Anda di halaman 1dari 13

Pengadilan Campuran (Hybrid-Tribunals) dalam Penyelesaian Kejahatan

Internasional | 1

Pengadilan Campuran (Hybrid-Tribunals) dalam


Penyelesaian Kejahatan Internasional

Pendahuluan
Pengadilan internasional merupakan mekanisme yang digunakan untuk
menyelesaikan kasus-kasus kejahatan internasional seperti kasus-kasus kejahatan
perang yang terjadi selama Perang Dunia II. Secara historis, Pengadilan Militer
Internasional (International Military Tribunal) di Nuremberg (1945) dan Tokyo
(1946) merupakan tonggak sejarah yang memiliki arti penting bagi perkembangan
hukum internasional, khususnya hukum pidana internasional. Hal itu terutama
dapat dilihat dari prinsip-prinsip yang dibuat oleh Pengadilan di Nuremberg, kini
telah dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional (customary International
law).1
Penyelesaian melalui forum pengadilan (judicial proceedings) merupakan
salah satu mekanisme utama yang dikenal untuk menghukum pelaku kejahatan-
kejahatan internasional. Pierre Hazan menyatakan hal itu sebagai berikut:2
“Judicial proceedings constitute the various forms of punitive policy, first
implemented by the creation of the International Military Tribunal in
Nuremberg International Criminal Tribunals, Semi-International Tribunals,
the International Criminal Court and National Courts. Their purpose is to
suppress International Crime (War Crimes, Crimes against Humanity and
Crimes of Genocide) and also according do their mandat, serious human
rights violations.”

Harus kita akui, bahwa Pengadilan Militer Internasional (International


Military Tribunal) di Nuremberg (1945) dan Tokyo (1946) telah memberikan jalan
bagi terciptanya hukum pidana internasional.

1
Prinsip-prinsip tersebut, antara lain, yaitu individu bertanggung jawab pidana secara individual
(individual Criminal responsibility) atas perbuatan-perbuatannya melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan terhadap perdamaian, dan kejahatan perang, apapun jabatan yang
dimilikinya (baik sipil maupun militer); perintah atasan tidak dapat digunakan sebagai alasan
pembenar atau untuk menghindarkan diri dari hukuman, namun hanya dapat digunakan untuk
meringankan hukuman.
2
Pierre Hazan, Measuring the Impact of Punishment and Forgiveness: a Framework for Evaluating
Transitional Justice, International Review of the Red Cross, Volume 88 Number 861, March 2006,
hlm. 24.
Pengadilan Campuran (Hybrid-Tribunals) dalam Penyelesaian Kejahatan
Internasional | 2

Bentuk-Bentuk Pengadilan Internasional


Urgensi dibentuknya pengadilan internasional memiliki keterkaitan dengan
kejahatan internasional atau kejahatan di bawah yurisdiksi hukum internasional,
antara lain, seperti : genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang.
Menurut hukum internasional, pelaku kejahatan-kejahatan tersebut tidak boleh di
biarkan atau bebas tanpa hukuman (impunity) dan terhadap kasusnya harus
diselesaikan secara hukum melalui forum pengadilan. Karena, kejahatan-kejahatan
tersebut dianggap melanggar norma hukum internasional yang berkategori jus
cogens atau preemptory norm.3 Disamping itu, kejahatan-kejahatan tersebut tidak
mengenal daluarsa (non-statutory limitation), sehingga tidak ada batas waktu dalam
hal penuntutannya. Kemudian setiap negara memiliki hak atau kewenangan
berdasarkan prinsip yurisdiksi universal untuk menangkap, mengadili, dan
menghukum si pelaku atau mengekstradisikannya ke negara-negara yang memiliki
kepentingan atau keterkaitan dengan si pelaku atau kejahatan yang dilakukannya.
Terkait dengan PBB, dewasa ini terdapat bentuk pengadilan internasional
sebagai sarana penyelesaian secara hukum atas kejahatan internasional. Hal
tersebut, antara lain, dibentuknya Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas
Negara Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former
Yugoslavia/ICTY) tahun 1993, Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda
(International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR) tahun 1994 dan Mahkamah
Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) tahun 1998. Sarana
penyelesaian lainnya yang dibentuk atas peran dari PBB adalah Pengadilan
Campuran (Hybrid Tribunal).
Dasar hukum pembentukan ICTY dan ICTR adalah berdasarkan Resolusi
Dewan Keamanan PBB (DK PBB). DK PBB bertindak atas dasar Bab VII Piagam
PBB karena adanya ancaman yang nyata terhadap perdamaian dan keamanan

