Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PERKULIAHAN HUKUM DAN HAM

I. Laporan perkuliahan

A. Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Nasional


Penegakan hukum HAM merupakan upaya melaksanakan substansi yang termuat
dalam kebijakan (produk hukum) secara umum dan kebijakan-kebijakan yang mengatur
pemenuhan hak-hak dasar di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya dengan
memperhatikan faktor-faktor substansi hukum, sumberdaya hukum, dan budaya hukum
(kesadaran). Keterkaitan penegakan hukum dengan pembentukan hukum HAM merupakan
gambaran interrelasi antara proses pembentukan hukum (law making process), proses
sosialisasi hukum (law illumination process), dan proses penegakan hukum (law enforcement
process) yang diindikasikan dari dimensi akademik (pembentukan hukum), dimensi
administratif (pelaksanaan/penegakan hukum), dan dimensi sosial politik (sosialisasi hukum).
Instrumen HAM adalah alat yang digunakan untuk melindungi dan menegakkan
HAM. Instrument perlindungan HAM di Indonesia. Instrumen HAM berfungsi untuk
menjamin terwujudnya penegakan HAM di suatu negara. Instrumen ini berbentuk peraturan
hukum yang berisikan perlindungan masyarakat dari potensi pelanggaran HAM. Berikut
adalah instrumen HAM di Indonesia:
1. Pancasila
2. UUD 1945
3. Pembukaan UUD 1945
4. Ombudsman
5. TAP MPR
6. UU
7. Peraturan pemerintah

Hak asasi menusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahNya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

B. Tanggung Jawab Negara Terhadap Pelanggaran HAM


Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum
internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak antar negara.
Tanggung jawab negara timbul apabila ada pelanggaran atas suatu kewajiban internasional
untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan suatu
perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional
Dasar perlindungan hukum atas HAM di Indonesia terdapat dalam Pembukaan
Undang–Undang Dasar 1945 alinea IV, Bab XA Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 28A
sampai dengan Pasal 28J), Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, serta Undang–Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.3
Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah. Demikian pula dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang HAM Pasal 71 yang menyatakan: “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab
menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam
undangundang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak
asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Berdasarkan perintah undang-
undang tersebut telah jelas bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk
menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia
Upaya-upaya yang harus dilakukan Komnas HAM dalam rangka menjamin
perlindungan terhadap korban adalah:
1) Komnas HAM mengusulkan amandemen Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM
2) Komnas HAM tidak lagi menjadi lembaga negara nonstruktural yang pasif. Jadi
Komnas HAM harus melakukan skema-skema mediasi, pemantauan, dan
penyelidikan terhadap situasi yang berkembang saat ini sebagaimana dengan tujuan
awal pembentukannya untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi
pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Piagam
PBB, dan Deklarasi Universal HAM, serta meningkatkan perlindungan dan
penegakan HAM di Indonesia.
Jaminan terhadap korban pelanggaran HAM di Indonesia ini diatur dalam Pasal 35
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang berbunyi:
1. Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya
dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
2. Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM.
3. Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

