Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PENGADILAN HAM

“Buruh dan Tenaga Kerja”


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hak Asasi Manusia

Dosen Pengajar : Mariatul Kiptiah, S.Pd. M.Pd.

Oleh kelompok : 10

ADHI SURYA (A1A213206)

DINA WATI (A1A213223)

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA & KN


PEMBAHASAN

MATERI
1. Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak
manusia lahir yang tidak dapat diganggu gugat dan bersifat tetap. kita sebagai
warga negara yang baik tentunya haruslah saling menghormati satu sama lain
dengan tidak membedakan ras, agama, golongan, jabaatan ataupun status sosial. 
Arus globalisasi HAM telah memberi akses yang luas kepada setiap masyarakat
Indonesia untuk memahami nilai dan konsep perlindungan HAM. Salah satu bukti
terimplementasinya institusi-institusi yang berkaitan dengan HAM, adalah
terbentuknya HAM dalam tatanan sistem kepemerintahan dan negara Indonesia.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights) pada tahun 1948 telah mendorong banyak perubahan dalam kehidupan
masyarakat dunia. Sekelompok anak bangsa merasa telah menemukan kebebasan
atas penindasan dari anak bangsa yang lainnya, di pihak lain ada sekelompok
masyarakat justru harus mengalami kondisi peperangan karena negara tempat
tinggalnya dianggap sebagai penjahat HAM, khususnya kepala negara mereka
sebagai pemerintahan yang anti HAM, maka atas nama demi penegakan HAM,
masyarakat sipil yang harus menerima akibat dari politik perang menegakan HAM
tersebut, sebagai contoh yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Irak dewasa ini.
Apapun dampak dari penegakkan HAM, banyak masyarakat dunia termasuk
masyarakat Indonesia berharap banyak pada adanya pengadilan HAM yang dapat
melindungi hak-hak mereka. Berdirinya HAM telah membawa perubahan dan arus
global di dunia internasional untuk mengubah cara pandang dan kesadarannya
terhadap pentingnya suatu perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM).
Meningkatnya kesadaran masyarakat internasional mengenai isu HAM ini dalam
tempo yang relatif singkat adalah suatu langkah maju dalam kehidupan bernegara
secara demokratis menuju sistem kenegaraan yang menjunjung tinggi nilai-nilai
HAM.
2. Pengadilan Hak Asasi Manusia
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sebagai produk hukum,
merupakan juga hasil dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi, dan
bahkan saling bersaingan. Adanya UU tersebut dikarenakan lahir dari Perppu No. 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM tanggal 8 Oktober 1999. Hal ini tercermin
dalam proses pembentukan pengadilan HAM pertama kali di Indonesia.
a. Sejarah Pembentukan Pengadilan HAM.
Istilah Pengadilan HAM untuk pertama kalinya disebutkan secara formil dalam
Bab IX tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 104 ayat (1), (2), dan (3)
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. UU ini menyatakan bahwa Pengadilan
HAM dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat, seperti
pembunuhan masal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau diluar
putusan pengadilan (arbitary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan
orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara
sistematis (systematic discrimination) yang sesuai dengan ketentuan Pasal 6
dan Pasal 7 “Rome Statute of the International Criminal Court”.

Implementasi dari diberlakukannya UU tentang HAM tersebut ialah secepatnya


dibentuk Pengadilan HAM. Dengan adanya pertimbangan desakan
perkembangan situasi politik dalam negeri dan desakan dunia internasional,
khususnya pasca jajak pendapat di Timor Timur pada akhir bulan Agustus
1999, maka dalam situasi yang amat memaksa, Pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 1999
tentang Pengadilan HAM pada tanggal 8 Oktober 1999. Perppu ini
dipersiapkan pemerintah dalam keadaan tergesa-gesa, sehubungan dengan
terbentuknya pendapat umum baik di dalam maupun luar negeri tentang
peristiwa yang terjadi di Timor Timur setelah jajak pendapat yang diperkirakan
dapat menyudutkan posisi Indonesia dalam pergaulan antar bangsa.

