Anda di halaman 1dari 40

JURNAL

EFEKTIFITAS PEMBERIAN HASIL REKOMENDASI


PENYELIDIKAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
TERHADAP DUGAAN PELANGGARAN HAK ASASI
MANUSIA KEPADA LEMBAGA NEGARA

Oleh :

RINI FITRIA MORFI


1910112042

Program Kekhususan : Hukum Tata Negara (PK V)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2023
ABSTRAK

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak kodrati setiap manusia. Hak Asasi
Manusia menjadi dasar suatu negara dalam membentuk segala ketentuan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM)sebagai lembaga independen, juga berlandaskan kepada pasal 28
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa;
perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah
tanggungjawab negara. Dalam menjalankan tugasnya, Komnas HAM dapat berwenang
melakukan penyelidikan terhadap dugaan kasus pelanggaran HAM dan mengeluarkan
hasil rekomendasi berdasarkan penyelidikan tersebut. Rumusan masalah yang diangkat
dalam penelitian ini pertama, bagaimana peran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
dalam menyelesaikan dugaan kasus pelanggaran HAM. Kedua, bagaimana sifat
rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam proses penyelidikan Hak Asasi
Manusia. Ketiga, bagaimana penerapan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia terhadap dugaan pelanggaran HAM kepada lembaga negara. Jenis penelitian
yang digunakan adalah yuridis emnpiris. Teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah dengan wawancara dan studi dokumen berupa Undang-Undang dan buku-buku
ilmiah. Jenis data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara
deskriptif. Hasil penelitian dan pembahasan menjelakan bahwa pertama, menurut
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM bahwa dalam melakukan perlindungan
dan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memiliki
peran dan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, mediasi, dan memiliki
kewenangan untuk menyelidiki dugaan kasus pelanggaran HAM berat, serta
mengeluarkan rekomendasi setelahnya. Kedua, Rekomendasi yang dikeluarkan oleh
Komnas HAM setelah dilakukannya penyelidikan merupakan tindak hukum publik
karena menghasilkan hubungan hukum antara Komnas HAM dengan Pemerintah selaku
penerima rekomendasi dan Substansi dari rekomendasi Komnas HAM mengenai adanya
suatu kasus pelanggaran HAM dan berbagai solusi dalam penyelesaiannya. Ketiga, hasil
rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat dan memaksa layaknya putusan pengadilan yang memiliki nilai eksekutorial.
Oleh sebab itu, rekomendasi Komnas HAM ada yang ditindaklanjuti oleh lembaga negara
yang dituju, ada pula yang tidak.

i
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Negara Gagasan tentang negara dan hukum sebagai pelindung hak-

hak kodrat manusia diperkenalkan oleh John Locke, seorang filsuf Inggris.

Locke mendasarkan teorinya pada keadaan manusia yang naturalis. Locke

melihat manusia dalam keadaan naturalis adalah masyarakat yang penuh

keteraturan. Keadaan ideal ini terjadi karena dalam keadaan naturalis, tidak

ada hak-hak dasar manusia yang dilanggar. Negara dan hukum diciptakan

untuk melindungi hak milik, hak hidup, dan kebebasan. Konsep dari locke

inilah yang menjadi asal mula konsep Hak Asasi Manusia.1

Hak untuk memperoleh kepastian hukum yang sama telah

ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama di hadapan hukum.”2 Konsekuensi logis daripada itu maka

konsensus negara memberikan hak yang sama (equity) untuk memperoleh

beberapa hal diantaranya adalah perlindungan dan kepastian hukum yang

adil sesuai dengan asas-asas pemerintahan umum yang baik.

Salah satu unsur utama yang dimiliki oleh negara hukum ialah

adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur

secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

1
Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, 2006, Memahami Hukum: Dari Kontruksi Sampai
Implementasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: hlm. 10.
2
Indra Kusumawardhana, 2018, Indonesia Di Persimpangan: Urgensi “Undang-Undang
Kesetaraan Dan Keadilan Gender” Di Indonesia Pasca Deklarasi Bersama Buenos Aires Pada
Tahun 2017, Jurnal HAM Vol. 9 No. 2, hlm 163.

1
Republik Indonesia Tahun 1945. Adanya perlindungan konstitusional

terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan

penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi

manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka

mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis3.

Negara hukum wajib melakukan penjaminan hak-hak bagi warga negara

dengan memberikan perlindungan dan mengupayakan kesejahteraan sosial

tanpa memandang status sosial, ras, suku, dan agama agar mampu

tercermin rasa keadilan dalam masyarakat. Dalam rangka mewujudkan

berbagai penjaminan hak, pembentukan lembaga negara/komisi negara

sebagai bagian penjagaan dan pemberian pelayanan bagi masyarakat yang

telah termaktub dalam konstitusi.

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak kodrati. Hak Asasi

Manusia dimiliki manusia karena dirinya manusia. Hak Asasi Manusia

menjadi dasar suatu Negara dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam kehidupan masyarakat.

Menurut Harifin A. Tumpa, bahwa negara dalam penciptaan hukum harus

tetap berada di dalam batas-batas Hak Asasi Manusia, juga berlaku bagi

pembentuk undang-undang formal. Pembentuk undang-undang formal

tidak berarti mempunyai wewenang dan boleh melakukan segalanya, tetapi

juga harus memperhatikan Hak Asasi Manusia, yang dijamin di dalam

3
Nurul Qamar, 2013, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi (Human
Rights in Democratische Rechsstaat), Jakarta: Sinar Grafika, hlm 58.

2
Undang-Undang Dasar.4

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia, Negara adalah salah satu elemen utama dalam

menunjang dan melindungi Hak Asasi Manusia. Secara umum, Pasal ini

menyebutkan bahwa negara adalah aspek terpenting dalam menjamin dan

melindungi keberadaan Hak Asasi Manusia yang dimiliki oleh seluruh

manusia mulai dari manusia dilahirkan hingga dinyatakan meninggal.

Kewajiban negara dalam memberikan perlindungan, pemajuan serta

penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, yang menjadi concern seluruh

dunia dewasa ini, merupakan konsep dunia modern setelah Perang Dunia

Kedua.5

Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental

dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan

persamaan hak antar negara. Tanggung jawab negara timbul apabila ada

pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu atau

tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan suatu perjanjian

internasional maupun.