C. Penegakan HAM di Indonesia


Tanggung jawab pemerintah penegakan HAM diatur dalam TAP MPR No.
XVII/MPR/1998. Menugaskan kepada pemerintah dalam arti luas komnas HAM, presiden
dan badan pengadilan HAM dan masyarakat Indonesia.
Penegakan HAM dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu:
1. Adanya aturan hukum tentang hak asasi manusia yang jelas
2. Adanya unsur pelaksana yang sering disebut penegak hukum seperti polisi, jaksa,
hakim, Lembaga mediasi lainnya yang bermoral baik dan terpuji.
3. Adanya sumber dana dan daya atau sarana dan prasarana yang memadai
4. Adanya dukungan dan kesadaran hukum dalam masyarakat.
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk menegakkan dan melindungi HAM di
antaranya:
1) Memasukkan HAM ke dalam UUD 1945 dan melakukan penyesuaian
terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan penegakan HAM,
2) Menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan sebagai instrumen
nasional HAM,
3) Membentuk Komisi Nasional HAM dan Pengadilan HAM, serta lembaga-
lembaga lain yang berwenang dalam penegakan HAM,
4) Menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM dengan menyeret para pelakunya
ke pengadilan HAM.
Upaya penegakan HAM bukan hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi masyarakat
juga harus berperan aktif dalam upaya tersebut. Bentuk partisipasi masyarakat dalam upaya
penegakan HAM di antaranya dilakukan dengan cara:
1) Tidak mentolerir setiap pelanggaran HAM yang terjadi,
2) Melaporkan terjadinya pelanggaran HAM kepada Komnas HAM atau
lembaga yang berwenang,
3) Melakukan penelitian atau menyebarluaskan informasi mengenai HAM, baik
secara mandiri maupun bekerja sama dengan Komnas HAM,
4) Mengajukan usulan mengenai perumusan kebijakan yang berkaitan dengan
HAM kepada Komnas HAM atau lembaga lain,
5) Mendukung upaya penegakan HAM, namun tetap bersikap kritis.
Ciri ciri kejahatan HAM berat, yaitu:
1. Berdampak secara luas (masional atau internasional)
2. Menimbulkan kerugian baik materil maupun immaterial yang mengakibatkan
perasaan tidak nyaman baik terhadapperorangan maupun masyarakat
3. Pelanggaran HAM berat bukan semata mata masalah hukum (legal heavy) tetapi
juga masalah politik (political heavy)
4. Kejahatannya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida (pasal 7 UU
No.6 tahun 2000, yaitu dalam unsur pelanggaran HAM berat)

D. Perbedaan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat dengan Pelanggaran HAM Ringan
Pelanggaran HAM di Indonesia diatur dalam Undang-undang atau UU Nomor 26
Tahun 2000. HAM dibedakan menjadi 2 yaitu: pelanggaran HAM ringan dan pelanggaran
HAM berat.
Pelanggaran HAM ringan meliputi penganiayaan, pencemaran nama baik,
menghalangi kebebasan berekspesi seseorang. Contoh kasus pelanggaran ham ringan adalah
kelalaian puskesmas memberikan vitamin kedaluwarsa kepada ibu hamil di Jakarta pada 23
Agustus 2021. Macam-macam bentuk pelanggaran HAM ringan adalah:
1. Melakukan penganiayaan.
2. Melakukan hal yang dapat mencemarkan nama baik seseorang.
3. Menghalangi seseorang untuk menyampaikan aspirasinya dengan berbagai
cara.
4. Melakukan aksi kekerasan dengan pemukulan.
5. Mengambil barang atau hak milik orang lain.
6. Menghalangi seseorang menjalankan ibadah.
7. Melakukan pencemaran lingkungan.
8. Melakukan perundungan, baik secara langsung maupun melalui media
sosial.
9. Tindakan pemaksaan orang tua terhadap anaknya.
Pelanggaran HAM berat pelanggaran yang mengakibatkan timbulnya perbuatan
pidana terhadap raga, jiwa, martabat, peradaban, dan sumber daya kehidupan manusia.
Menurut UU Nomor 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM berat terbagi menjadi dua yaitu
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan Hak Asasi Manusia
(disingkat Pengadilan HAM) adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.

E. Lembaga Nasional Penegakan HAM di Indonesia


 Tujuan dibentuknya KOMNAS HAM:
1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai Pancasila,
UUD 1945, Piagam PBB, Deklarasi maupum konvenan konvenan internasional.
2. Meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM untuk perkembangan pribadi
manusia Indonesia seutuhnanya dan kemampuannya berpartisispasi dalam berbagai
bidang kehidupan (Pasal 75 UU No.39 tahun 1999)

 Fungsi, Tugas dan Wewenang komnas HAM:


Fungsi, tugas dan wewenang komnas ham yaitu: pengkajian, penelitian, penyuluhan,
pemantauan, dan mediasi tentang HAM (Pasal 7 ayat 1 UU No. 39 tahun 1999)
 Fungsi pengkajian dan penelitian
1. Pengkajian dan penelitian instrument internasional HAM dengan
tujuan memberikan saran saran mengenai kemungkinan aksesi dan
ratifikasi.
2. Pengkajian dan penelitian peraturan perundang undangan yang
berkaitan dengan HAM
3. Penerbitan hasil pengkajian dan penelitian studi Pustaka, study
banding di negara lain mengenai HAM
4. Pembahasan masalah yang berkaitan dengan perlindungan
penegakan, dan pemajuan HAM.

