P. Burgess 1
Sejarah
Latar belakang konsep tanggung jawab inidividu dalam hukum internasional, yaitu ide
bahwa hukum internasional dapat menimpakan tanggung jawab secara langsung
terhadap individu.
1
Beberapa bahan-bahan materi diambil dari konsep tindak pidana internasional berbasis jender yang sekarang masih
dikerjakan oleh kelompok kerja Komnas Perempuan, termasuk penulis.
Tribunal dilengkapi dengan hukum acara yang didasarkan kepada tradisi hukum
common law.
Empat orang hakim duduk, masing-masing mewakili satu negara sekutu; terdakwa
diwakili oleh pengacaranya.
Dua puluh empat orang dituntut, hanya tiga dari mereka yang dibebaskan (catatan.
bahwa salah seorang terdakwa – Bormann – diadili secara in-absentia dan dihukum
mati)
Perkembangan Selanjutnya
Beberapa perkembangan menyusul segera setelah perang berakhir :
- Setelah putusan Nuremberg : Resolusi Sidang Umum Nomor 95 pada tahun
1946 menyetujui prinsip-prinsip hukum internasional yang tercantum dalam
Piagam Nuremberg dan pada putusan tribunal
“menyetujui prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui oleh
Piagam Nuremberg dan putusan dari Tribunal tersebut”
Sidang Umum memerintahkan Komisi Hukum Internasional (yang pada waktu
itu diharapkan untuk dapat segera dibentuk- yang kemudian dikenal sebagai
Komite Kodifikasi Hukum Internasional) untuk membuat sebuah Pernyatan
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional dari Piagam Londong dan Tribunal
Nuremberg.
- Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Komisi Hukum Internasional sebagai
jawaban terhadap Resolusi Sidang Umum Nomor 95 (I) kemudian diadopsi
oleh Resolusi Sidang Umum No. 488 (V) pada tahun 1950.
Prinsip-prinsip ini menetapkan, diantaranya, definisi kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
- Resolusi Sidang Umum -96(I) 11 Desember 1946 – menyatakan genosida
sebagai kejahatan dalam hukum internasional.
Setelah proses hukum setelah Perang Dunia II (PD II) selesai, sampai tahun
1990an tidak ada satupun mekanisme yudisial dibuat untuk menuntut kejahatan
(tindak pidana) internasional.
Beberapa penuntutan tindak pidana internasional terjadi dalam skala domestik
(misalnya peradilan Eichmann di Israel) tapi sebagian besar kejahatan
internasional (misalnya yang terjadi di Kamboja, Uganda, Uni Soviet, Afghanistan,
China, Chile, Guatemala, Argentina, dan lain-lain- serta Indonesia dan Timor Timur)
tidak dituntut.
Kondisi ini sangat memprihatinkan dan dikeluhkan banyak orang, akan tetapi
kelihatannya tidak ada kemauan politik yang kuat pada saat itu untuk
menyelesaikan masalah tersebut.
Usaha-usaha Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membentuk Tribunal Pidana
Internasional Permanen sejak PD II belum membuahkan hasil.
Komisi Hukum Internasional PBB telah mengkaji masalah tersebut dan mencoba
untuk membuat sebuah traktat internasional yang dapat diaplikasikan oleh tribunal
tersebut (Kode Kejahatan Terhadap Perdamaian dan Keamanan Umat Manusia)
Akan tetapi tidak tercapai kesepakatan politik atau kemauan untuk membentuk
pengadilan tersebut sepanjang perang dingin.
Namun, ketika pembantaian terjadi di bekas Republik Yugoslavia, kondisi menjadi
berubah.
- perang dingin telah
berakhir
- perhatian media terhadap kejadian tersebut sangatlah
tinggi
- kejahatan yang terjadi sangat parah dan
meluas
- dan mungkin yang terpenting adalah, kejadian itu menyatukan berbagai
negara, negara barat menjadi sangat prihatin terhadap apa yang terjadi di Eropa,
sementara negara muslim juga prihatin, karena banyak korban adalah muslim.
Meskipun Rusia pada awalnya enggan untuk terlibat, namun Dewan Keamanan
mulai mengeluarkan resolusi-resolusi tentang situasi di Yugoslavia.
- bulan Juli 1992 (resolusi 764- tentang Sarajevo) menyatakan bahwa orang-
orang yang melakukan atau memerintahkan terlaksananya pelanggaran berat
Yang paling penting adalah, pada kedua resolusi tersebut, Dewan Keamanan PBB
menyatakan bahwa DK bertindak atas dasar Bab VII Piagam PBB – dimana bab ini
berbicara tentang ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap
perdamaian dan tindakan agresi.
- Dari situ lah Dewan Keamanan memiliki kekuasaan untuk mengambil tindakan
yang bersifat memaksa dan mengikat dimana dianggap bahwa terjadi kondisi
yang mengancam terhadap perdamaian.
Sebelum pembentukan ICTY, Dewan Keamanan belum pernah menggunakan Bab VII
sebagai dasar untuk membentuk suatu badan yudisial.
Dalam kasus pertama sebelum ICTY –Tadic- tersangka mengajukan keberatan
terhadap keabsahan tribunal tersebut, dengan mengklaim bahwa Dewan
Keamanan tidak memiliki kewenangan untuk membentuk tribunal dengan cara
tersebut.
Lalu pada Banding, ICTY berpendapat bahwa pembentukan tribunal tersebut memang
merupakan kewenangan dari Dewan Keamanan (khususnya berdasarkan pasal 41
yang memperbolehkan diambilnya tindakan-tindakan yang tidak melibatkan
penggunaan kekuatan bersenjata).
Fakta bahwa ICTY dan ICTR dibentuk oleh Dewan Keamanan atas dasar Bab VII
(ketimbang melalui suatu traktat) merupakan hal yang penting, karena :
- Itu berarti bahwa persetujuan dari seluruh negara (termasuk negara yang
terkena dampak langsung – misalnya Serbia) tidak diperlukan, baik tentang
pembentukannya atau yurusdiksinya, bentuk dan masalah lainnya.
- Itu berarti bahwa semua negara terikat dibawah hukum internasional untuk
bekerjasama dengan ICTY (sebagai disebutkan pada resolusi Dewan
Keamanan, yang mengikat seluruh anggota PBB)
[beda tribunal campuran dan Pengadilan Pidana Internasional]
Yurisdiksi Tribunal
a. Limitasi yurisdiksi waktu
ICTY: yurisdiksi atas tindakan-tindakan yang dilakukan dari 1 Januari 1991 [ tanpa
tanggal berakhir]
ICTR: yurisdiksi atas tindakan-tindakan yang dilakukan diantara tanggal 1
Januari sampai Desember 1994
Pencapaian Tribunal
g. kontribusi luar biasa kepada pengembangan hukum pidana internasional
(termasuk definisi kejahatan menurut hukum kebiasaan, pertahanan, mode
tanggung jawab dan pertanyaan-pertanyaan tentang prosedur dan standar
sidang yang adil)
h. ICTY telah melakukan penuntutan terhadap 161 orang. Dari jumlah ini 48 telah
disidangkan dan dihukum, 5 dibebaskan/ 25 penuntutan ditarik kembali dan 11
tersangka meninggal sebelum atau pada saat persidangan. 11 orang telah
dirujuk kepada pengadilan nasional untuk disidangkan. 61 persidangan masih
berjalan.
i. ICTR terhitung bulan Juni 2006 telah mengeluarkan 22 putusan yang melibatkan
28 terdakwa. 25 diantaranya dihukum dan 3 dibebaskan. Pada saat itu 11 sidang
lain sedang berjalan dan melibatkan 27 terdakwa.
j. Akan tetapi penting diketahui bahwa keberhasilan atau kegagalan tribunal
internasional tidak hanya (bahkan tidak semata-mata) dinilai dari sisi kuantitatif,
namun juga dari sisi jaminan prosedural yang dilaksanakan di persidangan,
kepatuhan kepada standar hak asasi manusia, dan kualitas putusan-lah yang
penting.dalam hal ini sebagian besar orang berpendapat bahwa tribunal ad hoc
sebagai keberhasilan.
Jadi prosedur ini lebih dimaksudkan untuk kejahatan yang lebih ringan atau pelaku
yang berada di tingkat rendah.