Dasar perlindungan hukum atas Hak Asasi Manusia di Indonesia

terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 alinea IV, Bab XA Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945 (Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J),

4
Harifin A. Tumpa, 2010, Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM Di
Indonesia, Jakarta: Kencana, hlm. 59
5
Saafroedin Bahar, 2002 Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, hlm. 357.

3
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.6

Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 secara tegas menyatakan:

“Bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi


manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Demikian pula dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang HAM Pasal 71 yang menyatakan:

“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi,


menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam
undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum
internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara
Republik Indonesia”.
Berdasarkan amanat konstitusi yang dilanjutkan dengan Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka dapat

disimpulkan bahwa penegakan dan perlindungan terhadap Hak Asasi

Manusia adalah merupakan tanggung jawab dari pemerintah dengan cara

membentuk produk hukum lanjutan untuk mencegah terjadinya

pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan perintah Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pada tahun 1993 Presiden

Soeharto selaku kepala pemerintahan sekaligus kepala negara

mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun

1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Keputusan Presiden

(Keppres) ini merupakan dasar hukum terbentuknya lembaga negara yang

mengurusi bidang Hak Asasi Manusia yang kemudian dinamakan dengan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.


6
Titon Slamet Kurnia, 2005, Reparasi terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia,
Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 23.

4
Pembentukan Komisi nasional Hak Asasi Manusia sebagai

lembaga independen, juga berlandaskan hukum Pasal 28 I ayat (4)

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menegaskan bahwa:

perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi adalah

tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Pemerintah dalam hal ini

adalah Presiden Republik Indonesia yang telah mengesahkan UU HAM

(sebagai dasar hukum pembentukan Komnas HAM). Karena itu, Komnas

HAM berkedudukan sebagai komisi pembantu negara (state auxiliary

agency).7

Menurut Pasal 1 dan Pasal 4 Keputusan Presiden Republik

Indonesia tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ini,

tujuan dibentuknya Komnas HAM adalah untuk meningkatkan

pelaksanaan Hak Asasi Manusia yang bersifat nasional. Selain itu, tujuan

dari dibentuknya lembaga ini adalah; 1) Membantu mengembangkan

kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan Hak Asasi manusia sesuai dengan

Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan piagam Perserikatan

Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; 2)

Meningkatkan perlindungan Hak Asasi Manusia guna mendukung

pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia seutuhnya dan

pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (yang selanjutnya disingkat

menjadi Komnas HAM) berposisi sebagai lembaga negara mandiri dan

7
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, 2010, Hukum Lembaga Kepresidenan, Bandung:
Alumni, hlm. 148.

5
independen yang di dalam menjalankan tugas serta fungsinya memiliki

posisi yang setingkat dengan lembaga negara lain yang kewenangannya

diberikan oleh konstitusi. Meskipun secara vertikal Komnas HAM

mempunyai posisi sejajar dengan lembaga-lembaga negara lain, namun

dalam pelaksanaannya fungsi, tugas dan kewenangannya komisi ini harus

memberikan laporan kepada Presiden dan DPR.8

Sementara itu, dilihat dari fungsi lain yang dijalankannya, Komnas

HAM bertugas dan berwenang melakukan pemberian pendapat

(rekomendasi) berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara

tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara

tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan

acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas

HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.9 Dengan

diberikannnya fungsi saran (rekomendasi) pada Komnas HAM, maka

Komnas HAM telah menjalankan sebagian dari fungsi pengadilan (semi

judicial).

Berdasarkan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, “Komnas HAM berwenang melakukan;

a. Pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak


asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai
kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi;
b. Pengkajian dan penelitian berbagai peratuan perundang-undangan

8
Ibid.
9
Luh Gede Mega Karisma dan I Gde Putra Ariana, 2011, Kedudukan Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia Sebagai Lembaga Negara Independen Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, Bali: Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm. 5.

6
untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan,
perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan hak asasi manusia;
c. Penerbitan hasil pengkajian dan penelitian;
d. Studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain
mengenai hak asasi manusia;
e. Pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan
perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia; dan
f. Kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga
atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun
internasional dalam bidang hak asasi manusia.”

Berdasarkan penjabaran dari kewenangan Komnas HAM tersebut

diatas maka Komnas HAM diberikan kewenangan oleh Undang-Undang

untuk melakukan pengkajian dan mengeluarkan saran atau rekomendasi

terhadap kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tengah

berlangsung.

Berdasarkan uraian di atas, penulis akan melakukan penelitian

ilmiah yang berjudul Efektifitas Pemberian Hasil Rekomendasi

Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Terhadap Dugaan

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Kepada Lembaga Negara. Latar belakang

penulis menetapkan judul penelitian ini dikarenakan adanya temuan

Rekomendasi terhadap dugaan kasus pelanggaran Hak Manusia oleh

Komnas HAM yang tidak ditindaklanjuti oleh Presiden maupun Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR – RI).

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana Peran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Dalam


Menyelesaikan Dugaan Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia?

2. Bagaimana Sifat Rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi


Manusia Dalam Proses Penyelidikan Hak Asasi Manusia Di

7
Indonesia?

3. Bagaimana Penerapan Hasil Penyelidikan Komisi Nasional


Hak Asasi Manusia Terhadap Dugaan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Kepada Lembaga Negara?

8
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Dalam Menyelesaikan

Dugaan Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Kata “peran” atau “role” dalam kamus oxford dictionary diartikan

sebagai: Actor’s part; one’s task or function yang berarti aktor; tugas

seseorang atau suatu fungsi. Sedangkan istilah peran dalam “Kamus Besar

Bahasa Indonesia” mempunyai arti sebagai seperangkat tingkah yang

diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat,

kedudukan dalam hal ini diartikan sebagai posisi tertentu di dalam

masyarakat yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah.10

Kedudukan tersebut sebenarnya adalah suatu wadah yang isinya

adalah hak dan kewajiban tertentu, sedangkan hak dan kewajiban tersebut

dapat dikatakan sebagai peran. Oleh karena itu seseorang yang

mempunyai kedudukan tertentu dapat dikatakan sebagai pemegang peran

(role accupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk

berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.