 Fungsi penyuluhan
1. Penyebarluasan wawasan mengenai HAM
2. Peningkatan kesadaran HAM melalui Pendidikan formal serta
nonformal.

 Fungsi pemantauan
1. Pengamatan dan penyusunan hasil laporan pengamatan
2. Penyelidikan dan pemeriksaan peristiwa yang timbul atau perbuatan
pelanggaran HAM
3. Pemanggilan terhadap pihak pengadu dan korban atas persetujuan
pengadilan
4. Pemeriksaan tempat, rumah, bangunan, tempat tinggal pihak tertentu
atas persetujuan pengadilan.

 Fungsi mediasi dan perdamaian


1. Penyelesaian perkara dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, dan penilaian akhir.
2. Menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran HAM
kepada pemerintah untuk ditindak lanjuti penyelesaiannya.
3. Menyampaikan rekomendasi tas kasus pelanggaran HAM kepada
DPR RI untuk ditindak lanjuti.

F. Peradilan HAM Nasional


Diatur dalam KEPPRES Nomor 53 tahun 2001 dan Undang Undang nomor 26 tahun
2000.
Melahirkan 2 sistem peradilan HAM yaitu: peradilan Ad Hock dan peradilan HAM biasa.
1. Peradilan Ad hock
Perdilan adhock pertama kali menangani kasus Timor Timur. Kasus timor timur
sekaligus menjadi latar belakang lahirnya UU No. 26 tahun 2000 sebagai akibat
tekanan masyarakat internasional
2. Peradilan HAM biasa
Ada 3 kategori kejahatan tribunal, yaitu:
1) Kejahatan terhadap perdamaian
2) Kehatan terhadap perang
3) Kejahatan terhadap kemanusiaan

 Peradilan hybrid (hybrid tribunal)


Merupakan sistem yang menggabungkan unsur unsur nasional dengan unsur
unsur internasional. Peradilan ini muncul karena adanya persoalan antara
peradilan nasuonal dengan internasional dimana peradilan nasional dianggap
kurang kredibel dan berpihak sementara internasional berketerbatasan dalam
wewenang atau mandat. Ada 4 peradilan Hybrid yang didirikan, antara lain:
di Timor timur, di Cosovo (the regulation 64), di Ciera ( the special Ciera
Law), di Kamboja/ Burma

G. Peradilan HAM Internasional


Peradilan HAM Internasional bertugas untuk memeriksa dan memutuskan perkara
pelanggaran HAM berat yg dilakukan di luar batas territorial wilayah negara. Untuk
menangani pelaku kejahatan berat seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang, dan agresi menjadi wewenang Mahkamah Pidana Internasional atau
International Criminal Court (ICC). ICC menjadi mekanisme pelengkap penyelesaian
pelanggaran HAM berat.
Ada 4 yurisdiksi ICC, yaitu:
1. Teritorial yurisdiction
Yurisdiksi ini hanya berlaku bagi negara pihak ICC yang berdasarkan deklarasi.

2. Material yurisdiksi
Kejahatan kejahatan yang menjadi ruang lingkup yurisdiksi ini adalah : kejahatan
kemanusiaan, kejahatan perang, kejahatan genosida, kejahatan agregrasi.

3. Temporal yurisdiksi
ICC hanya dapat memiliki yursiduksi yang diatur dalam statute hanya jika statuta
diratifikasi atau berlaku.