3
Menurut Pasal 53 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian, yang dimaksud dengan
jus cogens adalah suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional negara-
negara secara keseluruhan yang tidak boleh dilakukan penundaan/pelanggaran terhadapnya,, dan
norma ini hanya dapat diubah oleh norma jus cogens yang baru yang memiliki sifat yang sama.
Pengadilan Campuran (Hybrid-Tribunals) dalam Penyelesaian Kejahatan
Internasional | 3

internasional.4 Kedua pengadilan ini bersifat ad-hoc. DK PBB mengambil alih


masalah yang terjadi di bekas Negara Yugoslavia karena negara ini dianggap tidak
mau (unwilling) untuk menyelesaikan berbagai kasus kemanusiaan yang terjadi di
negara tersebut. Sedangkan dalam masalah Rwanda, karena negara ini dianggap
tidak mampu (unable) untuk menyelesaikan berbagai kasus kemanusiaan yang
terjadi di negara tersebut. ICTY dan ICTR memiliki mandat hingga tahun 2010.
ICTY dan ICTR dibentuk dalam kaitannya dengan tanggung jawab
individu/orang perorangan dan bukan tanggung jawab negara. Oleh karena itu, baik
ICTY5 maupun ICTR6 menerapkan prinsip tanggung jawab pidana secara
individual (individual criminal responsibility principle) terhadap para pelaku
kejahatan berdasarkan yurisdiksinya. Jadi, baik ICTY maupun ICTR keduanya
dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB, baik ICTY maupun ICTR merupakan
subsidiary organs Dewan Keamanan PBB, baik ICTY maupun ICTR memiliki
struktur yang sama.
Sementara perbedaan antara ICTY dan ICTR adalah sebagai berikut:
Pertama, ICTY mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan baik dalam international
armed conflicts maupun internal armed conflicts, sedangkan ICTR memiliki
yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan dalam internal armed conflicts.
Kedua, ICTY memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan hanya
apabila dilakukan di dalam suatu konflik bersenjata, sedangkan ICTR mempunyai
yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan hanya apabila dilakukan on
National, political ethnics, Racial or other religius ground. Dengan demikian, hal
ini dilakukan dengan sengaja untuk melakukan diskriminasi. Ketiga, ICTY
mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayah bekas
Yugoslavia sejak 1991, sedangkan ICTR memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan
yang dilakukan di Rwanda atau negara-negara tetangga Rwanda. Keempat,

4
Bab VII Piagam PBB mengatur bahwa Dewan Keamanan PBB berwenang untuk mengambil suatu
tindakan apabila terjadi: pelanggaran terhadap perdamaian (breach of peace), ancaman terhadap
perdamaian (threat to peace) atau tindakan agresi (act of aggression).
5
Lihat Pasal 7 Statuta ICTY.
6
Lihat pasal 2, 3, dan 4 Statuta ICTR
Pengadilan Campuran (Hybrid-Tribunals) dalam Penyelesaian Kejahatan
Internasional | 4

