Anda di halaman 1dari 13

MENGAPA INDONESIA MASIH PERLU UNTUK MERATIFIKASI STATUTA

ROMA 1988

Kezia Ratna Hapsari Hutabarat 110110160448

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara yang merdeka sejak 17 Agustus 1945. Dalam perjalanannya,
Indonesia mempunyai periode gelap yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) berat. Beberapa kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan di Indonesia
adalah sebagai berikut:

1. Pembunuhan massal, penghilangan paksa, serta pemenjaraan anggota-anggota PKI


serta orang - orang yang hanya diduga atau dituduh, anggota atau simpatisan, PKI di
tahun 1965.
2. Penghilangan paksa, kerusuhan, serta penyerangan, yang punya dampak khusus
terhadap etnis Tionghoa di Jakarta pada tahun 1998.
3. Konflik Timor Timur pada tahun 1999.

Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma. Sedangkan agar Statuta Roma berlaku di
Indonesia, ia perlu diratifikasi terlebih dulu ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
karena ia berkaitan dengan hak asasi manusia.1
Salah satu alasan dari Kementerian Luar Negeri pada tahun 2017 mengapa Indonesia belum
meratifikasi Statuta Roma, adalah tidak ada infrastruktur hukum yang memadai, sehingga
Indonesia tidak bisa mengaplikasikan pengadilan domestiknya lebih dulu, dan dianggap
unable.2 Keberatan selanjutnya adalah ketakutan bahwa kedaulatan Negara Republik
Indonesia terancam karena International Crime Court bisa “mengintervensi”.3 Kekhawatiran
lainnya adalah Pemerintah Indonesia takut bahwa ICC akan mengadili pelanggaran hak asasi
manusia berat di masa lalu.4 Padahal, pasal 11 Statuta Roma menyatakan bahwa yurisdiksi

1
Pasal 10 Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
2
Wakhid Aprizal Maruf, “Kebijakan Indonesia Belum Meratifikasi Statuta Roma 1998”, Journal of
International Relations, Vol. 3, No. 2, 2017, hal. 87.
3
Marfuatul Latifah, “Urgensi Indonesia Menjadi Negara Pihak Statuta Roma Bagi Perlindungan HAM
di Indonesia”, Politica,Vol. 5, No. 2, 2014, hal. 175.
4
Ibid., hal. 176.
ICC hanya berlaku untuk mengadili kejahatan pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah
Statuta Roma entry into force.

Namun, Indonesia memiliki aturan mengenai Pengadilan HAM yaitu UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM. Lingkup kewenangan absolut dari pengadilan HAM Indonesia
berdasarkan Pasal 7 UU No. 26 tahun 2000 adalah sebagai berikut:
1. Kejahatan genosida;
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan.

Berbeda dengan statuta roma, kejahatan perang dan kejahatan agresi tidak menjadi cakupan
kejahatan HAM di UU No. 26 Tahun 2000.
Tetapi nyatanya kehadiran undang-undang ini tidak membawa jaminan terhadap penegakkan
keadilan dalam kasus pelanggaran HAM berat. Hal ini dapat dilihat dari dua kasus pertama
yang disebutkan di atas, belum diselesaikan di Indonesia, sedangkan lima terdakwa dari
penembakan orang di suatu Gereja di Timor Timur (sekarang Timor Leste) diputus bebas.
Penyelesaian kasus Timor Timur tahun 1999 dianggap beberapa pihak tidak konsisten dan
pemerintah saat itu dianggap kurang merespon, serta adanya sikap pro autonomy militias dari
angkatan militer dan polisi Indonesia saat itu.5

B. Permasalahan
1. Mengapa Indonesia masih perlu ratifikasi Statuta Roma?
C. Analisa
1. Keterlibatan Negara Dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia Berdasarkan
Perspektif Filosofis dan Hukum Internasional

Negara – Negara Barat sangat menekankan hak sipil dan politik individu
dalam hukum HAM internasional. Hak – hak tersebut antara lain adalah due
process, kebebasan berpendapat, berkumpul, dan beragama, serta partisipasi
politik dalam konteks pemerintahan.6

