Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC)


didirikan berdasarkan Statuta Roma yang diadopsi pada tanggal 17 Juli
1998 oleh 120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations
Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an
International Criminal Court” di kota Roma, Italia. Statuta Roma tentang
Mahkamah Pidana Internasional mengatur kewenangan untuk mengadili
kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian internasional.
Kejahatan yang dimaksud terdiri dari empat jenis, yaitu kejahatan
genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi
(the crime of aggression).
Berbeda dengan mahkamah internasional sebelumnya yang sifatnya ad
hoc, seperti International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY)
dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Mahkamah
Pidana Internasional merupakan pengadilan yang permanen (Pasal 3(1)
Statuta Roma). Mahkamah ini hanya berlaku bagi kejahatan yang terjadi
setelah Statuta Roma berlaku (Pasal 24 Statuta Roma).
Mahkamah Pidana Internasional merupakan mahkamah yang
independen dan bukan merupakan badan dari PBB karena dibentuk
berdasarkan perjanjian multilateral, meskipun dalam beberapa kondisi
tertentu ada relasi peran antara Mahkamah dengan PBB (Pasal 2 Statuta
Roma).
Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan
dan penuntutan hanya dilakukan untuk kepentingan keadilan, bukan
kepentingan politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan negara dapat
merujuk kepada Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana Internasional,
keputusan untuk melaksanakan penyelidikan merupakan wewenang Jaksa
2

Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak hanya akan bergantung pada


Dewan Keamanan PBB atau rujukan negara saja, tetapi juga akan
mendasarkan penyelidikannya berdasarkan informasi dari berbagai
sumber. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Pre-Trial
Chamber baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan
permintaan tersebut dapat digugat oleh negara.

Sejarah modern mencatat, bahwa upaya internasional untuk


mengadili para penjahat perang pertama kali dilakukan lewat Peradilan
Leipzig yang dibentuk pada akhir Perang Dunia I berdasarkan Perjanjian
Versailles 1919 (the Treaty of Peace Between the Allied and Associated
Powers and Germany).1
Gagasan pembentukan Mahkamah Tindak Pidana Internasional juga
pernah muncul melalui perjanjian Sevres 1920, yang merupakan
perjanjian perdamaian antara pasukan sekutu dengan kekaisaran
Usmaniyah Turki. Setelah itu, gagasan pembentukan Mahkamah Pidana
Internasional muncul lagi pasca Perang Dunia II, kali ini melalui Piagam
London (Agreement for the Prosecution and Punishment of the Major
War Criminals of the European Axis, and Charter of the International
Military Tribunal).2 Setiap perang yang terjadi di dunia selalu diakhiri
dengan pengadilan para pihak yang diduga melakukan tindak pidana
internasional.
Iman Santoso lebih memperinci peristiwa yang melatar belakangi
terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional sebagai berikut :
1. Pengadilan untuk Peter von Hagenbach tahun 1474. Hukuman mati
dan pencopotan sebagai pangeran telah dijatuhkan pada Sir Peter
von Hagenbach di Breisach, Austria oleh suatu tribunal yang terdiri
atas 28 hakim. Hukuman tersebut didasarkan atas kekejaman
(pembunuhan, pemerkosaan, memberi keterangan palsu, dan

1 Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2014) hlm. 152.

2 Ibid, hal. 152


3

kejahatan lain terhadap laws of God and man yang dilakukan


terhadap penduduk sipil dalam rangka percobaan memaksa mereka
agar tunduk pada kekuasaan Duke Charles di Burgundy).
(pembunuhan, pemerkosaan, memberi keterangan palsu, dan
kejahatan lain terhadap laws of God and man yang dilakukan
terhadap penduduk sipil dalam rangka percobaan memaksa mereka
agar tunduk pada kekuasaan Duke Charles di Burgundy).
1. Pada akhir abad ke-19 di Crete, dua pengadilan militer menuntut
dan mengadili individu-individu yang melakukan kejahatan
terhadap kemanusiaan sehubungan dengan Candia Massacre pada
September 1898.
2. Pada tahun 1943 adanya Deklarasi Moskow yang menuntut para
penjahat perang NAZI.
3. Tahun 1945 terdapat Pengadilan Militer Internasional di
Nuremberg yang mengadili pelaku kejahatan perang NAZI.
Pengadilan ini diselenggarakan oleh empat negara sekutu utama
Perang Dunia II, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan
Perancis. Kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan
Nuremberg ini, antara lain kejahatan terhadap perdamaian (crimes
against peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Pada Pengadilan
Nuremberg ini juga pertama kali diperkenalkan adanya individual
responsibility (tanggung jawab individual bagi pihak yang telah
melakukan tindak pidana), by omission (keikutsertaan dalam suatu
konspirasi atau rencana bersama untuk melakukan kejahatan
internasional, dapat diadili), dan non-impunity (tidak ada kekebalan
untuk tindak kejahatan yang dilakukan dengan alasan
melaksanakan tugas negara atau sebagai aparat negara).
4. Tahun 1946 terdapat Pengadilan Militer Internasional untuk Timur
Jauh (Tokyo Tribunal), yang mengadili tokoh-tokoh penjahat
perang Jepang seusai Perang Dunia II. Kejahatan yang masuk
dalam yurisdiksi Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh
4