prosedur beracara ICTY mengikuti Common law System, sedangkan ICTR


mengikuti campuran antara Common law System dan Civil law System.7
Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC)
merupakan institusi yudisial yang dibentuk dalam rangka menyelesaikan
pelanggaran HAM. Berbeda dengan ICTY dan ICTR, ICC merupakan pengadilan
yang bersifat tetap (permanent) dan didirikan berdasarkan suatu perjanjian
internasional (treaty), yaitu Statuta Roma (The Rome Statute of The International
Criminal Court) tahun 1998. Statuta ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002
setelah diratifikasi oleh 60 negara. ICC berkedudukan di Den Haag (Belanda).
ICC hanya memiliki yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan paling serius yang
menjadi keprihatinan masyarakat internasional (the most serious Crime of
international concerns) yang meliputi: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang dan kejahatan agresi.8 Syarat utama bagi diterapkannya yurisdiksi
ICC yaitu dalam hal: kejahatan yang dilakukan terjadi di dalam wilayah negara
peserta Statuta Roma atau kewarganegaraan si pelaku adalah negara yang menjadi
peserta Statuta Roma.9
Dalam hubungan antara ICC dan DK PBB terdapat trigger mechanisms, ini
dapat mengaktifkan yurisdiksi dari ICC.10 Menurut Pasal 13 Statuta Roma, ICC
dapat menggunakan yurisdiksinya dalam hal telah diberikannya kewenangan
kepada penuntut (prosecutor) melalui: DK PBB yang bertindak di bawah
kewenangan Bab VII Piagam PBB; negara peserta Statuta Roma; atau atas inisiatif
si penuntut sendiri (proprio motu) berdasarkan informasi yang diterima dari
sumber-sumber tertentu.11
Saat ini dikenal juga adanya pengadilan campuran yang telah dibentuk di
empat negara. Pengadilan ini pada dasarnya merupakan pengadilan nasional yang
telah di internasionalisasi (internationalized domestic tribunal). Kata “campuran”

7
Eddy O. S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009.
8
Lihat Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma
9
Lihat Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma
10
Antonio Cassese, International Criminal Law, New York: Oxford University Press, 2003, hlm.
733.
11
H. Victor Conde, A Handbook of International Human Rights Terminology, Nebraska: University
of Nebraska Press, 1999, hlm. 152
Pengadilan Campuran (Hybrid-Tribunals) dalam Penyelesaian Kejahatan
Internasional | 5

atau hybrid mengacu pada perpaduan antara unsur lokal dan internasional yang
terdapat di dalamnya, seperti : personilnya, sistem hukum yang diterapkan, dana
operasionalnya, dan sebagainya. Pengadilan campuran biasanya dibentuk
berdasarkan suatu perjanjian bilateral antara suatu negara dengan PBB.

Pengadilan Campuran (Hybrid Tribunals) Dalam Perkembangannya


Saat ini dikenal adanya pengadilan campuran yang telah dibentuk di empat
negara. Pengadilan ini pada dasarnya merupakan pengadilan nasional yang telah di
internasionalisasi (internationalized domestic tribunal). Pengadilan campuran
merupakan perkembangan baru dalam mengupayakan pertanggungjawaban atas
sejumlah kejahatan yang dilakukan pada masa lalu. Kata “campuran” atau hybrid
mengacu pada perpaduan antara unsur lokal dan internasional yang terdapat di
dalamnya, seperti : personilnya, sistem hukum yang diterapkan, dana
operasionalnya, dan sebagainya. Pengadilan campuran biasanya dibentuk
berdasarkan suatu perjanjian bilateral antara suatu negara dengan PBB.
Menurut Ethel Higonnet, pengadilan campuran merupakan,
“Blending the international and the local, existing hybrids are products
of judicial accountability-sharing between the states in which they function
and the United Nations.”12

Katzenstein juga menyatakan kelebihan dari pengadilan campuran, yaitu


“Hybrid tribunals aim to redress the deficiencies of international tribunals
on the one hand and domestic courts on the other while combining "the
strengths of the ad hoc tribunals with the benefits of local prosecutions”.13

Alberto Costi menambahkan, bahwa


“They incorporate national laws, judges and prosecutors--contributing to the
capacity-building of the judiciary and the legal system; while also including
international norms and personnel--conferring legitimacy, resources and
technical knowledge.”14

