Oleh:
Zainab Az Zahro (201910110311497)
KELAS A
FAKULTAS HUKUM
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Ujian Tengah Semester mata kuliah Hukum
Pidana Internasional ini dengan baik.
Adapun tujuan dari penulisan ini, diharapkan menambah wawasan kepada pembaca
mengenai kewenangan ICC dalam menyelesaikan pelanggaran HAM Berat di Indonesia yang
hingga kini belum terselesaikan, khususnya jika ditinjau melalui prinsip-prinsip yang ada
dalam ICC.
Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ujian tengah semester ini masih ditulis
masih belum sempurna. Oleh karenanya, kritik dan saran yang membangun harapannya dapat
menyempurnakan kepenulisan ini.
A. Latar belakang berdirinya ICC1
Adapun IMT beridiri dikarenakan sebuah inisiatif para sekutu yang memang
ingin mengadili para pimpinan nazi-Jerman yang kebetulan saat itu, para sekutu
memenangkan perangnya. Sedangkan IMTFE sendiri dibentuk yang didasarkan
kepada Proklamasi Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Jenderal Douglas MacArthur
pada 1946. Lalu apa yang membedakan keduanya, sehingga berdiri sendiri-sendiri?
Tentu semuanya memiliki perbedaan, yakni terkait perangkat dan proses persidangan
yang berbeda. Hal tersebut memiliki pengaruh terhadap putusannya. Pada IMT,
terdapat beberapa terdakwa yang diputus bebas, tetapi pada IMTFE tidak seorang pun
lolos dari hukuman. Selain itu, ada juga perbedaan yang dilihat dari dasar hukum
pembentukannya. Pada IMT, seluruh pemimpin Nazi-Jerman duduk di kursi
pesakitan, sedangkan pada IMTFE, Kaisar Hirohito selaku pemimpin tertinggi Jepang
tidak disentuh sama sekali. Hal itu dikarenakan adanya sebuah kesepakatan diantara
Pemerintah Jepang dengan Sekutu, dalam hal ini Amerika Serikat, untuk tidak
mengganggu eksistensi Hirohito sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Jepang.
Berdasarkan perbedaan tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua mahkamah tersebut
tidak memiliki sifat independent dan impartial.
Ketika seiring berjalannya waktu, yakni setelah usai terjadinya perang dingin,
pengadilan internasional kembali terbentuk yakni ICTY atau lebih dikenal dengan
International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia dan juga ada ICTR atau dikenal
dengan International Criminal Tribunal for Rwanda. ICTY dan ICTR ini merupakan
1
YURISDIKSI ACC NEGARA NON ANGGOTA.pdf
pengadilan internasional yang dibentuk dibawah DK PBB melalui sebuah resolusi.
ICTY sendiri dibetuk dikarenakan ada evaluasi dari masyarakat internasioal terkait
pelanggaran HAM berat di Yugoslavia kepada DK PBB. Pendirian pengadilan
tersebut tidak mudah, dikarenakan ada ketidaksetujuan dari masyarakat
Yugoslavia.Namun, meskipun begitu, keduanya memiliki kemajuan yang pesat pasca
Perang Dunia Kedua. Kemajuan tersebut tentu tidak dipisahkan dari hambatan yang
dialaminya, yakni kurangnya pelaksanaan undang-undang khususnya kerjasama
dengan negara di mana pelanggaran HAM berat berlangsung, tidak bisa
menghentikan konflik yang sedang berlangsung, serta jangkauan dari penuntutan
tergantung dari kategori konflik yaitu konflik internal atau internasional.
Ini artinya, ICC sudah memiliki kedudukan penting yakni mewujudkan tujuan-
tujuan dari masyarakat internasional yang bersifat mendasar, utama dan universal
terdiri dari menjaga rasa aman para anggotanya dari sebuah berbagai tindakan
pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaran HAM berat masa lalu.