4. Personal yurisdiksi
ICC hanya memiliki yurisdiksi orang dimana pelaku kejahatan harus bertanggung
jawab secara individu.
II. Analisis mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat di Pengadilan HAM
Nasional dan Pengadilan HAM Internasional

1) Penyelesaian pelanggaran HAM berat di Pengadilan HAM Nasional

a. Sebelum berlakunya uu no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia

Istilah pelanggaran berat HAM muncul untuk menggambarkan dahsyatnya


akibat yang timbul dari perbuatan pidana tersebut terhadap raga, jiwa, martabat,
peradaban, dan sumberdaya kehidupan manusia. Tindak kejahatan tersebut dilakukan
oleh pelakunya dengan maksud dan tujuan yang jelas untuk menyerang dan
menghancurkan orang-orang tertentu atau sekelompok manusia sehingga membawa
akibat atau dampak yang luas. Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat
berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial yang disebabkan oleh
perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar ras, etnik, warna kulit, budaya, bahasa,
agama, jenis kelamin, golongan, dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan
diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran HAM, baik yang bersifat vertikal
(dilakukan aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun yang
bersifat horisontal (antar warga negara sendiri) dan tak sedikit yang termasuk dalam
kategori pelanggaran HAM berat (Groos Violation of Human Rights).
Di Indonesia dahulu pernah terdapat aturan yang telah mengatur mengenai
asas non-retroative ini, tepatnya pada masa Hindia Belanda, yaitu pada pasal
3 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) yang terjemahannya: “Undang-undang
hanya mengikat untuk masa mendatang dan tidak mempunyai kekuatan yang berlaku
surut.” Asas retroaktif merupakan dasar yang membolehkan suatu peraturan
perundang-undangan dapat berlaku surut ke belakang. Hal ini berbeda dengan
kejahatan biasa (ordinary crime) yang perbuatannya baru dapat dihukum setelah ada
hukumnya/undang-undangnya terlebih dahulu. Asas yang berlaku dalam penanganan
kejahatan biasa adalah asas legalitas. Pasal 28 ayat 2 Undang Undang Dasar 1945 dan
hukum internasional menentukan bahwa asas retroaktif berlaku dalam menyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat.
Pengadilan HAM dan untuk kasus pelanggaran berat masa ini dilakukan
dengan dua cara penyelesaian yaitu melalui Pengadilan HAM ad hoc dan dapat
melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 

b. Setelah berlakunya uu no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia
Diundangkannya UU 26/2000 yang mendasari pembentukan pengadilan
HAM yang khususnya menangani pelanggaran HAM yang dikategorikan dalam
“pelanggaran HAM yang berat” (gross violations of human rights). Apabila terjadi
kasus pelanggaran HAM Berat, maka dalam hal penyelidikan kewenangannya berada
pada KOMNAS HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Sedangkan Kejaksaan
Agung sebagai Penyidik yang masing-masing secara independen tanpa saling
mempengaruhi.
Negara dan pemerintah dalam rangka menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia
maka terhadap pelanggaran HAM dikenakan sanksi sesuai hukum yang berlaku
sedangkan bagi pelanggaran HAM yang berat dirumuskan dalam UU RI No. 26
Tahun 2000. Yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat ialah,
Pertama: kejahatan Genosida, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf A
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama, dengan cara :
a. Membunuh anggota kelompok;
b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-
anggota kelompok;
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
pemusnahan secara fisik seluruh atau sebagiannya;
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok;
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok
lain;
Kedua: Kejahatan kemanusiaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf
B adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas
atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil berupa: Pembunuhan, Pemusnahan, Perbudakan, Pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa, Perampasan kemerdekaan atau perampasan
kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan (asas-asas)
pokok hukum internasional, Penyiksaan, Perkosaan (perbudakan seksual, pelacuran
secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara), Penganiayaan terhadap suatu
kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan ,agama, etnis, budaya, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui
secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional,
Penghilangan orang secara paksa dan Kejahatan apartheid.
Proses penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lalu diselesaikan melalui
Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang bersifat adhoc
yang terdapat dalam pasal 43 yang menyebutkan bahwa;
a) Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang
ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM adhoc;
b) Pengadilan HAM adhoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul
dewan perwakilan rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan
keputusan presiden;
c) Pengadilan HAM adhoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berada di lingkungan
peradilan umum;

