Anda di halaman 1dari 20

Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)

Sejarah International Criminal Court

 Sejarah pembentukan International Criminal Court (ICC) atau


Mahkamah Pidana Internasional telah melalui perjalanan yang
panjang.
 Nuremberg Trial (1945) dan Tokyo Trial (1946).
 Pengadilan Nuremberg ini berawal dari London Charter (1945).
London Charter inilah yang menjadi statuta bagi Nuremberg Trial
sehingga istilah London Charter sering juga disebut Nuremberg
Charter. Mengapa charter ini dianggap penting dalam hukum pidana
internasional ?
 karena pasal 6 charter ini menegaskan bahwa ada tiga jenis kejahatan
internasional yang dapat diadili oleh Pengadilan Nuremberg dengan konsep
pertanggungjawaban individu, yaitu:
 kejahatan perdamaian, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan Perang.
 Charter itu juga mulai mengadopsi prinsip pertanggungjawaban individu
dihadapan pengadilan internasional.
Mahkamah Pidana
Internasional
 Suatu badan peradilan independen yang bersifat permanen,
yang dibentuk oleh anggota masyarakat internasional melalui
Statuta Roma.
 MPI berbeda dengan pengadilan HAM lainnya seperti
Pengadilan Pidana Nurenberg (1945); Pengadilan Pidana Tokyo
(1946); International Criminal Tribunal for former Yugoslavia
(1993); maupun International Criminal Trbunal for Rwanda
(1994). Keempatnya merupakan lembaga pengadilan
internasional yang bersifat Ad Hoc (sementara).
 Tujuan dibentuknya MPI adalah mengadili tindak pidana yang
mengancam jiwa manusia berdasar hukum internasional.
 Berkedudukan tetap di Den Hag Belanda
Statuta Roma

 Disahkan pada tanggal 17 Juli 1998. Sebanyak 120


negara menandatanginya (termasuk Indonesia), 7
menolak (Amerika Serikat, China, Irak, Israel, Yaman,
Qatar, Libya), dan 21 negara lainnya abstain.
 Untuk berlakunya statuta ini dibutuhkan 60 ratifikasi
dari negara peserta. Syarat tersebut terpenuhi pada
tanggal 1 Juli 2002 karena pada tanggal tersebut
sebanyak 60 negara telah meratifikasi statuta tersebut.
 Oleh karenanya ICC mulai bekerja sejak 1 Juli 2002.
Maka sejak saat itulah ICC resmi berdiri dan hadir
melengkapi sistem hukum internasional.
International Criminal Court (ICC)

 International Criminal Court adalah Mahkamah Pidana Internasional


yang permanen dan independen, yang bekerja menurut asas
remedi domestic, artinya :
 pengadilan ini akan tetap memberikan hak pertama bagi pengadilan
nasional untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku kejahatan
internasional.
 Bagian akhir dari preambule Statuta ICC menegaskan bahwa ICC bersifat
komplementer terhadap pengadilan nasional, artinya melengkapi
pengadilan nasional dan akan tetap menghormati proses hukum di negara
yang bersangkutan. Bukan bersifat substitutif, seperti yang terjadi pada
ICTY dan ICTR, dimana kedua pengadilan itu mengambil alih wewenang
pengadilan nasional untuk mengadili pelaku kejahatan internasional
 Apabila pengadilan nasional tersebut tidak mau (unwilling) atau tidak
mampu (unable) melaksanakannya maka barulah mahkamah ini akan
bekerja.
 Sehingga kedudukan Mahkamah adalah sebagai
last of the last resort bukan sebagai the first
resort. Mahkamah hanya akan bertindak jika
pengadilan nasional dimana kejahatan terjadi
atau pelaku adalah warganegaranya tidak mau
atau tidak mampu melakukan penuntutan
terhadapnya. Dalam konteks ini mahkamah
tidak mengganggu gugat kedaulatan negara
untuk mengadili pelaku kejahatan internasional
sebagaimana dimaksud diatas.
 Penegasan cara kerja pengadilan yang bersifat komplementer
ini ditegaskan dalam pasal 17 ayat (1) huruf a dan b.
 Pasal 17 ayat (1)
 “Dengan memperhatikan paragraf 10 Pembukaan dan pasal 1,
Mahkamah harus menentukan bahwa suatu kasus tidak dapat
diterima apabila:
 (A) kasus ini sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu Negara yang
memiliki yurisdiksi atas hal itu, kecuali jika Negara tidak mau atau
tidak sungguh-sungguh untuk melaksanakan penyidikan atau
penuntutan;
 (B) kasus tersebut telah diselidiki oleh suatu Negara yang memiliki
yurisdiksi atas dan Negara telah memutuskan untuk tidak menuntut
orang yang bersangkutan, kecuali keputusan yang dihasilkan dari
ketidakmauan atau ketidakmampuan Negara untuk menuntut
Dalam hal yang seperti apa Mahkamah berpendapat bahwa pengadilan
negara tersebut tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable)
mengadili si pelaku