Disini terlihat adanya tekanan dalam dan luar negeri bagi Indonesia untuk
segera membentuk ataupun mendirikan suatu institusi penegak hukum dibidang
HAM untuk memeriksa dan mengadili kasus-kasus yang terkait dengan
pelanggaran atau kejahatan HAM yang terjadi di Indonesia. Dengan demikian,
Perppu tersebut merupakan solusi untuk memberikan kepastian bagi masyarkat
dan dunia internasional bahwa pemerintah memiliki kemauan untuk
memproses segala bentuk pelanggaran atau kejahatan HAM, salah satunya
kasus pasca jajak pendapat di Timor Timur. Akan tetapi, keberadaan Perppu
tersebut tidak berlangsung lama. Sejak dikeluarkannya Perppu tersebut,
berbagai polemik telah berkembang di dalam media massa di tanah air dimana
munculnya wacana untuk segera merevisi Perppu ini mengingat di dalamnya
masih terdapat berbagai kelemahan. Karena dinilai tidak memadai maka
Perppu tersebut tidak disetujui DPR untuk menjadi UU sehingga Perrpu
tersebut perlu dicabut.
Pemerintah kemudian mengajukan RUU tentang Pengadilan HAM dengan
substansi yang lebih komprehensif kepada DPR untuk memenuhi kewajiban
konstitusionalnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945.
Sehingga pada akhirnya pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid UU
tentang Pengadilan HAM yang kita kenal sekarang ini disahkan dan
diundangkan pada tanggal 23 November 2000.
Adanya politik hukum pemerintah yang bertitik tolak dari perkembangan
hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional maupun dari kepentingan
internasional, maka untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang
berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu
dibentuk Pengadilan HAM yang merupakan pengadilan khusus bagi
pelanggaran HAM yang tergolong berat. Oleh sebab itu, untuk merealisasikan
terwujudnya Pengadilan HAM tersebut maka perlu dibentuk UU tentang
Pengadilan HAM agar memiliki dasar hukum yang kuat. Dasar pembentukan
UU tentang Pengadilan HAM ini adalah sebagaimana tercantum dalam
ketentuan Pasal 104 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999.

Adapun pembentukan UU tentang Pengadilan HAM di Indonesia didasarkan


pada pertimbangan sebagai berikut:
1. Pelanggaran HAM berat merupakan “extra ordinary crimes” dan
berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan
bukan merupakan tindak pidana yang diatur didalam KUHP serta menimbulkan
kerugian baik materil maupun immaterial perseorangan maupun masyarakat
sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk
mencapai perdamaian, ketertiban, ketenteraman, keadilan dan kesejahteraan
bagi seluruh masyarakat Indonesia.
2. Terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat diperlukan langkah-
langkah penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang bersifat khusus.
Kekhususan dalam penanganan pelanggaran Ham yang berat adalah:
• Diperlukan penyidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc,
penuntut umum ad hoc, dan hakim ad hoc;
• Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sedangkan penyidik tidak
berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam
KUHAP;
• Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan.
• Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagi
pelanggaran HAM yang berat.

b. Pengadilan HAM Pertama di Indonesia


Berkenaan dengan penugasan MPR kepada Presiden untuk menyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran HAM, maka Presiden Abdurrahman Wahid kemudian
menindaklanjutinya dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 53
Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 23 April 2001.
Pembentukan Keppres ini dilakukan sebagai pelaksanaan Pasal 43 ayat (1) UU
Nomor 26 Tahun 2000, yang menentukan bahwa pelanggaran HAM yang berat
yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa
Pengadilan HAM tersebut berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat dan
perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun
1984.
Belum sempat dilaksanakannya Keppres tersebut, pada awal masa
kepresidenan Megawati Soekarnoputri Keppres ini langsung mengalami revisi,
yakni dengan diterbitkannya Keppres No. 96 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Keppres No. 53 Tahun 2001. Pasal 2 merupakan bagian yang mengalami
perubahan dengan maksud untuk lebih memperjelas tempat dan waktu tindak
pidana (locus dan tempus delicti) pelanggaran HAM berat yang terjadi di
Timor Timur dan Tanjung Priok, yaitu penambahan kalimat wilayah hukum
Liquica, Dilli, Suai pada bulan April 1999 dan bulan September 1999 untuk
kasus Timor Timur serta bulan September 1984 untuk kasus Tanjung Priok.