1. Instrumen Nasional:
Dalam UUD 1945 tersebut dalam kaitan dnegan Hak Asasi Manusia
telah diatur juga, sehigga untuk UU terkait Hak Asasi Manusia tentu
mengacu kepada UUD 1945 ini. Pengaturan terkait Hak Asasi Manusia yang
dapat ditemukan dipasal 27, 28 huruf b, 28 huruf c 28 huruf d, 28 huruf e, 28
huruf f, 28 huruf g, 28 huruf h, 28 huruf I, 28 huruf j, pasal 29, pasal 31 dan
pasal 334.
https://www.researchgate.net/publication/337485358_MAKALAH_PELANGGARAN_HAK_ASASI_MANUSIA_DI_
INDONESIA
4
https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945
Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
menugaskan merupakan instrumen yang memerintahkan kepada lembaga-
lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah agar bertindak
menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak
asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Selain itu juga diharapkan kepada
lembaga-lembaga untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia yang mana hal tersebut tentunya
dapat diratifikasi sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
5
https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2000/26TAHUN2000UUPenj.htm#:~:text=asas%20hukum
%20internasional.-,Ketetapan%20MPR-RI%20Nomor%20XVII%2FMPR%2F1998%20tentang%20Hak,segera
%20meratifikasi%20berbagai%20instrumen%20Perserikatan
c. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
6
https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_39_Tahun_1999
Undang–undang ini dibuat atas dasar kesadaran dan kepentingan bahwa
Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Sebagi landasan filosofis, Undang-
Undang ini dibuat sebagai penerapan cita-cita bangsa yang dipelopori oleh
para pendiri bangsa ini dalam rangka pencapaian tujuan bangsa diantaranya
mensejahterakan rakyat Indonesia melalui perlindungan HAM. Pertimbangan
yuridis yang menjadi landasan Undang-Undang ini yaitu untuk menjamin
keadilan.
7
Josefhin Mareta. 2016. Analisis Kebijakan Perlindungan Saksi Dan Korban (Policy Analysis of Witness and
Victim Protection). Vol 10, No 1
8
https://redlineindonesia.org/kerangka-hukum-hak-asasi-manusia-di-indonesia-13-undang-undang-tentang-
ham-di-indonesia/
c) UU Nomor 11 Tahun 1998 yang mengatur tentang hak dan kewajiban
buruh di Indonesia
2. Instrumen Internasional:
9
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/12/100000169/ham-instrumen-lembaga-dan-penggolongan-
ham
10
Ibid
a) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
b) Pengadilan HAM
D. Yurisdiksi ICC
1. Yurisdiksi Personal12
11
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/12/100000169/ham-instrumen-lembaga-dan-penggolongan-
ham
12
114-221-1-SM.pdf
sebagaimana telah ditentukan didalam Statuta Roma tahun 1998 Pasal 25 ayat (1),
sehingga dalam hal ini, negara bukan merupakan yurisdiksi personal bagi
mahkamah ataupun subjek hukum internasional lainnya kecuali individu. Hal
yang khusus dalam yurisdiksi personal mahkamah, yaitu mengenai pelaku
kejahatan internasional yang usianya kurang dari 18 tahun, maka mahkamah tidak
mempunyai wewenang untuk mengadilinya dihadapan persidangan mahkamah,
sehingga dapat dimintakan pertanggungjawabannya berdasarkan hukum nasional
negara-negara yang bersangkutan (Pasal 26) Statuta Roma tahun 1998.
2. Yurisdiksi Territorial
3. Yurisdiksi Temporal
4. Yurisdiksi Kriminal
Maksud dari prinsip ini terdapat didalam Pasal 22 Statuta Roma tahun 1998
dibawah asas-asas umum dalam hukum pidana. Dijelaskan bahwa tidak
seorangpun dapat bertanggungjawab secara pidana berdasarkan statuta, kecuali
tindakan tersebut waktu dilakukan merupakan suatu tindak pidana yang berada
dalam yurisdiksi dan kewenangan mahkamah. Selanjutnya prinsip nullum crimen
sine lege diperjelas oleh Pasal 23 Statuta Roma tahun 1998 bahwa seseorang yang
telah didakwa mahkamah hanya dapat dijatuhi pidana sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Statuta Roma tahun 1998.