Apabila seseorang menjalankan hak dan kewajiban sesuai kedudukannya

maka ia menjalankan suatu peran.11

Suatu peran dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur sebagai berikut:12

a) Peran yang ideal (ideal role)

10
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uac
t=8&ved=0ahUKEwjf44WN_d7XAhWMwI8KHf67CbwQFggmMAA&url=http%3A%2F%2Fdig
ilib.unila, diakses tanggal 12 Desember 2022 pukul 23.03 WIB
11
Ibid
12
Ibid

9
b) Peran yang seharusnya (Expexted)
c) Peran yang dianggap oleh diri sendiri (Percieved role)
d) Peran sebenarnya dilakukan (actual role)

Peran menurut Soejono Soekamto menyangkut 3 (tiga) hal, yaitu:13


a) Peran meliputi hal-hal yang berhubungan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat;
b) Peran merupakan serangkaian peraturan-peraturan yang nantinya
akan membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat;
c) Peran dapat juga dikatakan sebagai suatu perilaku yang ada di
dalam masyarakat dimana seseorang itu berada.

Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), yang

aspek legalitasnya menjadi unsur elementer yang harus dipenuhi maka

seluruh aspek penyelenggaraan pemerintah wajib mengakui dan

melindungi keberadaan Hak Asasi Manusia. Seperti yang termaktub di

dalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, secara tegas negara Indonesia menyatakan bahwasannya

Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Salah satu ciri dari negara

hukum adalah, adanya jaminan dan perlindungan terhadap Hak Asasi

Manusia.

Dalam catatan sejarah, negara Indonesia telah banyak mengalami

berbagai macam kasus penderitaan, penindasan, penghilangan secara

paksa, dan pembunuhan tanpa adanya proses peradilan (extra judicial

killing) yang kerap kali disebabkan oleh belum adanya pemahaman yang

rampung mengenai jaminan dan perlindungan terhadap Hak Asasi

Manusia.

Menyikapi berbagai macam dugaan pelanggaran Hak Asasi

13
Ibid

10
Manusia tersebut, maka pada tahun 1998 Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor

XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang isinya menegaskan

kepada seluruh elemen pemerintahan untuk menghormati, menegakan,

dan menyebarluaskan pemahaman tentang Hak Asasi Manusia, serta

meratifikasi segala aturan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai

jaminan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, serta memasukan

fungsi dan peran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ke dalam Undang-

Undang.

Komnas HAM sendiri lahir setelah ditandatanganinya Keppres No.

50 tahun 1993 tentang Komnas HAM yang berisi beberapa poin menarik

perihal kelembagaan Komnas HAM ini, yaitu:14 1) Tugas yang memang

lebih pada upaya penyebarluasan wawasan HAM; mengakaji instrumen

HAM dalam rangka memberikan masukan untuk askesi dan/atau ratifikasi

instrumen HAM internasional ke dalam hukum nasional; memantau dan

menyelidiki pelaksanaan HAM serta memberikan pendapat, pertimbangan

kepada pemerintah dan negara; dan mengadakan kerja sama regional dan

internasional (Pasal 5 Keppres).

Komnas HAM merupakan lembaga negara independen yang mana

dibentuk berdasarkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan dapat

dikatakan sebagai constitusional importance sama halnya dengan

kepolisian dan kejaksaan karena lembaga constitusional importance

14
Zainal Arifin Mochtar, Memikirkan Kembali Seleksi Lembaga Negara Independen
KHTN ke-2 dengan tema Menata Proses Seleksi Pimpinan Lembaga Negara, Padang: 11
September 2015, hlm. 7.

11
sendiri merupakan lembaga negara yag bersifat independen yang

berkedudukan atau memiliki derajat yang sejajar dengan lembaga negara

yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945.15 Meskipun secara vertikal

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mempunyai posisi

sejajar dengan lembaga-lembaga negara lain, namun dalam

pelaksanaannya fungsi, tugas dan kewenangannya komisi ini harus

memberikan laporan kepada Presiden dan DPR.16

Menindaklanjuti Ketetapan MPR di atas, maka pada tanggal 23

September tahun 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selain mengatur mengenai jaminan dan perlindungan terhadap Hak Asasi

Manusia, Undang-Undang tersebut juga mengatur mengenai kelembagaan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang fungsinya telah disebutkan

pada bagian umum Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998.

Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang


Hak Asasi Manusia menyebutkan : “Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang
kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi
melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan
mediasi hak asasi manusia”.

Berdasarkan Pasal tersebut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

memiliki empat fungsi yaitu :17

1. Fungsi Pengkajian Dan Penelitian

15
Rika Marlina , “Summary For Policymakers,” in Climate Change 2013 - The Physical
Science Basis, ed. Intergovernmental panel on Climate Change, Vol. 1 (Cambrige: Cambrige
University Press, 2018), 1-30, https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004.
16
Ibid, hlm. 149.
17
Pasal 89 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

12
Pada Pasal 89 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, Untuk melaksanakan fungsi Komnas

HAM pada bidang pengkajian, maka Komnas HAM berwenang

melakukan; a) pengkajian dan penelitian berbagai intrusmen

internasional Hak Asasi Manusia dengan tujuan memberikan

saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi;

b) pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-

undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan,

perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan Hak Asasi Manusia; c) penerbitan hasil

pengkajian dan penelitian; d) studi kepustakaan, studi lapangan,

dan studi banding di negara lain mengenai Hak Asasi Manusia; e)

pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan

perlindungan, penegakan, dan pemajuan Hak Asasi Manusia; dan f)

Kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga,

atau pihak lainnya, baik nasional ], regional, maupun internasional

dalam bidang Hak Asasi Manusia.

1. Fungsi Penyuluhan

Untuk menjalankan fungsi penyuluhan, Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia berpedoman pada Pasal 89 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia diantaranya; a) penyebarluasan

wawasan mengenai Hak Asasi Manusia kepada seluruh masyarakat

Indonesia; b) upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang Hak

13
Asasi Manusia melalui lembaga Pendidikan formal dan non-formal serta

berbabagi kalangan lainnya; dan c) kerjasama dengan organisasi, lembaga

atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun internasional

dalam bidang Hak Asasi Manusia.

2. Fungsi Pemantauan

Fungsi pemantauan pada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, diatur pada

Pasal 89 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia sebagai berikut; a) pengamatan pelaksanaan Hak Asasi

Manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut; b)

penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam

masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat

pelanggaran Hak Asasi Manusia; c) pemanggilan saksi untuk diminta

didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan

bukti yang diperlukan; e) peninjauan di tempat kejadian dan tempat

lainnya yang dianggap perlu; f)pemanggilan terhadap pihak terkaituntuk

memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang

diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan; g)

pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-

tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan

persetujuan Ketua Pengadilan; dan h)pemberian pendapat berdasarkan

persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam

proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran

Hak Asasi Manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh

14
pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib

diberitahukan hakim kepada para pihak.

