organisasi internasional inter alias Human Rights
Commission and Committee Against Torture. Selain itu, AS juga di klaim sebagai
Negara pelanggar HAM terburuk selama 50 tahun terakhir. Amnesti Internasional
(AI) menilai Amerika Serikat sebagai pelaku pelanggaran HAM terburuk selama 50
tahun terakhir, sejak negara adidaya itu mengeluarkan kebijakan perang terhadap
terorisme dan invasinya ke Iraq. Dalam laporan tahun 2004-nya, lembaga HAM yang
berbasis di London ini menyebutkan, agenda keamanan global yang dipromosikan
oleh AS, miskin visi dan tidak punya dasar yang kuat. Apa yang dilakukan AS,
menyerang negara lain dengan mengerahkan tentaranya, merupakan pelanggaran hak
asasi, mengganggu rasa keadilan dan kebebasan, dan membuat dunia menjadi tempat
yang mengerikan.
Invasi dan penguasaan wilayah Iraq oleh otoritas yang dibentuk negara-negara
koalisi, menyebabkan ribuan orang di Iraq ditahan. Laporan itu juga menyebutkan,
ratusan orang dari sekitar 40 negara, di penjarakan AS tanpa proses hukum di
Afghanistan. “Lebih dari 600 warga negara asing ditahan tanpa tuduhan yang jelas
atau proses hukum, di penjara Guantanamo, Kuba. Mereka tidak diberi akses ke
keluarga atau ke penasehat hukum. Orang-orang ini ditahan atas dugaan terkait
dengan Al-Qaeda. Selain di Guantanamo, diduga AS menahan sejumlah tawanannya
di beberapa lokasi yang tidak diketahui,” papar laporan tersebut.
Sekretaris Jenderal Irene Khan menyatakan, perang terhadap terorisme
seharusnya dibarengi dengan upaya melindungi hak asasi manusia, tapi pada
kenyataannya, kampanye anti terorisme dan perlindungan terhadap hak asasi manusia,
saling bertentangan. Khan mengatakan, dunia telah melihat kenyataan yang
sebenarnya, setelah foto-foto penyiksaan dan pelecehan di penjara Abu Graib tersebar
di masyarakat luas. Ini adalah konsekuensi logis, dari perburuan yang membabi buta
yang dilakukan AS sejak peristiwa 11 September. AS telah mengabaikan dan
menempatkan dirinya diluar sistem hukum yang ada.
AS telah kehilangan moral dan potensinya untuk melakukan segalanya dengan
cara yang damai,” kata Khan dalam keterangan persnya di London. Amnesti
Internasional menyatakan, pihak Departemen Kehakiman AS telah mengakui ada
problem besar dalam menangani ratusan tahanan warga negara asing sejak peristiwa
11 September. Selain tidak memberikan akses pada keluarganya, AS juga tidak
memberi akses agar para tahanan bisa didampingi pengacar agar proses hukumnya
bisa segera dilakukan. Selain itu, bukti-bukti menunjukkan adanya pola penyiksaan
fisik maupun verbal yang dilakukan oleh para penyidik. Amnesti Internasional juga
memaparkan, pelanggaran Ham lainnya yang dilakukan AS, antara lain, penahanan
sekitar 6.000 anak-anak migran dengan tuduhan melakukan kenakalan remaja. Anak-
anak ini ditahan sampai berbulan-bulan.
Disamping itu, polisi dan penjaga penjara di AS, telah menyalahgunakan senjata
dan menggunakan bahan kimia terhadap para tahanannya, yang menyebabkan kasus
tewasnya sejumlah tahanan di penjara AS. Amnesti Internasional juga mengkritisi
penerapan hukuman mati di AS. Sepanjang tahun 2003, sudah 65 orang yang
menjalani hukuman mati di AS. Total, sudah ada 885 orang yang menjalani hukuman
mati sejak AS menerapkan kembali hukuman itu pada tahun 1976. AS dinilai juga
telah melanggar aturan internasional dalam menerapkan hukuman mati ini, karena
telah mengenakkannya pada anak dibawah umur 18 tahun. Yang paling hangat,
Amnesti Internasional, mengkritik AS karena berupaya mendapatkan kekebalan
hukum dari pengadilan internasional bagi tentaranya yang melakukan kejahatan
perang. Selain AS, Amnesti Internasional menilai Inggris juga telah melakukan
pelanggaran Ham di Iraq. “Pengadilan di Inggris dan AS, kini mulai melakukan
evaluasi atas kekuasaan eksekutif yang sudah melanggar hak asasi,” tulis laporan
tersebut. Amnesti Internasional menyatakan, kedua negara ini mengklaim Iraq punya
senjata pemusnah massal hanya untuk membenarkan tindakannya di negara lain.
Ketika AS dan Inggris terobsesi dengan adanya ancaman senjata pemusnah
massal, mereka sendiri telah menjadi senjata pemusnah massal yang sesungguhnya.
Mereka sudah bertindak tidak adil, semena-mena, penyebab munculnya kemiskinan,
diskriminasi, rasis, perdagangan senjata gelap dan melakukan kejahatan terhadap
anak-anak dan wanita. Laporan lembaga hak asasi manusia Amnesti Internasional ini,
juga menyoroti masalah pendudukan Israel di Palestina. Lembaga ini bahkan
menyebut Israel sebagai penjahat perang karena tindakan brutal yang dilakukannya.
AS – Inggris ancaman terbesar bagi keamanan dunia. Maksud hati hendak menjadi
polisi dunia apa daya jadi teroris dunia. Begitulah ungkapan yang klop bagi AS yang
tengah dihantam kutukan dunia internasional atas kasus Abu Gharib. Adalah The
International Institute for Strategic Studies (IISS) yang menuduh AS dan Inggris
sebagai pemicu utama kian merebaknya rasa tak aman di dunia.
Hal ini menurut IISS, terbukti setelah AS-Inggris mencaplok Irak. Selain itu,
AS-Inggris juga telah menyebabkan makin bertambahnya pengikut jaringan Al-Qaeda
menjadi sekitar 18.000 anggota yang tengah bersiap melakukan aksi penyerangan atas
Barat. IISS juga melontarkan kritikan pedas atas AS-Inggris, menurutnya, mereka tak
akan mampu membayar harga kegagalannya di Irak, dan hal itu akan menjadi mimpi
buruk bagi strategi AS dan Barat. IISS adalah sebuah lembaga studi terkenal yang
bermarkas di London Inggris. Setiap tahunnya IISS selalu merilis laporan-laporan
yang berkaitan dengan isu-isu internasional strategis dan mengkaitkannya dengan
perkembangan paling anyar di berbagai belahan dunia. Menurut IISS, sepanjang tahun
2003-2004 telah terjadi intervensi AS atas Irak dalam masalah-masalah internasional.
Laporan itu menilai, keberhasilan demokratisasi di Irak akan menjadi sebuah model
bagi reformasi negara-negara Teluk dan Timur Tengah di mana Timteng sebagai
kunci bagi keamanan regional dan stabilitas internasional. Namun demikian, jika
gagal dan Irak kembali menjadi negara otoriter maka harapan itu akan sirna, akhirnya
AS akan dipandang sebagai penjajah bukan sebagai pembebas.
Sebelumnya IISS pada tahun 2003 telah memprediksi bahwa, ancaman
terorisme anti-Barat akan makin meningkat pasca aneksasi atas Irak. Bahkan menurut
IISS, sekarang ini AS tengah menebar benih-benih perpecahan antara dirinya dengan
Eropa. Selanjutnya AS mengklaim bahwa Negara kita sebagai pelanggar HAM.
Masih ingatkah pendapat Amerika terhadap kita,bangsa Indonesia tentang
pelanggaran HAM yang kita lakukan di Aceh,Timor Leste (dulu Timor Timur) dan
Papua.Kita dianggap bangsa yang tidak beradab tidak mengerti tentang apa itu hak
asasi manusia. Padahal waktu itu kita tidak pernah melakukan genosida,pembunuhan
dan pembantaian,mana mungkin? Mereka adalah saudara kita sendiri, mereka adalah