adalah kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang


konvensional, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada
Pengadilan Tokyo ini diperkenalkan prinsip command
responsibility (tanggung jawab pimpinan), yaitu pemimpin,
penyelenggara, pencetus, dan pembantu yang ikut ambil bagian
dalam perencanaan atau pelaksanaan dari sebuah rencana bersama
atau konspirasi untuk melakukan kejahatan yang masuk dalam
yurisdiksi pengadilan, bertanggung jawab atas segala tindakan yang
dilakukan oleh siapapun dalam pelaksanaan rencana atau konspirasi
tersebut.
5. Pada 21 November 1947, PBB membentuk Komisi Hukum
Internasional (International Law Commissions) melalui Resolusi
Majelis Umum PBB No. 174 (II). Komisi ini bertugas untuk
menyusun standar hukum internasional yang menjadi pegangan
setiap negara anggota PBB.
6. Tahun 1989 adanya inisiatif Trinidad dan Tobago untuk
mengusulkan pembentukan ICC dalam pembahasan untuk
mencegah dan memberantas kejahatan narkotika lintas batas negara
yang berkaitan dengan kejahatan penyelundupan senjata antar
negara.
7. Pada tahun 1993, Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-
Bangsa (DK PBB) membentuk International Criminal Tribunal for
the former Yugoslavia (ICTY) untuk menginvestigasi, menuntut,
dan mengadili individu-individu yang bertanggung jawab atas
terjadinya pelanggaran berat terhadap hukum humaniter
internasional selama konflik bersenjata sejak tahun 1991.
Yurisdiksi materi dari ICTY mencakup pertanggungjawaban pidana
secara individual atas kejahatan genocide, crimes against humanity,
dan war crimes. Selain itu juga terdapat command responsibility,
baik yang bersifat aktif maupun pasif (crimes by omission).
8. Pada November 1994, DK PBB membentuk International Criminal
Tribunal for Rwanda (ICTR) melalui Resolusi Dewan Keamanan
5

PBB No. S/RES/955 Tahun 1994. ICTR bertujuan untuk menuntut


dan mengadili orang-orang yang bertanggungjawab atas terjadinya
genosida dan kejahatan-kejahatan berat lain yang melanggar hukum
humaniter internasional di Rwanda atau oleh orang-orang Rwanda
di negara-negara tetangga selama tahun 1994, khususnya yang
dilakukan oleh ekstremis suku Hutu terhadap 500.000 sampai satu
juta jiwa dari suku Tutsi. Kejahatan internasional yang masuk
dalam yurisdiksi ICTR adalah genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan pelanggaran Pasal 3 seluruh Konvensi-Konvensi
Geneva 1949 beserta Protokol Tambahan II Tahun 1977.
9. Kemudian tahun 1994, Draft Statute for an International Criminal
Court yang menjadi cikal bakal Statuta Roma, yang juga
merupakan hasil kerja International Law Commission,
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak kejahatan
internasional dan akan berada dalam yurisdiksi ICC adalah
kejahatan genosida, kejahatan agresi, pelanggaran serius terhadap
hukum dan kebiasaan yang berlaku saat pertikaian bersenjata,
kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan yang dilakukan
berkaitan dengan perjanjian yang merupakan tindak kejahatan yang
sangat serius yang bersifat internasional.
Peradilan-peradilan internasional sebagaimana disebutkan di atas
adalah peradilan-peradilan yang bersifat ad hoc atau sementara,
sedangkan peradilan yang bersifat permanen baru terbentuk melalui
Statuta Roma 1998 dengan International Criminal Court (ICC). Sampai
saat ini, perjanjian Mahkamah Pidana Internasional telah diratifikasi oleh
108 negara perwakilan di seluruh dunia. Kerangka kerja hukum
Mahkamah Pidana Internasional ini ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Tercatat dalam kurun waktu empat tahun, sejak penandatangan
pertama 17 Juli 1998 hingga 11 April 2002, perjanjian Mahkamah Pidana
Internasional telah diratifikasi banyak negara dan dijadikan hukum
internasional pada tanggal 1 Juli 2002.
Adapun yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional diantaranya
6

kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan


kejahatan agresi sebagaimana yang tercantum dalam Statuta Roma artikel
5 sebagai berikut:
The jurisdiction of the court shall be limited to he most serious
crimes of cencern to the internasional community as a whole. The court
has jurisdiction in accordance with this statute with respect to the
following crimes:
a) the crime of genocide;
b) crime against humanity;
c) war crimes;
d) the crime of aggression.
Mahkamah Pidana Internasional yang diakui melalui Statuta Roma
1998 melaksanakan sidang untuk pertama kali dalam kasus terdakwa
Thomas Lubanga Dyilo dari Republik Kongo pada tanggal 26 Januari
2009.5 Ada sekitar 7 tahun waktu aktifnya Peradilan Pidana Internasional
dalam proses peradilannya.3

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka timbul
identifikasi masalah adalah:
1. Apa sajakah yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
menurut Statuta Roma 1998 ?

