Anda di halaman 1dari 23

KEWENANGAN ICC DALAM MENYELESAIKAN PELANGGARAN HAM BERAT

DI INDONESIA (Studi Kasus Tanjung Priok)

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

Dosen Pengampu: Said Noor Prasetyo, S. H, M. H

Oleh:
Zainab Az Zahro (201910110311497)

KELAS A

PRODI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Ujian Tengah Semester mata kuliah Hukum
Pidana Internasional ini dengan baik.

Adapun tujuan dari penulisan ini, diharapkan menambah wawasan kepada pembaca
mengenai kewenangan ICC dalam menyelesaikan pelanggaran HAM Berat di Indonesia yang
hingga kini belum terselesaikan, khususnya jika ditinjau melalui prinsip-prinsip yang ada
dalam ICC.

Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ujian tengah semester ini masih ditulis
masih belum sempurna. Oleh karenanya, kritik dan saran yang membangun harapannya dapat
menyempurnakan kepenulisan ini.
A. Latar belakang berdirinya ICC1

Internasional Criminal Court atau dikenal dengan ICC merupakan pengadilan


permanen yang berada di tingkat internasional. ICC sendiri menangani pelanggaran-
pelanggaran khusus seperti kejahatan genosida, kemanusiaa, perang, serta kejahatan
agresi. ICC yang menangani kasus khusus diatas tentu memiliki latar belakang yang
unik, yang mana tidak bisa dileaskan dari tidak dapat dilepaskan dari sejarah
pembentukan mahkamah-mahkamah kejahatan internasional sebelumnya. Sebelum
ICC, ada IMT atau dikenal dengan Internasional Military Tribunal yang mana
pengadilan itu berdiri pertama kali pasca Perang Dunia Kedua. Kemudian ada juga
pengadilan yang berdiri, yangjuga menjadi cikal bakal beridirnya ICC yakni
International Military Tribunal for the Far East (IMTFE) pada 1946.

Adapun IMT beridiri dikarenakan sebuah inisiatif para sekutu yang memang
ingin mengadili para pimpinan nazi-Jerman yang kebetulan saat itu, para sekutu
memenangkan perangnya. Sedangkan IMTFE sendiri dibentuk yang didasarkan
kepada Proklamasi Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Jenderal Douglas MacArthur
pada 1946. Lalu apa yang membedakan keduanya, sehingga berdiri sendiri-sendiri?
Tentu semuanya memiliki perbedaan, yakni terkait perangkat dan proses persidangan
yang berbeda. Hal tersebut memiliki pengaruh terhadap putusannya. Pada IMT,
terdapat beberapa terdakwa yang diputus bebas, tetapi pada IMTFE tidak seorang pun
lolos dari hukuman. Selain itu, ada juga perbedaan yang dilihat dari dasar hukum
pembentukannya. Pada IMT, seluruh pemimpin Nazi-Jerman duduk di kursi
pesakitan, sedangkan pada IMTFE, Kaisar Hirohito selaku pemimpin tertinggi Jepang
tidak disentuh sama sekali. Hal itu dikarenakan adanya sebuah kesepakatan diantara
Pemerintah Jepang dengan Sekutu, dalam hal ini Amerika Serikat, untuk tidak
mengganggu eksistensi Hirohito sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Jepang.
Berdasarkan perbedaan tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua mahkamah tersebut
tidak memiliki sifat independent dan impartial.

Ketika seiring berjalannya waktu, yakni setelah usai terjadinya perang dingin,
pengadilan internasional kembali terbentuk yakni ICTY atau lebih dikenal dengan
International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia dan juga ada ICTR atau dikenal
dengan International Criminal Tribunal for Rwanda. ICTY dan ICTR ini merupakan
1
YURISDIKSI ACC NEGARA NON ANGGOTA.pdf
pengadilan internasional yang dibentuk dibawah DK PBB melalui sebuah resolusi.
ICTY sendiri dibetuk dikarenakan ada evaluasi dari masyarakat internasioal terkait
pelanggaran HAM berat di Yugoslavia kepada DK PBB. Pendirian pengadilan
tersebut tidak mudah, dikarenakan ada ketidaksetujuan dari masyarakat
Yugoslavia.Namun, meskipun begitu, keduanya memiliki kemajuan yang pesat pasca
Perang Dunia Kedua. Kemajuan tersebut tentu tidak dipisahkan dari hambatan yang
dialaminya, yakni kurangnya pelaksanaan undang-undang khususnya kerjasama
dengan negara di mana pelanggaran HAM berat berlangsung, tidak bisa
menghentikan konflik yang sedang berlangsung, serta jangkauan dari penuntutan
tergantung dari kategori konflik yaitu konflik internal atau internasional.

Oleh karena ulasan diatas, membuat keinginan untuk membuat pengadilan


permanen agar dapat memnuhi kebutuhan masyarakat internasional. dari situlah
dicetuskannya berdirilah sebuah ICC. Pasca ICC terbentuk dan menjalankan
kewenangannya, diharapkan setiap kejahatan internasional yang masuk yurisdiksi
ICC segera dapat diadili tanpa harus menunggu pembentukan pengadilan baru, statuta
baru, termasuk penunjukan aparat-aparat penegak hukumnya. Pembentukan
pengadilan-pengadilan ad hoc dalam kasus-kasus sebelumnya selalu memakan waktu,
biaya dan tenaga yang tidak sedikit.

Ini artinya, ICC sudah memiliki kedudukan penting yakni mewujudkan tujuan-
tujuan dari masyarakat internasional yang bersifat mendasar, utama dan universal
terdiri dari menjaga rasa aman para anggotanya dari sebuah berbagai tindakan
pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaran HAM berat masa lalu.