3. Fungsi Mediasi

Dalam menjalani fungsi mediasi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

(Komnas HAM) perpatokan pada Pasal 89 Ayat (4) sebagai berikut; a)

perdamaian kedua belah pihak; b) penyelesaian perkara melalui cara

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsoliasi, dan penilaian ahli; c) pemberian

saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;

d) penyampaian rekomendasi atau suatu kasus pelanggaran Hak Asasi

Manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan e)

penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran Hak Asasi

Manusia pada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk

ditindaklanjuti.

Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan HAM, Komnas HAM juga diberikan kewenang untuk melakukan

penyelidikan terhadap dugaan kasus pelanggaran HAM berat sebagaimana yang

termaktub di dalam Pasal 18 hingga Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam proses penyelidikan dugaan kasus

pelanggaran HAM berat ini, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang

terdiri dari elemen Komnas HAM dan masyarakat sipil.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat pada Pasal 89 Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 18 hingga Pasal 20

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka

15
kewenangan yang diberikan oleh negara kepada Komnas HAM dalam rangka

menyelesaikan dugaan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

sangatlah luas.

Komnas HAM tidak hanya sebagai lembaga negara yang memberikan

penyuluhan pencegahan pelanggaran Hak Asasi Manusia, melainkan juga

sebagai penerima pengaduan, dan berperan sebagai lembaga yang memiliki

fungsi semi-yudisial dalam menyelesain dugaan kasus pelanggaran HAM dan

pelanggaran HAM berat seperti yang tertuang pada Pasal 18 Undang-Undang

Nomor 26 TAhun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh Karena itu, Komnas

HAM berkedudukan sebagai komisi pembantu negara (state auxiliary agency).18

Peran tersebut dapat menjadi signifikan dengan harapan masyarakat yang

begitu antusias menyambut keberadaan Komnas HAM semenjak

diberdirikannya lembaga negara tersebut. Dari luasnya kewenangan Komnas

HAM yang diberikan oleh Undang-Undang seperti yang telah dituliskan di atas,

maka Komnas HAM telah menjadi lembaga publik yang memiliki kekuasaan,

public service, kebebasan dan kewajiban terhadap kepentingan umum.19

B. Sifat Rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Dalam Proses Penyelidikan Hak Asasi Manusia Di Indonesia

Komnas HAM sendiri dibentuk untuk memajukan, menegakkan

serta melindungi hak asasi manusia, yang mana secara konstitusional

keberadaannya sangat penting. Selain itu Komnas HAM merupakan

18
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenan, Alumni, Bandung:
2010, hlm. 148.
19
Soerjono Soekanto, 1983, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat, Jakarta: Penerbit
Alumni, hlm 47-48.

16
lembaga mempunyai sebuah instrumen hukum yang dihasilkan dari

fungsinya dalam pemantauan, pengawasan serta tugas dan wewenangnya

dalam mediasi yang ditentukan berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-

Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Instrumen yang

dihasilkan berupa laporan hasil penyelidikan yang berbentuk rekomendasi

yang dikeluarkan oleh Komnas HAM terkait hasil pemantauan dan

pengkajian terkait kasus dugaan pelanggaran HAM, untuk disampaikan

pada Pemerintah maupun pihak yang relevan untuk ditindaklanjuti

penyelesaiannya.20

Berdasarkan kedudukan Komnas HAM dalam struktur

ketatanegaraan, maka terdapat pelimpaham kewenangan sebagian

kekuasaan kepada Komnas HAM dalam hal pengkajian, penelitian,

pemantauan, penyuluhan, dan media tentang HAM untuk menjamin

terwujudnya pemajuan dan penegakan HAM terutama dalam hal

pengawasan berdasarkan hasil pemantauan dan penyelidikan terhadap

berbagai kasus yang dianggap sebagai pelanggaran HAM. 21

Didalam Pasal 1 Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pemantauan dan Penyelidikan dijelaskan

bahwa rekomendasi adalah pendapat tertulis Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia yang disampaikan kepada para pihak yang relevan sehubungan

dengan dugaan peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sedang

20
Suhardin, “Eksistensi Komnas Ham Indonesia Dalam Menjalankan Perannya Sebagai
Upaya Mencari Keadilan Sehubungan Dengan Pelanggaran Ham”, Dinamika: Jurnal Ilmu Hukum,
Vol. 27, No. 2, Januari 2021, hlm. 21
21
Pasal 89 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia

17
ditangani oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk ditindaklanjuti

oleh penerima rekomendasi.22 Rekomendasi yang mana merupakan hasil

dari serangkaian penyelidikan atas dugaan kasus pelanggaran HAM yang

disampaikan kepada pemerintah atau DPR untuk ditindaklanjuti

penyelesaiannya. Terlihat jelas bahwa kewenangan yang dimiliki Komnas

HAM untuk mengeluarkan rekomendasi terhadap suatu kasus pelanggaran

HAM diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang

Nomor 39 Tahun Hak Asasi Manusia.

Secara prosedural, pengambilan keputusan dengan mengeluarkan

rekomendasi Komnas HAM dilakukan menurut pasal 89 ayat 4 huruf d

dan huruf f Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Yang mana terlebih

dahulu Komnas HAM menerima laporan/pengaduan dari seseorang atau

kelompok tekait terjadinya pelanggaran HAM. Selanjutnya dilakukan

penyelidikan pro yustisia yakni serangkaian tindakan Komnas HAM

selaku penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu

peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat

guna ditindaklanjuti dengan penyelidikan sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

HAM, dan dalam melakukan penyelidikan tersebut, Komnas HAM

membentuk tim ad hoc. Hasil dari temuan adanya pelanggaran HAM yang

berat kemudian disampaikan ke sidang paripurna Komnas HAM. Hasil

dari siding paripurna Komnas HAM tersebut, sub komisi pemantauan dan

22
Pasal 1 Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun 2010

18
penyelidikan menghasilkan berbagai rekomendasi kepada pemerintah atau

DPR dan instansi terkait yang bertanggungjawab terhadap peristiwa

pelanggaran HAM yang berat untuk ditindaklanjuti. Rekomendasi

Komnas HAM yang dikeluarkan memuat langkah-langkah penyelesaian

yang konkret yang dapat dilakukan dilakukan penerima rekomendasi

dalam hal ini pemerintah dan DPR. Substansi dari rekomendasi Komnas

HAM mengenai adanya suatu kasus pelanggaran HAM dan berbagai

solusi dalam penyelesaiannya.