5
Salla Huikuri, “Empty Promises: Indonesia’s Non-Ratification of the rome Statute of the International
Criminal Court”, The Pacific Review, 2016, hal. 4, diakses dari
http://dx.doi.org/10.1080/09512748.2016.1145725, pada 23 Mei 2019.
6
Malcolm N. Shaw, International Law, Sixth Edition, New York: Cambridge University Press, 2008,
hal. 436.
Uni Soviet juga mementingkan hal – hal tersebut, namun mereka menekankan
peran dari Negara. Sumber dari prinsip – prinsip hak asasi manusia adalah dari
Negara. Tunkin, yang dikutip oleh Shaw, berpendapat bahwa konteks dari
prinsip penegakkan hak asasi manusia di hukum internasional dapat
dikategorikan menjadi tiga, yaitu,

“(1) Seluruh Negara mempunyai kewajiban untuk menghormati hak – hak


asasi serta kebebasan dari setiap orang dalam wilayah mereka; (2) Negara
mempunyai kewajiban untuk tidak memperbolehkan diskriminasi dengan
alasan gender, ras, agama, serta bahasa, dan (3) Negara mempunyai
kewajiban untuk mendukung penghormatan universal terhadap hak-hak
asasi dan bekerja sama satu sama lain untuk mencapai tujuan ini.”7

Kata – kata dari Tunkin mengimplikasikan bahwa fokusnya tidak hanya pada
individu, namun juga pada Negara. Hak asasi manusia tidak diatur secara
langsung oleh hukum internasional dan status individu sebagai subjek hukum
internasional juga terkadang masih diperdebatkan. Hak asasi manusia
diimplementasikan oleh Negara dan isinya merupakan masalah domestik
Negara manapun.8
Karena hak asasi manusia sendiri berkaitan langsung dengan Negara, poin
lainnya adalah konteks kewajiban internasional dari hak asasi manusia sendiri
dibuat oleh Negara berdasarkan perkembangan sosio-ekonomi. Sifat dan
konteks dari hak – hak tersebut akan beragam dari Negara ke Negara,
bergantung pada sistem sosial dari Negara tersebut. Dengan kata lain, Uni
Soviet mampu dan mau untuk menyetujui berbagai perjanjian internasional
mengenai hak asasi manusia, dengan dasar bahwa hanya kewajiban Negara
yang incurred, dengan tidak ada hubungan langsung terhadap individu, dan
kewajiban tersebut diinterpretasi oleh Negara dengan sistem sosio-ekonomi-
nya sendiri.9
Muncul pendekatan baru dari Negara-Negara dunia ketiga (third world states)
pada akhir 1980-an, yang menggabungkan kedua pandangan tersebut.

7
G. Tunkin, Theory of International Law, London, 1974, hal. 81.
8
Malcolm N. Shaw, Op.cit., hal. 268.
9
Ibid., hal. 268-269.
Kekhawatiran terhadap kesamaan dan kedaulatan dari Negara – Negara,
bersamaan dengan diakuinya urgensi hak – hak ekonomi dan sosial, menjadi
karakteristik dari pandangan Negara – Negara dunia ketiga. Negara – Negara
dunia ketiga sangat dipengaruhi oleh dekolonisasi serta perjuangan untuk
mencapai kemerdekaan, serta masalah – masalah ekonomi. Hak sipil dan
politik tradisional justru kehilangan prioritas di Negara – Negara dunia
ketiga.10
Dalam hukum internasional, Negara – Negara tidak bisa mengganggu masalah
domestik Negara lain, karena ada prinsip persamaan serta kedaulatan dari
Negara tersebut.11 Namun prinsip dasar ini telah menjadi bahan perdebatan
dalam konteks hak asasi manusia. Pada perkembangannya, muncul yurisdiksi
universal yang digunakan untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia
berat dalam hukum internasional.
Dari prinsip tersebut, maka sebelum kasus pelanggaran hak asasi manusia bisa
dibawa ke pengadilan internasional, atau mendapat intervensi dari Negara lain,
harus ada exhaustion of domestic or local remedies, atau upaya penyelesaian di
tingkat domestik. Dengan adanya aturan ini, Negara – Negara bisa
menyelesaikan masalah – masalah internalnya dengan proses dan mekanisme
mereka sendiri. Ketentuan mengenai exhaustion of domestic or local remedies
sendiri ada di berbagai perjanjian internasionalnya, contohnya dalam Article
41 (c) Civil and Political Rights Covenant serta Article 11 (3) Racial
Discrimination Convention.
Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) juga mewajibkan negara sebagai bagian
dari masyarakat internasional untuk menghukum para pelaku kejahatan
internasional yang mengganggu atau mengancam perdamaian, ketertiban, dan
keamanan dunia. PBB menegaskannya lewat Resolusi Majelis Umum
Perserikatan Bangsa - Bangsa 3074, yang berbunyi,