 Untuk menentukan apakah pengadilan nasional suatu negara “tidak mau” (unwilling)
untuk mengadili suatu kasus, Mahkamah Pidana Internasional menggunakan kriteria
yang telah ditetapkan oleh Pasal 17 Statuta Roma. Dalam Pasal tersebut ditegaskan
bahwa Mahkamah Pidana Internasional akan mempertimbangan principle of due
process (prinsip proses peradilan yang fair, terbuka dan jujur) sebagaimana diakui
oleh hukum internasional. Untuk itu Mahkamah akan melihat adanya beberapa
situasi, yaitu:
 a. Proses pengadilan nasional dilakukan untuk tujuan melindungi seseorang dari
pertanggungjawaban pidana;
 b. Penundaan proses pengadilan nasional yang tidak sewajarnya sehingga tidak sesuai
dengan maksud untuk mengadili pelaku kejahatan;
 c. Proses pengadilan tidak dilakukan secara independen dan imparsial atau cara – cara lain
yang tidak sesuai dengan maksud untuk mengadili seoran pelaku kejahatan.
 Untuk menentukan apakah pengadilan nasional tidak mampu (unable) mengadili
suatu kasus juga menggunakan kriteria yang telah ditetapkan dalam Pasal yang
sama. Mahkamah Pidana Internasional akan mempertimbangkan apakah suatu
negara tidak dapat menyelenggarakan proses pengadilan yang memadai karena
sistem peradilan nasional di negara tersebut telah tidak berfungsi sama sekali (total
or substantial collapse or unavailability of national judicial system).
YURISDIKSI MAHKAMAH

 Yurisdiksi personal
 ICC menganut tanggung jawab pidana secara
pribadi dari individu (pasal 1 juncto pasal 25)
 ICC tidak memiliki yurisdiksi personal terhadap
pelaku kejahatan yang ditetapkan dalam statute
roma apabila si pelaku pada waktu terjadinya
kejahatan berumur kurang 18 tahun
 Orang yang diperiksa harusnya dikembalikan ke
negaranya untuk diadilidi negaranya
 Yurisdiksi materiil
 Mahkamah ini diatur dalam pasal 5 Statuta ICC.
Pasal ini menyebut bahwa Yurisdiksi mahkamah
harus terbatas pada kejahatan paling serius yang
menjadi perhatian masyarakat internasional
secara keseluruhan. Yang meliputi:
 Kejahatan kemanusiaan
 Kejahatan perang
 Genosida
 kejahatan agresi
GEnoside

 Genosida merupakan salah satu atau lebih dari perbuatan


berikut, yang dilakukan dengan maksud menghancurkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras atau
agama, dengan cara :
a. Membunuh;
b. Penganiayaan fisik atau mental yang berat;
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruhnya
atau sebagian;
d. Memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran dalam suatu kelompok;
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok
ke kelompok lainnya
KEJAHATAN KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINST HUMANITY)

 Crimes against humanity adalah salah satu atau lebih dari beberapa
perbuatan, yang dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang
sistematis or meluas, langsung ditujukan kepada populasi penduduk sipil,
dengan cara sbb:
1. Pembunuhan;
2. Pembasmian;
3. Perbudakan;
4. Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. Pengurungan atau pencabutan kemerdekaan fisik secara sewenang-wenang dan
melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;
6. Penyiksaan;
7. Permerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan secara
paksa, dan bentuk kekerasan seksual lainnya;
8. Penindasan terhadap suatu kelompok;
9. Penghilangan orang secara paksa;
10. Tindak pidana rasial;
11. Perbuatan tidak manusiawi lainnya.
 Karakteristik Crime Against Humanity:
1. Kejahatan terhadap kemanusiaan harus
dilakukan sebagai bagian serangan
yang sifatnya sistemik dan meluas;
2. Ditujukan langsung terhadap populasi
penduduk sipil;
3. Dilakukkan berdasar suatu kebijakan
negara atau suatu organisasi.
Kejahatan perang
 Perbuatan berupa pelanggaran terhadap konferensi Jenewa (12
Agustus 1949) dan Pelanggaran hukum berat menurut hukum
Internasional.
 a. Bentuk pelanggaran Konf. Jenewa sbb:
1. Sengaja melakukan pembunuhan;
2. Penyiksaan atau perlakuan secara tidak manusiawi, termasuk percobaan biologi
kepada manusia;
3. Menimbulkan penderitaan yang berat atau luka badan, yang tidak dibenarkan oleh
kepentingan militer, dilakukan secara melawan hukum dan semena-mena;
4. Perusakan masif dan perampasan harta benda;
5. Pemaksaan terhadap tawanan perang atau orang yang dilindungi lainnya untuk
berdinas dalam tentara negara musuh;
6. sengaja melakukan pencabutan thd hak-hak tawanan perang atau orang yang
dilindungi lainnya atas pengadilan yang adil dan wajar
7. Penyanderaan;
8. Deportasi atau pemindahan atau penahanan secara melawan hukum.
 b. Pelanggaran bukum berat menurut H. Internasional, sbb:
1. Sengaja melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil atau terhadap orang
sipil yang tidak terlibat pertempuran;
2. Sengaja melakukan penyerangan terhadap sasaran sipil;
3. Sengaja melakukan serangan terhadap personel, instalasi, bangunan, unit, atau
kendaraan bantuan kemanusian dan misi-misi penjaga kedamaian;
4. Sengaja melancarkan serangan yang dapat mengakibatkan kematian atau
cidera terhadap penduduk sipil, atau kerusakan terhadap sasaran sipil, atau
megakibatkan kerusakan masif;
5. Penyerangan atau peledakan kota, desa, tempat tinggal, yang bukan sasaran
militer;
6. Pembunuhan atau melukai kombatan yang sudah menyerah;
7. Penyerangan tempat ibadah, pendidikan, kebudayaan, IPTEK, bangunan
bersejarah, rumah sakit;
8. Dll.
Agresi