B. Pelanggaran HAM Berat di Indonesia

Pelanggaran HAM berat merupakan pelanggaran yang sudah masuk kategori


kejahatan luar biasa. Hal itu dikarenakan adanya kejahatan yang dilakukan baik
kejahatan berbentuk kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan
agresi, maupun kejahatan perang. Dalam sejarah Indonesia sendiri sudah mengalami
pelanggaran HAM berat. Tentu semua itu banyak faktornya, seperti faktor politik
dimulai dari subyek hukum negara sampai organisasi dalam negara yang melakukan
pelanggaran HAM berat. Ini tidak mudah untuk melalui itu, nyatanya setelah
Indonesia merdeka, justru akan banyaknya kepentingan orang orang diatas berbeda
beda, pelanggaran HAM berat dapat terjadi. Pelanggaran yang terjaid diantaranya
Kasus Tanjung Priok, Penculikan Aktivis 1997/1998, Tragedi Semanggi, Tragdei
Trisakti, Kasus Pembunuhan Munir, Pembersihan PKI (1965-1966), Penembakan
Misterius (1982-1986), Tragedi Telangsari (1989), Tragedi Rumoh Geudong, Aceh
(1989-1998), Pembunuhan Marsinah (1993)2, dan masih banyak lagi.

Adapun terkait status dari pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi tersebut


ada yang sudah ditangani dan ada yang belum, yang sudah ditangani pun ada saja
yang berstatus keutusan yang masih dinilai tidak adil, selanjutnya yang belum bisa
saja berstatus diabaikan hingga saat ini. Padahal pelanggaran tersebut tidka bisa
dianggap sepele, mengingat hak-hak sebagai manusia telah dirugikan secara
konstitusional oleh negara. Bukan hanya menyangkut pelanggaran dimana kita
mungkin saja bersimpati terhadap korban, namun ini sangat penting untuk dipelajari
sebagai pengingat, hikmah kedepannya agar jangan sampai terjadi lagi3.

C. Instrumen dan Lembaga HAM di Indonesia serta Kewenangannya

1. Instrumen Nasional:

a. UUD 1945 beserta amandemenya;

UUD 1945 beserta amandemennya merupakan sumber dari segala


sumber tertulis di Indonesia. Sehingga setiap produk hukum harus mengacu
terhadap UUD 1945, tidak boleh bertentangan.

Dalam UUD 1945 tersebut dalam kaitan dnegan Hak Asasi Manusia
telah diatur juga, sehigga untuk UU terkait Hak Asasi Manusia tentu
mengacu kepada UUD 1945 ini. Pengaturan terkait Hak Asasi Manusia yang
dapat ditemukan dipasal 27, 28 huruf b, 28 huruf c 28 huruf d, 28 huruf e, 28
huruf f, 28 huruf g, 28 huruf h, 28 huruf I, 28 huruf j, pasal 29, pasal 31 dan
pasal 334.

b. Tap MPR No. XVII/MPR/1998;


2
https://www.99.co/blog/indonesia/kasus-pelanggaran-ham-di-indonesia/
3

https://www.researchgate.net/publication/337485358_MAKALAH_PELANGGARAN_HAK_ASASI_MANUSIA_DI_
INDONESIA
4
https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945
Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
menugaskan merupakan instrumen yang memerintahkan kepada lembaga-
lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah agar bertindak
menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak
asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Selain itu juga diharapkan kepada
lembaga-lembaga untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia yang mana hal tersebut tentunya
dapat diratifikasi sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.

Bentuk daripada pelaksanaan amanat Ketetapan MPR-RI Nomor


XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia ialah dengan dibentuknya
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pembentukan Undang-undang tersebut merupakan perwujudan tanggung
jawab bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di
samping hal tersebut, pembentukan Undang-undang tentang Hak Asasi
Manusia juga mengandung suatu misi mengemban tanggung jawab moral
dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta
yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur hak
asasi manusia yang telah disahkan dan atau diterima oleh negara Republik
Indonesia.

Bertitik tolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan


nasional maupun dari kepentingan internasional, maka untuk menyelesaikan
masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan mengembalikan
keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu dibentuk Pengadilan Hak Asasi
Manusia yang merupakan pengadilan khusus bagi pelanggaran hak asasi
manusia yang berat. Untuk merealisasikan terwujudnya Pengadilan Hak
Asasi Manusia tersebut, perlu dibentuk Undang-undang tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia5.

5
https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2000/26TAHUN2000UUPenj.htm#:~:text=asas%20hukum
%20internasional.-,Ketetapan%20MPR-RI%20Nomor%20XVII%2FMPR%2F1998%20tentang%20Hak,segera
%20meratifikasi%20berbagai%20instrumen%20Perserikatan
c. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang ini merupakan awal tonggak pengaturan HAM karena


Undang Undang ini mengatur mengenai hak-hak mendasar yang wajib
mendapat perlindungan diantaranya yang termasuk dalam hak-hak sipil dan
politik serta yang termasuk dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Undang-Undang ini mengatur tentang KOMNAS HAM sebagai lembaga
yang independen.

Lembaga independen ini diantaranya memiliki fungsi pengkajian,


penelitian, penyuluhan, pemantuan dan meditasi tentang hak asasi manusia.
Berkaitan dengan forum internasional, Undang Undang ini pun tidak
menentang adanya upaya yang dilakukan ke forum internasional dalam
rangka perlindungan HAM bilamana upaya yang dilakukan di forum nasional
tidak mendapat tanggapan. Pasal 7 ayat (1) Undang Undang No. 39 Tahun
1999 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mengajukan semua
upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak
asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional
mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia.

