Anda di halaman 1dari 3

Teror di Tengah Pandemik: Negara Panik?

Bulan lalu kita sama-sama dihebohkan dengan berbagai isu penggantian presiden di tengah
pandemi ini. berbagai komune masyarakat saling sumbangsih asumsinya akan hal tersebut.
berbagai diskusi pun masif diselenggarakan dengan via daring. Salah satunya ialah diskusi
yang digelar oleh Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, dengan tajuk “Persoalan Pemecatan Presiden Di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem
Ketatanegaraan” tepatnya tanggal 29 Mei 2020.
Alih-alih menyumbangkan pendapat yang logis dan teoritis dengan berasaskan hak
berpendapat warga negara, malang tak bisa ditolak, untung tak dapat diraih. Bermula dari
sebuah kabar burung yang mengklaim tentang kegiatan ini yang menjadi gerakan makar,
beberapa dari pihak yang kontra akan hal itu pun mengintervensi para pihak pelaksana
dengan cara non-etis. Ancaman dan intimidasi melayang kepada beberapa pihak yang
menyelenggarakan diskusi. Beberapa panitia serta pembicara seorang guru besar hukum
tatanegara UII Yogyakarta. Dengan beragam style, ancaman-ancaman itu ditujukan. Mulai
dari pesan singkat, peretasan akun media sosial, hingga ancaman pembunuhan anggota
keluarga.
Kita tahu bahwa niat jahat atau bentuk ancaman sudah diatur dalam BAB XXIII tentang
pemerasan dan pengancaman KUHP.
Pasal 368 ayat 1 KUHP, “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan
untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang itu atau orang lain, atau supaya membuat maupun menghapuskan piutang,
diancamkarena pemerasan, dengan pidana paling lama sembilan tahun.”
Dan apabila ancaman ditujukan melalui media elektronik akan lebih jauh lagi karena
menyinggung UU ITE.
Pasal 29 UU ITE, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan
atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.”
Dalam pasal ini, pidana bagi pelanggarnya, sebagaimana sudah di atur dalam pasal 45B UU
19/2016. Yaitu pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda sebesar 750 juta rupiah.
Yang harus kita soroti adalah sampai mana UU di atas dapat diterapkan pada kondisi seperti
ini. Dan ternyata pertimbangan segala pihak bersangkutan mengenai pelaksanaan diskusi itu
pun dibatalkan. Cari aman? Atau perkara teror yang berhasil? Lantas sudah bias kah
kebebasan berpendapat dinegara demokrasi ini?
Jika kita lihat pada regulasi mengenai kebebasan bependapat atau kebebasan berekspresi,
segalanya sudah diatur dalam konstitusi negara ini. setiap warga negara Indonesia memiliki
haknya tersebut.
UUD 1945 pasal 28E ayat 3, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
UU nomor 9 tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka
Umum
UU HAM Nomor 39 tahun 1999 pasal 23 ayat 2, “Setiap orang bebas untuk
mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya,
secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan
memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan
keutuhan negara.”
Beberapa dari hukum yang menyoal hak asasi manusia tersebut apakah memang sudah dapat
mewadahi ekspresi kita? Saya kira tidak, ditambah hadirnya UU nomor 11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur tentang informasi setra
transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. Dimana, sedikit membatasi
ruang berpendapat masyarakat yang hidup di tengah wabah ini memang segala aktivitasnya
memanfaatkan metode daring.
Acapkali memang segala bentuk wacana yang digiring kesana-sini berakhir pada tuding-
menuding. Si A menuduh Si B, Si C Menuduh Si B, dan dududu lainnya. Mentok-mentoknya