“Setiap negara berkewajiban untuk bekerja sama satu sama lain secara
bilateral atau multilateral untuk mengadili mereka yang dianggap

10
Ibid.
11
Lihat Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB.
bertanggung jawab melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.”

Mengapa Resolusi Majelis Umum PBB tersebut relevan? Karena kejahatan


yang menjadi yurisdiksi Statuta Roma seperti kejahatan perang, dianggap
sebagai kejahatan internasional.12
2. International Criminal Court (ICC)
Ada pandangan bahwa pengadilan khusus yang dibuat untuk mengadili para
pelaku kejahatan serius seperti IMT Nuremberg, IMT-FE, ICTY, dan UCTR,
telah dianggap cukup oleh beberapa kalangan, efektif bagi penyelesaian kasus
pelaku kejahatan serius, dimana mayoritas dari mereka yang sudah diketahui
terlibat dan mereka dengan kasus-kasus yang akan disidangkan sudah ditahan.
Namun, keduanya masih terbatas pada kejahatan yang dilakukan wilayah
tertentu dan dalam peristiwa tertentu saja.13
Selain itu, meskipun beberapa pihak telah puas dengan adanya pengadilan
khusus, ada juga pandangan bahwa tribunal khusus tersebut memiliki
kekurangan seperti banyaknya biaya yang dikeluarkan, dan kemungkinan
kurangnya keinginan politik negara tempat terjadinya perkara, serta
pelaksanaannya memakan waktu yang cukup lama.14 Akibatnya, saksi-saksi
tidak semuanya mampu lagi mengingat kejadian dengan jelas, serta ada
sejumlah saksi yang telah meninggal.
Alasan - alasan inilah yang menyebabkan masyarakat internasional
membutuhkan mahkamah kejahatan yang permanen. Selain sebagai eksistensi
dari hukum pidana internasional sendiri, keberadaan mahkamah pidana
internasional yang permanen bisa digunakan sebagai alat kontrol atau
pengendali bagi komunitas internasional dalam kaitannya dengan praktek
kejahatan serius.15
Yurisdiksi material International Criminal Court berdasarkan Pasal 5 Statuta
Roma antara lain:

12
Malcolm N. Shaw, Op.cit., hal. 668.
13
Hassan B. Jallow, Challenges of International Criminal Justice: The ICTR Experience, yang dikutip
oleh Marfuatul Latifah, Op.cit., hal. 170.
14
Amnesti Internasional, “Pengadilan Pidana Internasional ICC Lembar Fakta 2 Tentang Ratifikasi”,
hal. 2.
15
Marfuatul Latifah, loc.cit.
a. Kejahatan terhadap kemanusiaan;
b. Genosida;
c. Kejahatan perang, dan
d. Kejahatan agresi.