Dalam kaitan tersebut, dapat terlihat adanya politik hukum dari kedua rezim
untuk melaksanakan proses penegakan hukum bidang HAM pada suatu
institusi peradilan melalui diterbitkanya Keppres-keppres pembentukan
Pengadilan HAM. Sehingga, disini terlihat bahwa konfigurasi politik tertentu
akan melahirkan karakter produk hukum tertentu juga (terbentuknya
Pengadilan HAM Ad Hoc).
Selanjutnya pada tanggal 31 Januari 2002, Menteri Kehakiman dan HAM RI,
Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra dan Ketua Mahkamah Agung, Prof. DR. Bagir
Manan, SH, MCL meresmikan beroperasinya Pengadilan HAM yang pertama
di Indonesia sebagai salah satu pelaksanaan UU No. 26 Tahun 2000, yaitu
bertempat di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Pengadilan HAM bukanlah
badan peradilan baru atau badan peradilan yang berdiri sendiri yang terlepas
dari keempat badan peradilan yang selama ini kita ketahui (Peradilan Umum,
Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara).
Pengadilan HAM hanyalah salah satu divisi atau bagian dari peradilan yang
dibentuk dalam lingkungan badan Peradilan Umum.
Pembentukan pengadilan seperti itu dimungkinkan oleh ketentuan Pasal 13 UU
No. 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999
seperti Pengadilan Anak atau Pengadilan Niaga. Akan tetapi, ada perbedaan
yang mendasar dengan pengadilan lain, baik yang berada dalam kamar
Pengadilan Niaga atau Pengadilan TUN, dimana Pengadilan HAM tidak
sepenuhnya bergantung kepada hakim karier, melainkan pada hakim nonkarier
(hakim ad hoc) yang merupakan mayoritas dalam majelis hakim.

Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan


peradilan umum yang dibentuk pada pengadilan negeri. Untuk pertama kali,
Pengadilan HAM tersebut dibentuk serempak di Jakarta Pusat, Surabaya,
Medan dan Makassar, dengan wilayah hukumnya sebagai berikut:
1. Jakarta Pusat meliputi wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten,
Sumsel, Lampung, Bengkulu, Kalbar dan Kalteng;
2. Surabaya meliputi wilayah Provinsi Jatim, Jateng, Yogyakarta, bali, Kalsel,
Kaltim, NTB dan NTT;
3. Medan meliputi wilayah Provinsi Sumut, Aceh, Riau, Jambi dan Sumbar;
4. Makasar meliputi wilayah Provinsi Sulsel, Sultra, Sulteng, Sulut, Maluku,
Maluku Utara dan Papua.
Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM yang terjadi disamping kasus
Timor Timur dan Tanjung Priok seperti disebutkan diatas, kasus Aceh, Papua,
Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Kerusuhan Massa di berbagai tempat di
Indonesia merupakan yurisdiksi kewajiban Pengadilan HAM untuk
memprosesnya lebih lanjut demi tercapainya keadilan.

Dengan demikian, berdirinya Pengadilan HAM di Indonesia dengan


pemberlakuan UU No. 26 Tahun 2000 merupakan bagian dari program
strategis pemerintah untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa
Indonesia dapat menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM dengan sistem
hukum nasional yang berlaku dan dilaksanakan oleh bangsa sendiri. Hal ini
merupakan kebijakan pemerintah dalam menjalankan politik hukumnya
mewujudkan supremasi hukum yang berasaskan nilai-nilai HAM dengan
didasari adanya pengaturan mengenai HAM karena konfigurasi politik tentang
pengangkatan wacana HAM dalam UUD 1945, yang kemudian diatur dengan
UU mengenai HAM serta UU mengenai pengadilan HAM itu sendiri.

3. Penyelesaian Sengketa Buruh dan Tenaga Kerja


Sejalan dengan perkembangan zama era globalisasi sudah barang tentu tuntutan
perkembangan penyelesaian sengketa perburuhan juga memerlukan payung dalam
berbagai produk perundang-undangan yang dapat mengantisifasinya.
Sebelum Reformasi dalam pembaharuan perundang-undangan perburuhan dan
ketenaga kerjaan masalah penyelesaian sengketa buruh masih memakai undang-
undang lama antara lain :
 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 lembaran Negara No.42 Tahun
1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan.
 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 Lembaga Negara No.93 Tahun
1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta.

Didalam kedua produk Perundang-undangan ini memberikan jalan penyelesaian


sengketa buruh lebih di titik beratkan pada musyawarah mufakat antara buruh dan
majikan melalui Lembaga Bepartie, dan bila tidak terselesaikan dapat dilanjutkan
ke Lembaga Tripartie, dan seterusnya dapat dilanjutkan ke Pengadilan P4D dan
P4P.
Akan tetapi pada zaman sekarang ini dimana semakin kompleksnya permasalahan
perburuhan Undang-undang lama tersebut tidak dapat lagi memberikan jalan
keluar dalam menyelesaikan sengketa perburuhan, sehingga di undangkanlah
Undang-undang lain seperti Undang-undang Hak Azasi Manusia Nomor 39 Tahun
1999, Undang-undang Serikat Pekerja Nomor 21 Tahun 2000, dan Undang-undang
penyelesaian perselisihan Industrial Nomor 2 Tahun 2004.