12
Higonnet, Ethel , "Restructuring Hybrid Courts: Local Empowerment and National Criminal
Justice Reform" (2005) hlm. 4, dalam http://digitalcommons.law.yale.edu/student_papers/6
13
S Katzenstein, "Hybrid Tribunals: Searching for Justice in East Timor" (2003). Lihat juga L. A.
Dickinson, "The Promise of Hybrid Courts" (2003)
14
Alberto Costi, “Hybrid Tribunals as a Viable Transitional Justice Mechanism to Combat Impunity
in Post-Conflict Situations.” (2006)
Pengadilan Campuran (Hybrid-Tribunals) dalam Penyelesaian Kejahatan
Internasional | 6

Belajar dari pengalaman pengadilan-pengadilan internasional yang telah ada


sebelumnya, pengadilan campuran mencoba untuk menjawab “celah” antara
pengadilan nasional dan internasional. Masalah utama pengadilan nasional
biasanya adalah kurangnya kredibilitas dan inkompeten, sementara pengadilan
internasional memiliki keterbatasan dalam hal kewenangan dan mandat.
Saat ini telah dibentuk empat pengadilan campuran, tiga di antaranya di
dirikan antara tahun 1999 dan 2001 di Timor-Timur (the Serious Crimes Panels of
the District Court of Dili)15, di Kosovo (“Regulation 64” Panels in the Courts of
Kosovo)16 dan Sierra Leone (the Special Court for Sierra Leone)17. Dan yang
keempat di Kamboja (the Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia)18.
Pendirian pengadilan campuran yang dinamakan dengan Panel Khusus
(Special Panels) di Timor Leste pada tahun 2000, diawali dengan pembentukan The
United Nations Transitional Administration in East Timor/UNTAET oleh PBB
berdasarkan kewenangan yang diatur dalam Bab VII Piagam PBB melalui Resolusi
Nomor 1272 tahun 1999. UNTAET sebagai otoritas yang menangani peralihan
kekuasaan di Timor Leste, berdasarkan Regulasi UNTAET 2000/15, tanggal 6 Juni
2000 dan Regulasi UNTAET 2000/11, tanggal 6 Maret 2000 kemudian membentuk
panel yang memiliki yurisdiksi eksklusif atas kejahatan-kejahatan serius yang
terjadi di Timor Leste.
Panel Khusus berkedudukan di Pengadilan Distrik Dili, yaitu terdiri dari dua
pengadilan untuk tingkat pertama dan satu pengadilan banding. Pengadilan ini
memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan serius yang meliputi : genosida,
kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, pembunuhan, kejahatan

15
Lebih lengkapnya lihat On the Organization of Courts in East Timor, United Nations
Transnational Administration in East Timor, (UNTAET) Reg. 2000/11, U.N. Doc.
UNTAET/REG/2000/11 (Mar. 6, 2000)
16
Lebih lengkapnya lihat On the Appointment and Removal from Office of International Judges and
International Prosecutors, United Nations Interim Administration Mission in Kosovo (UNMIK)
Regulation 2000/6, U.N. Doc. UNMIK/REG/2000/6 (Jan. 12, 2001)
17
Lebih lengkapnya lihat the Special Court for Sierra Leone homepage di http://www.sc- sl.org/;
atau situs NGO No Peace Without Justice di http://www.specialcourt.org/
18
Lihat http://www.cambodia.gov.kh/krt/english/, atau
http://www.camnet.com.kh/ocm/government60.htm. Atau http://www.pict-
pcti.org/courts/pdf/Cambodia/Cambodia_052203.pdf.
Pengadilan Campuran (Hybrid-Tribunals) dalam Penyelesaian Kejahatan
Internasional | 7