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
10
Tidak jelas apa yang akan terjadi jika Tribunal ‘menyelesaikan’ tugas mereka jika
pelaku-pelaku senior tidak disidang atau belum berhasil ditahan.
Latar Belakang
Setelah pembentukan dua mahkamah (tribunal) internasional untuk Rwanda dan
bekas Yugoslavia di era 1990-an model pengadilan yang berbeda, yang melibatkan
hakim, penuntut, dan penyidik baik internasional dan lokal, terbentuk di empat
negara yang baru pulih dari konflik berskala besar. Di Kosovo, Timor Timur dan
Kamboja, pengadilan ini merupakan bagian dari struktur pengadilan nasional, yang
dimandatkan melalui dewan perwakilan nasional. Dalam kasus Sierra Leone, PBB
dan pemerintah mengadakan perjanjian bilateral yang mendasari pembentukan
pengadilan tersebut, yang merupakan tindak lanjut atas permintaan dari Dewan
Keamanan PBB. Tribunal-tribunal ini dikenal sebagai tribunal campur (mixed) atau
hibrid (hybrid).
Peranan PBB
PBB memegang peranan penting dalam setiap kasus-kasus tersebut sebagai
berikut. Di Kosovo dan Timor Timur pengadilan terbentuk ketika PBB menjadi
pemerintah setempat sementara, menempati posisi yang kosong setelah konflik
yang berkepanjangan. Di Timor Timur pengadilan tetap melanjutkan tugasnya
setelah negara tersebut mendapatkan kemerdekaannya pada bulan Mei 2002. Pada
saat tulisan ini dibuat Kosovo masih belum merdeka. Sejumlah besar misi
perdamaian PBB telah dikirim ke Kamboja dan sejak kedatangannya PBB masih
terus memegang peranan besar dalam pembentukan sebuah tribunal untuk
mengadili kejahatan internasional. Di Sierra Leone pengadilan ini terbentuk melalui
Resolusi Dewan Keamanan PBB.
Setelah pembentukan ICC di tahun XX, keinginan atas tribunal kriminal internasional
PBB telah surut, dikarenakan ICC sekarang berkapasitas untuk berurusan dengan
kasus-kasus yang akan datang seperti yang terjadi di Rwanda and bekas
Yugoslavia. Namun demikian, ICC tidak memiliki yuridiksi terhadap kejahatan-
kejahatan yang dilakukan sebelum pembentukannya (sebagai contoh: tidak memiliki
yuridiksi retroaktif). Sehingga, apabila tidak ada pengadilan domestik yang hendak
atau bisa menangani pelanggaran-pelanggaran serius terhadap hukum internasional
yang dilakukan sebelum terbentuknya ICC, penyelesaiannya bisa melalui tribunal
kejahatan internasional ad hoc yang terbentuk secara spesifik dari resolusi dewan
keamanan PBB.
Latar Belakang:
Setelah hampir 400 tahun di bawah penjajahan Portugis, pada tahun 1960, Timor
Timur menyatakan diri sebagai ‘daerah non pemerintah yang dikelola oleh Portugis
di bawah resolusi sidang umum PBB. Indonesia melancarkan invasi militer ke Timor
Timur pada tanggal 7 Desember 1975 dan mengumumkan Timor Timur sebagai
provinsi ke 27 pada tanggal 27 Juli 1976. Sebentuk gerakan perlawanan lokal terus
melakukan perjuangan untuk kemerdekaan. Setelah 24 tahun pendudukan yang
lama yang dikarakterisasikan oleh sejumlah klaim atas pelanggaran-pelanggaran
yang tersebar luas terjadi yang melibatkan angkatan bersenjata Indonesia, PBB
mengadakan pemilu pada tanggal 20 Agustus 1999 yang hasilnya 78,5%
masyarakat Timor Timur yang berpartisipasi dalam pemilihan memilih merdeka dari
Indonesia.
Menurut laporan-laporan dari tim Rapateur Khusus PBB (UN Special Rapporteurs),
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
12
Komisi PBB untuk Penyelidikan Timor Timur dan Komisi untuk Penerimaan,
Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor Timur (UN Commission of Inquiry into East Timor
and the East Timor Commission for Reception, Truth and Reconciliation), angkatan
bersenjata Indonesia dan milisia Timor Timur di bawah kontrol mereka terlibat dalam
penyebarluasan pelanggaran hak asasi manusia yang sengaja dilakukan untuk
mempengaruhi hasil pemilu dan kemudian ikut serta dalam pengrusakan besar-
besaran, pembunuhan, pemerkosaan dan bentuk pelanggaran lainnya menyusul
pengumuman hasil pemilu. Laporan Komnas HAM per 31 Januari 2000 menanyakan
tentang 13 insiden yang terjadi selama periode tersebut dan memutuskan bahwa
pemerintah Indonesia terlibat dalam pendanaan, penyediaan senjata dan dukungan
kepada milisia Timor Timur dan bahwa TNI telah melakukan kerjasama operasi
dengan mereka.
Komisi Penyelidikan untuk Timor Timur, didirikan oleh komisi hak asasi manusia
PBB, merekomendasikan, pada bulan January 2002, tribunal kejahatan
internasional, serupa dengan yang pernah dibentuk untuk menangani kejahatan
yang terjadi di Rwanda dan bekas Yugoslavia, untuk didirikan untuk kasus di Timor
Timur. Tribunal mana akan mendapat mandat di bawah Bab VII piagam
PBB,termasuk kekuasaan bagi penyelidiknya untuk menyeberangi batas negara
agar dengan seluruh kekuatannya dapat menangkap tersangka. (Kekuatan ini telah
sering digunakan oleh ICTY)
Di Jakarta, tribunal ad hoc untuk Timor Timur didirikan pada tahun 2000 menurut UU
Indonesia No. 26/200. Dari 18 orang tertuduh sebelum tribunal ad hoc, 12 orang
dinyatakan tidak bersalah dan 6 orang dinyatakan bersalah setelah persidangan.
Semua terdakwa naik banding. Lima dari enam putusan menang setelah banding.
Hanya satu orang, Eurico Guteres dari Timor Timur yang dinyatakan bersalah dan
dipenjara. Tidak ada tuduhan atas pemerkosaan atau pelanggaran-pelanggaran
seksual di tribunal ad hoc ini (Baca David Cohen, Intended to Fail: the Trials before
the Ad Hoc Human Rights Court in Jakarta, International Centre for Transitional
Justice, Agustus 2003)
Para penyelidik dan penuntut demikian pula halnya dengan para hakim internasional
yang duduk di Panel Khusus, merupakan staff PBB yang dipekerjakan khusus untuk
menangani hal ini. Setiap panel khusus, yang didirikan sebagai bagian dari struktur
pengadilan setempat, terdiri dari dua hakim internasional dan satu hakim Timor
Timur.
Pada akhir dari masa mandatnya, unit ‘kejahatan serius’ di Dili mengeluarkan
dakwaan terhadap 392 individual. 304 diantaranya diyakini berada di luar yuridiksi
Indonesia. Delapan puluh empat anggota milisia dinyatakan bersalah setelah diadili.
Hampir semua dari terdakwa menerima hukuman antara 7 sampai 15 tahun penjara,
dan satu pemimpin milisia dihukum 33 tahun penjara. Dari angkatan bersenjata
Indonesia pejabat berpangkat tertinggi yang didakwa adalah Jendral Wiranto.
Yuridiksi Universal
Di bawah prinsip umum kedaulatan negara hukum nasional dari satu negara bagian
tidak berlaku di negara bagian lain. Hukum-hukum tersebut hanya dapat berlaku
terhadap:
• Perorangan (warga negara atau sebaliknya) yang secara fisik berada di
wilayah geografi satu negara bagian tertentu.
• Warga negara satu negara yang berada di luar batas wilayah negaranya
(hanya dalam kasus pengecualian, sebagai contoh hukum yang baru-baru ini
berlaku yang melarang pelanggaran seksual terhadap anak-anak saat berada
di luar negeri, dikeluarkan oleh sejumlah negara).