3. Kedudukan Pelaku13
Prinsip ini juga memuat makna bahwa jabatan atau kedudukan formal seorang
pelaku sebagai agen pemerintah/negara (state/ government agents) tidak dapat
13
buku
dipergunakan sebagai alasan untuk mengalihkan tanggung jawab pidana pelaku
kepada negaranya. Pada titik inilah pinsip irelevansi jabatan/kedudukan dapat
dipandang sebagai sebuah perkembangan progresif di dalam hukum internasional.
Berdasarkan konsep pertanggungjawaban negara klasik, tindakan seorang agen
negara (misalnya kepala negara atau kepala pemerintahan), akan dianggap sebagai
tindakan yang merepresentasikan tindakan negara (state action). Dengan begitu,
ketika perbuatan tersebut memunculkan kerugian pada pihak lain, alih-alih orang
yang melakukan tindakan, negara yang diwakili orang tersebut lah yang
dipandang memikul tanggung jawab hukum sepanjang perbuatan tersebut
memang dapat dipahami sebagai tindakan yang merepresentasikan tindakan
negara.
Di dalam Statuta Roma 1998, prinsip tersebut dimuat di dalam Artikel 27.
Paragraf 1 dari Artikel 27 pada prinsipnya menekankan bahwa ketentuan-
ketentuan dalam Statuta Roma 1998 berlaku bagi setiap orang secara setara, tanpa
pembedaan berdasarkan kapasitas (jabatan) formal. Secara eksplisit ketentuan
tersebut juga menyebut perihal jabatan- jabatan yang tidak dapat dipakai sebagai
argumen untuk melepaskan diri dari tanggung jawab pidana maupun untuk
meringankan hukuman. Jabatan-jabatan yang disebutkan secara non-limitatif
dalam Statuta Roma 1998 adalah Kepala Negara (Head of State), Kepala
Pemerintahan (Head of Government), anggota pemerintahan (member of
government), anggota parlemen (member of parliament), wakil rakyat yang dipilih
(elected representative), dan pejabat pemerintahan (government officials).
Ketentuan ini mengandung arti bahwa siapapun pelaku kejahatan internasional,
baik itu orang biasa ataupun pejabat negara, tanggung jawab individu atas
perbuatan yang dilakukan.
Dari Artikel 28(a) Statuta Roma 1998 dapat diketahui bahwa tanggung jawab
komando harus memenuhi unsur-unsur utama4 sebagai berikut:
d. Komandan gagal mengambil langkah yang perlu dan masuk akal untuk
mencegah kejahatan atau menindak kejahatan, atau untuk menyerahkan
masalah tersebut kepada pejabat yang berwenang untuk diselidiki dan
dituntut
Komandan gagal mengambil langkah yang perlu dan masuk akal untuk
mencegah kejahatan atau menindak kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya
(pasukannya) baik secara de jure maupun secara de facto yaitu ketika komandan
telah melakukan segala langkah yang perlu dan masuk akal untuk mencegah atau
mengurangi terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya ataupun
komandan telah gagal untuk menyampaikan perbuatan yang dilakukan oleh
bawahannya itu kepada pihak yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan dan
penun-tutan atas kejahatan yang dilakukan oleh anak buah atau bawahannya maka
dia telah gagal untuk melakukan pengendalian atas pasu-kan atau kesatuannya
sehingga terjadilah kejahatan tersebut.
15
2009_Buku-Saku_Mengenal-ICC-Mahkamah-Pidana-Internasional.pdf (elsam.or.id)
bahwa untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak berlaku ketentuan
mengenai kadaluwarsa.
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa setiap orang harus dianggap tidak bersalah
sampai dengan terdapatnya putusan dari pengadilan bawah mereka terbukti dan
dinyatakan bersalah. Diatur dalam Pasal 66 Statuta Roma tahun 1998 yang
menyatakan setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah
dihadapan mahkamah sesuai dengan hukum yang berlaku. Beban pembuktian dan
tanggung jawab terdapat kepada Jaksa Penuntutan yang akan membuktikan
terdakwa bersalah.