Maksudnya bahwa mereka yang ingin menegakan HAM dan kebebasan


dasarnya diwajibkan untuk menempuh semua upaya hukum Indonesia
terlebih dahulu (exhaustion of local remedies) sebelum menggunakan forum
di tingkat regional maupun internasional. Hal ini seiring dengan prinsip
komplementer yang dianut ICC. Meskipun tidak secara rinci menyebutkan
kejahatankejahatan seperti dalam jurisdiksi ICC, tetapi Undang Undang ini
telah memandatkan pembentukan pengadilan HAM untuk mengadili
pelanggaran HAM yang berat. Kejahatan-kejahatan yang termasuk
pelanggaran HAM yang berat dalam UU ini adalah pembunuhan massal
(genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan6.

d. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

6
https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_39_Tahun_1999
Undang–undang ini dibuat atas dasar kesadaran dan kepentingan bahwa
Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Sebagi landasan filosofis, Undang-
Undang ini dibuat sebagai penerapan cita-cita bangsa yang dipelopori oleh
para pendiri bangsa ini dalam rangka pencapaian tujuan bangsa diantaranya
mensejahterakan rakyat Indonesia melalui perlindungan HAM. Pertimbangan
yuridis yang menjadi landasan Undang-Undang ini yaitu untuk menjamin
keadilan.

e. UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Sejak tahun 2006, Indonesia telah mempunyai UU khusus tentang


Perlindungan Saksi dan Korban. UU ini mengatur tentang hak-hak korban
dan saksi, termasuk dalam saksi dan korban kejahatan-kejahatan yang
merupakan pelanggaran HAM yang berat. Beberapa hak saksi yang diatur
diantaranya hak-hak saksi untuk diberikan perlindungan pergantian identitas
dan relokasi saksi (pasal 5). Selain itu juga mengadopsi berbagai ketentuan
dalam Statuta Roma tentang perlindungan saksi diantaranya pemeriksaan
saksi in camera, atau pemberian kesaksian melalui media elektronik lainnnya
(pasal 9). Dalam UU perlindungan saksi dan korban, para korban kejahatan
yang termasuk pelanggaran HAM mendapatkan hak untuk kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan di Statuta Roma
mengenai hak-hak korban kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC7.

f. Peraturan perundang-undangan nasional lainnya yang terkait8.

a) UU Nomor 5 Tahun 1998 yang berisi tentang ratifikasi terhadap


aturan anti kekejaman, penyiksaan, penanganan, atau penghukuman
yang kejam, tidak berperikemanusiaan, dan merendahkan martabat.

b) UU Nomor 9 TAhun 1998 yang berisi tentang kebebasan menyetujui


pendapat

7
Josefhin Mareta. 2016. Analisis Kebijakan Perlindungan Saksi Dan Korban (Policy Analysis of Witness and
Victim Protection). Vol 10, No 1
8
https://redlineindonesia.org/kerangka-hukum-hak-asasi-manusia-di-indonesia-13-undang-undang-tentang-
ham-di-indonesia/
c) UU Nomor 11 Tahun 1998 yang mengatur tentang hak dan kewajiban
buruh di Indonesia

d) UU Nomor 8 Tahun 1999, berisikan tentang hak dan perlindungan


konsumen.

e) UU Nomor 19, 20, dan 21 Tahun 1999, berisi tentang perburuhan.


Dalam hal ini UU yang mengatur tentang penghapusan ekrja
dipaksakan, upah minimum pekerja, dan diskriminsai dalam
pekerjaan.

f) UU Nomor 26 Tahun 1999, berisikan tentang pencabutan hukum


subversi

g) UU Nomor 40 Tahun 1999, berisikan tentang pers, hak dan


mengambilnya.

2. Instrumen Internasional:

a. Piagam PBB 1945

b. Deklarasi Universal HAM 1948

c. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik

d. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya


e. Instrumen HAM internasional lainnya9.

3. Lembaga HAM di Indonesia10

Dikutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), di


Indonesia memiliki lembaga-lembaga perlindungan HAM. Lembaga tersebut
dibentuk untuk menangani terjadinya pelanggaran HAM. Berikut beberapa
lembaga HAM di Indonesia:

9
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/12/100000169/ham-instrumen-lembaga-dan-penggolongan-
ham
10
Ibid
a) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

Komnas HAM dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomo 50


Tahun 1993. Komnas HAM dibentuk untuk melaksanakan fungsi
pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi. Dalam pasal
75 UU tentang HAM, Komnas HAM memiliki tujuan untuk
mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai
dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal
HAM. Selain itu meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna
berkembang pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

b) Pengadilan HAM

Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di


lingkungan peradilan umum yang menanganu kasus pelanggaran HAM
yang bersifat berat. Pengadilan HAM ditetapkan dengan UU Nomor 26
tahun 2000.

c) Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

LBH merupakan organisasi independen yang memberi bantuan dan


pelayanan hukum kepada masyarakat. Biasanya LBH dibentuk oleh
masyarakat. Fungsi LBH itu pembela dalam menegakkan keadilan dan
kebenaran. Pembela dan melindungi HAM. LBH juga memberikan
penyuluh dan penyebar informasi di bidang hukum dan HAM.11