satu tanah tumpah darah dengan kita,senasib sepenanggungan dan bahkan pendahulu
kita berjanji untuk mengikrarkan Indonesia Raya dari Sabang sampai Merauke,itu
bukan keputusan sedikit orang dan tidak main –  main ,itu dari lubuk hati kita yang
terdalam.
Di berbagai media internasional kita dituduh menjajah Timor Leste,
memperlakukannya dengan semena mena, dan menelantarkanya,yang terjadi kita
justru membantu Timor Timur (sebutan dahulu) membangun sarana infrastruktur dan
pemerataan pembangunan,asal diketahui saja setelah merdeka mereka malah hidup
jauh lebih susah daripada hidup bersama kita dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.Asal kita tahu saja Timor Timur itu memang daerah miskin tidak
punya sumber daya alam yang dapat diandalkan.Amerika menuduh kita sebagai
bangsa yang tidak becus mengatur negara kita sendiri, tapi yang terjadi adalah
Amerika menyerang Iraq dan Afghanistan,mendukung agresor zionis membantai
Palestina dan lain sebagainya.Tidakkah Amerika sadar bahwa setelah genderang
perang ditabuh jutaan orang menderita akibat ulahnya, ratusan ribu orang tewas di
Iraq dan Aghanistan dan rakyat Palestina juga menderita akibat senjata buatan
Amerika yang diberikan kepada majikanya,Israel.
2.2 Kasus Pelanggaran HAM  Melalui Perekrutan Langsung TKI
Salah satu faktor penyebab kompleksitas permasalahan yang terus silih berganti
menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia adalah penipuan, tindak
kekerasan, over worked, pelecehan seksual/pemerkosaan dan sebagainya. Kebijakan
Pemerintah Malaysia yang mengizinkan calon majikan Malaysia merekrut langsung
TKI di Indonesia.
Sebagai gambaran, berikut dideskripsikan kasus yang menimpa Peter (asal
Jakarta) dan dua orang rekannya (asal Sunda) berdasarkan penuturan mereka di
Konsulat Jenderal R.I. (KJRI). Peter yang berumur 23 tahun. Pria lajang berkulit putih
dan berambut lurus, kelahiran Jakarta, dan beralamat di Pondok Pinang Kebayoran
Lama Lebak Bulus ini, adalah salah satu tamatan Sekolah Mengah Pariwisata (SMIP)
yang mencoba menambah pengalaman dan mengadu nasib ke negeri seberang
(Malaysia). Ia mempuyai pengalaman kerja di beberapa tempat di Jakarta sebagai
coffee maker, antara lain: di Hotel Horison, Dom Cafe, dan terakhir di sebuah restoran
di kawasan Senen. Ketika ia sedang bekerja di tempat kerjanya di kawasan Senen,
datang menghampiri seorang pria paroh baya pengunjung restoran yang
memperkenalkan diri berasal dari negeri jiran (Melaysia), dan menawari pekerjaan
serupa dengan gaji yang lebih besar di Malaysia .
Pria tersebut juga memintanya untuk mencarikan beberapa orang pekerja
lainnya. Setelah beberapa hari berpikir, juga minta pendapat orang tuanya, Peter yang
terakhir bekerja di sebuah restoran di kawasan Senen sebagai coffe maker dan telah
bergaji 1,5 juta rupiah tersebut, memutuskan menerima tawaran bekerja di Malaysia,
hitung-hitung untuk menambah pengalaman. Selanjutnya, ia menemui beberapa orang
kenalannya dan menginformasikan jenis pekerjaan dan gaji dengan bekerja di
Malaysia. Untuk posisi helper, gaji setara dua jutaan rupiah, sedangkan untuk posisi
cook (tukang masak), gajinya setara tiga jutaan rupiah.
Disamping itu, biaya pengurusan paspor dan transportasi, ditanggung
sepenuhnya oleh sang calon majikan. Tanpa pikir panjang, kedua temannya tersebut
salah satunya tamatan STM (23 tahun) jurusan mesin sebagai calon helper, dan
seorang lainnya lulusan SMP (30-an tahun) sebagai calon tukang masak, namun telah
banyak pengalaman sebagai tukang masak―, tertarik pada penjelasan Peter dan
menyambut baik ajakannya untuk bersama-sama bekerja di negeri jiran. Pendek kata,
Peter menemui sang calon majikan di sebuah hotel di kawasan Senen dan menyatakan
kesanggupan beserta dua orang rekannya, serta menyampaikan identitas mereka
bertiga guna pengurusan paspor.
Sekitar tiga-lima bulanan kemudian, setelah pengurusan paspor selesai, atas
kerjasama pria asal negeri jiran tersebut dengan “calo” di Jakarta (kawasan Senen),
berangkatlah mereka bertiga menuju Kuala Lumpur (KL). Sesampai di bandara KL,
sang calon majikan sudah menunggu mereka bertiga. Selanjutnya, mereka bertiga
bersama sang calon majikan menuju rumah kediamannya di kawasan KL. Pada hari
pertama mereka bekerja , kepada mereka bertiga sudah disodori kwitansi atas
sejumlah biaya proses pengurusan paspor dan biaya transportasi (Jakarta-KL).
Kesemuanya itu harus mereka kembalikan melalui pemotongan gaji. Dapat ditebak,
mereka bertiga sangat terkejut. Padahal, di Jakarta tidak ada informasi dan perjanjian
mengenai hal itu. Kegundahan, kejengkelan, kekesalan mereka bertiga bertambah
lagi, sejak hari pertama mereka bekerja, perlakuan tidak humanis juga sudah mereka
rasakan, yaitu: sejak buka restoran/kedai jam 09.00 hingga sekitar jam 24.00 waktu
setempat, mereka bertiga tidak diperbolehkan duduk. Tidak itu saja, dalam sehari,
mereka hanya di beri makan nasi satu kali saja, sekitar jam 15-16-an waktu setempat,
itupun tidak diperbolehkan mengambil lauk-pauk, dan hanya dengan kuah saja. Pagi
hari, mereka hanya mendapat jatah secangkir teh (manis), sedang malam hari tidak
ada jatah makan lagi.
Jika, secara sembuyi-sembuyi mereka makan sesuatu, untuk sekedar mengganjal
perut, dan majikan mengetahuinya, mereka di maki-maki, dan diancam dipotong gaji.
Demikianlah sehari-harinya mereka bekerja, yang pada akhirnya mereka bertiga
hanya bertahan sekitar 1,5 bulan bekerja di rumah makan milik majikan tersebut, dan
masing-masing mereka, dengan susah payah (hanya) diberi gaji RM. 200 (RM. 200 X
Rp. 2.600,- = Rp. 520.000,-) dari janji semula di Jakarta (Indonesia) dua-tiga jutaan
rupiah setara RM. 750-an lebih untuk posisi coffe maker dan helper, dan RM. 1.200-
an untuk posisi tukang masak. Akhirnya, mereka bertiga di pagi buta sebelum subuh
melarikan diri dengan merangkai sarung dan apa saja yang bisa dirangkai untuk
menuruni rumah sang majikan yang bertingkat itu secara bergantian. Kebetulan
tetangga dekat Peter bertiga ada seorang pembantu rumah tangga (PRT) asal
Indonesia yang menolong mereka. Atas bantuan dan petunjuk PRT itulah Peter dan
dua orang rekannya dengan sangat hati-hati (menghindari aparat berwajib setempat)
menuju Kantor Perwakilan R.I. (Kedutaan Besar R.I./KBRI) di Kuala Lumpur.
Sesampai di sana, mereka bertiga menceritakan kasus yang mereka alami
kepada aparat di KBRI. Tetapi, karena di KBRI KL tidak ada shelter untuk
menampung TKI laki-laki, mereka bertiga di sarankan ke KJRI di Johor Bahru.
Dengan asa yang masih tersisa, dan dengan sangat hati-hati juga, mereka bertiga
meninggalkan KBRI KL dan menuju KJRI Johor Bahru. Di KJRI Johor Bahru inilah
mereka bertiga untuk beberapa hari tinggal (tidur di ruang istirahat driver KJRI), yang
akhirnya dipulangkan ke tanah air melalui Batam/Tanjung Pinang.