a. Penyelesaian Sengketa Buruh Melalui Komisi Nasional Hak Azasi


Manusia
Undang-undang Hak Azasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 memberi peluang
bagi Buruh dan Tenaga Kerja dalam menyelesaikan sengketa buruh. Walaupun
banyak kaum awam belum paham tentang tata cara penyelesaian sengketa
Buruh melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Undang-undang Nomor
39 Tahun 1999 memberi peluang sengketa buruh dapat diselesaikan melalui
Komisi Hak Azasi Manusia. Pada pasal 89 ayat 3 sub h, dikemukakan Komnas
HAM dapat menyelesaikan dan memberi pendapat atas sengketa publik, baik
terhadap perkara buruh yang sudah disidangkan maupun yang belum
disidangkan. Penjelasan Undang-undang tersebut mengatakan sengketa publik
yang dimaksud di dalam Undang-undang Hak Azasi Manusia tersebut
termasuk 3 (tiga) golongan sengketa besar, antara lain sengketa pertanahan,
sengketa ketenaga kerjaan dan sengketa lingkungan hidup.
Sengketa ketenaga kerjaan tergolong sengketa publik dapat mengganggu
ketertiban umum dan stabilitas Nasional, maka peluang pengaduan pelanggaran
Hak-hak Buruh tersebut dapat disalurkan ke Komisi Nasional Hak Azasi
Manusia sesuai dengan isi Pasal 90 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
yang berbunyi pada ayat 1 “ Setiap orang atau kelompok orang yang memiliki
alasan kuat bahwa Hak Azasinya telah dilanggar dapat memajukan laporan dan
pengaduan lisan atau tertulis pada Komisi Nasional Hak Azasi Manusia”.
Kemudian dikuatkan lagi dalam Bab VIII Pasal 101 Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tersebut Lembaga Komnas HAM dapat menampung seluruh
laporan masyarakat tentang terjadinya pelanggaran Hak Azasi Manusia.

b. Penyelesaian Sengketa Buruh Di Luar Pengadilan


Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial dalam Undang-undang Nomor
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
memungkinkan penyelesaian sengketa buruh/Tenaga Kerja diluar pengadilan.

1. Penyelesaian Melalui Bipartie


Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memberi jalan penyelesaian
sengketa Buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah mufakat
dengan mengadakan azas kekeluargaan antara buruh dan majikan. Bila
terdapat kesepakatan antara buruh dan majikan atau antara serikat pekerja
dengan majikan, maka dapat dituangkan dalam perjanjian kesepakatan
kedua belah pihak yang disebut dengan perjanjian bersama.

Dalam perjanjian bersama atau kesepakatan tersebut harus ditandatagani


kedua belah pihak sebagai dokumen bersama dan merupakan perjanjian
perdamaian.

2. Penyelesaian Melalui Mediasi


Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang bertugas melakukan
Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi penengah dalam
menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan. Seorang Mediator yang
diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam
Pasal 9 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial dan minimal berpendidikan S-1. Dalam
waktu 7 (tujuh) hari setiap menerima pengaduan si Buruh, Mediator telah
mengadakan duduk perkara sengketa yang akan diadakan dalam pertemuan
Mediasi antara para pihak tersebut.
Pengangkatan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh Menteri Tenaga
Kerja. Bila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui
Mediator tersebut dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para
pihak dan mediator tersebut, kemudian perjanjian tersebut didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

3. Penyelesaian Melalui Konsiliasi


Penyelesaian melalui Konsiliator yaitu pejabat Konsiliasi yang diangkat
dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran organisasi
serikat pekerja atau Serikat Buruh. Segala persyaratan menjadi pejabat
Konsiliator tersebut didalam pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dimana tugas
terpenting dari Kosiliator adalah memangil para saksi atau para pihak
terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima
penyelesaian Konsiliator tersebut.

Pejabat Konsiliator dapat memanggil para pihak yang bersengketa dan


membuat perjanjian bersama apabila kesepakatan telah tercapai.
Pendaftaran perjanjian bersama yang diprakarsai oleh Konsiliator tersebut
dapat didaftarkan didepan pengadilan Negeri setempat. Demikian juga
eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat
tesebut.