D. Yurisdiksi ICC

1. Yurisdiksi Personal12

Adalah kewenangan yang dimiliki oleh mahkamah untuk mengadili para


pelaku kejahatan atau tindak pidana yang berupa orang-orang atau individu-
individu yang harus bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan

11
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/12/100000169/ham-instrumen-lembaga-dan-penggolongan-
ham
12
114-221-1-SM.pdf
sebagaimana telah ditentukan didalam Statuta Roma tahun 1998 Pasal 25 ayat (1),
sehingga dalam hal ini, negara bukan merupakan yurisdiksi personal bagi
mahkamah ataupun subjek hukum internasional lainnya kecuali individu. Hal
yang khusus dalam yurisdiksi personal mahkamah, yaitu mengenai pelaku
kejahatan internasional yang usianya kurang dari 18 tahun, maka mahkamah tidak
mempunyai wewenang untuk mengadilinya dihadapan persidangan mahkamah,
sehingga dapat dimintakan pertanggungjawabannya berdasarkan hukum nasional
negara-negara yang bersangkutan (Pasal 26) Statuta Roma tahun 1998.

2. Yurisdiksi Territorial

Adalah kewenangan mahkamah dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai


badan peradilan internasional berdasarkan lokasi atau wilayah hukum atas
perbuatan kejahatan internasional itu terjadi. Pada dasarnya yurisdiksi ini berlaku
di wilayah negara-negara peserta dalam Statuta Roma tahun 1998 yang apabila
terjadi kejahatan lintas batas territorial negara. Akan tetapi dalam hubungannya
terhadap negara negara yang menolak atau tidak menjadi anggota dalam Statute
Roma tahun 1998 (tidak ikut meratifikasi isi dari dari Statute Roma tahun 1998),
mahkamah tidak dapat menerapkan yuridiksinya terhadap kejahatan yang terjadi
di wilayah negara tersebut. Maka dengan demikian para pelaku kejahatan berada
di luar jangkauan yurisdiksi mahkamah yang juga tidak mendapat kekebalan
(imunitas) dari mahkamah.

3. Yurisdiksi Temporal

Adalah kewenangan mahkamah sebagaimana diatur didalam Pasal 11 ayat (1)


dan (2) Statuta Roma tahun 1998 yang berbunyi: mahkamah hanya memiliki
yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan setelah mulai berlakunya statuta ini.
Mahkamah tidak memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang terjadi sebelumnya, hal
ini sesuai dengan salah satu asas hukum pidana internasional, yaitu asas non
retroaktif nonretroactive), hal tersebut berdasarkan pada Pasal 24 ayat (1) Statuta
Roma tahun 1998.

Mengenai yurisdiksi temporal yang ada pada mahkamah, bahwa tidak


memberlakukan asas daluarsa (lapse of time) atas keempat jenis kejahatan yang
tunduk pada yurisdiksi sebagaimana tercantum didalam Statuta Roma tahun 1998,
yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang,
kejahatan agresi. Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Statuta Roma tahun 1998 yang
menyatakan bahwa tidak ada satu atau lebih kejahatan dalam yurisdiksi
mahkamah yang tunduk pada pembatasan waktu untuk melakukan penuntutan
terhadap pelaku kejahatan tersebut.

4. Yurisdiksi Kriminal

Adalah yurisdiksi yang dimiliki oleh mahkamah dalam menjalankan tugasnya


untuk mengadili kejahatan-kejahatan interansional yang termasuk atau diatur
didalam Statuta Roma tahun 1998. Dalam yurisdiksi kriminal mahkamah telah
diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma tahun 1998 yang menyatakan kejahatan dalam
yurisdiksi mahkamah, antara lain sebagai berikut :

1) Kejahatan genosida (the crime of genocide)

2) Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)

3) Kejahatan perang (war crimes)

4) Kejahatan agresi (the crimes of aggression)

Dari masing - masing jenis kejahatan - kejahatan internasional tersebut diatas,


didalam Statuta juga menjelaskan secara rinci mengenai definisi ataupun arti
mengenai kejahatan yang dimaksud, seperti dalam Pasal 9 Statuta Roma tahun
1998, menerangkan tentang perlunya dirumuskan secara lebih rinci mengenai
unsurunsur masing-masing kejahatan (elements of crimes) dalam membantu untuk
menafsirkan atau menerapkan ketentuan terkait pasal yang menunjukkan jenis
kejahatan yang dimaksud didalam Statuta Roma tahun 1998.

E. Prinsip-prinsip dalam ICC

1. Nullum Crimen, Nulla Poena sine Lege

Maksud dari prinsip ini terdapat didalam Pasal 22 Statuta Roma tahun 1998
dibawah asas-asas umum dalam hukum pidana. Dijelaskan bahwa tidak
seorangpun dapat bertanggungjawab secara pidana berdasarkan statuta, kecuali
tindakan tersebut waktu dilakukan merupakan suatu tindak pidana yang berada
dalam yurisdiksi dan kewenangan mahkamah. Selanjutnya prinsip nullum crimen
sine lege diperjelas oleh Pasal 23 Statuta Roma tahun 1998 bahwa seseorang yang
telah didakwa mahkamah hanya dapat dijatuhi pidana sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Statuta Roma tahun 1998.

2. Tanggung Jawab Pidana secara Individual

Menurut Pasal 25 Statuta Roma tahun 1998, mahkamah mempunyai yurisdiksi


atas individu sebagai “natural person”. Seseorang yang melakukan tindak pidana
di wilayah yurisdiksi mahkamah bertanggung jawab secara pribadi dan dapat
dihukum sesuai isi dalam Statuta Roma tahun 1998. Ketentuan ini merupakan
pencerminan untuk mengadili dan menghukum individu dan bukan negara.
Kejahatan terhadap hukum internasional dilakukan oleh individu dan bukan
entitas yang abstrak. Hanya dengan menghukum individu yang melakukan
kejahatan, hukum internasional dapat ditegakkan seperti kasus yang terjadi dan
diadili oleh Pengadilan Nuremberg tahun 1946.