2. Bagaimanakah Proses Peradilan Mahkamah Pidana Internasional ?


C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian identifikasi masalah di atas, maka tujuan
penulisan karya ilmiah ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa sajakah yang menjadi yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional menurut Statuta Roma 1998.

2. Untuk mengetahui bagaimana Proses Peradilan Mahkamah Pidana


Internasional.

3 Iman Santoso, Hukum Pidana Internasional ( Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013) hlm. 92-94
7

BAB II
MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL MENURUT STATUTA ROMA
1998

A. Landasam Teori

Jenis-jenis Tindak Pidana Internasional

Penetapan jenis tindak pidana internasional mengalami


perkembangan yangn bersifat kontekstual dan selektif normatif.
Perkembangan yang bersifat kontekstual ini adalah perkembangan
penetapan golongan tindak pidana yang sejalan dengan perkembangan
situasi masalah yang dihadapi oleh masyarakat internasional pada
masanya, sedangkan perkembangan yang bersifat selektif normative
adalah penetapan golongan tindak pidana ini sebagai tindak pidana
yang hanya dapat dilakukan berlandaskan konvensi-konvensi
internasional tertentu.
Dilihat dari perkembangan dan asal usul tindak pidana
internasional ini, maka eksistensi tindak pidana internasional dapat
dibedakan dalam:
1. Tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan yang
berkembang didalam praktik hukum internasional;
2. Tindak pidana internasional yang berasal dari konvensi-
konvensi internasional; dan
3. Tindak pidana internasional yang lahir dari perkembangan
sejarah konvensi mengenai hak asasi manusia.4
Tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan
internasional adalah tindak pidana pembajakan atau piracy, kejahatan
perang atau war crimes dan tidak pidana perbudakan atau slaurey,
Tindak pidana international yang berasal dari konvesi-konvensi

4
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Internasional ( Bandung: Refika Aditama, 2006)
hlm. 27
8

internasional ini secara historis dibedakan antara tindak pidana


internasional yang ditetapkan dalam satu konvensi internasional saja
(subject of single convention) dan tindak pidana yang ditetapkan oleh
banyak konvensi (subject of a multiple conventions). Jumlah dan jenis
tindak pidana yang berasal dari 143 konvensi internasional sejak tahun
1812-1979 adalah 20 tindak pidana internasional. Kedua puluh tindak
pidana internasional tersebut adalah:
1. Aggresion
2. War Crimes
3. Unlawful Use of Weapons
4. Genocide
5. Crimes against humanity
6. Apartheid
7. Slavery and related crimes
8. Torture (as wr crimes)
9. Unlawful medical experimentation (as war crimes)
10. Piracy
11. Crimes relating to international air communications
12. Taking civilian hostages
13. Threat and use of force against internationally protected
persons
14. Unlawful use of the mails
15. Drug offences
16. Falsification and counterfeiting
17. Theft of national and archaeologlcal treasures (in timeof
war)
18. Bribery of public officials
19. Interfance with submarine cables
20. International traffic in obscene publication.5
Tindak pidana internasional harus memenuhi persyaratan-
persyaratan sebagai pelanggaran terhadap kepentingan mayarakat