• Undang-undang yang bertentangan dengan hukum nasional tertentu, yang
masih berlaku efektif pada waktu dan tempat di mana undang-undang
tersebut dilaksanakan. (Prinsip retroaktif)
Kewajiban negara bagian untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas
kejahatan tersebut diakui atau diperlukan dalam sejumlah konvensi internasional
seperti Hukum Romawi, Konvensi terhadap Penyiksaan dan ketentuan Pelanggaran
Berat Konvensi Jenewa. Akan tetapi, walaupun banyak negara nampaknya
mengakui kewajiban-kewajibannya, mereka harus mengeluarkan dan melaksanakan
perundang-undangan dalam negeri yang memberi efek terhadap kewajiban-
kewajiban tersebut. Perkembangan masalah ini lambat.
Pada umumnya, negara-negara takut mencampuri urusan dalam negeri negara lain,
hal tersebut semakin menghalangi-halangi proses mencari kejelasan atas kejahatan
internasional. Tetapi fakta yang menyatakan bahwa ada tuntutan kejahatan
internasional yang menang di pengadilan di Spanyol, Perancis, Belgia, Inggris dan
Belanda memperlihatkan bahwa ada peningkatan kemauan dari negara-negara
untuk memenuhi kewajibannya.
The USA Alien Torts Act (Undang-undang Perbuatan Melawan Hukum Orang Asing)
Namun, di Amerika Serikat, sebuah hukum yang sangat tua, bahwa Alien Torts
Claims Act (ACTA) dibuat tahun 1789, memungkinkan individual yang bukan warga
negara Amerika bisa menuntut, di pengadilan federal Amerika Serikat, orang-orang
yang telah membuat mereka menderita melalui pelanggaran dari “hukum negara
atau sebuah perjanjian Amerika Serikat.” Pengadilan Amerika Serikat telah
menterjemahkan hukum ini sehingga termasuk tindakan-tindakan genocide,
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, penyiksaan, “orang hilang’,
eksekusi tanpa sidang, kerja paksa dan penahanan yang secara semena-mena terus
diperpanjang.
Hukum-hukum ini bukanlah hukum kriminal dan tidak berkaitan dengan hukuman
langsung terhadap pelaku kejahatan. Hukum-hukum tersebut memungkinkan para
korban untuk mengklaim atas kerusakan yang terjadi seperti ganti rugi finansial dari
pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran hukum internasional seperti
tersebut di atas. Prosedur yang relevan termasuk kebutuhan para ‘tergugat’ atas
secara pribadi diberitahukan tentang klaim tersebut oleh Penggugat atau agennya
Disampaikan pada Kursus HAM untuk Pengacara 2007
15
dengan cara memberi dokumen klaim secara langsung. Pengadilan selanjutnya akan
menjadwalkan satu pemeriksaan (hearing) terhadap masalah tersebut. Menurut
prosedur pada umumnya dalam kasus-kasus sipil, apabila salah satu pihak tidak
datang pada saat pemeriksaan dilaksanakan, maka pihak lawan akan mendapatkan
putusan yang menguntungkan.
Dalam sejumlah kasus yang dibawakan menurut prosedur ini, ada kesempatan untuk
memberi dokumen kepada tergugat yang relevan, akan tetapi sang tergugat tidak
hadir dalam pemeriksaan. Dalam kasus-kasus seperti ini pengadilan telah membuat
putusan yang menguntungkan bagi si penggugat, seringkali termasuk sejumlah
besar ganti rugi yang harus dibayarkan kepada pihak korban baik sebagai ganti rugi
atas penderitaan yang dialami dan sebagai hukuman tambahan yang dibuat untuk
menghukum pihak tergugat. Perintah-perintah pengadilan seperti ini hanya dapat
dilaksanakan di Amerika Serikat. Pihak tergugat yang tidak menghadiri pemeriksaan
sidang dan kemudian tidak masuk ke Amerika Serikat tidak wajib membayar.
Kebanyakan korban tidak menerima pengakuan atau ganti rugi di negara mereka
sendiri, dan tidak akan mendapatkan ganti rugi melalui Alien Torts Act karena pihak
tergugat tidak akan masuk ke AS lagi. Namun demikian, prosesnya memberi mereka
kemenangan moral, kesempatan untuk memberikan kesaksian publik sehubungan
dengan aksi yang dilakukan oleh sang tergugat, dan mengirimkan pesan bagi para
pelaku kejahatan di masa lalu dan yang akan datang. Praktisnya, hal tersebut
mencegah tergugat untuk bisa masuk ke AS dan melakukan bisnis di sana karena
ada kewajiban yang belum terpenuhi terhadap pihak korban.
Kasus-kasus yang telah dibawa melawan bekas diktator Haiti, Pemimpin Bosnia
Serbia yang mengangkat dirinya sendiri, Radovan Karadzic; Menteri Pertahanan
Guatemala dan bekas diktator Filipina, Ferdinand Marcos. Para korbannya telah
menerima penggantian yang substansial dari aset Marcos di AS. Sebuah pengadilan
AS juga memerintahkan dua purnawirawan Jendral di El Salvador yang menjalani
masa pensiun di Florida untuk membayar sejumlah $54,6 juta kepada 3 korbannya.
Kasus-kasus Indonesia
Dua orang Jenderal Indonesia telah berhasil dituntut di bawah Alien Torts Act atas
aksi kejahatan mereka di Timor Timur.
Pada tahun 1999, Jend. Johnny Lumitang yang menjabat sebagai wakil chief staff
Jenderal, orang nomor dua di Angkatan Darat Indonesia. Beliau secara pribadi
mendapatkan panggilan dari Alien Torts Act pada 30 Maret 2000 ketika sedang
berkunjung ke area Washington DC dan tidak menghadiri kelanjutan pemeriksaan
sidang.
http://www.etan.org/news/2001a/10lumjudg.htm.)
Pada tahun 1990-an PBB mengadakan beberapa kali pertemuan dan konferensi
dimana para perwakilan dari berbagai Negara bekerjasama untuk merancang suatu
Statuta yang akan menciptakan suatu pengadilan pidana internasional. Setelah
kerja keras yang dilakukan oleh panitia perancang internasional, pada bulan Juli
1998, suatu konferensi internasional diadakan di Roma, Italy, yang melibatkan
peserta dari 160 negara. Pada akhir tahun 1998, 120 negara memilih untuk
mengadopasi Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional.
Pada waktu Statuta Roma diadopsi, telah diputuskan bahwa setelah 60 negara
meratifikasi Statuta tersebut, dan oleh sebab itu setuju untuk terikat oleh ketentuan-
ketentuannya, maka Pengadilan Pidana Internasional akan didirikan. Pada saat itu,
hal tersebut mungkin dicapai dalam beberapa tahun. Namun sebelum 2002, jumlah
minimum 60 negara yang meratifikasi terpenuhi, dan dengan demikian
memungkinkan berdirinya pengadilan tersebut. Pada saat ini, lebih dari 100 negara
telah meratifikasi Statuta Roma, yang menjadikan Negara-negara tersebut sebagai
pihak/peserta didalam Konvensi.
Pada masa lalu, Dewan Keamanan PBB (DK PBB) telah mendirikan beberapa
pengadilan pidana internasional yang bersifat ad hoc (sementara) seperti Pengadilan
Pidana untuk Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR). Namun demikian, pengadilan-
pengadilan ini hanya diberikan jurisdiksi untuk mengadili perkara atas suatu konflik
tertentu dimasa lalu. Statuta Roma menciptakan suatu pengadilan pidana tetap
pertama, yang memiliki kemampuan untuk mengadili individu yang melakukan
kejahatan-kejahatan internasional yang paling berat.
Karena pengadilan ini bukanlah badan PBB, maka Pengadilan ini hanya memiliki
kewenangan atas Negara-negara yang telah secara sukarela mengikatkan diri atas
ketentuan-ketentuannya. Dengan demikian, Negara-negara yang belum meratifikasi
Statuta Roma tidak berada dibawah yurisdiksi ICC, kecuali warga negaranya
melakukan kejahatan didalam batas Negara yang merupakan Negara peserta dalam
Statuta Roma tersebut. Lebih lanjut, hanya kejahatan-kejahatan yang dilakukan
setelah suatu tanggal Negara meratifikasi Konvensi tersebut yang dapat dijadikan
yurisdiksi ICC. Sebagai contoh, Indonesia meratifikasi Statuta Roma di tahun 2008,
maka ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili perkara sebelum tanggal ratifikasi
tersebut.