2.3 Penanganan Kasus TKI Di Malaysia


Jakarta (ANTARA News) – Pemerintah Indonesia meminta Malaysia
mempercepat penanganan hukum terhadap kekerasan yang menimpa TKI di negara
tetangga itu , terutama setelah terulangnya penyiksaan terhadap TKI di negara itu
beberapa waktu lalu. Juru Bicara Kepresidenan Dino Pati Djalal di Kantor
Kepresidenan, Jakarta, menyatakan Duta Besar Indonesia di Malaysia Da`i Bachtiar
telah menyurati Kementerian Luar Negeri dan instansi lain di Malaysia tentang
penyiksaan yang dialami TKI di Malaysia, Munti Binti Bani, hingga perempuan asal
Jombang itu meninggal dunia pada 26 Oktober 2009. Dino mengaku telah menelepon
Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia untuk menyampaikan posisi pemerintah
Indonesia yang mengutuk dan menyesalkan pembunuhan Munti.
“Pemerintah Indonesia menegaskan kembali agar Kepala Polisi Malaysia untuk
menginvestigasi. Pemerintah Indonesia mendorong agar kasus ini segera dituntaskan
dan pelaku yang diduga majikannya diganjar hukuman yang setimpal,” ujar Dino.
Dino menuturkan Presiden Yudhoyono dan Perdana Menteri Malaysia yang dulu,
Abdullah Badawi, pernah mengadakan pertemuan bilateral untuk hanya membahas 18
kasus kekerasan yang menimpa TKI di Malaysia. Dino mengakui, penanganan hukum
kasus kekerasan TKI di Malaysia memang lambat dan bahkan macet karena masalah
proses pengadilan di Malaysia. “Itu yang menjadi komplain Presiden, banyak kasus
hukumannya ringan dan deadlock karena terlalu bertele. Jadi ada beberapa kasus,
masalahnya memang kelambatan di sistem peradilan Malaysia dan ini terus kita
dorong,” ujarnya.
Dino menyebutkan kasus yang mengalami kemacetan di antaranya adalah kasus
Ceriyati yang belum ada keputusan sejak 2006 serta sidang pemukulan terhadap wasit
karate Indonesia, Donald Kolopita, yang seharusnya dimulai pada Agustus 2009
namun ditunda hingga Januari 2010. Demikian pula dengan kasus Nirmala Bonat
yang majikannya sudah dihukum 20 tahun namun eksekusinya harus tertunda karena
pelakunya mengajukan banding. Untuk melindungi TKI di Malaysia sebagai tindakan
preventif, pmerintah akan terus bernegosiasi dengan Malaysia untuk merevisi
moratorium pengiriman TKI ke Malaysia yang saat ini masih dalam tahap finalisasi.
“November ini akan ada pertemuan lagi, dan ini akan menjadi agenda penting
hubungan antara Indonesia dan Malaysia,” ujarnya. Pemerintah juga akan terus
melindungi TKI di Malaysia melalui tindakan preventif melalui unit khusus antar
departemen di Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia. Meski demikian, Dino
mengatakan, Indonesia tetap menghargai sikap Malaysia yang menyatakan akan
mengusut tuntas semua kasus penyiksaan TKI di Malaysia dan berjanji akan
melindungi warga negara Indonesia sebagaimana warga mereka sendiri.
Berdasarkan hasil diskusi mengenai permasalahan TKI dengan institute terkait
di Malaysia , Sesuai rencana pada trip 1, penelitian ini fokus pada kelembagaan, yang
meliputi: Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jenderal
Republik Indonesia (KJRI), Non Goverment Organization (NGO)/Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dan Perguruan Tinggi. Dari NGO/LSM di Kuala Lumpur, ditemui
satu NGO/LSM, yakni Migrant Care, Mr. Alex Ong, secara individual berupaya
menangani masalah pekerja migran terutama TKI bermasalah. Unsur perguruan tinggi
di Kuala Lumpur yang dapat ditemui adalah Prof. Azizah Kasim dari Institut Kajian
Malaysia dan Antar Bangsa (IKMA), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).
Dalam kunjungan ke UKM tersebut tim peneliti juga sempat wawancara dengan
Darul Amin, seorang pengamat pekerja migran di Malaysia. Di KBRI Kuala Lumpur,
saat ini telah dibentuk Tim Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan dan Pelayanan Warga
Negara Indonesia (PPWNI) berdasarkan SK Kepala Perwakilan RI untuk Malaysia
No. 02/SK-DB/I/2006 tanggal 9 Januari 2006. Anggotanya meliputi elemen struktur
KBRI yakni:
a)      Fungsi Protokol dan Konsuler
b)      Fungsi Sosial Budaya dan Penerangan
c)      Fungsi Penerangan
d)     Atase Imigrasi
e)      Atase Ketenagakerjaan
f)       Atase Pendidikan
g)      Atase Perhubungan
h)      Atase Riset (BIN)
i)       SLO POLRI

Tujuan Satgas adalah:


1. Meningkatkan upaya perlindungan secara maksimal bagi seluruh
WNI/TKI yang berada di wilayah akreditasi KBRI Kuala Lumpur
2. Meningkatkan upaya dan bentuk pelayanan WNI/TKI dan Badan Hukum
Indonesia (BHI) yang bermasalah.
3. Upaya-upaya yang dilakukan Satgas PPWNI meliputi, Penampungan
sementara di KBRI Kuala Lumpur, khususnya perempuan, Penanganan kasus
yang menimpa WNI/TKI, Kegiatan outreach di kantong-kantong TKI di
berbagai daerah di Indonesia, Kegiatan penyuluhan dan pelayanan publik di
daerah konsentrasi TKI, Pendataan dan pendampingan bagi WNI yang
menghadapi masalah hukum, Peluncuran awarness campaign melalui berbagai
media masa, Peningkatan jejaring kerja dan pertemuan reguler dengan instansi
terkait di dalam negeri dan Malaysia, Pelayanan pengaduan melalui SMS 33044,
Dalam mewujudkan upaya dimaksud, pihak KBRI melibatkan organisasi
Dharma Wanita, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia yang ada di Malaysia.
Selain itu juga melibatkan NGO/LSM (Migrant Care dan IOM ). Saat dilakukan
studi ini (5 Juni 2007), shelter KBRI menampung 71 orang TKI (Wanita)
bermasalah yang berasal dari berbagai wilayah Indonesia, dan tidak ada sarana
penampungan bagi TKI Pria bermasalah. Meskipun demikian, dalam upaya
melindungi mereka dari tindakan aparat pemerintah Malaysia, pihak KBRI
memberikan surat keterangan, bahwa TKI yang bersangkutan dalam
pengawasan KBRI Kuala Lumpur. Hasil observasi secara umum tim peneliti
terhadap TKI di Shelter menunjukkan, kondisi mereka: lesu, stress, takut,
curiga, dan lain-lain. Hal tersebut dikuatkan pihak KBRI, memang terdapat TKI
di shelter mengalami kondisi tersebut, bahkan terdapat beberapa orang TKI
bermasalah yang diindikasikan mengalami gangguan jiwa dan penyimpangan
perilaku. Dalam kasus-kasus seperti tersebut itu, pihak KBRI sering mengalami
kesulitan karena tenaga yang ada tidak mempunyai bekal pengetahuan dan
keterampilan dalam menangani masalah sosial psikologis. Untuk mengatasi
kendala tersebut, pihak KBRI merekrut relawan (dari perguruan tinggi
setempat). Kasus-kasus menonjol yang menimpa TKI adalah: gaji tidak dibayar,
tindak kekerasan/penganiyaan, pelecehan seksual/perkosaan, dan bahkan
dijadikan pekerja seks komersial (PSK). Pada umumnya, para TKI bermasalah
di shelter tersebut berharap agar kasus mereka segera selesai dan segera pulang
ke tanah air. Ada kecemasan pada diri TKI bermasalah, terkait:apakah masalah
mereka bisa segera selesai dan atau dapat dimenangkan oleh TKI dan tidak
adanya kepastian waktu penyelesaian masalah. Pengalaman menunjukkan,
bahwa waktu penyelesaian kasus sangat tergantung pada cepat atau tidaknya
hasil musyawarah kesepakatan antara majikan dan agency dengan TKI yang
bersangkutan. Pada kasus-kasus yang diselesaikan melalui proses pengadilan
ada kecenderungan memerlukan waktu yang cukup lama dan tidak adanya
kepastian. Khusus permasalahan TKI  korban traficking dilaksanakan melalui
kerjasama dengan IOM dengan kegiatan konseling dan bantuan pemulangan ke
tanah air. Penanganan oleh IOM ini dalam tahun 2007 akan segera berakhir.
Untuk itu, dimungkinkan Departemen Sosial R.I. (Depsos) mengambil peran
khususnya dalam hal pemulangan TKI dari Malaysia ke tanah air.
Dalam permasalahan TKI ini terdapat perbedaan cara pandang pemerintah
Indonesia dan Malaysia, dimana Malaysia memandang permasalahan TKI dari
sudut keimigrasian semata, sementara Indonesia disamping keimigrasian juga
melihat pendekatan ketenagakerjaan (perburuhan). Pada akhirnya pihak KBRI
berharap ada program dan kegiatan Depsos yang dapat diakses WNI/TKI dalam
upaya perlindungan dan pelayanan WNI/TKI bermasalah, sejak berada di
Malaysia sampai pemulangan ke tanah air dan penanganan di daerah asal TKI.
Misalnya, beaya pemulangan TKI bermasalah dari Malaysia ke tanah air,
penyuluhan sosial, dan pemberdayaan TKI di daerah asal. NGO/LSM :
a)      Menurut Alex Ong (Migrant Care), setiap hari rata-rata terjadi kasus TKI lari
dari majikan sebanyak 82 orang. Yang berarti setiap hari ada 82 orang TKI yang
kehilangan dokumen resmi dan menjadi TKI ilegal.
b)      Alex Ong membantu permasalahan TKI terutama yang berada di luar shelter
dan belum ditangani oleh KBRI. Upaya yang dilakukan antara lain dengan
membantu TKI dalam pelayanan konseling, advokasi, dengan kerjasama dengan
KBRI.
c)      Alex Ong juga membangun image kepada Parlemen Malaysia tentang dampak
yang muncul bila permasalahan migran tidak tertangani.
d)     Alex Ong bergerak atas dukungan Partai PAS (Partai Islam se Malaysia),
sedangkan dana untuk kegiatan operasional berasal dari perorangan baik dari
pengurus maupun pihak lain yang tidak mengikat.
e)      Alex Ong mengharapkan agar mekanisme infrastruktur kedua negara bisa
diperbaiki, tidak hanya dipahami oleh penentu kebijakan, tetapi harus sampai
pada level TKI, dan membangun capacity building. Menurut pimpinan IKMA–
UKM, Prof. Azizah Kasim, banyak hasil penelitian/kajian tentang pekerja
migran oleh perguruan tinggi di Malaysia, dan telah disampaikan ke pihak
kerajaan. Hal ini diharapkan agar dapat mempengaruhi dalam pengambilan
kebijakan. Namun demikian pengaruh dari hasil penelitian/kajian terhadap
kebijakan pemerintah bukan lagi menjadi tanggung jawab perguruan tinggi. Ada
beberapa kasus migran ilegal yang teridentifikasi oleh perguruan tinggi, antara
lain, masuk sebagai pelancong, sebagai mahasiswa, masuk tanpa dokumen,
menggunakan dokumen palsu, dan menggunakan dokumen orang yang sudah
meninggal. Penanganan TKI mulai dari daerah asal harus terintegrasi antar
lembaga pemerintah dan penyalur TKI (Pengerah Jasa Tenaga Kerja
Indonesia/PJTKI). Sementara ini, dinilai kurang adanya kontrol dari pemerintah
Indonesia untuk melihat perkembangan TKI. Terkait dengan hal itu disarankan
perlu adanya suatu lembaga yang bertugas mengontrol keberadaan TKI di
Malaysia.Seorang pengamat TKI menyebutkan, dalam penanganan masalah
TKI, yang utama adalah bagaimana kita berupaya memberdayakan
(empowerment) TKI. Dengan demikian diharapkan eks TKI tidak lagi menjadi
TKI, namun mampu mengembangkan usaha di daerahnya dengan modal yang
diperoleh dari hasil kerja di luar negeri. Bila perlu eks TKI dengan bekal
pengalaman, pengetahuan dan keterampilan dari perusahaan tempat kerja,
dikemudian hari bisa menjadi vendor dari perusahaan yang bersangkutan.
Probability, dimungkinkan adanya pusat informasi migran (Migrant Centre
Information), baik di Indonesia maupun di Malaysia, sehingga penanganan
migran lebih obyektif dan fokus. Rekruitmen pekerja migran dimungkinkan
ditangani melalui Goverment to Govermnet (G to G) antara Indonesia dan
malaysia, tidak melibatkan agen seperti saat ini, dan atau “family net working”,
seperti yang selama ini terjadi di lingkungan migran asal Bawean (Komunitas
Madura -orang Malaysia umumnya menyebut “Boyan”-).
2.4 Implikasi Pelanggaran HAM Amerika Serikat Di Irak
Sangat tepat, pernyataan Departemen Luar Negeri RI melalui juru bicaranya,
Marty Natalegawa, 21 Mei lalu, bahwa Amerika Serikat secara moral tak lagi
memiliki hak untuk menilai pelaksanaan hak-hak asasi manusia di negara
lain.Pernyataan Departemen Luar Negeri itu mengacu pada mencuatnya skandal
penyiksaan dan pelecehan seksual yang dilakukan tentara AS di penjara Abu Ghraib,
Irak. Presiden AS George Walker Bush dengan susah payah membela diri dengan
mengatakan, apa yang dilakukan tentaranya di Irak tidak mewakili perilaku bangsa
AS secara keseluruhan.Bagaimana AS dapat mengklaim diri sedang memerangi
terorisme jika tentaranya di Irak dan Afghanistan membunuh warga sipil  dan
merusak tempat-tempat suci keagamaan? AS mendukung penguasa Israel yang tak
henti membantai warga Palestina. Terbunuhnya 40 warga sipil Irak (yang sedang
merayakan pesta pernikahan) oleh pasukan pendudukan AS dan terbunuhnya 45
warga sipil Palestina oleh tentara pendudukan Israel baru-baru ini hanya merupakan
bagian bentuk terorisme negara yang secara sistematis dilakukan AS dan
Israel. Begitu pula jika AS benar-benar hendak memerangi terorisme, seharusnya
mereka tidak mempraktikkan politik teror dan teror politik atas warga sipil Irak serta
tak lagi mendukung penuh terorisme negara Israel di bawah PM Ariel Sharon.
Apa yang dilakukan penguasa Israel terhadap warga Palestina serta yang
dilakukan tentara pendudukan AS terhadap warga sipil Irak pada hakikatnya tak lebih
dari menanamkan benih-benih terorisme, bahkan mengembang-biakkan terorisme.
Setelah Spanyol (salah satu sekutu AS di Eropa) menarik dukungannya atas
pendudukan AS di Irak, Pemerintah Inggris di bawah PM Tony Blair-yang selama ini
dikenal pendukung setia Bush-menghadapi tekanan dari dalam negeri agar menjaga
jarak dengan AS.Tak hanya dari sejumlah pemimpin negara lain yang sebelumnya
mendukung politik AS di Irak, tetapi juga dari kalangan tokoh-tokoh Irak sendiri yang
sebelumnya mendukung penggulingan rezim Saddam Hussein. Begitu pula
popularitas Bush di dalam negeri AS sendiri yang cenderung merosot. Jajak pendapat
terakhir menunjukkan hanya 42 persen warga AS yang masih mendukung politik
Bush di Irak. Terjalinnya persekutuan antara kaum Syiah dan Sunni Irak serta
pembangkangan yang dilakukan tokoh penting Irak pro-AS, Ahmad Chalabi, atas
pasukan pendudukan AS menunjukkan betapa makin meningkatnya ketidakpuasan
rakyat Irak terhadap kebijakan Bush di Irak.
Apalagi keganasan tentara AS kian membabi buta, mengabaikan tempat-
tempat suci agama Islam Syiah di Irak, seperti serangan yang dilakukan terhadap
sejumlah masjid di kota-kota suci Najaf dan Karbala serta
makam Imam Ali. Invasi AS ke Irak yang semula bertujuan “mulia” (menghancurkan
senjata pemusnah massal, membebaskan rakyat Irak dari rezim tiran, membasmi
terorisme, dan membangun sistem demokrasi di Irak) dalam realitasnya
justru terbalik.
Setelah invasi dan pendudukan AS berkepanjangan, bangsa dan rakyat Irak
kini dihadapkan kehancuran infrastruktur sosial-ekonomi yang luar biasa. Idealnya,
penyelesaian tuntas atas tragedi Irak harus dilakukan melalui sebuah konferensi
internasional yang disponsori PBB dengan melibatkan seluruh elemen di dalam negeri
Irak, negara-negara tetangga Irak, anggota tetap dan tidak tetap Dewan Keamanan
PBB, serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan stabilitas dan pembangunan
politik, sosial, dan ekonomi di Irak, seperti Liga Arab, G-7, OKI, dan Gerakan
Nonblok. Bush tak punya banyak pilihan, kecuali jika sekadar meraih kemenangan
dalam pemilu AS, 4 November mendatang.