7. Ne Bis in Idem
Prinsip ini terdapat dalam Pasal 20 Statuta Roma tahun 1998 bahwa seseorang
tidak dapat dituntut lagi oleh mahkamah atas tindak pidana yang sama yang telah
diputuskan atau dibebaskan oleh mahkamah. Oleh karena itu, seseorang tidak
dapat diadili lagi oleh mahkamah atau pengadilan lain untuk suatu tindak pidana
yang sama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 Statuta Roma tahun 1998,
dimana tindak pidana itu telah diputuskan dengan putusan pidana atau dibebaskan
oleh mahkamah.
8. Komplementaris
Prinsip ini dijelaskan di dalam Mukadimah Statuta Roma tahun 1998, bahwa
maksud dari prinsip ini adalah Mahkamah Pidana Internasional merupakan
pelengkap dari yurisdiksi pidana nasional. Pasal 1 Statuta Roma tahun 1998
memberikan penjelasan mengenai prinsip komplementer (Complementary
Principle). Berdasarkan hal ini, merupakan pengakuan terhadap prinsip kedaulatan
negara dan harapan masyarakat internasional agar sistem hukum nasional memuat
pengaturan hukum untuk mengadili dan menghukum tindak pidana yang menjadi
keprihatinan dan kesengsaraan dunia. Sehingga dengan terbentuknya Mahkamah
Pidana Internasional tidak bermaksud untuk menggantikan keberadaannya
peranan yurisdiksi nasional yang berlaku di setiap negara.
16
114-221-1-SM.pdf
F. Hasil Analisis
Salah satu negara yang tidak atau belum meratifikasi Statuta Roma ialah
Indonesia. Namun, tidak menandatangani Statuta Roma bukanlah hal yang dapat
menghindarkan suatu subjek hukum dapat terhidari dari perbuatan yang telah di
lakukan. Indonesia termasuk yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional karena
termasuk salah satu kategori atau kondisi yakni, bahwa Indonesia mengakui yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional dengan basis ad hoc. Mahkamah Pidana Internasional
juga bisa ikut mengadili karena Mahkamah tersebut bersifat pelengkap dari
pengadilan nasional.
Sebelum membahas lebih jauh, perlu diingat bahwa Peristiwa Tanjung Priok
merupakan salah satu tragedi kemanusiaan dan peristiwa kelam yang terjadi pada
masa pemerintahan Orde Baru. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 12 September
1984, yang mana tentu saja ada dampak negatif yang di terima yaknibanyaknya
korban yang berjatuhan akibat tindakan represifitas negara. Sebuah catatan, yakni
Komas HAM memberikan pernyataaan bahwa setidaknya 79 orang dalam peristiwa
tersebut menjadi korban, 55 orang mengalami luka-luka dan 23 (dua puluh tiga) orang
lainnya dinyatakan meninggal dunia, sementara puluhan orang ditangkap dan ditahan
tanpa melalui proses hukum yang jelas serta beberapa orang dinyatakan hilang.
Peristiwa ini menjadi peristiwa yang sangat panas ketika zaman itu, bahkan
peristiwa itu dianulir mengandung telah terjadinya pelanggaran HAM berat.
Pelanggaran HAM merupakan usaha terstruktur untuk mencabut atau membatalkan
hak asasi tersebut dari seseorang. Dalam aturan hukum di Indonesia, yang tertuang
dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, pelanggaran HAM diartikan sebagai: “Setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku."