5
Ibid.
9

bangsa-bangsa atau masyarakat internasional (delicto jus gentium) dan


memenuhi persyaratan bahwa tindak pidana dimaksud memerlukan
penanganan secara internasional sehingga dengan demikian terhadap
pelaku kejahatan dimaksud, setiap Negara berhak dan berkewajiban
untuk menangkap, menahan, dan menuntut serta mengadili pelaku
kejahtan dimaksud dimanapun kejahatan itu dilakukan. Basiouni telah
secara skematis telah menggambarkan pidana internasional atau
International Crime meliputi:
1. unsur internasional; termasuk kedalam unsur ini adalah:
a. Indirect threat to world Peace and security (ancaman
secara tidak lansung terhadap perdamaian dan
keamanan di dunia);
b. Indirect threat to the World Peace and security
(ancaman secara tidak lansung atas perdamaian dan
keamanan di dunia);
c. “Shocking” to the conscience of Humanity
Menurut Pasal 4 ayat (1) statuta Roma, Mahkamah Pidana
Internasional memiliki kepribadian hukum internasional (international
legal personality). Hal ini berarti, bahwa Mahkamah Pidana Internasional
berkedudukan sebagai subjek hukum internasional dengan
kemampuannya memiliki hak-hak dan memikul kewajiban-kewajiban
berdasarkan hukum internasional dalam ruang lingkup tugas dan
kewenangannya serta maksud dan tujuannya. Atas dasar itu pula,
mahkamah memiliki kemampuan hukum (legal cpacity) untuk
melakukan hubungan-hubungan hukum sepanjang dibutuhkan dalam
pelaksanaan tugas, kekuasaan, dan fungsinya serta untuk memenuhi apa
yang menjadi maksud dan tujuannya.6 Badan-badan peradilan pidana
internasional pendahulunya, seperti mahkamah Nurenberg 1945 dan
Tokyo 1948, Mahkamah bekas Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994,
Mahkamah Pidana Internasional pun memiliki empat macam yurisdiksi,
yakni yurisdiksi personal, yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi temporal.

6
Statuta Roma,Pasal 4 ayat (1)
10

Adapun tentang yurisdiksi personal mahkamah sebagaimana


ditegaskan dalam Pasal 1 juncto Pasal 25, sesuai dengan judulnya, bahwa
mahkama Pidana Internasional menganut tanggung jawab secara pribadi
dari individu (Individual criminal responsibility). Tegasnya, menurut
Pasal 25 ayat (1), yurisdiksi Mahkamah adalah terhadap orang-orang atau
individu-individu yang harus bertanggung jawab atas kejahatan yang
dilakukannya sebagaimana ditentukan dalam statuta. Sedangkan
yurisdiksi dari Mahkamah Pidana Internasional adalah empat jenis
kejahatan atau tindak pidana yang dinyatakan dalam Pasal 5, yakni
kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang,
dan kejahatan agresi. Masing-masing kejahatan itu (kecuali kejahatan
agresi) dirinci dalam Pasal 6 (genosida), Pasal 7 (kejahatan terhadap
kemanusiaan) dan pasal 8 (kejahatan perang).7
Mengenai yurisdiksi teritorial dari Mahkamah Pidana
Internasional, tidak ada satu Pasalpun yang menegaskannya. Hal ini biasa
dimengerti, sebab Mahkamah Pidana Internasional merupakan badan
peradilan criminal yang dimaksudkan untuk menjangkau keempat jenis
kejahatan yang ditentukan dalam statutayang terjadi dimanapun dimuka
bumi ini. Terhadap kejahatan yang terjadinya didalam atau lintas batas
territorial dari Negara-negara yang sudah menjadi peserta dalam Statuta,
tentulah tidak menjadi masalah yurisdiksi territorial Mahkamah Pidana
Internasional sebab Negara-negara itu merupakan Negara yang menerima
yurisdiksi Mahkamah, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 ayat (1).8

A. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional Menurut Statuta Roma

1998.

Yurisdksi Mahkamah Pidana Internasional menurut Statuta Roma


1998, terdapat Empat macam yurisdiksi yang dimiliki yaitu, yurisdiksi
personal, kriminal, temporal dan territorial.9

7
Statuta Roma, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 25 ayat (1)
8
Statuta Roma, Pasal 12 ayat (1)
9
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana internasional (Yrama Widya, 2006) hlm. 207-211
11

1. Yurisdiksi Personal Pasal 1 juncto Pasal 25 Statuta Roma sesuai


dengan judulnya bahwa Mahkamah menganut tanggung jawab
pidana secara pribadi dari individu (individual criminal
responsibility). Menurut Pasal 25 ayat (1), yurisdiksi Mahkamah
adalah terhadap orang-orang atau individu-individu yang harus
bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya sebagaimana
ditentukan dalam Statuta.10 Mahkamah hanya memiliki yurisdiksi
personal terhadap individu, jadi tidak terahadap negara maupun
subyek hukum internasional lainnya selain terhadap individu.
Khusus hubungannya dengan negara, Pasal 25 ayat (4) secara
tegas menyatakan, bahwa tiada satupun ketentuan Statuta yang
berkenaan dan tanggungjawab kriminal dari individu akan
mempengaruhi tanggung jawab Negara berdasarkan hukum
internasional.11
Mahkamah Pidana Internasional tidak memiliki yurisdiksi
personal terhadap seseorang pelaku kejahatan yang ditetapkan dalam
Statuta apabila si pelaku pada waktu terjadinya kejahatan berumur
kurang dari 18 (delapan belas) tahun Pasal 26 Statuta Roma 1998. Hal ini
berkaitan dengan batas umur minimum seseorang untuk dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana di dalam hukum pidana nasional
negara-negara di dunia, berkisar sekitar umur 18 (delapan belas) tahun.12
Ada pula ketentuan yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk
menghapuskan tanggung jawab pidana dari seorang individu apabila
ketika perbuatan itu terjadi,individu yang bersangkutan dalam kondisi-
kondisi seperti tercantum dalam Pasal 31 ayat (1), yakni:
a. Orang yang bersangkutan menderita cacat mental atau sakit
ingatan;
b. Orang yang bersangkutan sedang dalam keadaan mabuk ketika
perbuatan itu dilakukan sehingga mempengaruhi kemampuannya
untuk menilai perbuatannya;

