Anda di halaman 1dari 8

KODE NUREMBERG

LATAR BELAKANG
Kode Nuremberg adalah aturan-aturan yang digunakan untuk
penelitian yang menggunakan manusia sebagai subyek. Kode
Nuremberg ini dikeluarkan sebagai reaksi terhadap pelbagai eksperimen
kejam yang dilakukan oleh para dokter NAZI terhadap tahanan
perang Dunia II.(s Secara singkat Kode Nuremberg ini berisi :
a) Keharusan adanya informed consent dari manusia yang digunakan dalam
percobaan
b) Percobaan pertama kali harus dilakukan pada hewan
c) Risiko harus bisa dijelaskan dengan antisipasi manfaat/keuntungan yang
akan didapatkan
d) Hanya orang yang ahli dalam bidangnya yang dapat melakukan penelitian
e) Kerugian/gangguan fisik dan mental harus dihindari
f) Penelitian yang kemungkinan akan mengakibatkan kematian atau kecelakaan
seius seharusnya tidak dilakukan
Efek dari Kode Nuremberg ini hanya berdampak kecil pada peneliti
di Amerika Serikat. Apa yang tertulis dalam aturan tersebut sudah tertulis secara
implisit pada penelitian mereka. Permasalahan dalam kode tersebut
diantaranya adalah tidak ada kekuatan hukum dan hanya diterapkan
untuk penelitian non-terapetik dengan subyek manusia.

TINJAUAN PUSTAKA

Setelah Perang Dunia Ke-II berakhir, pihak sekutu membentuk militer


internasional pertama yang bertujuan untuk menghukum pejabat senior politik
dan militer dengan dakwaan kejahatan perang dan kejahatan serius lainnya.
Empat negara sebagai kekuatan utama sekutu antara lain Perancis, Uni Soviet,
Inggris, dan Amerika Serikat membentuk International Military Tribunal (IMT) di
Nuremberg (atau dalam ejaan lain disebut Nürnberg), Jerman untuk
menghukum penjahat perang dari “European Axis”. (Clark, S. R. T. L. M. C. G.
J. S., 1997) IMT (selanjutnya dikenal juga dengan Nuremberg Tribunal)
melaksanakan persidangan baik terhadap pemimpin politik dan militer Nazi,
maupun terhadap Organisasi sayap Nazi dan Afiliasinya.

Pembentukan Pengadilan Nuremberg, menurut Geoffrey di dasarkan


bahwa tidak ada hak-hak tanpa pemulihan kembali. Sama halnya bahwa tidak
ada hak-hak asasi manusia tanpa pemulihan untuk setiap pelanggarannya.
Pendekatan inilah yang dipergunakan sebagai dasar untuk menghukum mereka
yang bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan. (QC, G. R., 2000)

Peradilan yang berlangsung dari tanggal 14 November 1945 sampai dengan


1 Oktober 1946 ini mengatur beberapa hal, yaitu (Boot, M., 2001) :

1. Setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu


kejahatan internasional bertanggung jawab atas perbuatannya dan harus
dihukum;
2. Fakta bahwa hukum internal (nasional) tidak mengancam dengan pidana
atas perbuatan yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum
internasional tidaklah membebaskan orang yang melakukan perbuatan itu
dari tanggung jawab menurut hukum internasional;
3. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan yang merupakan suatu
kejahatan menurut hukum internasional bertindak sebagai Kepala Negara
atau pejabat pemerintah yang bertanggung jawab, tidak membebaskan dia
dari tanggung jawab menurut hukum internasional;
4. Fakta bahwa orang tersebut melakukan perbuatan itu untuk melaksanakan
perintah dari Pemerintahnya atau dari atasannya tidaklah membebaskan dia
dari tanggung jawab menurut hukum internasional, asal saja pilihan moral
(moral choice) yang bebas dimungkinkan olehnya;

Setiap orang yang didakwa melakukan kejahatan menurut hukum


internasional mempunyai hak untuk mendapatkan peradilan yang adil berdasarkan
fakta dan hukum;

1.Kejahatan-kejahatan tersebut di bawah ini dapat dihukum menurut hukum


internasional:
Kejahatan terhadap perdamaian (jus ad bellum):
a. Kejahatan Perang (jus in bello);
Merencanakan, menyiapkan, memulai atau menggerakkan perang yang
bersifat agresi yang melanggar treaty, persetujuan (agreements), atau jaminan
(assurances) internasional;Turut serta dalam menyusun rencana umum atau
berkonspirasi untuk melaksanakan perbuatan apa saja yang tercantum dalam (i).

Pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan perang meliputi, tapi tak terbatas
kepada pembunuhan, perlakuan tidak manusiawi (illtreatment) atau deportasi ke
tempat kerja paksa sebagai budak untuk tujuan apapun, juga terhadap penduduk
sipil dari atau yang berasal dari wilayah yang dikuasai; pembunuhan atau
perlakuan yang tidak manusiawi terhadap tawanan perang, orang-orang di lautan
(kapal), membunuh tawanan, merampok milik umum atau pribadi, perusakan yang
berkelebihan atau tidak diperlukan atas kota-kota, desa-desa atau pemusnahan
yang secara militer tidak dianggap perlu.

B.Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi dan perbuatan yang


tidak manusiawi terhadap penduduk sipil,atau penyiksaan tersebut berdasarkan
politik, ras, atau agama, apabila perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan atau
penyiksaan tersebut diambil dalam pelaksanaan atau berkaitan dengan
kejahatan terhadap perdamaian atau kejahatan perang apa saja.Keterlibatan
dalam pelaksanaan suatu kejahatan terhadap perdamaian, suatu kejahatan
perang, atau suatu kejahatan terhadap kemanusiaan seperti disebutkan dalam
Prinsip VI adalah suatu kejahatan menurut hukum internasional.
Ketujuh hal tersebut di atas, kemudian diformulasikan menjadi prinsip-prinsip
hukum internasional, yang kemudian pada tanggal 29 Juli 1950 oleh International
Law Commission dikenal sebagai Nuremberg Principles. Prinsip-prinsip inilah
kemudian yang menjiwai peradilan HAM yang dibentuk pada masa berikutnya,
seperti International Criminal Tribunal For Yugoslavia (ICTY), International
Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR) dan International Criminal Court (ICC).
Statuta dan praktek pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan
Statuta Roma adalah sumber hukum internasional terpenting yang memberikan
sumbangan definitif terhadap apa yang disebut sebagai “international crimes” saat
ini. Statuta Pengadilan Nuremberg dan Tokyo tahun 1945 lah yang pertama kali
menguraikan kejahatan-kejahatan yang hingga saat ini dianggap sebagai tindak
kejahatan internasional, yaitu kejahatan terhadap perdamaian (crimes against
peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes against humanity).3 Selain itu, dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo
inilah pertama kali dikenal konsep individual criminal responsibility. 

Berawal dari preseden yang disumbangkan oleh kedua pengadilan


internasional itulah, pada tanggal 21 November 1947, pasca perang dunia kedua,
PBB membentuk Komisi Hukum Internasional (International Law Commission)
melalui Resolusi Majelis Umum PBB no.174(II). Komisi ini bertugas untuk menyusun
sebuah standar hukum internasional yang menjadi pegangan setiap negara anggota
PBB. Pada sessi pertemuan yang ke 48, yang berlangsung bulan Mei sampai Juli
1996, Komisi Hukum Internasional ini berhasil menyepakati untuk mengadopsi
serangkaian norma-norma atau prinsip-prinsip hukum internasional yang terangkum
dalam 20 pasal “Draft Code of Crimes Against Peace and Security of Mankind”.4
Dalam draft kodifikasi tersebut dinyatakan bahwa yang termasuk di dalam tindak
“kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia” adalah kejahatan
agresi (pasal 16) –yang memberikan dasar bagi penjabaran lebih lanjut definisi
command responsibility5 , kejahatan genosida (pasal 17), kejahatan terhadap
kemanusiaan (pasal 18), kejahatan terhadap PBB dan personel-personelnya (pasal
19), serta kejahatan perang (pasal 20). Pengadilan internasional berikutnya yang
memberikan sumbangan sangat penting dalam proses pendefinisian tindak pidana
yang termasuk “kejahatan internasional” adalah Pengadilan Pidana Internasional
untuk Negara Bekas Yugoslavia (ICTY). Statuta ICTY memberikan sumbangan
besar terhadap pengembangan konsep individual criminal responsibility dan
command.