3. Kedudukan Pelaku13

Prinsip berikutnya yang memiliki hubungan erat dengan tanggung jawab


individu adalah irelevansi jabatan dan kedudukan pelaku. Secara sederhana,
prinsip ini menginginkan agar ketika terjadi peristiwa kejahatan internasional,
kejahatan ini harus dilihat sebagai agen moral yang memiliki kapasitas untuk
memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Berpijak dari situ, atribut-atribut
berupa jabatan atau jabatan juga harus dianggap tidak relevan dalam konteks
penegakan hukum pidana internasional. Dengan begitu, biarpun si pelaku
kejahatan inasional adalah seseorang yang memiliki jabatan dan kedudukan
atinggi apapun dalam struktur politik atau militer suatu negara, ia tidak at
melepaskan tanggung jawab pidananya sekadar karena jabatan dan posisinya itu.

Prinsip ini juga memuat makna bahwa jabatan atau kedudukan formal seorang
pelaku sebagai agen pemerintah/negara (state/ government agents) tidak dapat

13
buku
dipergunakan sebagai alasan untuk mengalihkan tanggung jawab pidana pelaku
kepada negaranya. Pada titik inilah pinsip irelevansi jabatan/kedudukan dapat
dipandang sebagai sebuah perkembangan progresif di dalam hukum internasional.
Berdasarkan konsep pertanggungjawaban negara klasik, tindakan seorang agen
negara (misalnya kepala negara atau kepala pemerintahan), akan dianggap sebagai
tindakan yang merepresentasikan tindakan negara (state action). Dengan begitu,
ketika perbuatan tersebut memunculkan kerugian pada pihak lain, alih-alih orang
yang melakukan tindakan, negara yang diwakili orang tersebut lah yang
dipandang memikul tanggung jawab hukum sepanjang perbuatan tersebut
memang dapat dipahami sebagai tindakan yang merepresentasikan tindakan
negara.

Di dalam Statuta Roma 1998, prinsip tersebut dimuat di dalam Artikel 27.
Paragraf 1 dari Artikel 27 pada prinsipnya menekankan bahwa ketentuan-
ketentuan dalam Statuta Roma 1998 berlaku bagi setiap orang secara setara, tanpa
pembedaan berdasarkan kapasitas (jabatan) formal. Secara eksplisit ketentuan
tersebut juga menyebut perihal jabatan- jabatan yang tidak dapat dipakai sebagai
argumen untuk melepaskan diri dari tanggung jawab pidana maupun untuk
meringankan hukuman. Jabatan-jabatan yang disebutkan secara non-limitatif
dalam Statuta Roma 1998 adalah Kepala Negara (Head of State), Kepala
Pemerintahan (Head of Government), anggota pemerintahan (member of
government), anggota parlemen (member of parliament), wakil rakyat yang dipilih
(elected representative), dan pejabat pemerintahan (government officials).
Ketentuan ini mengandung arti bahwa siapapun pelaku kejahatan internasional,
baik itu orang biasa ataupun pejabat negara, tanggung jawab individu atas
perbuatan yang dilakukan.

Paragraf 2 dari Artikel 27 menentukan secara tegas bahwa kekebalan


(immunities) atau prosedur khusus yang berlaku pada jabatan resmi seseorang
tidak dapat menahan International Criminal Court (ICC) untuk menerapkan
jurisdiksinya atas orang tersebut. Dari sudut pandang hukum internasional klasik,
ketentuan yang termuat di dalam Artikel 27 Statuta Roma 1998 ini secara
langsung bersinggungan, bahkan bertentangan, dengan norma-norma yang sudah
melembaga di dalam hukum internasional yang mengatur tentang hak kekebalan
dan perlindungan (immunities and protection) bagi pejabat-pejabat negara.

4. Tanggung Jawab Komando14

Tanggung Jawab Komando/Atasan Tanggung jawab komando/atasan


merupakan salah satu prinsip pertanggungjawaban pidana yang berkembang
secara progresif dalam hukum pidana internasional. Melalui ini
pertanggungjawaban pidana menjadi diperluas, bukan hanya mencakup pelaku
kejahatan internasional, melainkan dalam keadaan tertentu, menjangkau
komandan atau atasan si pelaku. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
tanggung jawab komando/atasan menghubungkan perbuatan (kejahatan) yang
dilakukan oleh seseorang dengan atasan/komandan si pelaku yang dalam kondisi
tertentu dianggap turut bertanggung jawab atas apa yang dilakukan bawahan anak
buahnya.