2.5 Peran Perwakilan Ri Dalam Penanganan TKI Bermasalah


Sebagai salah satu tugas dan fungsi Perwakilan RI di luar negeri adalah
memberikan bantuan dan pelayanan kepada WNI, termasuk tenaga kerja, yang sedang
tertimpa musibah. Dalam kaitan ini, di beberapa Perwakilan yang mempunyai TKI
cukup besar telah dibentuk Satuan Tugas Pelayanan dan Perlindungan WNI (Satgas
PPWNI) yang salah satunya berada di Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam penanganan
kasus selama bulan September-Oktober 2007 terhadap TKI yang bermasalah di
Malaysia, Satgas PPWNI telah berhasil menyelesaikan 55 kasus yang terdiri dari 44
kasus gaji tidak dibayar, 1 kasus penganiayaan, 1 kasus pelecehan seksual dan 9 kasus
lainnya. Dalam proses penyelesaian, Satgas PPWNI melaukan beberapa langkah yaitu
berupa pemanggilan majikan dan agen dari TKI yang bermasalah ataupun melakukan
penyerbuan ke rumah atau kantor agen. Dengan langkah tersebut, maka gaji dan
kompensasi yang berhasil didapatkan adalah RM 140.909,1 atau setar Rp.
398.884.809,00. Dalam prosedur penyelesaian TKI bermasalah selanjutnya, maka
Satgas PPWNI juga melakukan upaya pemulangan ke tempat asal masing-masing
TKI. Dalam periode tersebut jumlah TKI yang dipulangkan kembali sebanyak 109
orang dan 2 bayi.
Dalam proses pemulangan ini, Satgas PPWNI juga menjalin kerjasama dengan
LSM International Organization on Migration (IOM) disamping juga meminta
tanggung jawab dari agen TKA yang ada di Malaysia maupun tidak sedikit juga yang
menggunakan dana KBRI. Mencermati makin banyaknya kasus TKI yang mempunyai
kasus di Malaysia khususnya dan beberapa negara lain yang banyak menerima TKI,
maka Satgas PPWNI berupaya untuk melakukan upaya pencegahan dan pendidikan
publik kepada TKI agar kiranya dapat terhindar dari kemungkinan masalah yang
dapat menimpa mereka. Sejauh ini, Satgas PPWNI KBRI Kuala Lumpur telah secara
aktif melakukan kampanye kesadaran kepada TKI tentang hak dan kewajiban sebagai
tenaga kerja asing di Malaysia. Bekerjasama dengani berbagai instansi di Indonesia
juga selalu ditekankan agar kiranya kepada calon TKI yang akan berangkat ke luar
negeri agar memperhatikan kontrak kerja yang akan ditandatangani serta selalu
membina hubungan dengan Perwakilan RI terdekat sehingga jika mengalami masalah
akan dengan cepat dapat ditangani secara baik.