Sehingga, apabila Indonesia meratifikasi di tahun 2008, maka ICC hanya memiliki
jurisdiksi atas kejahatan-kejahatan paling berat yang dilakukan setelah tanggal
ratifikasi dan dimana pengadilan Indonesia diputuskan tidak memiliki kemawaun atau
kemampuan untuk mengadili kasus-kasus tersebut.
Berkehendak untuk mengakhiri impunitas yang dinikmati oleh para pelaku kejahatan-
kejahatan ini sehingga berkontribusi pada pencegahan kejahatan.”
Struktur Pengadilan
ICC berpusat di Den Haag, Belanda, dengan struktur sebagai berikut:
Presiden
Pengadilan (Judiciary)
Kepaniteraan (Registry)
Penuntut Umum (Prosecutor)
Pada saat ini, [ ] berwarganegara Kanada, penuntut umum dari Argentina dan
Panitera dari Perancis.
Jurisdiksi Pengadilan
• Waktu: (Pasal 11) ICC hanya memiliki jurisdiksi terhadap kejahatan yang
terjadi setelah Statuta Roma berlaku, sesudah 1 Juli 2002.
• Orang: (Pasal 25-26) ICC memiliki jurisdiksi terhadap orang, dan bukan
terhadap entitas yang abstrak.5 Akan tetapi ICC tidak memiliki jurisdiksi
terhadap pelaku yang berusia di bawah 18 tahun.
Harus selalu diingat bahwa ICC didirikan oleh para Negara, dan tidak satupun dari
Negara tersebut mau untuk menyerahkan kedaulatan mereka secara tidak perlu.
Pengadilan ini tidak didirikan sebagai pengadilan dengan jurisdiksi untuk mengadili
kejahatan-kejahatan internasional seperti kejahatan terhadap kemanusiaan,
genosida atau kejahatan perang kapanpun dan dimanapun mereka terjadi. Hal ini
tetap merupakan tanggungjawab Negara-negara. ICC didirikan hanya untuk
mengadili perkara-perkara yang sangat berat dan dimana pemerintah Negara yang
bersangkutan tidak bersungguh-sungguh atau tidak mampu melakukan penuntutan
2
William A Schabas, op.cit, hlm 55.
3
Andreas Zin Mermann, Part 2 Jurisdiction, Admissibility and Applicable Law, dalam Otto Triffterer,
Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court, Nomos Verlagsgesellschaft,
Baden-Baden, Munich,1999, hlm 97.
4
William A Schabas, op.cit, hlm 62.
5
Kai Ambos, Individual Criminal Responsibility, dalam Otto Triffterer, Commentary on the Rome
Statute of the International Criminal Court, Nomos Verlagsgesellschaft, Baden-Baden, Munich,1999,
hlm 477.
sendiri. Dengan demikian maka Negara peserta wajib menunjukan bahwa mereka
bersungguh-sungguh dan mampu untuk mengadili kasus-kasus genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Hanya ketika Negara tersebut tidak
bersungguh-sungguh atau tidak mampu maka ICC mendapat jurisdiksinya.
Definisi:
Dalam Pasal 13, disebutkan bahwa inisiatif untuk menuntut suatu kasus untuk diadili
dalam ICC dapat berasal dari 3 pihak yaitu negara peserta, Dewan Keamanan PBB
atau Penuntut Umum ICC.
1. Negara Peserta dapat menyerahkan suatu “situasi” dimana ada indikasi terjadi
kejahatan berat yang masuk jurisdiksi ICC, dan negara tersebut merasa tidak
sanggup untuk mengadili si pelaku. Ini telah terjadi dalam kasus Uganda dan
Republik Demokratik Congo (DRC)
2. Dewan Keamanan PBB, bertindak atas dasar Bab VII dari Piagam PBB, dapat
merujuk kasus tertentu untuk diadili oleh ICC. Misalnya, ini telah dilakukan
Dewan Keamanan untuk kasus Darfur.
Pasal 17 mencerminkan kebijakan bahwa ICC tidak boleh dilihat sebagai suatu
pengadilan tingkat banding yang memiliki jurisdiksi untuk memutuskan apakah suatu
persidangan dan hukuman yang diputuskan oleh pengadilan nasional telah cukup,
dan untuk menambahkan sesuatu apabila ternyata belum cukup. Putusan yang
harus diambil ICC adalah apakah Negara sudah atau telah mengambil langkah-
langkah efektif atau tidak efektif untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan.
Pasal ini memuat kritera pokok untuk menentukan apakah upaya-upaya yang diambil
Negara untuk membawa pelaku kemuka keadilan adalah benar-benar. Upaya
tersebut dapat dinilai tidak benar-benar apabila terlihat:
• Dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari kewajiban pidana,
• Menunjukan adanya penundaan tanpa dasar yang tidak konsisten dengan
upaya untuk membawa pelaku kemuka hukum atau
• Apabila proses hukum tidak dilakukan secara independent dan tidak
memihak, dan tidak konsisten dengan upaya untuk membawa pelaku kemuka
hukum.
Ada beberapa tumpangtindih antara kriteria tersebut, dan ICC belum merinci
ketentuan tersebut lebih lanjut, jadi tidak jelas bagaimana ketentuan tersebut
berlaku. Namun demikian, berdasarkan Ketentuan-ketentuan ICC, dialog antara
Penuntut Umum dan Negara peserta mungkin untuk dilakukan. Sebagai contoh,
6
William A Schabas, op.cit, hlm 98.
LSM dan Negara peserta dapat mengumpulkan bukti-bukti dari adanya suatu
kejahatan internasional yang terjadi disuatu Negara, dan bukti bahwa Negara
peserta tidak memenuhi kewajibannya untuk menyelidiki dan melakukan penuntutan.
Namun demikian, Pasal 17 perlu dibaca berkaitan dengan Pasal 18. Ide
keseluruhan dari jurisdiksi ICC berdasarkan pada prinsip pelengkap – dimana
Negara harus didorong untuk mengambil tanggungjawab daripada ICC yang
menangani kasusnya. Pada setiap langkah proses, Penuntut Umum wajib hadir
dihadapan Majelis Pra-Sidang yang akan mengeluarkan putusan awal yang
mengizinkan penuntut umum untuk melanjutkan persidangan atau tidak. Majelis
Pra-Sidang akan mensyaratkan Penuntut Umum untuk menyediakan bukti-bukti
yang mendukung setiap permintaan untuk melanjutkan persidangan. Jika, sebagai
contoh, suatu Negara telah pada saat yang sama mengambil langkah-langkah serius
untuk melanjutkan persidangan dalam jurisdiksi nasional mereka maka Majelis Pra-
Sidang tidak akan mengizinkan Penuntut Umum untuk melanjutkan persidangan.
Hal mendasar dari prinsip pelengkap adalah bahwa tidak boleh ada dua penyelidikan
dan penuntutan yang berjalan pada saat yang bersamaan, satu dari pihak Negara
peserta dan satu dari ICC. Apabila Negara peserta melakukan langkah-langkah
yang wajar dan terlihat bersungguh-sungguh dan mampu, maka ICC tidak boleh
mengambil tindakan apapun. Sebagai tambahan, beberapa tindakan yang dimulai
oleh ICC dapat merangsang Negara peserta untuk mengambil langkah-langkah
tambahan, yang berarti bahwa ICC menghentikan kegiatan-kegiatannya.
Agresi
Genosida
Kejahatan terhadap kemanusiaan
Kejahatan Perang
Agresi
Walaupun kejahatan agresi dimasukan didalam Statuta, tapi tidak berlaku, karena
belum ada kesepakatan apakah elemen-elemen dari kejahatan ini, dan bagaimana
akan dilakukan penuntutan. Kejahatan agresi terkait dengan serangan yang
dilakukan oleh satu Negara terhadap Negara lain yang merupakan suatu subyek
politis tingkat tinggi, dan cara bagaimana kejahatan ini diadili menimbulkan kesulitan-
kesulitan karena keputusan-keputusan untuk melakukan penyerangan mungkin
dibuat oleh pemerintah dengan melibatkan lapisan-lapisan tanggungjawab individu.
Sebagai tambahan, kejadian-kejadian akhir-akhri ini seperti invasi Amerika Serikat
terhadap Irak lebih meningkatkan kerumitan politis terkait masalah ini.