Dalam melaksanakan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran

HAM, maka Komnas HAM berwenang melakukan :

1. Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang

timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya

patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

2. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok

orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat,

serta mencari keterangan dan barang bukti.

3. Memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk

diminta dan didengar keterangannya.

4. Memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya.

5. Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan

tempat lainnya yang dianggap perlu.

6. Memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara

tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan

19
aslinya.

7. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :

a. Pemeriksaan surat

b. Penggeledahan dan penyitaan

c. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan,

dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak

tertentu

d. Mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.23

Langkah selanjutnya yang dilakukan Komnas HAM setelah melakukan

penyelidikan yaitu menyerahkan hasil penyelidikan ke Jaksa Agung guna

ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan.

Tujuan rekomendasi Komnas HAM , yaitu mencapai pemajuan

dan penegakan HAM. Jika mengacu pada konsep pengawasan

administratif dan yuridis atas tindakan pemerintah, pengawasan yang

dilakukan oleh Komnas HAM merupakan jenis pengawasan yang

normatife yang mana jenis pengawasan normatif ini dilakukan tujuan

yang menekankan pada peran pemahaman nilai dan norma antara

pengawas dan yang diawasi. Pengawasan normatif tidak menggunakan

kekerasan untuk mempengaruhi tindakan pemerintah melalui dialog dan

negosiasi. Dunsire menyebutnya pengawasan yang “mengidentifikasi”

nilai, tujuan, dan opini bersama. Van den Heuvel menggunakan istilah

pengawasan “refleksi” untuk mempertahankan hukum model selama

23
Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

20
perkembangannya.24 Sejalan dengan tipe pengawasan ini, rekomendasi

Komnas HAM diberikan kepada instansi pemerintah atau DPR ketika

adanya pelanggaran HAM yang dilakukan tidak sesuai dengan nilai-nilai

dan tujuan yang dikehendaki dalam upaya penghormatan dan

perlindungan HAM setiap orang atau kelompok.

Berdasarkan paparan Koordinator Bidang Pemantauan dan

Penyelidikan Komnas HAM, Unun Kholisa memaparkan bahwa

rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM bersifat tidak Legal

Binding artinya kekuatan mengikat dari rekomendasi Komnas HAM tidak

memiliki kekuatan eksekutorial seperti kekuatan mengikat pada suatu

putusan pengadilan karena merujuk pada tujuan dibentuknya Komnas

HAM serta kewenangan yang diberikan kepadanya yang hanya berlaku

untuk menegakkan adanya pelanggaran HAM tanpa adanya daya paksa

yang dilakukan oleh Komnas HAM seperti adanya sanksi atau ancaman

terhadap penerima rekomendasi apabila tidak ditindaklanjuti. Maka dari

itu yang kemudian menyebabkan pelaksanaan rekomendasi ini dilakukan

secara sukarela yang artinya dimungkinkan untuk penerima rekomendasi

tersebut dianggap tidak sesuai dan tidak dapat dilaksanakan karena dalam

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan

Perkomnas Pemantauan dan Penyelidikan juga tidak mengatur secara jelas

ketika rekomendasi itu tidak ditindaklanjuti bahkan hanya sampai pada

24
Irfan Fachryddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, PT Alumni, Bandung, hlm 190.

21
pengiriman ulang berkas rekomendasi kepada yang tidak menindaklanjuti

rekomendasi tersebut.

Rekomendasi Komnas HAM adalah instrumen hukum dari

kewenangan Komnas HAM yang lahir berdasarkan hasil pemantauan dan

penyelidikan terhadap adanya suatu kasus pelanggaran HAM. Keputusan

yang dikeluarkan oleh Komnas HAM yaitu rekomendasi tersebut

merupakan salah satu bagian dari tindakan pemerintah. Maka dari itu

terdapat kewenangan dari Komnas HAM yang termasuk ke dalam

tindakan hukum publik karena dari tindakan itu menghasilkan suatu

hubungan hukum dari Komnas HAM dengan penerima rekomendasi,

yakni pemerintah, DPR, dan instansi terkait. Tindakan hukum publik yang

dilakukan oleh Komnas HAM merupakan tindakan publik bersegi satu,

karena rekomendasi yang dikeluarkan merupakan tindakan hukum

berkehendak satu pihak, dalam artian Komnas HAM itu sendiri karena

rekomendasi tersebut tidak dijelaskan secara rinci oleh pembuat Undang-

Undang.

Rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM hanya sebatas

laporan hasil penyelidikan hanya, tidak menjadi legally binding, artinya

rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM secara hukum bersifat

tidak mengikat penerima rekomendasi untuk harus menindaklanjuti setiap

rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM karena tidak ada

ketentuan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan terkait sanksi

atau akibat hukum apabila tidak menindaklanjuti rekomendasi yang

22
dikeluarkan oleh Komnas HAM. Tetapi dalam.upaya hukum melalui

proses Litigasi, Komnas HAM dapat berpendapat berdasarkan

persetujuanc dari Ketua Pengadilan atas perkara yang sedangcberlangsung

dalam proses peradilan.

C. Penerapan Hasil Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia Terhadap Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Kepada Lembaga Negara

Rekomendasi (recommendation) dapat bermakna sebagai satu atau

lebih tindakan lisan atau tertulis yang menjurus ke arah dan tidak

mengikat. Rekomendasi juga dapat diartikan sebagai saran yang

mendorong pihak lain untuk melakukan sesuatu tindakan (suggestion),

atau saran yang menyebabkan salah satu pihak melakukan sesuatu

pendapat (advise), karena sebab tertentu. Berdasarkan penjelasan di atas,

terdapat beberapa unsur dari rekomendasi:25

i. Pihak pemberi saran

ii. Pihak penerima saran; dan

iii. Adanya saran yang diberikan.