10
Statuta Roma, Pasal 25 ayat (1)
11
Statuta Roma, Ibid
12
Statuta Roma, Pasal 26
12

c. Orang yang bersangkutan melakukan perbuatannya tersebut demi


membela diri ataupun membela orang lain; dan
d. Perbuatan atau kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional itu dilakukannya dibawah tekanan fisik ataupun
mental yang tidak dapat dihindarkannya.13
Dalam prakteknya, sejauh mana alasan-alasan ini dapat dibenarkan
penggunaannya, tentulah akan dinilai dan diputuskan oleh Mahkamah
Pidana Internasional sendiri dalam persidangan sesuai dengan hukum
acara dan hukum pembuktiannya.
2. Yurisdiksi Kriminal
Yurisdiksi Kriminal dari Mahkamah Pidana Internasional
berdasarkan Statuta Roma 1998 adalah empat jenis kejahatan atau
tindak pidana yang dinyatakan dalam Pasal 5 yakni, kejahatan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan
kejahatan agresi. Dalam Pasal 9 ditegaskan perlunya dirumuskan
secara lebih rinci tentang unsur-unsur dari masing-masing
kejahatan (elements of crimes) tersebut demi membantu
Mahkamah dalam menafsirkan dan menerapkan ketentuan dalam
Pasal 6, 7, dan 8 Statuta Roma. Adapun lembaga yang berwenang
merumuskan dan memutuskannya adalah Majelis Negara-Negara
Peserta, berdasarkan persetujuan dari dua pertiga negara-negara
anggotanya. Dalam hubungan ini, ternyata Majelis Negara-
Negara Peserta telah berhasil merumuskan unsur-unsur dari
masing-masing kejahatan tersebut. Sedangkan terhadap kejahatan
agresi (the crime of aggression) masih belum ditetapkandefinisi
dan ruang lingkupnya sehingga untuk sementara ini belum dapat
diterapkan, karena masih menunggu adanya amandemen atas
Statuta Roma pada Pasal 121 dan peninjauan kembalinya pada
Pasal 123.14
3. Yurisdiksi Temporal
Pasal 11 ayat (1) dan (2) statuta Roma menjelaskan tentang
13
Statuta Roma, Pasal 31 ayat (1)
14
Statuta Roma, Pasal 121 dan pasal 123
13

yurisdiksi temporal (jurisdiction ratione temporis). Menurut Pasal


11 ayat (1), Mahkamah Pidana Internasional hanya memiliki
yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan setelah mulai berlakunya
Statuta. Demi adanya kepastian hukum, haruslah ditentukan
terlebih dahulu tentang waktu atau tanggal mulai berlakunya
Statuta. Sesuai dengan ketentuan Pasal 126 ayat (1), Statuta mulai
berlaku pada hari pertama dari bulan sesudah hari kesepuluh
setelah penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan,
persetujuan atau aksesi pada Sekertaris Jendral PBB. Dengan
demikian Mahkamah Pidana Internasional hanya memiliki
yurisdiksi atas kejahatan yang ditentukan di dalam Pasal 5-8
statuta yang telah terjadi sesudah tanggal berlakunya. Mahkamah
tidak memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang terjadi sebelum
berlakunya statuta. Hal ini selaras dengan asas non-Rectroctive
(non-rectroactive ratione personae) dalam Pasal 24 ayat (1) yang
menyatakan, bahwa tiada seorangpun akan dimintakan
pertanggung-jawaban pidana berdasarkan Statuta atas perbuatan
yang dilakukannya sebelum mulai berlakunya Statuta.15
Peradilan terhadap pelaku kejahatan sebelum berlakunya
Statuta Roma 1998, yang pertama adalah penagadilan nasional
negara tempat terjadinya kejahatan atau pengadilan nasional
negara lain yang memiliki yurisdiksi atas kejahatan tersebut. Jika
pengadilan nasional tidak berfungsi karena tidak mampu atau
kalau mampu tidak mau melaksanakan yurisdiksinya, atau hukum
nasional suatu negara itu sama sekali tidak mengatur kejahatan
tersebut sebagai tindak pidana di dalam atau peraturan perundang-
undangan pidana nasionalnya, maka melalui prosedur yang telah
berlaku, Dewan Keamanan dapat membentuk badan pengadilan
pidana internasional ad hoc, seperti halnya Mahkamah Kejahatan
Perang dalam kasus bekas Yugoslavia 1993 atau Rwanda 1994.
Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internsional hanya berlaku