Prinsip dasar keberadaan International Crime Court sendiri berdasarkan Pasal


1 Statuta Roma adalah pelengkap atau complementary bagi yurisdiksi pidana
nasional. Artinya, Statuta Roma tidak menghapuskan atau mengganti
konstitusi atau kedaulatan negara pihaknya. Hal ini sesuai dengan prinsip
exhaustion of local remedies dalam hukum hak asasi manusia internasional.
Mahkamah harus mendahulukan sistem hukum nasional, kecuali jika negara
tersebut tidak mampu (unable) atau tidak mau (unwilling) dalam penyelidikan
atau penuntutan terhadap kejahatan pelanggaran HAM berat di negaranya.16
Sifat komplementer dari Statuta Roma juga seharusnya menjawab
kekhawatiran beberapa pihak bahwa International Crime Court akan
sembarangan ikut campur dalam masalah domestik negara. Karena seperti
yang sudah dijelaskan di atas, Statuta Roma tidak hanya bersifat
komplementer, tapi juga hanya berlaku bagi negara yang unwilling atau
unable.
Pada praktiknya juga, ada beberapa negara pihak ICC yang melakukan adopsi
terlebih dahulu, baru membenahi hukum nasionalnya. Salah satu negara yang
melakukan ini adalah Korea Selatan.17 Korea Selatan mampu melakukan hal
tersebut karena International Criminal Court memberikan bantuas teknis
seperti penyelanggaraan pelatihan dan peningkatan kapasitas bagi para
penegak hukum di negara pihak jika diberlakukan.18
3. Urgensi-Urgensi Indonesia Menjadi Pihak Statuta Roma
a. Pengurangan praktek impunitas (impunity)
Salah satu tujuan didirikannya International Criminal Court adalah
menghapus praktek impunity atau impunitas.19 Impunitas sendiri

16
Pasal 17 (1 (a)) Statuta Roma.
17
Kim Young Soo, “The Korean Implementing Legislation on the ICC Statute”, Chinese Journal of
International Law, Vol. 10, No. 1, Oxford University Press, 2011, hal. 162.
18
Marfuatul Latifah, Op.cit., hal. 179.
19
Lihat preamble Statuta Roma.
menurut Diane F. Orentlichter dalam Report of the Independent Expert
to update the Set of Principles to combat Impunity, adalah,
“Ketidakmungkinan de jure atau de facto untuk membawa pelaku
pelanggaran hak asasi manusia untuk mempertanggung jawabkan
perbuatannya baik dalam proses peradilan kriminal, sipil,
administratif, atau disipliner karena mereka tidak dapat dijadikan
objek pemeriksaan yang dapat memungkinkan terciptanya
penuntutan, penahanan, pengadilan, dan apabila dianggap bersalah,
penghukuman dengan hukuman yang sesuai, dan untuk melakukan
reparasi kepada korban-korban mereka.”20

Dalam Pasal 28 Statuta Roma bertujuan untuk menghukum the most


responsible person lewat commander responsibility, yang berbeda
dengan personal responsibility. Commander responsibility menghukum
orang yang justru melanggar HAM dengan tidak bertindak.
Pasal 28 Statuta Roma telah diadopsi di Pasal 42 UU Pengadilan Hak
Asasi Manusia, namun dalam prakteknya, ketentuan di Pasal 42 justru
mempunyai banyak celah hukum yang menjadi alasan bebasnya para
atasan atau komandan tersebut.21
Salah satu contoh praktek impunitas dalam sejarah Indonesia adalah
ketika peralihan kekuasaan dari Soeharto ke B.J. Habibie. Pada era
Habibie, banyak peradilan militer yang dibentuk untuk mengadili
sejumlah petinggi dan anggota Koppasus yang tergabung dalam Tim
Mawar, atas kejahatan terhadap kemanusiaan seperti penghilangan
paksa. Namun ada indikasi bahwa pengadilan yang dilakukan hanya
bertujuan untuk kompromi dengan kaum elit militer, untuk tidak
menjatuhkan hukuman yang mampu mengguncang atau memberikan
efek jera dalam badan militer.22