Undang-Undang 26 Tahun 2000 yang mengatur tentang peradilan HAM


memberikan legitimasi bahwasanya proses penyelesaian kasus-kasus HAM Berat
diselesaikan melalui sebuah pengadilan yang bersifat ad-hoc.
Adapun pengaturan lebih lanjut mengenai pengertian pengadilan ad-hoc terdapat
pada pasal 43 yang pada pokoknya menyatakan bahwa peradilan HAM dibentuk atas
dasar usul dari DPR RI yang dilegitimasi melalui keputusan presiden.
Pengadilan HAM ad-hoc berada dalam ranah pengadilan umum dan pengadilan ini
merupakan pengadilan yang berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM Berat
yang terjadi sebelum adanya Undang-Undang Peradilan HAM.
Pada proses pembentukannya, pengadilan ini tidak memiliki mekanisme khusus,
tetapi dalam membentuk pengadilan ad-hoc haruslah didahului dengan adanya proses
penyelidikan yang dilakukan oleh KOMNAS HAM secara proaktif.
KOMNAS HAM merupakan lembaga yang memiliki wewenang dalam melakukan
pengusutan kasus HAM Berat yang dihasilkan dari penyelidikan  Komnas HAM
memiliki sifat Proyustisia. Setelah selesainya fungsi penyelidikan, Komnas HAM
melimpahkan berkas hasil penyelidikan kepada Kejaksaan Agung untuk melanjutkan
penyidikan. Ketika fungsi Jaksa Agung selesai, Jaksa Agung melalui Presiden
menyampaikan laporan kepada badan legislatif Indonesia yakni DPR.
Penyelesaian Pelanggaran HAM berat melalui pengadilan HAM ini sulit
ditempuh dikarenakan juga sulitnya pembuktian. Adapun jika sudah terbukti
keterlibatan aparat TNI maupun Kepolisian, seringkali atasannya tidak dapat
diikutsertakan dalam kesalahan anak buahnya. Penyelesaian pelanggaran HAM berat
menggunakan pengadilan HAM ini juga tidak memberikan keadilan bagi korban
maupun keluarga korban. Sifatnya hanya menghukum pelaku kejahatan baik secara
sanksi administratif kelembagaan maupun penerapan hukum pidana Indonesia.
Keluarga korban tidak dapat jaminan pemulihan trauma dan tidak ada jaminan oleh
negara untuk tidak melakukan pelanggaran HAM yang berulang. Menurut data,
setidaknya masih terdapat 12 kasus HAM berat yang belum terselesaikan.
Dari sini dapat dilihat masih kurang mampunya negara dalam menyelesaikan masalah
HAM dan menjamin keutuhan nilai HAM. Hal ini tentunya memberikan
ketidakpastian kepada keluarga korban dan mengkhianati perjuangan para pejuang
keadilan untuk Hak Asasi Manusia.
Ketentuan hukum acara proses peradilan hak asasi manusia sesungguhnya
telah diatur secara khusus dalam Bab IV Pasal 10-33 UU No. 26 Tahun 2000.
Namun, prinsip secara umum, hukum acara yang berlaku dalam pengadilan HAM
masih dominan bersandarkan pada KUHAP atau Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (vide: Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000). Secara garis besar diurut
dalam beberapa bagian:
(i) Penangkapan;
(ii) Penahanan;
(iii) Penyelidikan;
(iv) Penyidikan;
(v) Penuntutan; dan
(vi) Pemeriksaan di Sidang Pengadilan.