15
Statuta Roma, Pasal 11 ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 126 ayat (1)
14

atas kejahatan yang terjadi di dalam wilayah negara-negara


pesertanya, yaitu negara-negara yang sudah meratifikasi dan
demikian sudah terikat pada Statuta. Negara-negara lain yang
tidak atau belum mengikatkan diri pada Statuta, tetapi
diwilayahnya terjadi kejahatan yang seperti ditentukan di dalam
Statuta, meskipun waktu terjadinya itu sesudah mulai berlakunya
Statuta tetap saja Mahkamah Pidana Internasional tidak memiliki
yurisdiksi. Ini sesuai dengan asas Pacta Tertiiis Nec Nocent Nect
Prosunt dalam hukum perjanjian internasional, bahwa suatu
perjanjian internasional tidak memberikan hak dan atau
membebani kewajiban kepada pihak ketiga.
Terhadap kejahatan semacam itu, maka
pertanggungjawaban pidana atas si pelakunya dikembalikan
kepada hukum pidana nasional dari negara yang bersangkutan.
4. Yurisdiksi Teritorial
Mengenai yurisdiksi teritorialnya, tidak ada satu Pasal pun
pada statuta Roma yang menegaskannya. Hal ini disebabkan
karena Mahkamah Pidana Internasional merupakan badan
peradilan kriminal yang dimaksudkan untuk menjangkau keempat
jenis kejahatan yang ditentukan dalam Statuta yang terjadi
dimanapun dimuka bumi ini. Terhadap kejahatan yang terjadinya
di dalam atau lintas batas territorial dari negara-negara yang
sudah menjadi peserta pada Statuta, tentulah tidak menjadi
masalah dengan penerapan yurisdiksi territorial mahkamah sebab
negara-negara itu merupakan negara yang menerima yurisdiksi
mahkamah, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 ayat (1).16
Dalam hubungannya dengan negara-negara yang tidak atau
menolak untuk menjadi peserta Statuta (tidak atau menolak untuk
meratifikasi Statuta), tentulah Mahkamah tidak bisa menerapkan
yurisdiksinya terhadap kejahatan yang terjad didalam wilayah
negara itu. Sebagai akibatnya, si pelaku kejahatan tersebut

16
Statuta Roma, Pasal 12 ayat (1)
15

menjadi berada diluar jangkauan yurisdiksi mahkamah sehingga


ia akan menikmati impunitas. Hal ini sudah tentu akan
menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakatinternasional pada
umumnya, para korban dari kejahatan itu pada khususnya.
Agar pelaku kejahatan tidak menikmati impunitas, para
perancang Statuta menerapkan yurisdiksi kriminalnya terhadap
kejahatan yang terjadi di wilayah negara yang belum atau tidak
meratifikasi Statuta, dengan syarat sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 12 ayat (3) yakni, negara tersebut mengeluarkan suatu
pernyataan (deklarasi) yang menyatakan penerimaannya atas
yurisdiksi Mahkamah dan deklarasi tersebut disampaikan kepada
Panitera. Akan tetapi sejauh mana suatu negara semacam itu akan
bersedia mengeluarkan pernyataan tentang penerimaannya atas
yurisdiksi Mahkamah, sepenuhnya tergantung pada negara yang
bersangkutan.17
Dewan Keamanan PBB berdasarkan kewenangannya
menurut Bab VII Piagamnya, berhak untuk menyerahkan kepada
mahkamah melalui Jaksa Penuntut (the Presecutor) atas kejahatan
yang terjadi di wilayah negara semacam itu. Hal ini secara tegas
diatur dalam Pasal 3 butir (b) Statuta. Namun penyerahan ini
hanya bisa terjadi, apabila Dewan Keamanan PBB terlebih dahulu
bersidang untuk membahas masalah yang terjadi di wilayah atau
lintas batas wilayah negara-negara yang tidak menjadi peserta
Statuta yang menurut Dewan Keamanan merupakan ancaman atas
keamanan dan perdamaian dunia (Bab VII Piagam PBB) dan
diakhiri dengan pengambilan keputusan (yang dituangkan dalam
satu resolusi) untuk menyerahkan kasus tersebut kepada Jaksa
Penuntut (the Presecutor) untuk ditindak lanjuti sesuai dengan
ketentuan Statuta.
Menurut Eddy O.S. Hiarej, Yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional meliputi kejahatan agresi, kejahatan genosida, kejahatan