seksual, dan penyiksaan.19 Khusus menyangkut kejahatan serius berupa


pembunuhan dan kejahatan seksual, panel khusus hanya memiliki yurisdiksi
apabila kejahatan tersebut dilakukan dalam periode antara tanggal 1 Januari 1999
hingga 25 Oktober 1999.20 Panel khusus memiliki yurisdiksi (ratione loci) meliputi
seluruh wilayah Timor Leste.21
Untuk kejahatan-kejahatan tertentu, Panel khusus juga memiliki yurisdiksi
universal (universal jurisdiction). Dalam melaksanakan yurisdiksi ini, panel khusus
menerapkan hukum yang berlaku di Timor Leste sebelum tanggal 25 Oktober 1999
(seperti KUHP), Regulations, dan Directives UNTAET, serta ketentuan-ketentuan
hukum internasional seperti Konvensi Jenewa dan Statuta Roma.22
Majelis hakim yang bertugas di Panel Khusus terdiri dari dua hakim
internasional dan satu hakim lokal. Hakim internasional misalnya berasal dari Italia,
Burundi, Brazil, Cape Verde, dan Portugal.23 Hingga tahun 2005, Panel Khusus
yang telah dibentuk berjumlah 3. Panel untuk banding juga tersedia dengan jumlah

19
UNTAET Regulation No. 2000/15 on The Establishment of Panels with Exclusive Jurisdiction
Over Serious Criminal Offences Section 1.3, “The panels established pursuant to Sections 10.3 and
15.5 of UNTAET Regulation No. 2000/11 and as specified under Section 1 of the present regulation,
shall exercise jurisdiction in accordance with Section 10 of UNTAET Regulation No. 2000/11 and
with the provisions of the present regulation with respect to the following serious criminal offences:
(a) Genocide;
(b) War Crimes;
(c) Crimes against Humanity;
(d) Murder;
(e) Sexual Offences; and
(f) Torture.”
20
With regard to the serious criminal offences listed under Section 10.1(d) to (e) of UNTAET
Regulation No. 2000/11 as specified in Sections 8 to 9 of the present regulation, the panels
established within the District Court in Dili shall have exclusive jurisdiction only insofar as the
offence was committed in the period between 1 January 1999 and 25 October 1999.
21
In accordance with Section 7.3 of UNTAET Regulation No. 2000/11, the panels established by
the present regulation shall have jurisdiction (ratione loci) throughout the entire territory of East
Timor.
22
Section 3, Applicable Law.
3.1 In exercising their jurisdiction, the panels shall apply:
(a) the law of East Timor as promulgated by Sections 2 and 3 of UNTAET Regulation No.
1999/1 and any subsequent UNTAET regulations and directives; and
(b) where appropriate, applicable treaties and recognised principles and norms of international
law, including the established principles of the international law of armed conflict.
3.2 In the event of a change in the law applicable to a given case prior to a final judgement, the
law more favourable to the person being investigated, prosecuted or convicted shall apply.
23
Lihat http://hrcberkeley.org/download/justice_east_timor.pdf
Pengadilan Campuran (Hybrid-Tribunals) dalam Penyelesaian Kejahatan
Internasional | 8

hakim 3 orang (dengan pengecualian 5 hakim), rasio: 2 hakim internasional/1


hakim nasional (3 hakim internasional/2 hakim nasional).
Pada tahun 2002, dana yang tersedia bagi operasional Panel Khusus yaitu
sebesar US$ 6,3 juta. Bahasa yang digunakan selama persidangan yaitu: Bahasa
Tetum, Bahasa Portugis, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Masa tugas para
hakim pada awalnya yaitu antara 2-3 tahun, kemudian diangkat seumur hidup.
Mandat panel khusus di Timor Leste telah berakhir pada tanggal 20 Mei 2005. Total
dari 84 orang terdakwa dinyatakan bersalah dan tiga terdakwa dinyatakan bebas
dari segala dakwaan.24
Pengadilan campuran di Sierra Leone (the Special Court for Sierra Leone)
dibentuk atas permintaan pemerintah Sierra Leone kepada Sekretaris Jenderal PBB.
Permintaan tersebut dinyatakan oleh Presiden Sierra Leone Ahmed Tejan Kabbah
pada 12 Juni 2000 dan kemudian juga ditegaskan oleh Menteri Kehakiman Sierra
Leone.25 Selanjutnya, pada tanggal 14 Agustus 2000, Dewan Keamanan PBB
mengeluarkan Resolusi Nomor 1315 yang meminta agar Sekretaris Jenderal PBB
bernegosiasi dengan Pemerintah Sierra Leone untuk membentuk pengadilan
campuran.26 Perjanjian antara PBB dan Pemerintah Sierra Leone untuk membentuk
pengadilan campuran dinyatakan dalam suatu perjanjian bilateral yang
ditandatangani pada tanggal 16 Januari 2002 di Freetown.27 Setelah itu, Parlemen
Sierra Leone meratifikasi perjanjian (Agreement) dan memberlakukan undang-
undang ratifikasinya (enacted implementing legislation).28
The Special Court for Sierra Leone (SCSL) bekerja berdampingan dengan
pengadilan nasional Sierra Leone. Kedua sistem pengadilan memiliki yurisdiksi