2.6 Penanganan Kasus Pembunuhan TKW di Kuwait


Kalangan pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS) mempertanyakan
tewasnya seorang TKI asal Cirebon yang diduga kuat dibunuh oleh majikannya di
Kuwait. “Jenazah telah dimakamkan di sana tanpa sepengetahuan KBRI di Kuwait,”
kata Ketua Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki) Yunus M Yamani dalam
siaran persnya di Jakarta. Yunus mendapat sejumlah pertanyaan dari kalangan PJTKI
tentang kasus ini. Berdasarkan informasi yang diterimanya, pada 25 April 2009, PT
Bidar Timur (BT) mendapat informasi dari mitra kerjanya, Fadel Muhammad Abbas
Al-Sharaf Manpower bahwa TKI bernama Royati binti Dakina Karsida, asal Cirebon,
Jabar, telah meninggal dunia. PT BT mempertanyakan kebenaran berita tersebut ke
KBRI di Kuwait melalui Atase Ketenagakerjaan, Wisantoro.
Pada 4 Mei 2009, PT BT mendapat informasi melalui faksimili dari KBRI
Kuwait yang ditujukan kepada Menteri Luar negeri u.p. Dir. Perlindungan WNI dan
BHI dengan No.13B/03/KUWAIT/V/2009 yang isinya menyatakan bahwa betul TKI
atas nama Royati telah dibunuh oleh majikannya sendiri. KBRI menyatakan pihaknya
tidak diberitau secara resmi oleh pemerintah Kuwait tentang pembunuhan tersebut
dan proses pemakamannya. Keluarga TKI yang mengetahui peristiwa itu merasa
sedih dan meminta agar jenazah Royati dipulangkan ke Indonesia. KBRI, kata Yunus,
menolak penggalian kembali mayat tersebut karena hal itu tabu di Kuwait.
KBRI, kata Yunus, dalam suratnya menawarkan uang diyat sebesar 11.500
Kuwait Dinar (KD) dan membebankan biaya pemberitahuan, mencari informasi,
kematian serta pengeluaran biaya penguburan kepada PT BT dengan dalih tanggung
jawab PPTKIS sesuai Pasal 73 ayat 2 UU No. 39 tahun 2004. Sementara, KBRI hanya
bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan perlindungan TKI sesuai
Pasal 39 ayat 2 UU No.39/2004. “Kami menyesalkan tewasnya Royati dan menuntut
keadilan atas kematian tersebut. Kami ingin pelaku pembunuhan dihukum seberat-
beratnya agar memberi efek jera kepada majikan lainnya,” kata Yunus.
Dia juga menyayangkan lambannya kinerja KBRI Kuwait dan tidak adanya respon
balik dari Deplu, Depnakertrans dan BNP2TKI atas kasus itu. Yunus juga
menjelaskan bahwa pasal 73 ayat 2 UU No.39/2004 yang dikutip dalam surat dari
KBRI Kuwait, seharusnya beban tersebut menjadi tanggung jawab majikan yang
membunuh atau konsorsium asuransi perlindungan TKI.
Dia juga mengoreksi, bahwa Pasal 39 UU No.39/2004 hanya memiliki satu
ayat yang berbunyi segala biaya yang diperlukan dalam kegiatan perekrutan CTKI
dibebankan dan menjadi tanggung jawab PPTKIS. “Tidak ada kata-kata bahwa tugas
KBRI hanya melakukan pengawasan terhadap PPTKIS yang termaktub dalam ayat
2,” kata Yunus. Menurut dia, jika kata-kata itu tercantum maka akan bertentangan
dengan UU Perlindungan WNI dan BHI karena Deplu dan KBRI wajib melindungi
WNI selama berada di luar negeri.
Yunus berharap agar kasus tewasnya Royati diusut tuntas dan dia mengimbau
penempatan TKI ke Kuwait dihentikan selama proses pengusutan berlangsung agar
menjadi perhatian bagi pemerintah Kerajaan Kuwait.

2.7  Penanganan Kasus Pelanggaran HAM di Nigeria


Pengadilan New York akan dihadapkan pada kasus terbesar dalam soal
pertangunggjawaban perusahaan. Sejak Rabu mendatang, pengadilan akan memulai
proses perusahaan Royal Dutch Shell–perusahaan yang mendominasi sektor
perminyakan Nigeria dalam beberapa dasawarsa terakhir–yang didakwa meminta
bantuan junta militer Nigeria untuk membungkam aktivis hak-hak asasi manusia Saro
Wiwa. Shell yang menyangkal keras tuduhan tersebut, juga didakwa membiayai
tentara yang melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia secara besar-besaran di
wilayah kaya minyak Delta Niger. Perusahaan minyak Royal Dutch Shell memulai
produksi minyaknya di Delta Niger pada 1958. Pencemaran minyak dan gas,
penebangan hutan, merusak sumber alam di Delta dan menghancurkan pertanian dan
penangkapan ikan yang merupakan dasar penghasilan rakyat asli Ogoni.
Namun protes terhadap penekanan dan ekspolitasi baru dimulai pada awal 90
– an. Antara tahun 1990 dan 1995, tentara Nigeria melakukan tindakan brutal dan
besar-besaran untuk membungkam gerakan protes yang semakin meningkat. Banyak
di antara desa-desa di Ogoni dibakar dan pemimpinnya dijebloskan ke penjara. Shell
dinyatakan mendukung tindakan tersebut. Pelanggaran kemanusiaan terhadap rakyat
Ogoni mencapai puncaknya pada 10 November 1995. Sembilan orang dieksekusi oleh
diktatur Nigeria saat itu Sani Abacha, setelah didakwa melakukan pembunuhan dan
diadili oleh tribunal militer yang sengaja didirikan untuk tujuan itu. Di antara
pemimpin Ogoni saat itu yang paling terkenal adalah Ken Saro Wiwa (1941-1995). Ia
dikenal sebagai penentang yang sering melontarkan kritik terhadap pengoperasian
Shell di Nigeria. Gerakan untuk Perjuangan Rakyat Ogoni MOSOP, yang
dipimpinnya mewakili rakyat Delta yang paling terkena dampak dari kegiatan Shell.
Saro Wiwa menuduh Shell mendukung penekanan pemerntah Nigeria terhadap rakyat
Ogoni serta penyiksaan terhadap pemimpinnya.
Mereka juga mengatakan bahwa Shell khawatir bahwa protes akan
menganggu kegiatan mereka dan menodai citra mereka di luar negeri. Mereka
menuduh Shell menyingkirkan kekhawatiran itu dengan melakukan kampanye
sistematis pelanggaran hak-hak asasi manusia. Shell menyangkal tuduhan
pembungkaman Saro Wisa, bahkan sebaliknya mengatakan: berupaya membujuk
pemerintah untuk memberikan grasi. Pengacara hak-hak asasi manusia Amerika
mencoba menyeret Shell ke pengadilan untuk dimintai pertanggungjawabannya atas
pelanggaran hak-hak asasi manusia di Nigeria, termasuk di antaranya sejumlah
eksekusi, kejahatan terhadap kemanusiaan dan penyiksaan. Namun upaya itu
membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum akhirnya kasus ini dapat diseret ke
pengadilan. Pengadilan yang akan berlangsung pekan ini digelar berdasarkan UU
1789 yang dapat menyeret seorang warga Negara non Amerka untuk dituntut di
pengadilan Amerika dengan dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan, tanpa peduli
di mana kejahatan itu terjadi. Dakwaan yang dilakukan terhadap perusahaan minyak
terbesar di dunia atas kejahatan yang dilakukan di negara berkembang bukanlah yang
pertama kali. Chevron terancam harus membayar 27 milyar dollar atas dakwaan
melakukan pencemaran hutan dan Exxon Mobil dituntut oleh penduduk desa di Aceh
utara yang menuduh perusahaan tersebut menyewa tentara menjaga sumber gas dan
melakukan pelanggaran terhadap kemanusiaan.
Dalam kasus lainnya, empat warga Nigeria, nelayan dan petani di Delta Niger,
mewakili desanya di pengadilan Belanda. Mereka menuduh Shell merusak sumber
penghasilan mereka dan menyatakan Shell tidak mematuhi standard internasional
mengenai pengelolaan minyak yang benar. Liesbeth Zegveld, pembela keempat warga
Nigeria itu, meminta markas besar Shell bulan Mei lalu memberikan penjelasan peran
perusahaan itu dalam pencemaran minyak minyak di Nigeria. Sementara itu
perusahaan itu mengatakan Nigeria lah yang bertanggungjawab atas kejadian tersebut.