17
Statuta Roma, Pasal 12 ayat (3)
16

terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.37 Akan tetapi sampai


dengan saat ini, definisi mengenai kejahatan agresi belum ada
kesepakatan, sedangkan definisi genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan kejahatan perang tertuang dalam Pasal 6, Pasal 7, dan
Pasal 8 Statuta Roma. Prinsip-prinsip dasar yang dianut dalam Statuta
Roma adalah sebagai berikut:
a. Bersifat Komplementer Bersifat komplementer
Artinya, jika terjadi kejahatan yang menjadi yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional, maka pengadilan terhadap
pelaku kejahatan terlebih dahulu diserahkan kepada hukum
nasional negara dimana kejahatan tersebut dilakukan. Apabila
negara Negara tersebut tidak mau atau tidak dapat mengadili
pelaku kejahatan tersebut, maka pengadilan terhadap pelaku
dilakukan oleh Mahkamah Pidana Internasional.
b. Asas Legalitas Asas Lagalitas
Berlaku secara absolut dan tidak dimungkinkan
penyimpangan terhadapnya selama menyangkut kejahatan-
kejahatan yang menjadi Yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional. Tidak hanya larangan hukuman berlaku surut
atau prinsip non-retroaktif, larangn terhadap analogi juga
termaktub secara eksplisit dalam Statuta Roma.
c. Asas Nebis In Idem Asas nebis in idem
Yang berarti bahwa seseorang tidak dapat dituntut lebih dari
satu kali di depan pengadilan dengan perkara yang sama.
Akan tetapi, dalam Statuta Roma asas nebis in idem ini tidak
berlaku mutlak. Artinya asas tersebut dapat disimpangi jika
pengadilan nasional yang mengadili pelaku kejahatan
tersebut tidak fair atau bermaksud membebaskan pelaku dari
segala tuntutan.
d. Prinsip Pertanggungjawaban
Pribadi Prinsip pertanggungjawaban pribadi adalah
sebagaimana yang dianut dalam hukum pidana.
17

e. Percobaan, penyertaan dan permufakatan


Percobaan penyertaan dan permufakatan merupakan
yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.
f. Tidak Mengenal Jabatan
Tidak mengenal relevansi jabatan resmi dan tidak berlaku
tanggung jawab komando dan atasan lainnya.
g. Batasan Umur
Pada Yurisdiksi Tidak dimasukkannya yurisdiksi anak-anak
di bawah umur delapan belas tahun.

B. Proses Peradlian Mahkamah Pidana Internasional

Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian melalui forum


mahkamah pengadilan internasional yang dibentuk sesuai dengan ketentuan
hukum internasional dan dalam penyelesaian sengketa menggunakan
kaidah-kaidah hukum internasional. Peradilan internasional yang dibentuk
oleh hukum internasional adalah Mahkamah Peradilan Internasional atau
International Court of Justice di Den Haag.18
ICC memiliki yurisdiksi untuk mengadili suatu kejahatan yang dikenal
sebagai trigger mechanism sebagaimana diatur oleh Pasal 13 Statuta Roma
1998:
1. Kejahatan dilakukan di wilayah yang telah meratifikasi
Statuta Roma;
2. Kejahatan dilakukan oleh warga negara yang telah
meratifikasi Statuta Roma;
3. Negara yang belum meratifikasi Statuta Roma telah
memutuskan untuk menerima yurisdiksi pengadilan atas
kejahatan tersebut;
4. Kejahatan dilakukan dalam situasi yang mengancam
perdamaian dan keamanan internasional dan Dewan

18
Oentoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasional: Perkembangan Tindak Pidana
Internasional dan Proses Penegakannya (Jakarta: Erlangga,2010), hlm. 146
18

Keamanan PBB telah mengajukan situasi tersebut ke muka


pengadilan.
ICC ini dapat bekerja terhadap kejahatan apabila negara tersebut
sudah meratifikasi Statuta Roma. Jika suatu negara meratifikasinya, maka
dengan otomatis negara tersebut mengakui yurisdiksi ICC. Setiap negara
peserta diharuskan untuk membantu dan bekerja sama dengan ICC dalam
seluruh tahapan kerja. ICC memiliki yurisdiksi yang bersifat non-retroaktif
atau tidak berlaku surut. Maksudnya, ICC tidak dapat menjatuhkan
hukuman untuk kejahatan yang dilakukan sebelum ICC terbentuk (tanggal
1 Juli 2002). Intinya, Pengadilan Nasional akan selalu memiliki yurisdiksi
atas sejumlah kejahatan. Berdasarkan prinsip saling melengkapi
(komplementaritas), ICC hanya akan bertindak atau mengambil alih suatu
kasus ketika Pengadilan Nasional tidak mampu (unable) atau tidak mau
(unwilling) untuk mengambil tindakan. Sebagai contoh pemerintahan di
suatu negara mungkin tidak ingin menjatuhkan hukuman atas warga
negaranya terlebih jika orang tersebut adalah orang yang berpengaruh atau
ketika sistem pengadilan pidana suatu negara telah runtuh sebagai akibat
dari konflik internal sehingga tidak ada pengadilan yang mampu mengatasi
kasus-kasus kejahatan tersebut.
Suatu kasus kejahatan di suatu negara dapat diadili di ICC
pidana internasional melalui 3 (tiga) cara, yaitu:
1. Jaksa penuntut dapat memulai investigasi dalam keadaan
dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan,
berdasarkan informasi dari berbagai sumber, termasuk para
korban dan keluarga. Namun, hanya pengadilan yang
memberlakukan yurisdiksi atas kejahatan tersebut;
2. Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta
jaksa penuntut untuk menginvestigasi situasi dimana satu
atau lebih kejahatan telah dilakukan;
3. DK PBB dapat meminta ICC untuk menginvestigasi situasi
dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan. ICC akan
memberlakukan yurisdiksi ketika DK PBB mengajukan
19