Namun, apabila pemberi rekomendasi menemukan bahwa

rekomendasi yang diberikan sebenarnya tidak benar, dan tindakan yang

diambil berdasarkan rekomendasi tersebut akan berdampak pada pihak

ketiga, pemberi rekomendasi bertanggung jawab secara hukum kepada

25
Made Jayantara, 2015, Kedudukan Hukum dan Fungsi DPRD (Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah) Dalam Penyelenggaraan Kewenangan Perizinan oleh Pemerintah Daerah, Tesis,
Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 73.

23
pihak yang dirugikan. Hasil tindakan yang diambil berdasarkan

rekomendasi.26

Pengertian rekomendasi Komnas HAM terdapat pada Pasal 1

Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (PerKomnasHAM)

tentang pemantau dan penyelidikan. Rekomendasi adalah pendapat

tertulis Komnas HAM yang disampaikan kepada para pihak yang relevan

sehubungan dengan dugaan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang

sedang ditangani oleh Komnas HAM guna ditindaklanjuti oleh penerima

rekomendasi.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan

berbagai kegiatan, antara lain menyebarkan wawasan nasional dan

internasional tentang Hak Asasi Manusia kepada masyarakat luas,

mengkaji berbagai instrument PBB tentang HAM, dan memberikan saran

tentang kemungkinan ratifikasinya serta melaksanakan pemantauan,

penyelidikan, dan pemajuan perlindungan HAM.27

Mulai tahun 2000, Komnas HAM bekerja melalui visi dan misi

yang telah dirumuskan.28 Visi Komnas HAM adalah Hak Asasi untuk

semua dan mempunyai misi sebagai berikut :

1. Mewujudkan lembaga yang mandiri, professional,

representatif, beribawa, dan dipercaya oleh masyarakat

nasional maupun internasional

26
Ibid.
27
Profil Komnas HAM, selengkapnya dapat dibaca pada laporan tahun 1999, (Jakarta:
Komnas HAM, 1999), hlm 7-8
28
Visi dan Misi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

24
2. Menegakan, memajukan, memelihara HAM

3. Membantu menyelesaikan pelanggaran HAM di

masyarakat

4. Menggerakan pembangunan berwawasan HAM

5. Membangun jaringan Kerjasama dengan semua pihak.

Dengan disahkannya visi dan misi yang komprehensif tersebut,

Komnas HAM menjadi salah satu lembaga mandiri dan independen yang

menurut peraturan perundang-undangan secara garis besar bekerja untuk

melindungi eksistensi Hak Asasi Manusia untuk masyarakat nasional

secara khusus, dan masyarakat internasional secara umum.

Menurut Kordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan

Komnas HAM, Unun Kholisa, yang penulis wawancarai pada tanggal 11

Januari lalu, mengatakan, bahwasannya menurut pasal 89 Ayat (3)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

dalam setiap dugaan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia,

Komnas HAM berperan Komnas HAM berwenang melakukan: a)

pengamatan pelaksanaan Hak Asasi Manusia dan penyusunan laporan

hasil pengamatan tersebut; b) penyelidikan dan pemeriksaan terhadap

peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau

lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran Hak Asasi Manusia; c)

pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang

dilakukan untuk dimintai dan didengar keterangannya; d) pemanggilan

saksi untuk diminta didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu

25
diminta menyerahkan bukti yang diperlukan; e) peninjauan di tempat

kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu; f) pemanggilan

terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau

menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan

persetujuan Ketua Pengadilan; g) pemeriksaan setempat terhadap rumah,

pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau

dimikili pihak tertentu dengan persetujuan Pengadilan; dan h) pemberian

pendapat berdasarka persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara

tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkaraj

tersebut terdapat pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam masalah publik

dan acara pemeriksaan oleh Pengadilan yantg kemudian pendapat

Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.

Melalui kesempatan yang sama, Unun Kholisa juga mengatakan

bahwa, pengaduan atas segala dugaan pelanggaran maupun kejahatan atas

Hak Asasi Manusia, dapat dilakukan oleh masyarakat kepada Komnas

HAM melalui langsung ataupun melalui surat. Setelah pengaduan

diterima oleh pihak Komnas HAM, maka Komisioner Komnas HAM

akan membentuk tim khsusus yang terdiri dari internal Komnas HAM dan

masyarakat sipil untuk kemudian melakukan penyelidikan terhadap kasus

tersebut.

Setelah melakukan penyelidikan terhadap dugaan kasus

pelanggaran Hak Asasi manusia tersebut, maka selanjutnya Komnas

HAM dapat mengeluarkan hasil rekomendasi terkait dengan penyelidikan

26
yang telah dilakukan. Rekomendasi tersebut berisikan tentang apakah

suatu kasus yang sedang diselidiki oleh Komnas HAM tersebut

mengandung pelanggaran HAM, pelanggaran HAM berat, atau tidak

terdapat ditemukan pelanggaran HAM.

Unun Kholisa menjelaskan, bahwa apabila hasil dari penyelidikan

Komnas HAM tersebut menyatakan bahwa kasus yang sedang diselidiki

adalah pelanggaran HAM, maka hasil rekomendasi tersebut akan

dilanjutkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk kemudian

ditindak lanjuti. Namun apabila hasil penyelidikan tersebut menyatakan

bahwasannya kasus yang sedang diselidiki adalah pelanggaran HAM

berat, maka Komnas HAM akan langsung meneruskannya kepada

Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan. Hal ini sesuai dengan

Pasal 89 Ayat (4) Huruf E Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Setelah hasil rekomendasi telah dikeluarkan oleh Komisi Nasional

Hak Asasi Manusia, maka pihak-pihak yang dituju oleh Komnas HAM

sebagai penindaklanjut hasil rekomendasi Komnas HAM, dimintakan

untuk memberikan atensi terhadap hasil rekomendasi tersebut. Namun,

Unun Kholisa juga menjelaskan bahwasannya tidak semua hasil

rekomendasi Komnas HAM dapat ditindak lanjuti oleh lembaga negara

yang dituju. Berdasarkan penjelasan Unun Kholisa, beberapa kasus

pelanggaran HAM berat yang tidak ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung

27
adalah kasus tragedy penghilangan orang secara paksa pada tahun 1965.