2.8 Kasus Pelanggaran HAM yang terjadi di Tibet


Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Jakarta mengutuk kekerasan yang
terjadi di Lhasa Tibet. Baginya China tidak layak menggelar Olimpiade jika kondisi
HAM-nya masih buruk. Insiden kekerasan yang terjadi di Lhasa, Tibet pada pekan
lalu yang menewaskan ratusan jiwa manusia tak berdosa adalah sebuah pelanggaran
hak asasi manusia (HAM) yang berat. Karena itu, penguasa China harus segera
membebaskan rakyat Tibet dari segala bentuk penindasan sebelum pelaksanaan
Olimpiade Beijing 2008. Komunitas internasional dan para pemimpin dunia juga
didesak untuk segera menekan rejim komunis China supaya memperbaiki catatan
HAM-nya yang buruk di Tibet maupun di Daratan China. Demikian pernyataan sikap
yang dikeluarkan oleh Masyarakat Indonesia Untuk Pembebasan Tibet yang
menggelar aksi solidaritas di Depan Kedubes China Jakarta pada Rabu (19/3).
Aksi damai ini diikuti oleh sekitar 50 orang yang terdiri dari sejumlah lembaga
antara lain dari Yayasan Atap Dunia, Solidamor, The Coalition to Investigate the
Persecution of Falun Gong (CIPFG) perwakilan Indonesia LBH Jakarta, Hikmah
Budhi, Pemuda PGI dll. Dalam aksi ini, perwakilan sejumlah lembaga memberikan
kecamannya atas kekerasan yang masih terjadi di Tibet. Mereka menganggap
pemerintah China tidak layak menyelenggarakan Olimpiade karena tindakannya yang
semakin represif menjelang Olimpiade. “Kalau kondisi HAM di China semakin
buruk, kita harus menolak pesta olah raga dunia itu dilangsungkan di China,” tandas
Muhammad Gatot, Perwakilan CIPFG Indonesia.
Menurut Masyarakat Indonesia Untuk Kebebasan Tibet, sikap tersebut perlu
dilakukan mengingat sejak 1959, rakyat Tibet berada di bawah pendudukan rejim
Beijing. Sebelumnya ribuan rakyat dan biksu tewas dalam peristiwa pengambilalihan
wilayah ini. Tempat-tempat ibadah banyak yang dirusak. Sebagian besar tokoh
Tibetan masih meringkuk di tahanan. Rakyat Tibet diperlakukan sebagai warga
negara kelas dua. Budaya setempat dihancurkan pemimpin spiritual Dalai Lama
menyebutnya sebagai ‘genosida budaya’.
Pahitnya keadaan ini tak menyurutkan perjuangan Dalai Lama dan para
pengikutnya di Dharamsala, India untuk menuntut otonomi lebih luas, serta
membebaskan rakyat Tibet dari cengkraman militer China. Disebutkan, tindakan
represif justru semakin intensif dilakukan oleh penguasa China menjelang
dilangsungkannya Olimpiade Beijing 2008. Tekanan terhadap kegiatan keagamaan di
kuil Tibet semakin meningkat sejak akhir 20007 lalu. Selain Tibet, sasaran tembaknya
adalah kelompok-kelompok yang dianggapnya potensial menggagalkan pesta olah
raga dunia itu. Mereka adalah aktivis HAM dan lingkungan, pengacara pembela
rakyat yang tergusur, pengikut Falun Gong, penganut Kristen-Katolik, muslim
Uighur. Apa yang terjadi di Tibet, semakin memperburuk catatan hak asasi manusia
di China yang sebentar lagi akan menggelar Olimpiade. “Di luar itu, penguasa China
juga terbukti melakukan pelanggaran HAM berat terhadap rakyatnya yang menuntut
kebebasan berkeyakinan (pluralisme) dan demokrasi,” demikian bunyi siaran pers
mereka. Sebagai contoh, kasus pengambilan organ tubuh praktisi Falun Gong dalam
keadaan hidup di kamp-kamp konsentrasi China yang sempat menjadi perhatian
dunia, dimana sampai sekarang masih terjadi.
Merujuk pada laporan Amnesty International pada tahun 2007 ditunjukan
adanya peningkatan pelanggaran HAM di negeri Tirai Bambu ini. “Itu berarti
penguasa China telah mengingkari janjinya pada tahun 2001 untuk memperbaiki
kondisi HAM-nya jika terpilih menjadi tuan rumah Olimpiade. Piagam Olimpiade
yang memberi penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian telah
dilanggarnya. Berdasarkan kenyataan tersebut, mereka mengutuk tindakan represif
yang dilakukan oleh aparat keamanan China terhadap rakyat Tibet yang mengadakan
aksi damai, yang telah menelan korban ratusan orang. Mereka juga mendesak kepada
Komisi HAM PBB dan organisasi hak asasi internasional lainnya agar melakukan
penyelidikan independen atas kerusuhan yang terjadi di Lhasa.
Selain itu, mendesak kepada penguasa China untuk segera mengakhiri
kekerasan di Tibet, serta bentuk pelanggaran HAM lain yang terjadi di China selama
ini. Tak ketinggalan, mereka juga menyerukan kepada para pemimpin dunia termasuk
pemerintah Indonesia, dan Panitia Olimpiade internasional untuk menggunakan
pengaruhnya– menekan penguasa China supaya segera memperbaiki keadaan HAM-
nya yang buruk. Mereka mengajak masyarakat Indonesia dan komunitas internasional
untuk memberikan solidaritasnya terhadap para korban pelanggaran HAM yang
terjadi di Tibet dan China. Berlanjut dan meluasnya protes antiCina mengenai
masalah Tibet, memberi satu indikasi penting bahwa dunia internasional harus
menaruh perhatian serius. Sebab, hingga pekan di awal bulan ini, demonstrasi anti
Cina sudah meluas ke beberapa negara dan juga belum berhenti. Malah menjadi
sebuah momentum yang makin besar terutama setelah isyu Tibet ini dikaitkan dengan
boikot Olimpiade Cina 2008.
Surat kabar memberitakan, sejumlah aktivis Tibet antarnegara merancang
sebuah obor perdamaian, sebagai tandingan dan mengaraknya ke sejumlah negara
yang juga menjadi rute obor olimpiade. Tentu saja usaha tersebut adalah bagian dari
kampanye internasional masyarakat Tibet yang mencoba mencari simpati dunia.
Terdapat beberapa alasan penting untuk itu. Tetapi yang paling signifikan adalah
sikap ambivalensi Barat yang ’’masa bodo’’ terhadap pelanggaran HAM di Tibet.
Pada saat ini, kemerdekaan sudah menjadi bagian dari hak azasi manusia. Penindasan,
dalam bentuk apa pun, merupakan pelanggaran atas nilai-nilai universal HAM.
Kesadaran politik masyarakat dunia juga sudah semakin mengglobal. Isu dan
usaha penegakan HAM sudah tidak lagi bersifat personal atau eksklusif tetapi menjadi
perjuangan bersama. Pada waktu Cina menduduki Tibet di tahun 50-an, hingga
sekarang, pelenggaran-pelenggaran berat HAM oleh aparat militer Cina dalam
memberangus gerakan perlawanan Tibet, sudah bukan rahasia umum lagi. Ribuan
bahkan jutaan nyawa sudah melayang dalam berbagai serbuan dan tindakan militer
terhadap para pembangkang. Bahkan dalam kejadian yang berlangsung bulan lalu,
sejumlah pemrotes Tibet, kembali mati sia-sia di tangan militer Cina yang
menghadapi mereka dengan kekerasan.Yang menjadi pertanyaan kita adalah, ketika
masalah pelanggaran HAM seperti ini terjadi di negara dunia ketiga yang amat
bergantung pada Barat dan Eropa, maka dalam hitungan dua puluh empat jam,
kejadian tersebut sudah menjadi milik dunia dan menimbulkan reaksi politik cukup