24
Lihat http://www.jsmp.minihub.org/courtmonitoring/spsc.htm.
25
Surat dari Ahmed Tejan Kabbah, Presiden Sierra Leone, kepada Sekretaris Jenderal PBB Kofi
Annan, U.N. Doc S/2000/786.
26
Security Council resolution 1315 (2000) on the situation in Sierra Leone, Dokumen lengkapnya
lihat http://daccess-ods.un.org/TMP/1593317.091465.html
27
Agreement between the United Nations and the Government of Sierra Leone on the Establishment
of the Special Court for Sierra Leone, signed on 16 January 2002, Dokumen lengkapnya lihat
http://www.rscsl.org/Documents/scsl-agreement.pdf
28
Special Court Agreement (2002) Ratification Act, Act of Sierra Leone's Parliament to ratify the
Special Court Agreement, dokumen dapat dilihat di http://www.rscsl.org/Documents/SCSL-
ratificationact.pdf dan The Special Court Agreement (2002) (Ratification) (Amendment) Act, 2002
Act of Sierra Leone's Parliament to amend the Special Court Agreement, dokumen dapat dilihat di
http://www.rscsl.org/Documents/SCSL-ratificationamendmentact.pdf
Pengadilan Campuran (Hybrid-Tribunals) dalam Penyelesaian Kejahatan
Internasional | 9

yang sama29, namun SCSL memiliki kedudukan lebih tinggi manakala SCSL secara
formal meminta suatu pengadilan nasional Sierra Leone untuk menyerahkan
kompetensinya kepada SCSL.30
Hingga tahun 2005, staf SCSL berjumlah 294 orang. Menyangkut dana, pada
tahun 2004/2005 dana yang tersedia berjumlah US$ 29,9 juta. Bahasa yang
dipergunakan dalam persidangan adalah Bahasa Inggris. Masa tugas para hakim
adalah 3 tahun dan dapat dipilih kembali. Jumlah kamar (Chambers) adalah satu,
yang terdiri dari 3 orang hakim, dengan rasio: 2 hakim internasional dan 1 hakim
nasional. Kamar untuk banding juga tersedia, yang terdiri dari 5 orang hakim,
dengan rasio: 3 hakim internasional dan 2 hakim nasional. Bahasa yang
dipergunakan dalam persidangan adalah Bahasa Inggris.
SCSL berkedudukan di Freetown, ibukota Sierra Leone. SCSL memiliki
yurisdiksi atas: kejahatan terhadap kemanusiaan31, pelanggaran terhadap Pasal 3
Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II 197732, pelanggaran-pelanggaran
serius lainnya terhadapa hukum humaniter internasional33, kejahatan-kejahatan
seksual terhadap anak perempuan dan kejahatan-kejahatan yasng berkaitan dengan
penghancuran harta benda secara sengaja.34
Disamping menggunakan instrumen-instrumen hukum internasional, SCSL
juga menggunakan ketentuan-ketentuan hukum nasional Sierra Leone, seperti: the
Prevention of Cruelty to Children Act tahun 1926 dan the Malicious Damage Act
tahun 1861. Demikian pula dalam hal hukum acara dan pembuktian, yaitu
menggunakan hukum acara dan pembuktian ICTR serta KUHAP Sierra Leone
tahun 1965. SCSL memiliki yurisdiksi mengadili orang-orang yang paling
bertanggung-jawab atas pelanggaran serius hukum humaniter internasional dan