Selaras dengan keterangan Unun Kholisa, Andi Rezaldi selaku

Kepala Devisi Hukum Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan

(Kontras) juga menyatakan hal yang sama, bahwasannya Kontras juga

telah mencatat bahwa Komnas HAM telah mengeluarkan hasil

rekomendasi pelanggaran HAM berat terhadap kasus 1965 pada tahun

2008 lalu. Pada saat itu, Komnas HAM membentuk tim khusus yang

ditugaskan untuk melakukan pencarian fakta terhadap tragedi

kemanusiaan sepanjang tahun 1965-1966, namun hingga saat ini Jaksa

Agung selaku penerima rekomendasi dari Komnas HAM atas dugaan

pelanggaran HAM berat, tidak menindaklanjuti hasil rekomendasi

tersebut. Ini menandakan bahwa tidak ada kepastian hukum terhadap hasil

rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM.

Namun tidak semua pula hasil rekomendasi dari penyelidikan

Komnas HAM tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah. Pada kejadian

tragedi Stadion Kanjuruhan Malang, yang menewaskan kurang lebih

sebanyak 131 orang, Komnas HAM juga ikutserta dalam menyelidiki

dugaan pelanggaran HAM tersebut. Unun Kholisa mengatakan,

bahwasannya Komnas telah mengeluarkan rekomendasi dugaan

pelanggaran HAM terhadap kasus tersebut, meskipun dari lima poin

rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM, hanya empat yang

ditindaklanjuti oleh pemerintah, yang dalam hal ini Presiden Republik

Indonesia melalui Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum, dan

28
Keamanan, Mahfud M.D.

Pemaparan kasus di atas, samakin mempertegas bahwa sifat dari

rekomendasi Komnas HAM tidaklah mutlak untuk ditindaklanjuti oleh

lembaga negara terkait. Terkait rekomendasi yang dikeluarkan belum

sepenuhnya ditindaklanjuti tersebut, Undang-Undang tidak memberikan

kewenangan kepada Komnas HAM untuk meminta para instansi dan

lembaga menindaklanjuti rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh

Komnas HAM. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, penyampaian rekomendasi merupakan salah

satu pelaksanaan fungsi Komnas HAM dalam mediasi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka ketentuan hukum dari

rekomendasi Komnas HAM seperti yang termaktub di dalam Pasal 89

Ayat (4) dapat dipahami dengan menjadikan hasil rekomendasi

penyelidikan Komnas HAM sebagai sebuah produk hukum terhadap

pihak pemberi dan penerima hasil rekomendasi. Artinya, rekomendasi

yang dikeluarkan oleh Komnas HAM harus dihormati oleh pihak

pemerintah hingga rekomendasi ini ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.

Namun Unun Kholisa mengatatakan, kekuatan mengikat dalam

rekomendasi Komnas HAM, tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Hal

ini bermakna bahwasannya hasil rekomendasi Komnas HAM tidak

memiliki kekuatan hukum yang cukup kuat untuk wajib dijalani seperti

halnya putusan Pengadilan.

Undang-Undang HAM, Undang-Undang Pengadilan HAM, dan

29
Peraturan Komnas HAM tidak pernah mengatur mengenai eksekusi hasil

rekomendasi ini. Akibat dari ketiadaan kepastian hukum inilah, yang

membuat hasil rekomendasi penyelidikan Komnas HAM dilakukan secara

“sukarela” atau tidak ada keharusan untuk menjalankannya.

Tabel. 1.1 : Tabel hasil rekomendasi Komnas HAM29

N.o Peristiwa Status

1 Timor timur 1999 Ditindaklanjuti di Pengadilan

HAM Ad Hoc Jakarta, tahun

2002-2003

2 Tanjung Priok 1984-1985 Ditindaklanjuti di Pengadilan

HAM Jakarta

3 Abepura 2000 Ditindaklanjuti di Pengadilan

HAM di Makasar 2002-2003.

4 Trisakti, Semanggi I, dan Tidak ditindaklanjuti

Semanggi II 1998-1999

5 Kerusuhan Mei 1998 Tidak ditindaklanjuti

6 Wasior 2001-2002, dan Tidak ditindaklanjuti

Wamena 2003

7 Penghilangan orang secara Tidak ditindaklanjuti

paksa 1997-1998

8 Talang Sari 1989 Tidak ditindaklanjuti

29
Data yang diperoleh penulis dari Wawancara Penelitian dengan Unun Kholisa selaku
Kordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) pada tanggal 11 Januari 2022.

30
9 Penghilangan secara paksa Tidak ditindaklanjuti

G30SPKI 1965-1966

10 Penembakan Misterius 2982- Tidak ditindaklanjuti

1985

11 Jambo Keupok 2003 Tidak ditindaklanjuti

12 Simpang KAA Aceh 1999 Tidak ditindaklanjuti

13 Rumoh Geudong dan Pos Tidak ditindaklanjuti

Satt Aceh 1989

14 Pembunuhan Dukun Santet Tidak ditindaklanjuti

1998-1999

15 Paniai 2014 Tidak ditindaklanjuti

Berdasarkan data pelaksanaan rekomendasi Komnas HAM terkait

pelanggaran HAM yang berat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

kekuatan hukum rekomendasi Komnas HAM masih lemah, hal ini

disebabkan oleh ketidadaan daya paksa yang lebih untuk membuat

penerima rekomendasi untuk patuh dalam pelaksanaan rekomendasi. Hal

ini juga diperburuk dengan ketiadaan sumber hukum sekelas Undang-

Undang yang mengatur bahwa penerima rekomendasi wajib menjalankan

rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis

31
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Peran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam

menyelesaikan dugaan kasus pelanggaran Hak Asasi

Manusia seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

yakninya; peran pengkajian, penelitian, penyuluhan,

pemantauan, pemberian mediasi, serta memiliki

kewenangan untuk menyelidiki kasus dugaan pelanggaran

HAM berat.

2. Sifat rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

dalam proses penyelidikan Hak Asasi Manusia di Indonesia,

yaitu Non Legal Binding yang secara hukum tidak mengikat

dan memaksa penerima rekomendasi yang dikeluarkan oleh

Komnas HAM setelah dilakukannya penyelidikan terkait

dugaan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk

ditindaklanjuti yang mana rekomendasi tersebut memuat

langkah-langkah penyelesaian yang konkret yang dapat

dilakukan dilakukan penerima rekomendasi dalam hal ini

pemerintah dan DPR.