balik lagi kepada siapa yang mesti mundur dan siapa yang memaksa mundur. Sepertinya
jarang kita lihat ketika kasus HAM selesai dipihak kita, atau bahkan tak ada. Marsinah, Wiji,
Munir, Udin, Novel, Samin, Kulon Progo, Nyia, Kebon Jeruk, Taman Sari, Papua, razia
buku, pembubaran diskusi, pelarangan tayang film Senyap dan Sexy Killer, serta penahanan
dua mahasiswa papua yang dijerat dengan pasal makar.
Sedang dalam BAB VII UU nomor 26 tahun 2000 tentang pidana pelanggaran hak asasi
manusia. Pidana yang paling ringan hukuman penjara selama 5 tahun sampai pidana
hukuman penjara seumur hidup, dan pidana mati. Merangkum beberapa golongan kejahatan
ham seperti, genosida, kejahatan kemanusian yang ditujukan padak penduduk sipil. Seperti;
pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran secara paksa, perampasan kemerdekaan,
penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan
apartheid.
Apakah itu semua sudah selesai? Terungkap? Tidak. Para petinggi negara sudah saling
bersubstutusi, masalah baru ditinggalkan, masalah lama tinggal nama. Segala sikap atau
penanganan yang sedikit memble, bertele-tele, dan seolah-olah menutupi membuat
pemerintah terkesan seperti “O Aja Ya Kan” pada masalah tersebut.
Di tengah pandemik ini pun sudah banyak Kasus Pelanggaran HAM dan Kasus yang masih
berpotensi menjadi pelanggaran HAM. Seperti yang dikemukakan oleh Komisioner Komnas
HAM, terdapat 8 kasus yang berpotensi. Diantaranya, Tindak kekerasan aparat pada
penertiban PSBB, Pembubaran Rapat Komunitas WALHI di Yogyakarta, Penahanan tiga
aktivis kamisan di Malang, dan kasus lainnya.
Di sisi lain, KontraS mengemukakan dalam laman webnya mengenai kasus-kasus yang
terjadi di masa pandemi di Indonesia ini. Yakni, Hak atas Standar Kesehatan Tinggi, Hak atas
Informasi, Hak atas fair trial, hak untuk bebas dari diskriminasi dan stigmatisasi, serta Hak
Atas Kebebasan Berpendapat.
“Negara Indonesia adalah negara hukum”Pasal 1 ayat 3 UUD 1945
Perananan negara dalam melindungi hak asasi warga negaranya yang menjadi hal fundamen
bagi setiap individu diperkuat dengan berbagai peraturan atau kebijakan negara. Hal tersebut
menjawab atas kesadaran selain UU tentang kebebasan berserikat, ternyata kebebasan
berserikat itu pun dijamin keberadaan dan keutuhannya dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM) pada pasal 20,
(1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa
kekerasan.
(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan.
Hak ini lah yang tak bisa diintervensi keberadaanya oleh suatu negara.
Dalam Konvenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan politik 1966 (Konvenan Sipol)
yang sudah di sahkan melalui UU no.12 tahun 2005.
Pasal 22 Konvenan Sipol ayat 1, “ Setiap orang berhak atas kebebasan untuk
berserikat dengan orang lan, termasuk hak untuk bergabung dengan serikat buruh
untuk melindungi kepentingannya.”
Namun dalam realitasnya, kedudukan negara sebagai pemangku kebijakan yang memiliki
kewajiban dalam hukum HAM, yakni menghormati, melindungi, dan memenuhi. Belum kita
temukan suatu penyelesaiannya dan menjadi nilai kurang mengesankan bagi sebuah negara
dalam melindungi hak-hak warga negaranya.
Kembali ke awal pembahasan, sebagai warga negara yang memiliki hak penuh akan
kebebasan berpendapat, tentu ini menjadi permasalan serius bagi negara. Dan ketika ruang
ekspresi sudah dibatasi dan disusupi. Apa ini sebuah kepanikan yang disikapi oleh negara
otoriter dan anti kritik demi menjaga keutuhan negara? Apa yang musti kita lakukan ketika
hak berpendapat sekalipun sudah dirampas.

Anda mungkin juga menyukai