20
Diane F. Orentlichter, dikutip oleh Marfuatul Latifah, Op.cit., hal. 159.
21
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), “Ratifikasi Statuta Roma 1998”, 2015, hal. 11,
diakses di http://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/00000000_Kajian_Ratifikasi-statuta-roma-
1998_ELSAM.pdf, pada 23 Mei 2019.
22
Daniel Hutagalung, “Negara dan Pelanggaran Masa Lalu: Tuntutan Pertanggungjawaban Versus
Impunitas”, Dignitas: JURNAL HAM ELSAM, Vol. III, No. 1, 2005, hal. 230-231.
Kasus lainnya adalah kasus Timor Timur. Indikasi impunitas dalam
kasus tersebut terletak sejak proses penyelidikan oleh KPP HAM
selesai dan kemudian diserahkan kepada Jaksa Agung untuk
melakukan penyidikan. Terdapat sekitar 100 tersangka yang diajukan
oleh KPP HAM, namun Jaksa Agung hanya menyidik 18 tersangka.
Beberapa dari yang tidak diadili adalah dua perwira tinggi militer, yaitu
Jendral Wiranto dan Mayor Jendral Zacky Makarim, sehingga perwira
tertinggi yang diadili saat itu adalah Mayor Jendral Adam Damiri. Dari
18 tersangka tersebut, hampir semuanya mendapat putusan bebas.23
b. Mengatasi Kekurangan Hukum di Indonesia
Seperti yang telah ditulis dalam latar belakang, UU Pengadilan Hak
Asasi Manusia di Indonesia hanya mengenal dua kejahatan, yaitu
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Jelas bahwa
yurisdiksi pengadilan hak asasi manusia di Indonesia lebih sempit
dibandingkan Statuta Roma, yang memiliki empat yurisdiksi material.
Dengan meratifikasi Statuta Roma, Indonesia bisa mengadili kejahatan
perang yang terjadi di wilayahnya. Dengan melaksanakan kewajiban
dan kewenangannya, Indonesia juga secara tidak langsung ikut
berkontribusi terhadap ketertiban dan kedamaian dunia.
Selain yurisdiksi material Statuta Roma lebih banyak daripada UU
Pengadilan HAM, Statuta Roma bisa menjadi rencana “cadangan” jika
Indonesia tidak mampu atau tidak mau mengadili para pelaku
pelanggar hak asasi manusia berat. Hal ini bisa mengurangi
kemungkinan bebasnya pelaku pelanggar hak asasi manusia berat.
c. Perlindungan Bagi Saksi dan Korban
Statuta Roma tegas memberikan perlindungan bagi saksi. Perlindungan
bagi saksi dan korban diatur dalam Pasal 68 Statuta Roma.
Perlindungan bagi saksi dan korban pada dasarnya dibagi menjadi dua
cara, yaitu:
1. Proses persidangan in camera (sidang tertutup untuk umum),
dan memperbolehkan pengajuan bukti dengan sarana khusus
atau sarana elektronika lain. Tindakan-tindakan tersebut secara

23
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Op.cit., hal. 13.
khusus dilakukan untuk korban kekerasan seksual atau saksi
atau korban anak.24
2. Dibentuknya unit saksi dan korban. Unit ini berfungsi untuk
menyediakan langkah-langkah perlindungan dan pengaturan
keamanan, jasa nasihat dan bantuan yang perlu bagi para saksi,
korban yang menghadap di depan mahkamah, dan orang-orang
lain yang bisa mendapat resiko karena kesaksian yang
diberikan.25
Indonesia sebenarnya juga mempunyai aturan mengenai perlindungan
saksi dan korban. Pengaturan itu diatur dalam Pasal 34 Undang-
Undang Pengadilan HAM dan diikuti Peraturan Pemerintah No. 2
Tahun 2002 sebagai aturan pelaksananya. Namun berbagai aturan
perlindungan saksi dan korban yang ditulis dalam Pasal 34, banyak
yang tidak diatur di Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002.
Akibatnya, ketika pengadilan kasus Timor Timur, banyak saksi yang
tidak hadir. Beberapa dari alasan ketidakhadiran saksi-saksi adalah
kurangnya atau ketiadaan biaya untuk menghadiri persidangan, tidak
ada perahasiaan korban dan saksi, tidak ada safe house, dan perlakuan
tidak enak dari aparat keamanan.26
Dana untuk perlindungan saksi dan korban pun memiliki kepastian
karena adanya trust fund khusus bagi mereka.27 Pengelolaan trust fund
diatur oleh majelis negara - negara pihak dan pengaturannya lebih
lanjut terdapat dalam Aturan 94 International Crime Court Rules of
Procedure and Evidence.
4. Keuntungan Menjadi Negara Pihak Statuta Roma
a. Hak preferensi secara aktif dan langsung dalam segala kegiatan ICC
Keuntungan nyata yang diperoleh yaitu bilamana ada suatu
musyawarah yang melibatkan Negara peserta, maka kita akan dapat
memberikan suara dan pandangan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan isi Statuta Roma maupun hal-hal yang menyangkut peraturan