2) Penyelesaian pelanggaran HAM berat di Pengadilan HAM Internasional (ICC)


Konsepsi HAM yang berlaku secara universal dituangkan dalam Deklarasi
Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights),
yang diproklamirkan pada 10 Desember 1948 oleh majelis umum PBB, yang memuat
pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, pemilikan harta, hak-hak dalam
perkawinan, hak kerja, dan kebebasan beragama. Deklarasi Universal tentang Hak-
hak Asasi Manusia (DUHAM) ini telah memperkaya umat manusia tentang hak-hak
asasi manusia, dan menjadi bahan rujukan yang tidak mungkin diabaikan.
Kehadiran Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)
berdasarkan Statuta Roma 1998 diharapkan mampu menerima, memeriksa dan
mengadili perkara yang ada dengan tujuan untuk memberikan hukuman bagi para
pihak pelaku pelanggaran HAM berat. Saat kejahatan yang menjadi perhatian
masyarakat internasional terjadi jika ICC dapat bertindak sebagai pengadilan upaya
terakhir di bawah kondisi hukum tertentu. Pengadilan nasional dan pengadilan
bertanggung jawab mengadili kejahatan. Jika tidak maka ICC menjadi solusi terakhir
dan harapan terakhir para korban untuk mencari keadilan.
Fungsi Mahkamah Pidana Internasional ialah untuk menghukum pelaku
pelanggaran HAM berat, mencegah terjadinya lagi pelanggaran-pelanggaran HAM
tersebut, serta mengakhiri dan mencegah adanya impunity (keadaan masih bebasnya
pelaku kejahatan dari tuntutan hukum). Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
terbatas pada kejahatan yang paling serius yang menyangkut masyarakat internasional
secara keseluruhan. Berdasarkan Statuta Roma 1998 yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional berkenaan dengan kejahatan genosida (genocide), kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan
kejahatan agresi (aggression). Yurisdiksi tersebut hanya berkaitan dengan kejahatan
yang dilakukan setelah berlakunya Statuta Roma 1998.
Investigasi ICC dapat dilakukan dengan tiga acara berbeda, antara lain:
1. Negara pihak ICC dapat merujuk suatu konflik kepada jaksa penuntut.
kejaksaan memulai penyelidikan atas prakarsa sendiri berdasarkan informasi
yang diperoleh dari sumber yang dapat dipercaya.
2. Sebelum memulai investigasi, kantor kejaksaan ICC perlu melihat kejahatan
yang dituduhkan dan periksa apakah pengadilan memiliki yurisdiksi, artinya
jika diyakini bahwa kejahatan perang terhadap kemanusiaan, genosida atau
kejahatan agresi telah dilakukan.
3. Kemudian menganalisis kapan, dimana atau oleh siapa kejahatan itu
dilakukan.
Jika kriteria ini tidak terpenuhi, penyelidikan dapat dimulai dengan dua cara
lain, yaitu:
1) Negara non pihak dapat mengajukan deklarasi menerima yurisdiksi
pengadilan.
2) Dewan keamanan PBB dapat merujuk situasi ke pengadilan untuk kekerasan
yang menimbulkan perdamaian dan keamanan seluruh dunia.

Kantor kejaksaan ICC juga harus memverifikasi elemen lain, yaitu:


1. Karena ICC adalah pengadilan upaya terakhir, ada pemeriksaan apakah
pengadilan dan tribunal nasional melakukan penyelidikan serius atau tidak
mampu melakukannya. ICC bukan untuk menggantikan pengadilan nasional
tetapi melengkapi mereka.
2. Mengevaluasi level berat kejahatan karena keterlibatan ICC dicadangkan
hanya untuk kejahatan yang paling serius. Penilaian berat kejahatan: alam,
skala, cara pelaksanaan, dampak dari kejahatan tersebut.

Kemudian, ICC akan mempertimbangkan apakah memulai penyelidikan


melayani kepentingan keadilan atau tidak. Jaksa bekerja untuk menganalisis dan
menjawab semua pertanyaan yang munkin membutuhkan beberapa waktu. Jaksa
dapat memutuskan untuk tidak menyelidiki. Penyelidikan mungkin akan Panjang dan
rumit sehingga perlu dating ke lokasi kejadian. ICC mengandalkan kerja sama negara
di berbagai bidang seperti mengizinkan misi vestigasi dan memfasilitasi perlindungan
saksi dan kontak dengan korban.
Ada 6 proses ruang sidang di ICC:
1. Kehadiran tersangka,
2. Konfirmasi biaya
3. Praperadilan
4. Banding
5. Menjalani hukuman
6. Reparasi atau perbaikan

Anda mungkin juga menyukai