Anda di halaman 1dari 7

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.2 (2021.1)

Nama Mahasiswa : SUPRIYANTO


Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 024864027

Tanggal Lahir : 01 APRIL 1993

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4208/Hukum dan Hak Asasi Manusia

Kode/Nama Program Studi : S1 ILMU HUKUM

Kode/Nama UPBJJ : 51 TARAKAN

Hari/Tanggal UAS THE : 12 JULI 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk
1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN


TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan
Mahasiswa Kejujuran
Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : SUPRIYANTO


NIM : 024864027
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4208/Hukum dan Hak Asasi Manusia
Fakultas : HUKUM
Program Studi : S1 ILMU HUKUM
UPBJJ-UT : 51 TARAKAN

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik
yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.

Tarakan, 12 Juli 2021

Yang Membuat Pernyataan

SUPRIYANTO
1. Menurut analisis saya :
a. HHI adalah seperangkat aturan yang karena alasan-alasan kemanusiaan berusaha untuk
membatasi pengaruh atau akibat konflik bersenjata.Hukum humaniter ini melindungiorang-
orang yang tidak, atau tidak lagi ikut serta dalam pertempuran dan membatasi sarana dan
cara-cara peperangan. Istilah yang pertama dikenal dikalangan militer adalah hukum perang
(The Law of War) atau hukum sengketa bersenjata (The Law of Armed Conflict), sementara
itudi kalangan Palang Merah dan Bu-lan Sabit Merah lebih sering menyebut istilah Hukum
Perikemanusiaan Internasional (HPI). Istilah Hukum Sengketa Bersenjata mengalami
perubahan lagi yaitu diganti dengan istilah Hukum Humaniter Internasional (International
Humanitarian Law) yang berlaku dalam sengketa bersenjata dan selanjutnya disebut HHI.
Penegakkan HHI terhadap pelaku kejahatan perang dapat dilakukan dengan beberapa
mekanisme yaitu mekanisme menurut Konvensi Jenewa 1949, Peradilan Ad Hoc dan
berdasarkan Mahkamah Peradilan Internasional. Pertama, menurut Konvensi Jenewa 1949,
bahwa negara yang telah menjadi peserta dalam Konvensi Internasional HHI apabila
mendapati warganya yang melakukan kejahatan perang maka wajib menangkapnya,
melakukan penyelidikan dan menjatuhi hukuman sesuai hukum nasionalnya. Kedua,melalui
Peradilan Ad Hoc dilakukan yaitu apabila mekanisme pertama tidak dapat dijalankan
sehingga kewajiban tersebut kemudian diambil alih oleh masyarakat internasional dalam hal
ini PBB khususnya melalui Dewan Keamanan. Dewan ini membentuk peradilan yang
bersifat sementara atau kasuistis seperti yang pernah dilakukan terhadap Negara Rwanda
dengan International Criminal Tribunalfor Rwanda (ICTR) dan terhadap Yugoslavia dengan
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) pada tahun 1993. Ketiga
,berdasarkan Mahkamah Peradilan Internasional atau International Criminal Court (ICC),
yaitu mekanisme baru yang dirancang melalui perjanjian internasional yang dibentuk di
Roma dan disebut Statuta Roma 1998. Peradilan atau Mahkamah ini terpisal dari
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan bersifat komplementer. Keberadaan ICC
dimaksudkan untuk mencegah terulangnya kembali peradilan yang bersifat Victor’s Justice,
Selective Justice dan Impunity (yang hanya berdasarkan keadilan negara yang menang
perang). Apabila negara sudah tidak mau dan tidak mampu mengadili sipelaku kejahatan
perang, maka akan diadili oleh ICC tanpa diskriminasi yaitu tidak memandang apakah pelaku
kejahatan perang itu berasal dari negara besar atau negara kecil. Selain itu ditopang teori
umum hukum internasional bahwa agar suatu negara terikat dengan lembaga ICC, maka
negara tersebut harus terlebih dahulu meratifikasi Statuta Roma 1998. Hal yang masih perlu
diteliti lebih lanjut adalah kapankah suatu hukum (tertulis) berubah menjadi hukum
kebiasaan internasional, sehingga konsekuensinya hukum kebiasaan tersebut secara otomatis
mengikat suatu negara. Ketidakjelasan pemberlakukan kebiasaan internasional inilah yang
seringkali selalu mengenabalikan pemberlakuan hukum internasional selalu harusdengan
ratifikasi.
b. Instrumen internasional : Piagam PBB 1945, Deklarasi Universal HAM 1948, Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya, Instrumen HAM internasional lainnya. Instrumen Nasional : TAP MPR
No. XVII/MPR/1998, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis, UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, Peraturan
Perundang-undangan lainnya yang terkait.
2. a. Instrumen Internasional : DUHAM menggabungkan hak untuk hidup dengan hak atas
keamanan perorangan dan kebebasan, hampir semua instrumen yang lain membahas hak-
hak tersebut secara terpisah. Dalam banyak hal, hak untuk hidup adalah unik. Tentu
saja negara tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban sepenuhnya untuk memelihara
dan melindungi hidup. Setiap orang akan meninggal. Terlebih lagi hak untuk hidup adalah
prasyarat dasar bagi pelaksanaan dan penerimaan hak dan kebebasan lainnya. Hak dan
kebebasan lainnya menambah kualitas kehidupan. Demikian pula hak untuk hidup saling
bergantung pada hak dan kebebasan lainnya. Namun hak untuk hidup tidak selalu dianggap
yang paling penting, sehingga tetap tidak ada hirarki dalam hak asasi manusia. Hak untuk
hidup sangatlah kontroversial apalagi bila harus memutuskan kapan hidup itu dianggap telah
dimulai. Hanya Konvensi Antar Amerika yang dengan jelas menyatakan hak untuk hidup
dimulai dari konsepsi. Namun instrumen-instrumen lain mengindikasikan secara tidak
langsung penghormatan terhadap anak yang belum lahir, terutama terlihat jelas dalam
larangan untuk melaksanakan hukuman mati terhadap perempuan hamil dan pembatasan
kerja-kerja berbahaya untuk perempuan hamil. Hak untuk hidup tidak dapat bersifat absolut.