situasi tersebut ke jaksa penuntut, meskipun kejahatan


tersebut terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi
Statuta Roma. Dengan kata lain, ICC mempunyai yurisdiksi
yang luas hingga dapat meliputi negara yang bukan peserta
ICC.
Jaksa Penuntut hanya akan dapat memulai investigasi ketika
kejahatan telah dilakukan di wilayah suatu negara yang telah meratifikasi
Statuta Roma atau tertuduh adalah warga negara anggota Statuta Roma,
kecuali DK PBB mengajukan situasi tersebut ke pengadilan. Oleh karena
itu, untuk alasan inilah, efektivitas ICC tergantung pada banyaknya
negara yang meratifikasi Statuta Roma.19

19
Iman Santoso, Hukum Pidana Internasional (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013) hlm.
106-107
20

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
1. Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal
Court merupakan salah satu badan yang berfungsi di bidang
peradilan sebagai pengadilan permanen kasus kejahatan berat
yang dilakukan individu, baik sebagai pemimpin negara maupun
individu dengan kepentingan pribadi. Yurisdiksi atau
kewenangan yang dimiliki oleh MPI untuk menegakkan aturan
hukum internasional adalah memutus perkara terbatas terhadap
pelaku kejahatan berat oleh warga negara dari negara yang telah
meratifikasi statuta mahkamah. ICC merupakan pelengkap dari
International Court of Justice (ICJ). Parameter di antara
keduanya adalah ICJ adalah suatu pengadilan yang mengadili
perselisihan antarnegara sebagai negara. Di lain pihak, ICC
adalah pengadilan yang menuntut dan memidana individual.
2. Pengaruh Mahkamah Pidana Internasional terhadap pengadilan
nasional akan selalu mempunyai yuridiksi atas sejumlah
kejahatan. Berdasarkan prinsip saling melengkapi, Mahkamah
Pidana Internasional hanya akan bertindak ketika pengadilan
nasional tidak mampu atau tidak mau mangambil tindakan.
Pengadilan dapat menjatuhkan hukuman kepada para tersangka
kejahatan menurut hukum internasional. Adanya kelemahan dari
yurisdiksi dari Mahkamah pidana Internasional ini dikarenakan
tidak memiliki yuridiksi atas suatu kasus kecuali bila negara di
mana kejahatan tersebut terjadi atau negara yang warganya
adalah tertuduh merupakan negara pihak atau telah menyatakan
persetujuannya atas yuridiksi pengadilan tersebut. Pengadilan
21

juga tidak mempunyai yurisdiksi bila negara yang bersnagkutan


sudah sedang menyelidiki atau mengadili kasus tersebut, kecuali
tersebut tidak daapt atau tidak mau melakukan proses peradailan
yang benar. Mahkamah ini juga tidak mencakup kejahatan yang
terjadi sebelum ia berdiri.

B. Saran
1. Yurisdiksi atau kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah
Pidana Internasional dalam menegakkan aturan hukum
internasional untuk memutus perkara terbatas terhadap pelaku
kejahatan berat oleh warga negara dari negara yang telah
meratifikasi statuta mahkamah harus sesuai dengan ketentuan
dan Mahkamah Pidana Internasional juga harus secara tegas
dalam melaksanakan yurisdiksinya agar dapat menerapkan asas
legalitasnya agar tidak terjadinya penerapan peraturan yang
berlaku surut/retro aktif.
2. Dengan adanya kelemahan yang dimiliki Mahkamah Pidana
Internasional maka penegakan hukum pidana internasional
haruslah sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu Statuta
Roma 1998. Kemudian penegakan hukum pidana internasional
harus terlepas dariintervensi dari siapapun. Kedepannya perlu
dibentuk lembaga atau komisi tersendiri yang khusus menangani
kasus kejahatan internasional yang lebih bersifat independent.

Anda mungkin juga menyukai