Dari Artikel 28(a) Statuta Roma 1998 dapat diketahui bahwa tanggung jawab
komando harus memenuhi unsur-unsur utama4 sebagai berikut:

a. Ada hubungan komando antara komandan dengan bawahan yang melakukan


kejahatan Hubungan yang dimaksud di sini yaitu komandan dan bawahan
sama-sama memiliki tugas dan hubungan kerjasama di dalam suatu
lingkungan militer. Namun komandan adalah pemimpin pasukan
(bawahannya) dengan kata lain komandan adalah seniornya dan bawahannya
adalah juniornya di dalam lingkungan militer tersebut.

b. Ada komando atau pengawasan efektif dari komandan terhadap bawahan


yang melakukan kejahatan Pengawasan efektif dari komandan terhadap
bawahannya yaitu komandan memiliki kemampuan material untuk mencegah
atau menekan anak buah (pasukan bawahannya) ketika melakukan kejahatan
atau untuk menyerahkan ataupun menyampaikan masalah tersebut kepada
pihak yang berwenang.

c. Komandan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa bawahannya akan


melakukan atau sudah melakukan kejahatan Menurut ICC pengetahuan
14
https://core.ac.uk/download/pdf/327117574.pdf
sebenarnya dari komandan tidak dapat diduga (ditentukan) namun harus
ditetapkan dengan adanya bukti baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan bukti yang dapat mengungkapkan komandan mengetahui mengenai
kejahatan tersebut. Berdasarkan Regulation 55 mengakui bahwa fakta-fakta
mengenai komando memiliki kontrol yang efektif atas bawahannya dapat
mengubah pertimbangan hukum namun ICC menyatakan bahwa hal tersebut
tidak perlu dijadikan sebagai bahan pertimbangan yang paling penting
seharusnya tahu tentang hal-hal standar yang ditentukan Artikel 28 (a)(i)
Statuta Roma.

d. Komandan gagal mengambil langkah yang perlu dan masuk akal untuk
mencegah kejahatan atau menindak kejahatan, atau untuk menyerahkan
masalah tersebut kepada pejabat yang berwenang untuk diselidiki dan
dituntut

Komandan gagal mengambil langkah yang perlu dan masuk akal untuk
mencegah kejahatan atau menindak kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya
(pasukannya) baik secara de jure maupun secara de facto yaitu ketika komandan
telah melakukan segala langkah yang perlu dan masuk akal untuk mencegah atau
mengurangi terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya ataupun
komandan telah gagal untuk menyampaikan perbuatan yang dilakukan oleh
bawahannya itu kepada pihak yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan dan
penun-tutan atas kejahatan yang dilakukan oleh anak buah atau bawahannya maka
dia telah gagal untuk melakukan pengendalian atas pasu-kan atau kesatuannya
sehingga terjadilah kejahatan tersebut.

5. Tidak ada Daluwarsa15

Kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Statuta Roma tidak mengenal


daluwarsa yakni jangka waktu atau masa dimana suatu tindak pidana tidak dapat
diadili atau diajukan ke pengadilan. KUHP Indonesia memang menganut asas ini
sebagai sebuah asas dalam hukum pidana. Namun, ketentuan ini telah disimpangi
berdasarkan ketentuan pasal 46 dalam UU Pengadilan HAM yang menyatakan

15
2009_Buku-Saku_Mengenal-ICC-Mahkamah-Pidana-Internasional.pdf (elsam.or.id)
bahwa untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak berlaku ketentuan
mengenai kadaluwarsa.

6. Praduga Tidak Bersalah16

Maksud dari prinsip ini adalah bahwa setiap orang harus dianggap tidak bersalah
sampai dengan terdapatnya putusan dari pengadilan bawah mereka terbukti dan
dinyatakan bersalah. Diatur dalam Pasal 66 Statuta Roma tahun 1998 yang
menyatakan setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah
dihadapan mahkamah sesuai dengan hukum yang berlaku. Beban pembuktian dan
tanggung jawab terdapat kepada Jaksa Penuntutan yang akan membuktikan
terdakwa bersalah.

7. Ne Bis in Idem

Prinsip ini terdapat dalam Pasal 20 Statuta Roma tahun 1998 bahwa seseorang
tidak dapat dituntut lagi oleh mahkamah atas tindak pidana yang sama yang telah
diputuskan atau dibebaskan oleh mahkamah. Oleh karena itu, seseorang tidak
dapat diadili lagi oleh mahkamah atau pengadilan lain untuk suatu tindak pidana
yang sama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 Statuta Roma tahun 1998,
dimana tindak pidana itu telah diputuskan dengan putusan pidana atau dibebaskan
oleh mahkamah.

8. Komplementaris

Prinsip ini dijelaskan di dalam Mukadimah Statuta Roma tahun 1998, bahwa
maksud dari prinsip ini adalah Mahkamah Pidana Internasional merupakan
pelengkap dari yurisdiksi pidana nasional. Pasal 1 Statuta Roma tahun 1998
memberikan penjelasan mengenai prinsip komplementer (Complementary
Principle). Berdasarkan hal ini, merupakan pengakuan terhadap prinsip kedaulatan
negara dan harapan masyarakat internasional agar sistem hukum nasional memuat
pengaturan hukum untuk mengadili dan menghukum tindak pidana yang menjadi
keprihatinan dan kesengsaraan dunia. Sehingga dengan terbentuknya Mahkamah
Pidana Internasional tidak bermaksud untuk menggantikan keberadaannya
peranan yurisdiksi nasional yang berlaku di setiap negara.
16
114-221-1-SM.pdf
F. Hasil Analisis

Salah satu negara yang tidak atau belum meratifikasi Statuta Roma ialah
Indonesia. Namun, tidak menandatangani Statuta Roma bukanlah hal yang dapat
menghindarkan suatu subjek hukum dapat terhidari dari perbuatan yang telah di
lakukan. Indonesia termasuk yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional karena
termasuk salah satu kategori atau kondisi yakni, bahwa Indonesia mengakui yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional dengan basis ad hoc. Mahkamah Pidana Internasional
juga bisa ikut mengadili karena Mahkamah tersebut bersifat pelengkap dari
pengadilan nasional.