24
Pasal 68 ayat (2) Statuta Roma.
25
Pasal 68 ayat (4) Statuta Roma.
26
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Op.cit., hal. 23.
27
Pasal 79 Statuta Roma.
dan pelaksanaan International Criminal Court, termasuk masalah
administratif, dimana kita menjadi anggota Majelis Negara Pihak
(Assembly of States Parties).28 Bagi Negara peratifikasi Statuta Roma,
hal ini berarti memberikan hak preferensi secara aktif dan langsung
untuk memberikan peranannya secara aktif dalam segala kegiatan ICC,
termasuk diantaranya melindungi warga negaranya yang menjadi
subjek International Criminal Court.
b. Keuntungan dari segi politik dan diplomatik
Menjadi Negara pihak dalam Statuta Roma artinya kesempatan untuk
menjadi bagian dari anggota ICC pun terbuka lebar, karena setiap
Negara pihak berhak mencalonkan salah satu warga negaranya untuk
menjadi hakim, penuntut umum ataupun panitera. Hal ini dapat
meningkatkan kemampuan para aparat penegak hukum Indonesia
dalam berpraktek di Mahkamah Internasional, dan memperluas
wawasan dan pergaulan orang-orang Indonesia yang seandainya
terpilih menjadi hakim.29
Dari segi diplomatic dan politik, juga dapat menguatkan posisi tawar
Negara dalam pergaulan internasional.
c. Membantu mempercepat pembaharuan hukum (legal reform) di
Indonesia
Statuta Roma menganut prinsip non-reservasi.30 Ini artinya mau tidak
mau Indonesia akan mengikuti beberapa bagian dari International
Criminal Court yang mungkin tidak sesuai dengan sistem hukum
Indonesia. Contohnya adalah mekanisme pre-trial chamber dalam
International Criminal Court, yang berakar dari sistem Anglo-Saxon,
dan tidak ada dalam Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana
(Kuhap).31
Ketika seorang penuntut umum menyimpulkan ada dasar yang kuat
dan masuk akal untuk melaksanakan penyelidikan, maka ia akan

28
Pasal 112 Statuta Roma.
29
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Op.cit., hal. 31.
30
Pasal 120 Statuta Roma.
31
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Op.cit., hal. 33.
memohon kepada hakim pre trial untuk mengeluarkan surat
penangkapan atau surat permohonan untuk muncul di persidangan.32
Hakim hanya akan mengeluarkan jika ada dasar yang masuk akal.
Setelah hakim mengeluarkan surat penangkapan atau summons to
appear, hakim akan menentukan apakah bukti-bukti yang ada cukup
untuk lanjut ke proses persidangan.33
Diadakannya pre trial chamber dalam ICC membawa beberapa
keuntungan yang antara lain34:
1. Mencegah terjadinya pemutaran perkara antara penyelidik
dengan penuntut yang biasanya disebabkan karena kurangnya
hasil penyelidikan atau hal teknis seperti belum disumpahnya
penyelidik.
2. Kelengkapan bukti serta perlindungan bagi saksi dan korban
bisa dilakukan semaksimal mungkin.
3. Hal - hal yang telah diputus dan diperiksa dalam pre trial
chamber tidak perlu lagi diperiksa di pengadilan.
D. Kesimpulan
Indonesia perlu meratifikasi Statuta Roma karena agar suatu perjanjian internasional
bisa berlaku, atau mengikat Indonesia kepada perjanjian internasional tersebut, ia
pertama-tama harus diratifikasi dulu ke dalam perundang-undangan.
Alasan - alasan Indonesia harus mengikatkan diri pada Statuta Roma antara lain:
1. Hak asasi manusia tidak hanya berkaitan dengan individu tapi juga negara. Hal
ini karena implementasi hak asasi manusia dilakukan oleh negara, dan negara
punya kewajiban untuk menegakkan hak asasi manusia. Dengan meratifikasi
Statuta Roma, Indonesia memperkuat usahanya dalam penegakkan hak asasi
manusia.
2. Keberadaan mahkamah pidana internasional yang permanen sebagai alat
kontrol ketertiban dan keamanan internasional.
3. Statuta Roma bersifat komplementer sehingga tidak akan mengganggu
kedaulatan negara pihak.