 Unsur-unsur dari agresi masih didiskusikan oleh negara


peserta penandatangan Statuta Roma. Namun dalam hukum
internasional, konsep agresi ialah suatu perbuatan yang
melibatkan aksi militer ke negara lain. Beberapa kasus yang
mengarah kepada definisi agresi, dapat dilihat dalam aksi
militer Amerika Serikat, Nikaragua, Kosta Rika, El Salvador.
 Amerika Serikat termasuk penentang dimasukkannya agresi
ke dalam Statuta Roma. Hal ini dikarenakan Amerika khawatir
apabila ada dampak bagi komandan-komandan militer mereka
yang melakukan operasi-operasi di daerah militer negara lain.
 Peradilan dan pemidanaan terhadap pelaku agresi, hanya
dapat dihukum, jika para negara penandatangan menyetujui
definisi dan elemen-elemen dari agresi.
 Yurisdiksi Ratione Temporis (waktu) :
 Terbatas pada kajahatan-kejahatan
sebagaimana dimaksud pasal 5 statuta ini yang
terjadinya setelah tanggal berlakunya statuta ini
yaitu 1 Juli 2002. Hal ini diatur dalam pasal 11.
 Yurisdiksi mengenai waktu terjadinya kejahatan ini
menegaskan pula asas non retro aktif yang dianut
oleh mahkamah, artinya kejahatan yang dilakukan
sebelum tanggal 1 Juli 2002 bukan menjadi
wewenang mahkamah.
 Bagaimana terhadap kejahatan seperti yang ditentukan dalam statute,
tetapi terjadi sebelum berlakunya statute
 Pertama : Pengadilan Nasional negara tempat kejahatan atau yang memiliki
yurisdiksi atas kejahatan tersebut.
 Dewan keamanan dapat membentuk Badan Pengadilan Pidana Internasional
Ad.Hoc seperti Mahkalah Kejahatan Perang Yugoslavia atau Rwanda
 Yurisdiksi temporal hanya berlaku atas kejahatan yang terjadi di dalam
wilayah negara peserta, negara yang belum meratifikasi, meskipun
kejahatan dalam tempo waktu sesudah berlakunya statute,
 Mahkamah tetap tidak memiliki yurisdiksi (asas pacta tertiis nec nocent nec
prosunt : bahwa suatu perjanjian internasional tidak memberikan atau
membebani kewajiban kepada pihak ketiga)
 Jika negara baru belakangan mengikatkan dirinya ; pasal 11 ayat 2,
statute berlaku sejak negara tersebut mengikatkan dirinya
 YURISDIKSI TERITORIAL
 Dalam pasal 12 dan 13 Statuta ICC dijelaskan mengenai
Yurisdiksi Locus (tempat) dari mahkamah. Mahkamah dapat
mengadili suatu kasus ketika:
1. Kejahatan dilakukan di wilayah negara yang telah meratifikasi
Statuta Roma;
2. Kejahatan dilakukan oleh warga negara yang negaranya telah
meratifikasi Statuta Roma;
3. Negara yang belum meratifikasi statuta Roma telah memutuskan
untuk menerima yuridiksi mahkamah atas kejahatan tersebut; dan
4. Kejahatan dilakukan dalam situasi yang mengancam perdamaian
dan keamanan internasional dan Dewan Keamanan PBB sudah
mengajukan situasi tersebut ke muka Pengadilan berdasarkan bab
7 Piagam PBB.
 Dalam poin 1 sampai 3 terlihat bahwa negara tersebut
harus mengakui dan menerima yurisdiksi mahkamah.
 Sedangkan pada poin 4, mahkamah dalam
melaksanakan yurisdiksinya tidak perlu
mempertimbangkan apakah negara itu mengakui
dan telah meratifikasi Statuta ICC, melainkan
mahkamah mempunyai wewenang untuk mengadili
kasus yang terjadi di negara itu atau mengadili
warganegaranya, tidak peduli negara itu negara
peratifikasi statuta atau bukan, asalkan usul
penuntutan itu berasal dari resolusi DK PBB.

Anda mungkin juga menyukai