besar.
Masih ingat insiden penembakan di Liquisa Timor Timur yang menimbulkan
korban jiwa? Indonesia berada di dalam tekanan politik yang sangat besar. Sekarang,
mari kita bandingkan. Dari segi isu, strategi dan korban, apa yang berlangsung
puluhan tahun di Cina, justru tidak tersentuh sama sekali oleh Barat. Terlihat sangat
tidak adil menyaksikan tanggapan Barat dan Eropa yang seolah menutup mata atas
sejumlah pelanggaran HAM berat di negara bambu kuning tersebut. Mengapa? Cina
adalah sebuah negara yang sedang tumbuh menjadi sebuah raksasa ekonomi di dalam
banyak hal. Coba kita pergi jalan-jalan ke pasar. Mulai dari pasar kaki lima hingga ke
super market atau hyper market. Kita akan dengan mudah menjumpai produk- produk
yang made in China. Barang-barang milik negara ini ada di mana-mana dan murah.
Mulai dari hal-hal sederhana hingga teknologi tinggi, China sudah tampil sebagai
sebuah kekuatan yang tak tertandingi, yang jika diusik secara politik, pasti akan
membawa perubahan tatanan global.
Beberapa waktu lalu, Amerika Serikat sempat gusar karena terjadi
ketidakseimbangan neraca dagang dengan China. Barang-barang China lebih banyak
masuk ke negara itu sehingga ’’mematikan’’ pengusaha dalam negeri. Itu sebabnya
beberapa waktu lalu muncul sebuah black campaign terhadap produk China yang
dihembuskan oleh Barat, bahwa produk- produk tersebut menggunakan zat-zat
beracun yang sangat berbahaya. Tetapi toh semua itu tidak menghambat ekspansi
pemasaran berbagai produk China ke dunia internasional. Seolah-olah, negara ini
sedang mempraktikkan salah satu filosofi China yang sangat terkenal yakni, jika
hendak menguasai sebuah negara, maka kuasailah ekonominya.
China memang sedang tumbuh besar menjadi negara adidaya baru yang dapat
menyalip hegemoni Barat. Kekuatan ekonomi China semakin lama semakin kokoh.
Anggaran belanja negaranya sangat besar dan terjamin. Kemampuan militer dan
persenjataannya juga semakin dahsyat tetapi tersembunyi. China adalah sebuah
raksasa yang sedang menggeliat. Dalam kancah politik internasional pun, kita
menyaksikan bagaimana China mampu mengimbangi politik global yang dikotomi
antara demokratis vs komunis menjadi Amerika Eropa vs Asia (baca: China).
Delegasi- delegasi China di PBB menjadi pemain baru yang patut diperhitungkan
negara-negara Barat.
Dengan demikian, China menjadi sebuah negara yang susah diatur atau
didikte. Hal inilah yang kemudian menjadikan negara-negara pejuang HAM kelas
berat seperti Amerika Serikat dan Eropa, tidak mampu menekan China dengan
kebijakan politik atau ekonomi dan menghasilkan sikap ambivalensi. Justru
sebaliknya, China dapat setiap saat mengguncang ekonomi Barat. Salah satu contoh
terkini adalah seruan Presiden Perancis Sarkozy untuk memboikot Olimpiade China,
tidak mendapat tanggapan serius dari kolega-koleganya di Barat. Satu-satunya solusi
untuk menyelesaikan masalah Tibet adalah menjadikannya sebagai isu internasional
dan membawa masalah ini sebagai masalah antar-bangsa. Bukan lagi sekadar masalah
dalam negeri China seperti yang selama ini didengungdengungkan oleh pemerintah
China di kancah internasional. Perhatian dunia yang lebih serius harus tertuju ke sana.
Jika tidak, maka pelanggaran HAM yang lebih berat akan terus terjadi.
Aneksasi China di Tibet harus diakhiri dan pemerintahan di wilayah itu harus
dikembalikan ke dalam situasi seperti sebelum tahun 1951. Sekalipun tetap menjadi
wilayah otonomi khusus China, pemerintah negara tirai bambu ini harus membiarkan
Tibet sebagai negara atap dunia yang unik dan khas, dalam pemerintahan sipil Dalai
Lama. Seperti Aceh di negara kita, diberikan otonomi khusus dengan hak-hak
istimewa yang berbeda dari propinsi lain, karena kekhasannya. Tekanan internasional
harus diarahkan kepada pemerintah China. Bukan justru sebaliknya menangkapi para
pemrotes Tibet atau memenjarakan mereka atas permintaan pemerintah China.
Tokoh-tokoh negara tirai bambu ini harus ditekan dan didesak oleh kekuatan
politik dunia untuk duduk membicarakan masalah ini dalam jalur politik. Sebuah
solusi yang selama ini dihindari oleh China, terutama jika mereka harus duduk semeja
dengan Dalai Lama. Soalnya, dengan duduk di meja perundingan, maka mau tidak
mau China akan mengakui keberadaan Dalai Lama di hadapan dunia, sesuatu yang
tidak dikehendaki China selama ini, sama seperti sikap mereka pada Taiwan. Tapi
itulah China, seperti anak yang keras kepala. Hanya mau tunduk jika dipukul
pantatnya.
Barat dan Eropa, terutama Amerika Serikat, harus memotori pertemuan ini.
Tidak melulu campur tangan di wilayah Timur Tengah. Sambil menunggu keputusan-
keputusan politik, maka wilayah Tibet dapat dinyatakan sebagai status quo
internasional dengan penempatan pasukan atau pengawas perdamaian. Seruan
Presiden Perancis Sarkozy sepertinya sebuah ide yang sangat menarik. isu Olimpiade
ini dapat dijadikan batu pijakan untuk memaksa China duduk di meja perundingan
dengan Dalai Lama, pengikutnya dan negara-negara Barat pejuang HAM.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, maka  penulis dapat memaparkan
beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut :
 Negara barat yang sampai hari ini sering melakukan pelanggaran HAM adalah
Amerika Serikat
 Amerika adalah Negara pelanggar HAM terburuk hingga 50 tahun terakhir
 Motif utama seringnya terjadi pelanggaran HAM adalah lemahnya atau tidak
adanya Undang – Undang yang berfungsi sebagai pelindung Hak Asasi
Manusia.
 Solusi utama untuk mengatasi terjadinya kasus pelanggaran Hak Asasi
Manusia secara terus menerus, maka perlu adanya perancangan UU yang
bertugas untuk melindungi Hak Asasai Manusia, sekaligus
mensosialisasikannya dengan cepat, terutama untuk melindungi saudara –
saudara kita yang sedang menjalankan berbagai profesi di luar negeri.

3.2 Saran
Adapun saran – saran yang dapat penulis sampaikan yaitu kepada para
pembaca yang sempat membaca tulisan ini diharapkan dapat mengkaji lebih jauh lagi
materi tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia karena materi yang penulis sajikan
mengenai kasus pelanggaran HAM dalam makalah ini masih memiliki banyak
kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA

http://wentiza.blogspot.com/2010/10/pelanggran-hak-asasi-manusia-amerika.html

https://www.gurupendidikan.co.id/ implikasi-pelanggaran-ham/

https://farahfitriani.wordpress.com/2011/10/30/catatan-tentang-pelanggaran-hak-
asasi-manusia-oleh-amerika-serikat/

https://www.yuksinau.id/ kasus-tki-pertahun/

Anda mungkin juga menyukai