32
International Crime Court, “Pre-Trial Stage”, diakses dari https://www.icc-cpi.int/pages/pre-
trial.aspx, pada 23 Mei 2019.
33
Ibid.
34
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Op.cit., hal. 33.
4. Statuta Roma tidak bersifat retroaktif dan hanya berlaku setelah entry into
force, sehingga pelanggar hak asasi manusia berat di masa lalu juga tidak akan
diadili di International Criminal Court, jika Indonesia meratifikasi Statuta
Roma.
5. Peratifikasian Statuta Roma dapat mengurangi praktek impunitas yang telah
terjadi di Indonesia.
6. Indonesia tidak harus memperbaiki hukum nasionalnya dulu. Korea Selatan
justru memperbaiki hukum nasionalnya setelah peratifikasian Statuta Roma,
dan mendapat bantuan dari International Criminal Court.
7. Statuta Roma dapat memperluas yurisdiksi pelanggaran hak asasi manusia
karena ia mempunyai yurisdiksi material yang lebih banyak daripada
pengadilan HAM Indonesia.
8. Statuta Roma lebih tegas dalam memberikan perlindungan terhadap korban
dan saksi.
9. Peratifikasian Statuta Roma dapat membawa keuntungan, baik dari segi
hukum maupun di luar hukum. Dari segi hukum, Statuta Roma dapat
mempercepat legal reform. Dari segi diplomatik dan politik, Indonesia dapat
mempunyai posisi tawar menawar di dunia internasional, dan memperluas
pergaulan Indonesia baik dari segi negara maupun dari individu yang mungkin
bergabung di International Criminal Court.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

G. Tunkin, Theory of International Law, London, 1974.


Malcolm N. Shaw, International Law, Sixth Edition, New York: Cambridge University
Press, 2008.

Jurnal:
Daniel Hutagalung, “Negara dan Pelanggaran Masa Lalu: Tuntutan Pertanggungjawaban
Versus Impunitas”, Dignitas: JURNAL HAM ELSAM, Vol. III, No. 1, 2005.
Marfuatul Latifah, “Urgensi Indonesia Menjadi Negara Pihak Statuta Roma Bagi
Perlindungan HAM di Indonesia”, Politica,Vol. 5, No. 2, 2014.
Salla Huikuri, “Empty Promises: Indonesia’s Non-Ratification of the rome Statute of the
International Criminal Court”, The Pacific Review, 2016.
Wakhid Aprizal Maruf, “Kebijakan Indonesia Belum Meratifikasi Statuta Roma 1998”,
Journal of International Relations, Vol. 3, No. 2, 2017.

Dokumen Hukum:

Statuta Roma 1998.


Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Lain - lain:

Amnesti Internasional, “Pengadilan Pidana Internasional ICC Lembar Fakta 2 Tentang


Ratifikasi”.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), “Ratifikasi Statuta Roma 1998”,
2015.
https://www.icc-cpi.int.

Anda mungkin juga menyukai