Dalam hukum internasional, konteks seringkali dirujuk terhadap kata dalam bahasa
Perancis ‘chapeau’ yang berarit ‘topi’. Secara mudahnya, hal ini dapat dipandang
sebagai perlunya menggunakan suatu topi tertentu dengan warna yang berbeda-
beda untuk kejahatan yang berbeda. Suatu tindakan tertentu, seperti pembunuhan,
tidak akan menjadi salah satu kejahatan internasional yang paling berat kecuali
elemen-elemennya, atau ‘warna’ topinya terpenuhi. Dan suatu tindakan dapat
dianggap merupakan kejahatan yang berbeda apabila dilakukan dalam konteks yang
berbeda, atau ‘dengan menggunakan topi yang berbeda’.
Elemen-elemen Kejahatan
Genosida:
Kejahatan genosida adalah salah satu atau lebih dari beberapa perbuatan berikut ini
yang dilakukan dengan niat untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, etnis, ras atau agama, seperti:
(a) Membunuh anggota kelompok;
(b) Menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat anggota kelompok;
(c) Sengaja menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruhan atau sebagian;
(d) Memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
suatu kelompok;
(e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok
lainnya.
Aspek tertentu dalam genosida adalah dolus specialis: niat khusus untuk
menghancurkan baik secara keseluruhan atau sebagian suatu kelompok bangsa,
etnis, ras dan agama.
Kejahatan Genosida hanya dapat dilakukan apabila salah satu dari lima tindakan
yang disebutkan diatas dilakukan terhadap salah satu dari empat kelompok. Tiap
kelompok ini memiliki elemen yang bersifat permanent/tetap. Hal ini merupakan
kategori dimana manusia biasanya dilahirkan dan juga mati. Mereka mungkin dapat
keluar dari kelompok tersebut, misalnya agam atau kebangsaan, tetapi pergerakan
ini biasanya tidak lazim terjadi. Dilain pihak, kelompok seperti kelompok politis tidak
bersifat permanent, banyak perubahan dalam pendapat-pendapat politis yang
bersifat individu.
Perlu dicatat bahwa keempat kelompok tersebut tidak termasuk kelompok budaya
atau politis. Sehingga apabila anggota suatu gerakan pro-kemerdekaan terbunuh
dengan niat untuk untuk menghancurkan suatu kelompok, maka hal tersebut bukan
dianggap sebagai Genosida karena kelompok pro-kemerdekaan adalah suatu
kelompok politis. Genosida kelompok budaya atau politis merupakan dua kategoru
yang dipertimbangkan oleh para perancang Statuta Roma dan ditolak, dan oleh
karenya tidak berlaku.
Serangan wajib dilaukan terhadap satu kelompok tertentu karena keanggotaan dari
kelompok tersebut.
• Kelompok ras adalah suatu kelompok yang didasarkan pada ciri-ciri fisik yang
turun-temurun yang seringkali diidentifikasikan dengan wilayah geografis
selain bahasa, kebudayaan, kewarga-negaraan serta agama. (ICTR, Putusan
Akayesu)
Walaupun tidak ada kebutuhan tertentu bahwa Genosida dilakukan karena adanya
suatu kebijakan atau rencana, tetapi hal tersebut penting dalam pembelaan.
Elemen-elemen kejahatan mensyaratkan bahwa suatu tindakan genosida ‘terjadi
dalam konteks pola manifestasi dari suatu perbuatan yang sama langsung ditujukan
terhadap suatu grup atau perbuatan tersebut dapat dengan sendirinya menyebabkan
kerusakan.’
Kejahatan terhadap kemanusiaan biasanya terjadi sebagai bagian dari suatu konflik.
Namun demikian, kejahatan ini juga dapat terjadi dalam suatu keadaan yang bukan
merupakan konflik. Statuta Roma tidak menyebutkan batasan atau rujukan terhadap
kejahatan yang terjadi terkait dengan suatu konflik (lihat Kasus Banding Tadic di
ICTY).
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu atau lebih dari beberapa
perbuatan di bawah ini yang dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari
serangan yang sistematis atau luas yang ditujukan terhadap penduduk sipil:
(a) Pembunuhan;
(b) Pemusnahan;
(c) Perbudakan;
(d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
(e) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
(f) Penyiksaan;
(g) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, penghamilan
paksa, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk kekerasan
seksual lain yang setara;
(h) Persekusi terhadap suatu kelompok yang dikenal atau terhadap suatu
kelompok politik, ras, bangsa, etnis, budaya, agama, jender, atau kelompok-
Arti ‘serangan’
Berdasarkan Statuta Roma, istilah ‘serangan’ didefinisikan sebagai
‘serangkaian tindakan yang melibatkan tindakan berulang kali dari tindakan-tindakan
yang disebutkan dalam paragraph 1 ditujukan terhadap warga sipil, yang merupakan
kelanjutan atau pelaksanaan dari bagian kebijakan suatu organisasi atau negara
untuk melakukan serangan tersebut’.
Tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa kebijakan tersebut diadopsi harus
secara formal sebagai kebijakan negara. Namun harus ada perencanaan atau
kebijakan yang telah dipersiapkan dengan matang sebelumnya. 10 Unsur luas
(widespread) atau sistematis (systematic) tidak harus dibuktikan kedua-duanya.
Artinya, kejahatan tersebut bisa saja dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas saja, atau sistematis saja.
Konteks:
1. Tindakan yang dilakukan oleh pelaku wajib merupakan bagian dari suatu
‘serangan’
2. Serangan ditujukan kepada penduduk sipil. Tidak termasuk serangan
terhadap kelompok bersenjata tidak (ini mungkin merupakan kejahatan
perang.)
3. Serangan terhadap penduduk sipil wajib melibatkan tindakan yang
berulangkali dari 11 tindakan yang disebutkan (sebagai contoh pelaku bisa
saja hanya membunuh satu korban tetapi pembunuhan tersbut wajib
dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang
melibatkan serangkaian pembunuhan, perkosaan dsb terhadap penduduk
sipil).
4. Serangan yang ditujukan kepada penduduk sipil wajib bersifat sistematik
(merupakan bagian atau kelanjutan dari suatu kebijakan Negara atau
organisasi).
5. Serangan yang meluas atau sistematik biasanya dilakukan oleh agen
Negara, tetapi dalam kondisi tertentu, mungkin melibatkan pelaku bukan
Negara (sebagai contoh kelompok perlawanan para militer).
6. Pelaku yang melakukan suatu tindkaan wajib mengetahui bahwa tindakannya
merupakan bagian dari serangan meluas atau sistematik terhadap penduduk
sipil.
7. (Apabila dia tidak tahu, ia mungkin bersalah atas kejahatan individu, misalnya
pembunuhan, tetapi bukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Suatu
kejahatan tunggal dapat saja merupakan suatu kejahatan perang apabila hal
tersebut merupakan serangan terhadap warga sipil dalam suatu konflik
bersenjatan tetapi pelaku tidak mengetahui bahwa hal tersebut merupakan
bagian dari serangan meluas atau sistematik. Menurut elemen-elemen
tindak kejahatan, penyerang tidak perlu mengetahui karakterisitk dari suatu
serangan yang lebih luas atau rincian rencanan atau kebijakan. (Pasal 7 (2))
8. Tidak perlu kejahatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari suatu konflik,
bisa saja terjadi dalam masa damai.