Jika melihat ulasan diatas, apakah Mahkamah Pidana Internasional dapat


menyelesaikan pelanggaran HAM berat di Indonesia seperti salah satunya ialah Kasus
Tanjung Priok?

Sebelum membahas lebih jauh, perlu diingat bahwa Peristiwa Tanjung Priok
merupakan salah satu tragedi kemanusiaan dan peristiwa kelam yang terjadi pada
masa pemerintahan Orde Baru. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 12 September
1984, yang mana tentu saja ada dampak negatif yang di terima yaknibanyaknya
korban yang berjatuhan akibat tindakan represifitas negara. Sebuah catatan, yakni
Komas HAM memberikan pernyataaan bahwa setidaknya 79 orang dalam peristiwa
tersebut menjadi korban, 55 orang mengalami luka-luka dan 23 (dua puluh tiga) orang
lainnya dinyatakan meninggal dunia, sementara puluhan orang ditangkap dan ditahan
tanpa melalui proses hukum yang jelas serta beberapa orang dinyatakan hilang.

Peristiwa ini menjadi peristiwa yang sangat panas ketika zaman itu, bahkan
peristiwa itu dianulir mengandung telah terjadinya pelanggaran HAM berat.
Pelanggaran HAM merupakan usaha terstruktur untuk mencabut atau membatalkan
hak asasi tersebut dari seseorang. Dalam aturan hukum di Indonesia, yang tertuang
dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, pelanggaran HAM diartikan sebagai: “Setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku."

Untuk memahami dimana letak pelanggaran HAM berat untuk Kasus Tanjung
Priok yang pernah terjadi, bahwa ada dua jenis pelanggaran HAM. Ada pelanggaran
HAM Ringan dan Berat. Jika pelanggaran HAM ringan meilupti pelanggaran HAM
biasa yang terjadi lingkungan keluarga atau masyarakat. Contohnya adalah tidak
mendpat perlakuan yang adil. Adapun pelanggaran HAM Berat terbagi menjadi 4
macam yang telah terindikasikan oleh Statuta Roma dan UU RI Nomor 26 Tahun
2000 yakni sebagai berikut;

1) Kejahatan Genosida

Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan


untuk memusnahkan atau menghancurkan seluruh atau sebagian dari kelompok
bangsa, kelompok etnis, kelompok agama, dan ras.

Kejahatan genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok,


mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-
anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan atau kehancuran secara fisik baik seluruh maupun
sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari
kelompok tertentu ke kelompok lain.

2) Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Suatu perbuatan yang dilakukan dengan serangan yang meluas dan


sistematis. Adapun serangan yang dimaksud ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran
penduduk secara paksa. perampasan kemerdekaan, pemerkosaan, penghilangan
orang secara paksa, penganiayaan, kejahatan apartheid, penindasan, dan masih
banyak lagi.

3) Kejahatan Perang
4) Kejahatan Agresi

Kasus Tanjung Priok sendiri telah mengindikasikan termasuk HAM Berat


kategori kejahatan terhadap Kemanusiaan karena adanya penghilangan orang secara
paksa, pembunuhan, dan berbagai penyiksaan. Tak lama kasus inipun diadili dalam
peradilan, namun ada catatan yang perlu diingat bahwa masih ada sikap abainya
Negara dalam proses penuntasan dan pemenuhan terhadap hak-hak Korban
pelanggaran HAM masa lalu, hal ini terlihat jelas bagaimana Negara hingga saat ini
masih abai terhadap para korban dan keluarga korban, khususnya korban dan keluarga
korban dalam peristiwa Tanjung Priok. Selain itu juga adanya pelepasan tersangka
tanpa dituntut tanggung jawab pada saat pengadilan di tingkat Kasasi. Rincinya,
ketika kasus tersebut dibawa ke dalam proses Pengadilan HAM, yang mana dalam
tingkat pertama Pengadilan HAM ad hoc Jakarta menjatuhkan vonis bersalah kepada
12 (dua belas) orang terdakwa dan menginstruksikan agar Negara memberikan
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban maupun keluarga korban.
Namun sayangnya putusan tersebut dianulir dalam tingkat kasasi, yang menyatakan
ke-12 orang terdakwa dinyatakan bebas.

Meskipun proses peradilan telah dilangsungkan dan membebaskan ke-12 orang


terdakwa dari tuntutan dalam tingkat kasasi, proses tersebut tidak menutup fakta
bahwa telah terjadi peristiwa kejahatan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru melalui
Aparat Keamannya pada tanggal 12 September 1984 di Tanjung Priok. Tidak hanya
hasil temuan Komnas HAM dan proses peradilan, serta janji politik Presiden Jokowi
terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat dimaknai bahwa kasus
Tanjung Priok belum dapat terselesaikan oleh Negara.