Namun Komite Hak Asasi Manusia merujuknya sebagai “Hak tertinggi yang tidak boleh
diderogasi pada saat keadaan darurat publik“. Tidak ada instrumen yang membolehkan
derogasi terhadap hak untuk hidup. Namun perjanjian-perjanjian yang ada mencatat batasan-
batasan terhadap hak untuk hidup. Dalam Kovenan Internasional dinyatakan bahwa “hak
(tersebut) harus dilindungi oleh hukum”. Tidak seorang pun dapat dirampas hidupnya secara
sewenang-wenang. Jadi penekanannya di sini adalah untuk memastikan kerangka hukum
yang tepat guna melindungi dan menghormati hidup. Instrumen Nasional ; Hak untuk hidup
merupakan hak mutlak setiap orang dan termasuk dalam kategori non-derogable rights yaitu
hak yang tidak dapat dikurangi. Hak untuk hidup ini meliputi hak untuk hidup,
mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya, termasuk hak atas hidup yang
tentram, aman, damai bahagia, sejahtera lahir dan batin serta hak atas lingkungan yang baik
dan sehat. Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) atau
International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) menyatakan bahwa hak untuk
hidup harus dilindungi oleh hukum dan atas hak ini tidak boleh diperlakukan dengan
sewenang-wenang.400 Hak ini sebenarnya telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945
terutama Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H.
b. Yang menarik dari hak untuk hidup dalam sistem pemidanaan di Indonesia adalah masih
diberlakukannya hukuman mati bagi tindak pidana tertentu seperti narkoba, terorisme dan
pembunuhan. Berkenaan dengan hukuman mati, memang masih menjadi perdebatan di
berbagai kalangan karena dianggap melanggar hak untuk hidup seseorang. Sebagian negara
Barat sudah tidak memberlakukan hukuman mati dalam sistem pemidanaannya, namun di
sisi lain mereka yang menghapuskan hukuman mati memberikan ijin praktek eutanasia yang
tidak lain juga merupakan perampasan hak hidup seseorang. Kedua hal ini masih menjadi
diskusi panjang di berbagai kalangan. Secara global, terdapat penegasan dalam Protokol
Pilihan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) tentang penghapusan
hukuman mati. Penerapan pidana mati juga bertentangan dengan hak untuk hidup seperti
yang diatur dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hampir setengah jumlah
negara-negara di dunia (118 negara) sudah menghapuskan hukuman mati dalam sistem
hukumnya. Indonesia adalah termasuk negara yang masih menerapkan pidana mati. Aturan
pidana mati diatur baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH)P dan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sementara dalam
Rancangan KUHP baru (2004), dijelaskan bahwa pidana mati tidak berlaku bagi tindak
pidana hak asasi manusia.
3. a. Pada kasus tersebut terdapat pelanggaran HAM yang termasuk dalam kejahatan genosida.
Kejahatan genosida sendiri merupakan perbuatan yang dilakukan dengan maksud utuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok
etnis, dan kelompok agama.
b. Dalam konteks hukum internasional, genosida diatur di dalam beberapa instrumen
internasional, di antaranya adalah Convention on the Prevention and Punishment of the
Crime of Genocide (“Konvensi Genosida”) pada tahun 1948 dan The Rome Statute of the
International Criminal Court (“Statuta Roma”) pada tahun 1998. Sebagaimana dalam
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ada beberapa aturan hukum
yang berkaitan dengan perlindungan dan penghormatan terhadap suku, agama dan ras, yang
antara lain dalam Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Diskriminasi adalah setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan
pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, etnik, kelompok, golongan, status sosial,
status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Pada Undang-undang
No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak asasi Manusia, juga disebutkan beberapa hal
terkait dengan kejahatan genosida, antara lain pada Pasal 7 Undang-undang menetapkan,
ratione materae dari pelanggaran hak asasi dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat
meliputi (a) kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Kejahatan genosida, tersebut di
atas, menurut Pasal 8, adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok
etnis, kelompok agama.
c. Pada 2000, Indonesia telah mengeluarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM yang mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam UU tersebut, kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan genosida diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat.
UU ini secara tegas juga menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang berat (kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) adalah kejahatan luar biasa (extraordinary
crimes) dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan
bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana.Berdasarkan karakteristik kejahatannya yang sangat khusus dan berbeda dengan
kejahatan “biasa” lainnya maka Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus. Terhadap
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperlukan langkah-langkah penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus. Beberapa prinsip dalam
hukum pidana yang diatur secara berbeda dalam UU No. 26 adalah adanya penegasan
tentang dapat diberlakukan asas non retroatif dan tidak adanya masa daluarsa terhadap
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
4. Hak yang dilanggar dalam contoh kasus diatas adalah hak atas kelangsungan hidup. Hak
kelangsungan hidup adalah hak anak untuk mempertahankan hidup serta mendapatkan standar
kesehatan dan perawatan yang baik. Hak kelangsungan hidup juga memberikan hak pada anak
untuk mengetahui tentang keluarga dan identitas dirinya.

Anda mungkin juga menyukai