Kejahatan perang adalah salah satu atau lebih dari beberapa perbuatan di bawah ini:
(b) Pelanggaran yang berat terhadap hukum dan kebiasaan dalam hukum
internasional yang diterapkan dalam hukum perang, yang merupakan
salah satu atau lebih perbuatan-perbuatan berikut ini:
(i) Dengan sengaja melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau
terhadap orang sipil yang tidak secara langsung terlibat dalam
sengketa;
(ii) Dengan sengaja melakukan serangan terhadap sasaran sipil yang
bukan merupakan sasaran militer;
(iii) Dengan sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi-
instalasi, bangunan, unit-unit atau kendaraan bantuan kemanusiaan
dan misi penjaga perdamaian sesuai dengan piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa, sepanjang mereka berhak atas perlindungan yang
diberikan sebagai orang sipil atau sasaran sipil menurut hukum
perang internasional;
(iv) Dengan sengaja melakukan serangan yang diketahuinya bahwa
serangan itu akan menyebabkan kematian atau cedera terhadap
penduduk sipil, atau kerusakan terhadap sasaran sipil, atau
mengakibatkan kerusakan yang meluas, sangat berat dan berjangka
waktu lama terhadap lingkungan alam yang secara tegas melampaui
batas dalam kaitannya dengan upaya mengantispasi keuntungan-
keuntungan militer yang nyata dan langsung;
(v) Penyerangan atau peledakan kota, desa-desa, tempat tinggal, dan
gedung yang tidak dilindungi dan bukan sasaran militer;
(vi) Pembunuhan atau melukai kombatan yang sudah menyerah, yaitu
mereka yang sudah meletakkan senjatanya atau sudah tidak lagi
memiliki sarana untuk melawan;
(vii) Penggunaan bendera gencatan senjata, tanda-tanda atau seragam
militer musuh atau Perserikatan Bangsa-Bangsa, maupun tanda-
tanda pembeda (distinctive emblem) yang diatur dalam Konvensi
Jenewa dengan tidak semestinya, yang menyebabkan kematian atau
luka berat;
(viii) Pemindahan secara langsung atau tidak langsung oleh Penguasa
Pendudukan (Occupying Power) terhadap sebagian penduduk
sipilnya ke dalam wilayah yang diduduki, atau deportasi maupun
pemindahan seluruh atau sebagian penduduk yang tinggal di daerah
yang diduduki di dalam atau keluar daerah mereka;
(ix) Dengan sengaja melakukan serangan terhadap tempat-tempat
ibadah, pendidikan, kebudayaan, ilum pengatahuan, atau amal,
bangunan bersejarah, rumah sakit, dan tempat-tempat dimana orang-
orang yang sakit dan terluka dikumpulkan sepanjang tempat-tempat
itu bukan untuk keperluan militer;
(x) Mewajibkan orang yang dalam kekuasaan pihak musuh melakukan
mutilasi (mutilation) fisik, atau untuk percobaan medis atau ilmiah
apapun yang tidak dapat dibenarkan oleh medis, kesehatan gigi,
atau perwatan rumah sakit terhadap seseorang, yang dilakukan di
luar kehendak orang tersebut dan menyebabkan kematian atau
bahaya serius terhadap kesehatan orang tersebut;
(xi) Membunuh, atau melukai orang sipil dari Negara atau tentara musuh;
(xii) Menyatakan bahwa tidak ada tempat tinggal yang akan diberikan;
(xiii) Penghancuran atau penyitaan barang milik musuh kecuali
penghancuran atau penyitaan tersebut terpaksa dilakukan demi
kepentingan atau keperluan perang;
(xiv) Menyatakan penghapusan, penangguhan atau tidak dapat
diterimanya hak-hak dan tindakan warga Negara dari pihak musuh
dalam suatu pengadilan;
(xv) Melakukan pemaksaan terhadap penduduk pihak lawan untuk ikut
dalam operasi perang melawan Negaranya sendiri, bahkan jika
mereka berdinas dalam tentara musuh sebelum permulaan perang;
(xvi) Perampasan kota atau tempat bahkan dengan penyerangan;
(xvii) Penggunaan racun atau senjata beracun;
(c) Dalam hal sengketa bersenjata nasional, pelanggaran berat terhadap pasal 3
yang sama ada dalam ke-empat Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus
1949, adalah perbuatan-perbuatan sebagai berikut yang dilakukan terhadap
orang-orang yang tidak ikut serta secara aktif dalam peperangan, termasuk
di dalamnya anggota-anggota angkatan tentara yang telah meletakkan
senjatanya serta mereka yang tidak lagi turut serta karena sakit, terluka,
ditahan atau sebab-sebab lainnya (hors de combat):
(i) Kekerasan terhadap jiwa dan raga, khususnya segala bentuk
pembunuhan, mutilasi (mutilation), perlakuan yang kejam, dan
penyiksaan;
(ii) Melakukan kebiadaban terhadap martabat orang, khususnya
perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan martabat;
(iii) Penyanderaan;
(iv) Penghukuman dan pelaksanaan hukuman/eksekusi tanpa putusan
pengadilan yang dibentuk secara teratur yang memberikan segenap
jaminan hukum yang diakui sebagai keharusan;
1. Ayat 2 (c) berlaku untuk konflik bersenjata nasional dan oleh karena itu tidak
berlaku dalam ketegangan atau kekacauan internal seperti kerusuhan,
kekerasan yang berdiri sendiri atau sporadis atau tindakan-tindakan lain yang
mempunyai karakter serupa;
(f) Ayat 2 (e) berlaku terhadap sengketa bersenjata nasional dan oleh karena itu
tidak berlaku dalam ketegangan atau kekacauan internal seperti kerusuhan,
kekerasan yang berdiri sendiri atau sporadis atau perbuatan-perbuatan lain
yang mempunyai sifat serupa. Ayat ini berlaku terhadap sengketa bersenjata
di wilayah suatu antara pemerintah yang berwenang dengan kelompok
bersenjata yang terorganisir atau antar kelompok-kelompok tersebut.
• Simpulkan bahwa telah terjadi sebuah konflik bersenjata, dan apakah ini
konflik internasional atau internal
• Buktikan bahwa pelaku melakukan salah-satu perbuatan yang disebut diatas.
• Pastikan bahwa ini adalah pelangagran berat hukum perang.
• Pastikan bahwa korban adalah seseorang dari kelompok yang dilindung,
artinya bukan kombatan
• Apakah prinsip penggunanan kekerasan secara proporsional dipatuhi oleh
pihak yang berkonflik? Pentingnya sebuah target militer harus sebanding
dengan resiko korban dari masyarakat sipil.
• Apakah bukan sebuah kesalahan fakta (seorang sipil disangka kombatan).
Apakah ada niat untuk melakukan kejahatan tersebut?
• Perbuatan tersebut terjadi dalam konteks konflik, atau berhubungan dengan
konflik. Konflik menciptakan sebuah ‘lingkungan’ dimana perbuatan itu
dilakukan, dan mempunyai sebuah tujuan.
• Pelaku menyadari adanya konflik
• Untuk ICC, perbuatan tersebut harus menjadi bagian dari rencana atau
kebijakan (negara atau organisasi) atau terjadi dalam skala luas. [Unsur ini
hanya diwajibkan untuk kasus-kasus yang dibawa ke ICC, karena ICC
memilih untuk mengadili kasus-kasus kejahatan perang yang paling serius.]
Penuntut Umum ICC hingga saat ini telah memulai penyelidikan-penyelidikan resmi
terhadap kasus-kasus di Uganda, Republik Demokratik Kongo (Democratic Republic
of Congo/DRC), dan Sudan (Darfur). Dalam kasus Uganda dan DRC, Negara
peserta sendiri yang meminta agar Penuntut Umum ikut campur. Dalam kasus
Darfur, DK PBB meminta agar Penuntut Umum turun tangan. Orang pertama yang
ditangkap oleh Penuntut Umum ICC adalah Thomas Lubanga dari DRC, yang
didakwa dengan tindakan-tindakan yang terkait dengan membuat daftar dan
memaksa merekrut anak-anak dibawah umur 15 tahun untuk bergabung dengan
pemberontakan dimana ia terlibat didalamnya. Lubanga kemudian dialihkan ke Den
Haag pada bulan Maret 2006 dan sebelum akhir January 2007, Majelis Pra Sidang,
setelah mendengar pembuktian awal dari penuntut, menegaskan 3 dakwaan atas
Lubanga dan merujuk agar kasus tersebut diteruskan ke persidangan.
Pada tanggal 1 Mei 2007 ICC mengeluarkan perintah penangkapan terhadap dua
tersangka dalam kasus Darfur atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
perang, yakni: seorang menteri dalam Kepemerintahan Sudan yang sebelumnya
bertanggungjawab untuk wilayah Darfur dan seorang pemimpin milisi lokal. Salah
satu tersangka tetap bertugas sebagai Menteri dalam kepemerintahan Sudan.
13
Putusan Tadic Mengenai Jurisdiksi, Pengadilan Banding, Hlm 37 Para 70, Dalam Macthelboot,
Op.Cit, Hlm 549.