3. Penerapan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia terhadap dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia

kepada Lembaga Negara, berdasarkan hasil wawancara

32
penelitian penulis dengan Unun Kholisa selaku Kordinator

Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM RI,

Komnas HAM hanya terbatas pada pemberian hasil

rekomendasi saja tanpa bisa memberikan paksaan terhadap

lembaga negara yang dituju untuk menindaklanjuti hasil

temuan dan rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh

Komnas HAM. Hal ini terjadi karena adanya kekosongan

hukum yang mengatur secara rinci tentang eksistensi hasil

rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh Komnas HAM

yang tidak memiliki nilai eksekutorial ini. Oleh karena itu,

Lembaga Negara yang dituju untuk menindaklanjuti hasil

temuan dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas

HAM tidak memiliki kewajiban apapun untuk

menindaklanjutinya.

B. Saran

Dari hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai

berikut :

1. Agar pemerintah yang berwenang, dalam hal ini Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) bekerjasama dengan Presiden RI

untuk kemudian merumuskan dan mengesahkan Undang-

Undang yang khusus mengatur mengenai Komisi Nasional

Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebab selaku Lembaga

Negara yang mandiri dan independent sudah sepatutnya

33
memiliki Undang-Undang tersendiri guna adanya ikatan

hukum yang melandasi segala Tindakan dan

pertanggungjawaban dari Komnas HAM kepada pihak-pihak

yang menjadi partner kerjanya.

2. Seharusnya ada aturan khusus yang mengatur mengenai

eksistensi hasil rekomendasi Komisi Hak Asasi Manusia

(Komnas HAM) agar bisa memiliki nilai eksekutorial seperti

halnya putusan Pengadilan.

3. Seharusnya pihak-pihak yang dituju oleh Komnas HAM

sebagai lembaga penindaklanjut hasil rekomendasi lebih

menghargai hasil rekomendasi Komnas HAM dengan cara

menindaklanjuti rekomendasi tersebut sesuai dengan yang

direkomendasikan Komnas HAM.

4. Memandang hasil rekomendasi Komnas HAM sebagai sebuah

produk hukum yang dimana keberadaanya harus ditaati dan

dipatuhi oleh siapapun.

34
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI.
Bambang Sugiono, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
C.S.T. Cansil dan Christine S.T. Kansil, 2000, Hukum Tata Negara Republik
Indonesia 1, cetakan ketiga, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Harifin A. Tumpa, 2010, Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM Di
Indonesia, Jakarta: Kencana.
Irfan Fachryddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administras Terhadap Tindakan
Pemerintah, Bandung: PT Alumni.
Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, 2010, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia,
Bandung: PT Alumni.
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Malang: Bayumedia Publishing.
Luh Gede Mega Karisma dan I Gede Putra Ariana, 2011, Kedudukan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia Sebagai Lembaga Negara Independen Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Bali: Bagian Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Miriam Budiardjo, 1998, Menggapai Kedaulatan Untuk rakyat, Bandung:
Penerbit Mizan.
Ni’Matul Huda, 2012, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, Jakarta:
Rajawali Pers.
Nurul Qamar, 2013, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi
(Human Rights in Democratische Rechsstaat), Jakarta: Sinar Grafika.
P. Aston, 2013, Promoting Human Rights Through Bills of Rights, (Oxford:
University Press, 1999), p. 14, sebagaimana dikutip Hesti Armiwulan
Sochmawardiah, “Bab II Diskriminasi Rasial, Kebebasan dan Kesetaraan
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Hukum”, dalam Hesti
Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM:
Studi Tentang Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa, Yogyakarta: Genta
Publishing.
Saafroedin Bahar, 2002, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Saldi Isra, 2021, Lembaga Negara: Konsep, Sejarah, Wewenang, dan Dinamika
Konstitusional, Depok: Rajawali Pers.
Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, 2006, Memahami Hukum: Dari Kontruksi
Sampai Implementasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soerjono Soekanto, 1983, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat, Jakarta:
Penerbit Alumni.
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Soerjono Soekanto, 2015, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Pendidikan,“pendekatan kualitatif, kuantitatif
R & D, Bandung: Alfabeta.
Sumadi Suryabrata, 1983, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Titik Triwulan Tutik dan H. Ismu Gunadi Widodo, 2003, Hukum Tata Usaha
Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Titon Slamet Kurnia, 2005, Reparasi terhadap Korban Pelanggaran HAM di
Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ketetapan MPR Nomor 17 Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia
Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Pemantauan dan Penyelidikan
C. Tesis
Made Jayantara, 2015, Tesis: Kedudukan Hukum dan Fungsi DPRD (Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah) Dalam Penyelenggaraan Kewenangan
Perizinan Oleh Pemerintah Daerah, Universitas Udayana.
D. Jurnal
Gunawan A. Tauda, “Kedudukan Komisi Negara Independen dalam Struktur
Ketatanegaraan”, Jurnal Alumni Magister Ilmu Hukum UGM, Pranata
Hukum, Vol. 6, No. 2 Tahun 2011.
Indra Kusumawardhana, Indonesia Di Persimpangan: Urgensi “Undang-Undang
Kesetaraan Dan Keadilan Gender” Di Indonesia Pasca Deklarasi
Bersama Buenos Aires Pada Tahun 2017, Jurnal HAM Vol. 9 No. 2 Tahun
2018
Rika Marlina , “Summary For Policymakers,” in Climate Change 2013 - The
Physical Science Basis, ed. Intergovernmental panel on Climate Change,
Vol. 1 Tahun 2018.
Sri Hastuti Puspitasari, Komnas HAM Indonesia Kedudukan dan Perannya dalam
Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum, Vol. 9, No. 21 Tahun
2002.
Suhardin, “Eksistensi Komnas Ham Indonesia Dalam Menjalankan Perannya
Sebagai Upaya Mencari Keadilan Sehubungan Dengan Pelanggaran
Ham”, Dinamika: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 27, No. 2 Januari 2021.

E. Website

https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=r
ja&uact=8&ved=0ahUKEwjf44WN_d7XAhWMwI8KHf67CbwQFggmM
AA&url=http%3A%2F%2Fdigilib.unila

https://jikn.go.id/index.php/komisi-nasional-hak-asasi-manusia-republik-indonesia

https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/09/Peran-Komnas-HAM-
Dalam-Pemajuan-Dan-Perlindungan-Hak-Asasi-Manusia-di-Indonesia.pdf

https://www.komnasham.go.id/index.php/about/1/tentang-komnas-ham.html

Anda mungkin juga menyukai