29
Statute of the Special Court, annexed to the Agreement (16 January 2002) Pasal 8 ayat (1)
menyebutkan, The Special Court and the national courts of Sierra Leone shall have concurrent
jurisdiction. dokumen dapat dilihat di http://www.rscsl.org/Documents/scsl-statute.pdf
30
Statute of the Special Court, annexed to the Agreement (16 January 2002) Pasal 8 ayat (2)
menyebutkan, The Special Court shall have primacy over the national courts of Sierra Leone. At
any stage of the procedure, the Special Court may formally request a national court to defer to its
competence in accordance with the present Statute and the Rules of Procedure and Evidence.
31
Statute of the Special Court, annexed to the Agreement (16 January 2002) Pasal 2
32
Statute of the Special Court, annexed to the Agreement (16 January 2002) Pasal 3
33
Statute of the Special Court, annexed to the Agreement (16 January 2002) Pasal 4
34
Statute of the Special Court, annexed to the Agreement (16 January 2002) Pasal 5
Pengadilan Campuran (Hybrid-Tribunals) dalam Penyelesaian Kejahatan
Internasional | 10

hukum Sierra Leone yang dilakukan di wilayah Sierra Leone sejak 30 November
1996.35
SCSL akan terdiri dari satu pengadilan tingkat pertama (dengan kemungkinan
penambahan jika ada permintaan dari Sekjen PBB dan Presiden SCSL) dan
pengadilan banding. SCSL akan diisi oleh tidak kurang dari delapan hakim
independen dan tidak lebih dari 11 hakim. Majelis hakim pengadilan tingkat
pertama terdiri dari tiga orang, satu orang diangkat oleh Pemerintah Sierra Leone
dan dua orang oleh Sekjen PBB. Sedangkan di pengadilan banding, dua orang
hakim akan diangkat oleh Pemerintah Sierra Leone dan tiga orang hakim akan
diangkat oleh Sekjen PBB.36 Mandat Pengadilan Khusus di Sierra Leone telah
berakhir pada pertengahan tahunn 2007.
Pengadilan campuran di Kamboja yang dinamakan the Extraordinary
Chambers in the Courts of Cambodia didirikan pada tahun 2003 berdasarkan
perjanjian antara PBB dengan Pemerintah Kamboja (Agreement between the United
Nations and the Royal Government of Cambodia concerning the prosecution under
Cambodian law of crimes committed during the period of Democratic Kampuchea
(ECCC Agreement)) yang ditandatangani pada tanggal 6 Juni 2003.37 Chambers ini
juga didirikan berdasarkan The Law on the Establishment of the Extraordinary
Chambers as amended38 dan Law to Amend the 2001 Law on the Establishment of
the Extraordinary Chambers39. Pengadilan campuran ini berkedudukan di Phnom
Penh, Kamboja. Mengenai danan operasional, terutama disediakan oleh Pemerintah
Kamboja dan Trust Fund PBB (dalam kurun waktu tiga tahun berjumlah US$ 56,3

35
Statute of the Special Court, annexed to the Agreement (16 January 2002) Pasal 1 ayat (1)
menyebutkan, The Special Court shall, except as provided in subparagraph (2), have the power to
prosecute persons who bear the greatest responsibility for serious violations of international
humanitarian law and Sierra Leonean law committed in the territory of Sierra Leone since 30
November 1996, including those leaders who, in committing such crimes, have threatened the
establishment of and implementation of the peace process in Sierra Leone.
36
Lihat Pasal 2 ayat (2) Agreement between the United Nations and the Government of Sierra Leone
on the Establishment of the Special Court for Sierra Leone, signed on 16 January 2002.
37
Dokumen dapat dilihat pada www.eccc.gov.kh/sites/default/files/legal-
documents/Agreement_between_UN_and_RGC.pdf
38
Dokumen dapat dilihat pada www.eccc.gov.kh/sites/default/files/legal-
documents/KR_Law_as_amended_27_Oct_2004_Eng.pdf
39
Dokumen dapat dilihat pada www.eccc.gov.kh/sites/default/files/legal-
documents/Kram_and_KR_Law_amendments_27_Oct_2004_--_Eng.pdf
Pengadilan Campuran (Hybrid-Tribunals) dalam Penyelesaian Kejahatan
Internasional | 11