Penuntut Umum baru-baru ini telah meminta DK PBB agar mengambil tindakan agar
kedua tersangka dapat mengadapi keadilan dihadapan ICC.
1. Ulasan
Namun demikian, perintah tersebut tidak perlu memerlukan satu bentuk khusus,
sepanjang orang yang memberikan perintah, baik secara tertulis, dengan kata-kata
atau dalam bentuk perbuatan lainnya yang mensiratkan perintah tersebut dan
sebagainya memiliki “suatu kesadaran tentang kemungkinan besar bahwa suatu
kejahatan akan dilakukan dalam pelaksanaan perintah yang ia keluarkan” (Blaskic),
(CHECK ICC MENGENAI HAL INI, ATASAN BAWAHAN, MERUPAKAN HAL YANG
PENTING)
(c) Penyertaan
(d) Percobaan
Statuta ICTY dan ICTR mengatur apa yang disebut dengan “kejahatan dilakukan
bersama (joint criminal enterprise”). Konsep ini berubah sedikit dialam Statuta
Roma, yang menggunakan istilah “tujuan bersama (common purpose)”. Bentuk
pertanggungjawaban ini memainkan peran penting dalam pengadilan-pengadilan
internasional. Bentuk ini digunakan untuk menciptakan tanggungjawab bagi orang-
orang yang tidak secara langsung terlebat dalam pelaksanaan kejahatan berat,
tetapi terlibat secara tidak langsung dengan cara merencanakan bersama-sama atau
membantu suatu kelompok untuk melakukan suatu kejahatan.
Bentuk ini merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban yang berbeda dari apa
yang disebutkan diatas karena yang lain mensyaratkan bahwa pelaku benar-benar
melakukan tindakan. Tanggungjawab komandan berlaku ketika seseorang lalai
untuk melakukan sesuati (i.e mencegah atau menghukum orang-orang yang berada
dibawah komandannya dari melakukan kejahatan). Jadi, tanggungjawab komandan
lebih kepada kejahatan dengan membiarkan, daripada kejahatan karena melakukan.
Konsep ini secara popular dikembangkan dalam kasus Yamashita, dimana setelah
Perang Dunia II, seorang komandan Jepang diminta bertanggungjawab atas
kejahatan masal, termasuk eksekusi ribuan penduduk desa, oleh prajurit dibawah
komandonya. Jenderal Yamashita berargumentasi bahwa ia tidak
bertanggungjawab karena ia sendiri tidak secara langsung melakukan kejahatan
apapun dan ia tidak secara langsung memerintahkan prajuritnya untuk melakukan
kejahatan.
Berdasarkan Statuta Roma pasal 28:
(b) Seorang komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak
sebagai komandan militer bertanggungjawab secara pidana atas
kejahatan berat dibawah jurisdiksi pengadilan yang dilakukan oleh
angkatan bersenjata dibawah komando atau pengendalian efektif, atau
kekuasaan dan pengendalian yang efektif sebagaimana yang berlaku,
sebagai akibat ketidakmampuan tersangka/terdakwa untuk melakukan
pengendalian yang tepat atas bawahannya, dimana:
(i) Komandan tersebut mengetahui dengan baik bahwa bawahannya
melakukan atau baru saja melakukan kejahatan berat tersebut;
dan
(ii) Komandan tersebut tidak berhasil untuk mengambil semua
tindakan yang layak dan tepat dalam ruang lingkup
kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan
tersebut; atau menyerahkan masalah tersebut kepada pejabat
yang berwenang untuk penyidikan dan penuntutan
(c) Terkait dengan hubungan atasan dan bawahan yang tidak disebutkan
dalam paragraph (a), seorang atasan bertanggungjawab secara pidana
atas kejahatan berat dibawah jurisdiksi pengadilan yang dilakukan oleh
bawahannya dibawah pengendalian efektif, atau kekuasaan dan
pengendalian yang efektif sebagaimana yang berlaku, sebagai akibat
ketidakmampuan tersangka/terdakwa untuk melakukan pengendalian
yang tepat atas bawahannya, dimana:
(i) Atasan tersebut secara sadar mengabaikan informasi yang secara
jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang melakukan atau baru
saja melakukan kejahatan berat tersebut;
(j) Kejahatan berat tersebut terkait dengan kegiatan-kegiatan yang
berada dalam tanggungjawab efektif dan kontrol dari atasan tersebut;
dan
(k) Atasan tersebut tidak berhasil untuk mengambil semua tindakan yang
layak dan tepat dalam ruang lingkup kewenangannya untuk
mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut; atau menyerahkan
masalah tersebut kepada pejabat yang berwenang untuk penyidikan
dan penuntutan;
Jadi, Statuta Roma menciptakan 2 macam cara uji, satu yang berlaku terhadap
komandan militer atau orang-orang yang bertindak efektif sebagai komandan militer
dan satu lagi untuk semua hubungan atasan dan bawahan.
Namun, untuk pelaku non-militer yang memiliki hubungan atasan dan bawahan,
wajib dibuktikan bahwa:
- Atasan tersebut tahu atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara
jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang melakukan atau baru saja
melakukan kejahatan berat tersebut. Ini berarti, bahwa apabila pelaku adalah
warga sipil, tidak cukup bahwa dia memiliki alasan untuk tahu, tetapi dia
sebenarnya tahu atau secara sadar mengabaikan informasi tersebut – ie. ‘tidak
mau tahu’.
-
Perbedaan antara tanggungjawab komandan dan tanggungjawab karena
memberikan perintah:
Ketika seorang komandan memberikan perintah kepada bawahannya untuk
melakukan suatu kejahatan, tidak perlu untuk bergantung kepada tanggungjawab
komandan – dalam kasus demikian komandan tersebut bertanggungjawab sebagai
principal.
Anda tidak perlu membuktikan tindakan yang diambil oleh komandan. Omisi atau
kelalaian untuk mencegah atau menghukum kejahatan tersebut sudah cukup untuk
menimbulkan adanya tanggungjawab.
Secara sederhana,
Anda dapat membuktikan bahwa terdapat::
1. pengendalian efektif atas pasukannya dan effective control over troops and
2. komandan tahu atau seharusnya menetahui (atau untuk pemimpin sipil tahu
atau secara sadar mengabaikan) bahwa pasukannya sedang melakukan atau
baru saja melakukan kejahatan internasional tersebut.
Cukup untuk menyatakan bahwa komandan atau pemimpin tidak melakukan apapun
untuk mencegah pasukannya dari melakukan kejahatan, atau mengambil semua
langkah untuk mencoba menghukum mereka secara tepat.
Pembelaan Spesifik
Namun demikian, Statuta ICC, yang mungkin dapat diterapkan sebagai hukum
kebiasaan (customary law), secara eksplisit menyatakan bahwa pembelaan
keterpaksaan dan nesesitas ada di hukum internasional humanitar. Statuta ICC Pas.
31 menyatakan bahwa pembelaan keterpaksaan memerlukan terdakwa menghadapi
ancaman kematian dini atau luka serius kepada dirinya sendiri atau yang lain dan
tindakannya wajar dan perlu untuk menghindari hal ini, dan dia tidak bermaksud
untuk menyakiti orang lain lebih daripada ancaman yang dia hadapi.
Pembelaan Diri
Tindakan tersebut harus dilakukan secara proporsional ke penyerangan dini yang
dapat mengancam kehidupan terdakwa atau orang lain dan tidak dapat dihindari
dengan cara lain.
Kesalahan Fakta
Walaupun tidak ada laporan kasus di mana pembelaan ini dapat diajukan, contohnya
adalah di mana seorang komandan merekrut seorang prajurit yang dia menurutnya
sudah di atas 15 tahun tetapi pada kenyataannya prajurit ini masih di bawah umur.
(Statuta ICC Pas. 32).
Peraturan No. 96(ii) di ICTY dan ICTR menyatakan bahwa persetujuan (memberi
izin) tidak dapat diajukan sebagai pembelaan apabila korban ditahan, diancam, ada
kekerasan atau tekanan psikologi atau korban merasa bahwa apabila dia tidak
memberi izin maka dia akan diancam lagi (perasaan ini harus wajar atau
‘reasonable’)
Oleh karenanya penuntut umum masih harus membuktikan bahwa korban tidak
memberi izin. Namun demikian, apabila penuntut umum sudah membuktikan bahwa
konteks tersebut ada unsur penindasan atau pemaksaan maka persetujuan korban
tidak dapat disimpulkan dari kata-kata, kegiatan, berdiam diri, atau tidak ada
pembelaan. (Peraturan Tata Cara dan Pembuktian ICC – ICC-ASP/1/3). Dalam
kasus Kunarac Majelis Hakim sudah memutuskan bahwa dalam keadaan di mana
korban mengambil inisiatif untuk kegiatan seks tidak berarti bahwa korban memberi
izin untuk kegiatan seks tersebut.