4. Penyelesaian Melalui Arbitrase


Undang-undang dapat menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase
meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar Serikat Pekerja
dan Majikan didalam suatu perusahaan.
Pengangkatan arbiter berdasarkan keputusan Menteri Ketenagakerjaan.
Para pihak yang bersengketa dapat memilih Arbiter yang mereka sukai
seperti yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Putusan Arbiter yang
menimbulkan keraguan dapat dimajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan
Negeri setempat dengan mencantumkan alasan-alasan otentik yang
menimbulkan keraguan tersebut. Putusan Pengadilan Negeri dalam Pasal
38 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, dapat membuat putusan mengenai alasan ingkar dan
dimana tidak dapat diajukan perlawanan lagi. Bila tercapai perdamaian,
maka menurut isi Pasal 44 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, seorang arbiter harus
membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak
dengan disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter.

Penetapan Akte Perdamaian tersebut didaftarkan dimuka pengadilan, dan


dapat pula di exekusi oleh Pengadilan atau putusan tersebut, sebagaimana
lazimnya. Putusan Kesepakatan Arbiter tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan
diberikan kepada masing-masing pihak satu rangkap, serta didaftarkan
didepan Pengadilan Hubungan Industrial terhadap putusan tersebut yang
telah berkekuatan hukum tidak dapat dimajukan lagi atau sengketa yang
sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan
Industrial.

c. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan

Sebelum keluarnya Undang-undang Hubungan Industrial penyelesaian


sengketa perburuhan diatur didalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1957
melalui peradilan P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Daerah) dan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat).

Untuk mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa Buruh dan


Tenaga Kerja sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman dibuat dan di
undangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial sebagai wadah peradilan Hubungan
Industrial disamping peradilan umum.

Dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang


Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatakan Pengadilan
hubungan industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan :
Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Adapun susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri terdiri dari :
 Hakim
 Hakim ad Hoc
 Panitera Muda, dan
 Panitera Pengganti.

Untuk Pengadilan Kasasi di Mahkamah Agung terdiri dari :

 Hakim Agung
 Hakim ad Hoc pada Mahkamah Agung ; dan
 Panitera
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia
sejak manusia lahir yang tidak dapat diganggu gugat dan bersifat tetap. 2.
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sebagai produk hukum,
merupakan juga hasil dari kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi, dan bahkan saling bersaingan. Adanya UU tersebut
dikarenakan lahir dari Perppu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM
tanggal 8 Oktober 1999. Hal ini tercermin dalam proses pembentukan
pengadilan HAM pertama kali di Indonesia.
Pada tanggal 31 Januari 2002, Menteri Kehakiman dan HAM RI,
Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra dan Ketua Mahkamah Agung, Prof. DR.
Bagir Manan, SH, MCL meresmikan beroperasinya Pengadilan HAM yang
pertama di Indonesia sebagai salah satu pelaksanaan UU No. 26 Tahun
2000, yaitu bertempat di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Pengadilan
HAM bukanlah badan peradilan baru atau badan peradilan yang berdiri
sendiri yang terlepas dari keempat badan peradilan yang selama ini kita
ketahui (Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan
Peradilan Tata Usaha Negara). Pengadilan HAM hanyalah salah satu divisi
atau bagian dari peradilan yang dibentuk dalam lingkungan badan Peradilan
Umum.
Penyelesaian sengketa buruh dan tenaga kerja melalui :
1. Penyelesaian Sengketa Buruh Melalui Komisi Nasional Hak Azasi
Manusia
2. Penyelesaian Sengketa Buruh Di Luar Pengadilan
 Penyelesaian Melalui Bipartie
 Penyelesaian Melalui Mediasi
 Penyelesaian Melalui Konsiliasi
 Penyelesaian Melalui Arbitrase
3. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan
B. Saran
Alhamdulilah makalah ini selesai kami susun harapan kami adalah semoga
makalah ini dapat memberikan gambaran akan bagaimana pengadilan hak
asasi manusia dengan permasalahan sengketa perburuhan dan tenaga kerja
diindonesia tentunya dalam menunjang pembelajaran pada mata kuliah Hak
Asasi Manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Pengadilan Hak Azasi Manusia, 2000 dan Undang-undang


HAM 1999, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2001.
Zainal Asikin. (1997). Dasar dasar hukum perburuhan.PT Raja Grafindo
Persada.Jakarta.
http://paschall-ab.blogspot.com/2015/02/pengadilan-ham-di-indonesia.html
https://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/beberapa-cara-penyelesaian-
sengketa-perburuhan/

Anda mungkin juga menyukai