Juta). Bahasa yang dipergunakan dalam persidangan yaitu: bahasa Khmer, bahasa
Inggris, dan bahasa Prancis.
Para hakim diangkat untuk masa persidangan dan tidak dapat dipilih kembali
(hanya selama persidangan berlangsung). Chambers ini terdiri dari 5 orang hakim,
dengan rasio 2 hakim internasional dan 3 hakim nasional. Chambers di tingkat
banding terdiri dari 7 orang hakim, dengan rasio 3 hakim internasional dan 4 hakim
nasional. Chambers ini mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan yang terjadi sejak
tanggal 17 April 1975 hingga 6 Januari 1979 di wilayah Kamboja yang dilakukan
oleh para pemimpin senior dan mereka yang paling bertanggung-jawab atas
kejahatan-kejahatan yang dilakukan di negara Demokratik Kamboja. Jenis
kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari Chambers ini yaitu: genosida, pelanggaran
berat Konvensi Jenewa 1949 (kejahatan perang), kejahatan terhadap kemanusiaan
dan kejahatan-kejahatan berdasarkan hukum nasional Kamboja yang ditentukan
oleh Chambers ini.
Pengadilan Campuran (Hybrid-Tribunals) dalam Penyelesaian Kejahatan
Internasional | 12

Penutup
Pengadilan campuran sebagai sarana penyelesaian atas kasus-kasus kejahatan
internasional lainnya, dapat menjadi salah satu alternatif mekanisme penyelesaian
kasus-kasus tersebut, disamping mekanisme yudisial lainnya di masa yang akan
datang.
Pengadilan campuran dapat menjadi suatu model pembelajaran dan alih ilmu
pengetahuan bagi warga negara setempat yang ikut terlibat di dalamnya. Hal ini
dimungkinkan karena para personel atau staf internasional yang terlibat di dalam
pengadilan campuran biasanya adalah para professional yang telah memiliki
pengalaman dan reputasi internasional di bidang penyelesaian kejahatan
internasional. Selain itu, dengan melibatkan unsur-unsur lokal dan internasional
dalam pengadilan campuran dapat memberikan dasar yang kuat serta akan lebih
memudahkan bagi pengadilan itu sendiri untuk melaksanakan fungsi-fungsinya.
Adanya keterlibatan pihak internasional (terutama PBB) juga akan lebih
meningkatkan kredibilitas dari pengadilan campuran.
Hal-hal ini adalah beberapa aspek positif yang dapat didapat bagi negara
setempat dari pengadilan campuran. Di sisi lain, pengadilan campuran juga dapat
memiliki peran penting dalam upaya-upaya memerangi impunitas.
Pengadilan Campuran (Hybrid-Tribunals) dalam Penyelesaian Kejahatan
Internasional | 13

PUSTAKA ACUAN

Antonio Cassese, International Criminal Law, New York: Oxford University


Press, 2003

Alberto Costi, “Hybrid Tribunals as a Viable Transitional Justice Mechanism to


Combat Impunity in Post-Conflict Situations.” (2006)

Eddy O. S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Penerbit


Erlangga, 2009.

Ethel Higonnet, "Restructuring Hybrid Courts: Local Empowerment and National


Criminal Justice Reform." (2005)

H. Victor Conde, A Handbook of International Human Rights Terminology,


Nebraska: University of Nebraska Press, 1999

L. A. Dickinson, "The Promise of Hybrid Courts." (2003)

Pierre Hazan, Measuring the Impact of Punishment and Forgiveness: a Framework


for Evaluating Transitional Justice, International Review of the Red Cross,
Volume 88 Number 861, March 2006

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: Refika


Aditama, 2000.

S. Katzenstein, "Hybrid Tribunals: Searching for Justice in East Timor." (2003)

Anda mungkin juga menyukai