Untuk memahami dimana letak pelanggaran HAM berat untuk Kasus Tanjung
Priok yang pernah terjadi, bahwa ada dua jenis pelanggaran HAM. Ada pelanggaran
HAM Ringan dan Berat. Jika pelanggaran HAM ringan meilupti pelanggaran HAM
biasa yang terjadi lingkungan keluarga atau masyarakat. Contohnya adalah tidak
mendpat perlakuan yang adil. Adapun pelanggaran HAM Berat terbagi menjadi 4
macam yang telah terindikasikan oleh Statuta Roma dan UU RI Nomor 26 Tahun
2000 yakni sebagai berikut;
1) Kejahatan Genosida
3) Kejahatan Perang
4) Kejahatan Agresi
Tentu saja jika melihat ulasan-ulasan diatas, bahwa Kasus Tanjung Priok tentu
dapat diadili karena termasuk dalam pelangaran HAM berat yakni telah melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaa. Ini termasuk wilayah yurisdiksi Kriminal. Namun,
bukan berarti hanya karena aspek tersebut ICC dapat turun, hal itu dikarenakan
sebagaimana ulasan diatas, bahwa setiap pelanggaran HAM harus didahulukan
penyelesaian di wilayah nasional terlebih dahulu. Dengan ini, ada titik permasalahan
yang dianggap rumit, dimana proses yang sudah diadili dan mengenai korban yang
dianggap tidak adil. Agar dapat memahami detail, perhatikan beberapa ulasan berikut;
Sebagaimana dalam Pasal 17 tentang issues of admissibiiity menyatakan bahwa suatu
kasus tidak dapat diterima (in admissible) ole ICC bilamana:
b. Kasus sudah diinvestigasi oleh negara yang memiliki yurisdiksi atas itu dan
negara sudah menetapkan untuk tidak melanjutkan penuntutan pada orang
yang bersangkutan, kecuali jika keputusan tersebut dihasilkan dari
ketidakmauan atau ketidakmapuan negara melakukan penuntutan
Dalam upaya menetapkan adanya unwill ingness suatu negara, ICC harus
memperhatikan prinsip due process yang diakui oleh Hukum Internasional sebagai berikut:
a. Proses pengadilan diambil atau putusan dibuat dengan maksud untuk melindungi
orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kejahatan-kejahatan yang
menjadi yurisdiksi ICC
b. Ada penundaan yang tidak dibenarkan dalam proses peradilan, yang tidak konsisten
dengan tujuan untuk memberi keadilan pada tertuduh.
c. Proses peradilan tidak dilaksanakan dengan bebas atau memihak dan dilaksanakan
dengan cara dan dalam situasi tertentu, yang tidak sesuai dengan tujuan untuk
membawa orang yang dituduh pada keadilan
Dalam Pasal 17 Angka 3 Statuta Roma, untuk menetapkan ketidakmampuan (in ability)
negara, ICC harus mempertimbangkan apakah ada kegagalan keseluruhan atau pada
substansi-subastansi tertentu ataukah tidak tersedianya sistem peradilan nasional, negara tidak
dapat menangkap tertuduh, tidak dapat memperoleh bukti-bukti dan kesaksian panting,atau
ketidakmampuan yang lain untuk melaksanakan sendlri proses peradilan.
Oleh karena beberapa diatas, Indonesia yang sudah memiliki instrumen untuk
mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan yakni UU No 26 Tahun 2000 bahwa ICC tetap
memiliki kewenangan. Hal itu dikarenakan dengan jangka waktu yang lama, Indonesia tetap
abai terhadap korban-korban dari Tragedi Kasus Tanjung Priok, kemudian adanya
penyelenggaraan peradilan HAM Berat AD Hoc yang masih dinilai tidak adil terhadap
Korban, karena putusan pembebasan pelaku.
ICC juga dapat memiliki kewenangan dalam menangani kasus Tanjung Priok sebagai
prinsip komplementaris. Mengingat Indonesia sendiri pernah mengadili, namun sayangnya
dibawanya ke pengadilan bukan berarti menunjukkan permasalahan itu selesai, namun masih
banyak dari kasus Tanjung Priok sebagaimana telah diulas diatas, banyak yang masih belum
terselesaikan.
Diperkuat juga dalam Prinsip Daluwarsa, ICC masih memiliki kewenangan untuk
menangani kasus tersebut, meskipun kejadian tersebut sudah lama. Hal tersebut juga sudah
ditegaskan dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa dalam kasus
pelanggaran HAM berat tidak mengenal daluwarsa.