Tentu saja jika melihat ulasan-ulasan diatas, bahwa Kasus Tanjung Priok tentu
dapat diadili karena termasuk dalam pelangaran HAM berat yakni telah melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaa. Ini termasuk wilayah yurisdiksi Kriminal. Namun,
bukan berarti hanya karena aspek tersebut ICC dapat turun, hal itu dikarenakan
sebagaimana ulasan diatas, bahwa setiap pelanggaran HAM harus didahulukan
penyelesaian di wilayah nasional terlebih dahulu. Dengan ini, ada titik permasalahan
yang dianggap rumit, dimana proses yang sudah diadili dan mengenai korban yang
dianggap tidak adil. Agar dapat memahami detail, perhatikan beberapa ulasan berikut;
Sebagaimana dalam Pasal 17 tentang issues of admissibiiity menyatakan bahwa suatu
kasus tidak dapat diterima (in admissible) ole ICC bilamana:

a. Kasus tersebut sedang diinvestigasi atau dituntut (prosecuted) oleh negara


yang mempunyai yurisdiksi atas itu, kecuali jika negara tidak mau atau tidak
mampu melaksanakan investigasi atau penuntutan.

b. Kasus sudah diinvestigasi oleh negara yang memiliki yurisdiksi atas itu dan
negara sudah menetapkan untuk tidak melanjutkan penuntutan pada orang
yang bersangkutan, kecuali jika keputusan tersebut dihasilkan dari
ketidakmauan atau ketidakmapuan negara melakukan penuntutan

c. Kasus tidak cukup kuat untuk aksi selanjutnya oleh ICC

Dalam upaya menetapkan adanya unwill ingness suatu negara, ICC harus
memperhatikan prinsip due process yang diakui oleh Hukum Internasional sebagai berikut:

a. Proses pengadilan diambil atau putusan dibuat dengan maksud untuk melindungi
orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kejahatan-kejahatan yang
menjadi yurisdiksi ICC

b. Ada penundaan yang tidak dibenarkan dalam proses peradilan, yang tidak konsisten
dengan tujuan untuk memberi keadilan pada tertuduh.

c. Proses peradilan tidak dilaksanakan dengan bebas atau memihak dan dilaksanakan
dengan cara dan dalam situasi tertentu, yang tidak sesuai dengan tujuan untuk
membawa orang yang dituduh pada keadilan

Dalam Pasal 17 Angka 3 Statuta Roma, untuk menetapkan ketidakmampuan (in ability)
negara, ICC harus mempertimbangkan apakah ada kegagalan keseluruhan atau pada
substansi-subastansi tertentu ataukah tidak tersedianya sistem peradilan nasional, negara tidak
dapat menangkap tertuduh, tidak dapat memperoleh bukti-bukti dan kesaksian panting,atau
ketidakmampuan yang lain untuk melaksanakan sendlri proses peradilan.

Oleh karena beberapa diatas, Indonesia yang sudah memiliki instrumen untuk
mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan yakni UU No 26 Tahun 2000 bahwa ICC tetap
memiliki kewenangan. Hal itu dikarenakan dengan jangka waktu yang lama, Indonesia tetap
abai terhadap korban-korban dari Tragedi Kasus Tanjung Priok, kemudian adanya
penyelenggaraan peradilan HAM Berat AD Hoc yang masih dinilai tidak adil terhadap
Korban, karena putusan pembebasan pelaku.

Jika dikaitkan dengan wilayah yurisdikspun, Indonesia memiliki kewenangan untuk di


adili ICC. Negara yang abai akan hak-hak korban, negara yang memutus bebas pelaku dalam
kasus Tanjung Priok, ataupun memutus secara tidak adil, dalam hal yurisdiksi personal, maka
seharusnya, setiap individu harus mempertanggungjawabkan secara pribadi.

Secara Yurisdiksi Territorial, Indonesia masih dalam proses pengadopsian Statuta


Roma, Indonesia terlibat secara aktif dengan mengirimkan delegasi untuk mengikuti
Konferensi Diplomatik di Roma ketika Statuta Roma itu disahkan pada bulan Juli 1998. Pada
saat bersejarah itu, Indonesia menyatakan dukungannya atas pengesahan Statuta Roma dan
pembentukan Mahkamah Pidana Internasional dan menyatakan niatnya untuk meratifikasi
Statuta Roma. Dalam pernyataan yang sama, Indonesia menyatakan bahwa Statuta Roma
menambah arti penting pada nilai-nilai yang terkandung dalam Piagam PBB yang meliputi
persepakatan, imparsialitas, non-diskriminasi, kedaulatan negara dan kesatuan wilayah. Hal
ini menunjukkan bahwa Kasus Tanjung Priok yang masih saja belum mendapat kejelasan
dimana peradilan yang tidak adil dan hak-hak korban yang belum terpenuhi, dapat diadili
kembal. ICC sendiri memiliki yurisdiksinya.

ICC juga dapat memiliki kewenangan dalam menangani kasus Tanjung Priok sebagai
prinsip komplementaris. Mengingat Indonesia sendiri pernah mengadili, namun sayangnya
dibawanya ke pengadilan bukan berarti menunjukkan permasalahan itu selesai, namun masih
banyak dari kasus Tanjung Priok sebagaimana telah diulas diatas, banyak yang masih belum
terselesaikan.

Diperkuat juga dalam Prinsip Daluwarsa, ICC masih memiliki kewenangan untuk
menangani kasus tersebut, meskipun kejadian tersebut sudah lama. Hal tersebut juga sudah
ditegaskan dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa dalam kasus
pelanggaran HAM berat tidak mengenal daluwarsa.

Dari ulasan diatas, sangat penting, pelanggaran-pelanggaran HAM Berat semstinya


harus diselesaikan, meskipun korban telah tiada ataupun pelaku juga telah tiada, ini sangat
penting untuk Indonesia itu sendiri. Diharapkannya diselenggarakan pengadilan adalah upaya
agar kejadian kejadian yang banyak menimpa di Indonesia tidak terjadi lagi. Selain itu juga,
diharapkan masuarakat dapat mengenang sebagai memorialisasi agar dapat diambil pelajaran
akan banyaknya kasus yang terjadi, bukan hanya mempermaslahkan hak-hak korban atau
ketidakadilan tindakan perilaku terhadap pelaku.

Anda mungkin juga menyukai