Ini bukan berarti bahwa terdakwa tidak boleh mengajukan pembuktian bahwa korban
di kasus ini menyetujui (memberi izin) atas kegiatan seksual tersebut. Namun,
apabila penuntut umum sudah membuktikan adanya situasi paksaan dan korban
mengklaim bahwa dia tidak memberi izin, sebenarnya sangat sulit untuk mengajukan
kesaksian kontra terhadap klaim ini, karena kata-kata dan tindakan korban tidak
dapat diajukan sebagai pembuktian bahwa korban memberi izin. Kegiatan seksual
sebelumnya juga tidak dapat diajukan supaya ada argumentasi kontra terhadap
kekurangan persetujuan korban (Peraturan No. 96(ii) ICTR dan ICTY).
ICC membuka peluang yang besar bagi korban untuk dapat berpartisipasi dalam
proses persidangan. Korban tidak diperlakukan sebagai objek yang pasif dari suatu
perlindungan ataupun sebagai pelengkap proses penuntutan. 14 Pentingnya
partisipasi saksi tertuang di dalam Pasal 68 ayat (3) Statuta Roma, di mana
Mahkamah mengizinkan pandangan dan perhatian para korban atau penyintas
(survivor) untuk dikemukakan dan dipertimbangkan pada tahap-tahap proses
persidangan yang ditetapkan oleh Mahkamah dengan cara yang tidak merugikan
atau tidak konsisten dengan hak-hak tertuduh dan persidangan yang adil dan tidak
memihak.
Berbagai cara dapat ditempuh oleh saksi atau korban untuk berpartisipasi di dalam
proses persidangan. Permohonan yang diajukan oleh saksi atau korban atau kuasa
hukum mereka kepada Mahkamah untuk memperoleh tindakan perlindungan
sebagaimana diatur dalam Aturan 87 Hukum Acara dan Pembuktian ICC, harus
ditembuskan kepada pihak Penuntut Umum dan Pembela. Apabila Penuntut Umum
atau Pembela mengajukan mosi yang berdampak pada saksi atau korban, maka
mosi tersebut harus ditembuskan kepada saksi atau korban sehingga mereka
mempunyai kesempatan untuk memberikan tanggapan. Tidak jauh berbeda, apabila
Mahkamah bertindak atas mosinya sendiri, maka saksi atau korban yang akan
terkena dampak dari mosi tersebut mempunyai kesempatan untuk memberikan
tanggapan.
Kuasa hukum korban diwajibkan untuk hadir dan berpartisipasi dalam proses
persidangan (Aturan 91 ayat (2)). Selama proses berlangsung, kuasa hukum dapat
mengajukan pertanyaan kepada saksi, ahli, atau terdakwa, dengan terlebih dahulu
membuat permohonan kepada Mahkamah (Aturan 91 ayat (3)). Mahkamah harus
memberitahu korban atau kuasa hukum mereka tentang hal-hal yang berkenaan
dengan jalannya persidangan. 16
14The International Criminal Court, Fact Sheet 6: Ensuring Justice for Victims,
Amnesty International, http://web.amnesty.org/library/Index/ENGIOR400072000.
15 Lihat Hukum Acara dan Pembuktian ICC Aturan 90 ayat (1).
16Lihat Hukum Acara dan Pembuktian ICC Aturan 92.
yang diberikan oleh para saksi. Khusus untuk korban tindak kejahatan kekerasan
seksual, Unit memiliki staf dengan keahlian khusus untuk mengatasi trauma.
Pemulihan bagi korban, khususnya korban kekerasan seksual, tidak terbatas hanya
pada pemulihan trauma yang mereka alami. Korban juga membutuhkan adanya
suatu reparasi atau pemulihan, baik berupa restitusi, kompensasi dan rehabilitasi.
Mereka sering mendapat perlakuan yang diskriminatif hanya karena mereka adalah
korban permekosaan. Stigmatisasi seperti itu memiliki dampak yang sangat luas bagi
kehidupan mereka di masa-masa mendatang.
Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 75 ayat (1) Statuta Roma, Mahkamah
dapat menetapkan prinsip-prinsip yang berkenaan dengan reparasi kepada korban,
termasuk restitusi, kompensasi dan rehabilitasi. Mahkamah juga dapat membuat
suatu perintah secara langsung kepada orang yang dihukum dengan memerinci
reparasi yang layak bagi para korban Apabila sesuai, Mahkamah dapat memutuskan
bahwa reparasi dilakukan melalui Trust Fund. 17 Untuk memperoleh reparasi, korban
harus membuat permohonan secara tertulis yang diajukan kepada Panitera.
Permohonan tersebut harus mengandung bukti seperti yang tertera di dalam
ketentuan Pasal 94 ayat (1).
Disyaratkan pula di dalam Pasal 36 ayat (8)(b) Statuta Roma bahwa perlu
dipertimbangkan kebutuhan untuk memasukkan seseorang dengan keahlian hukum
tentang masalah-masalah khusus, tetapi tidak terbatas pada, kekerasan terhadap
perempuan atau anak-anak. Lebih lanjut, Penuntut Umum juga disyaratkan untuk
menunjuk penasihat dengan keahlian hukum mengenai isu-isu yang spesifik,
termasuk, kekerasan seksual dan jender. 21 Tak ketinggalan, Panitera juga
mensyaratkan agar Unit Korban dan Saksi mencakup staf dengan keahlian
mengatasi trauma, termasuk trauma yang terkait dengan kejahatan kekerasan
seksual.
Harapan baru bagi terciptanya keadilan yang memiliki sensitivitas jender sudah di
depan mata. ICC, sebagai sebuah badan pidana internasional yang khusus
menangani kejahatan paling serius yang mengancam umat manusia, telah membuat
suatu terobosan yang revolusioner. Jauh sebelum ICC terbentuk, komunitas
internasional menunjukkan keengganan mereka untuk menghukum pelaku kejahatan
yang serius terhadap integritas tubuh seperti pemerkosaan. Sekarang, pelaku
pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya tidak dapat lolos begitu saja. Mereka
dapat dituntut dan dihukum! Lebih lanjut, perlindungan terhadap saksi dan korban,
jaminan hak-hak korban di dalam persidangan pidana internasional, serta
representasi hakim-hakim dan staf yang memiliki sensitivitas jender akan membawa
perubahan yang lebih baik bagi penyelenggaraan hukum humaniter internasional
dan penghormatan hak asasi manusia. “Keadilan tanpa perspektif jender hanya
merupakan setengah keadilan”. 22
21
Lihat Statuta Roma Pasal 42 ayat (9).
22Lihat GENDER IN PRACTICE: Guidelines & Methods to Address Gender Based Crime in Armed
Conflict, oleh Women’s Initiatives for Gender Justice.
Walaupun manipulasi dan perlawanan kuat dari AS terhadap ICC, ICC telah berdiri
dan akan terus melanjutkan tugasnya. Sangat menarik untuk dicatat perbedaan
antara kuatnya upaya pemerintahan Bush, yang berusaha sekuat tenaga untuk
menghancurkan ICC dengan apa yang dilakukan oleh administrasi Clinton yang
menandatangani Statuta Roma sebagai salah satu tindakan terakhirnya.
Penuntut Umum ICC telah melihat prilaku angkatan bersenjata AS, Inggris, Spanyol
dan Italia di Irak dan membuat suatu deklarasi. Penuntut Umum telah memutuskan
untuk tidak memulai penyelidikan bagi kasus-kasus ini karena Negara-negara yang
beroperasi di Irak telah melakukan penyelidikan atas perilaku tentaranya masing-
masing. Penuntut Umum juga telah mempertimbangkan kejahatan yang dilaporkan
dilakukan di Abu Graib dan memutuskan bahwa AS sedang menyelidiki dan menutut