Nuremberg Code 1947, Deklarasi World Medical Association/WMA, Deklarasi


Gambar 1. Dr. Josef Mengele (16 Maret 1911 –7 Februari 1979). Pria yang lahir di
Gunzuburg, Jerman ini meraih dua gelar doktor bidang kedokteran dan antropologi.
Dr. Mengele melarikan diri ke wilayah Paraguay dan Brazil setelah kamp
pengungsian di Polandia diserbu paksa Red Army pada tahu BioTrends Vol.9 No.1
Tahun 2018 10 Hak Asasi Manusia 1964, Belmont Report (National Commission for
the Protection of Human Subjects of Biomedical and Behavioral Research, 1978).
Adapun pedoman – pedoman yang lebih baru menitikberatkan pada teknis dan
protokol penelitian, antara lain Good Clinical Practice (GCP) oleh WHO (2001),
Revisi Deklarasi WMA (2002), dan Pedoman Ethical Review Committee (ERC) atau
Institutional Review Board (IRB) (2000). Berikut isi dari beberapa pedoman yang
sudah disebutkan diatas (Sudomo M, 2017):

The Nuremberg Code (1947) 1. Persetujuan dengan sukarela 2. Penelitian


mendapatkan manfaat bagi kebaikan individu dan masyarakat 3. Penelitian
diharuskan berdasarkan hasil percobaan dengan hewan coba 4. Hindari penderitaan
fisik dan mental pada subjek penelitian 5. Penelitian tidak boleh dilaksanakan
apabila sudah diprediksi akan terjadi efek samping berat bahkan kematian 6. Risiko
yang diakibatkan tidak boleh melampaui kewajaran 7. Persiapan yang baik sebelum
melakukan suatu penelitian 8. Penelitian harus dilakukan oleh peneliti yang
berkualitas 9. Manusia sebagai subjek penelitian memiliki hak untuk mengundurkan
diri 10. Peneliti harus menghentikan penelitian sewaktu terjadi hal membahayakan
Deklarasi Helsinki (Amandemen terakhir di Fortaleza, Brazil 2013) 1. Penelitian
dengan mengikutsertakan manusia sebagi subjek penelitian harus berdasarkan hasil
laboratorium hewan percobaan 2. Protokol penelitian harus melalui review oleh
komisi yang independen sebelum penelitian dimulai 3. Harus ada Informed Consent
4. Penelitian harus dikerjakan oleh peneliti yang mempunyai kualifikasi Risiko yang
ditimbulkan harus lebih kecil dari keuntungan Setelah kita memahami dasar etik
penelitian biomedis dan sebelum melangkah jauh menuju pembahasan uji klinis,
terlebih dahulu peneliti harus mempersiapkan sebaik mungkin protokol penelitian
tahap uji klinis yang akan dilakukan. Protokol penelitian uji klinis tersebut harus
disetujui oleh Komisi Etik pada instansi tertentu seperti Komisi Nasional Etik
Penelitian Kesehatan, beberapa rumah sakit, dan universitas. Komisi etik adalah
institusi independen yang terdiri dari professional medis/ilmiah dan anggota
nonmedik/nonilmiah di bidang uji klinis, yang bertanggung jawab terhadap
perlindungan hak, keamanan, dan kesejahteraan subjek uji klinik. Protokol yang
telah disetujui oleh Komisi Etik memiliki keuntungan bagi subjek penelitian dan bagi
peneliti yang melakukan penelitian. Bagi subjek penelitian (manusia), dipastikan
mendapat perlindungan dari risiko yang ditimbulkan dari penelitian tersebut. Adapun
bagi peneliti, dapat menghindari pelanggran Hak Azasi Manusia (HAM), selain itu
protokol uji klinis yang telah disetujui Komisi Etik sudah mendapat kepastian aman
dari sisi substansi maupun etika, tidak hanya itu persetujuan dari Komisi Etik dapat
menjadi dokumen untuk melakukan publikasi ilmiah pada jurnal nasional maupun
internasional. Persetujuan protokol penelitian oleh Komisi Etik mencakup semua
penelitian yang menggunakan subjek penelitian manusia maupun memanfaatkan
hewan.

KESIMPULAN

Kode Nuremberg merupakan landasan yang kuat untuk karakteristik


kelayakan etik suatu penelitian kesehatan dengan subjek manusia, terdiri dari : 

1. Keikusertaan subjek dalam penelitian harus berdasarkan perseujuan sukarela,


setelah mendapatkan penjelasan tentang penelitian yang akan dilaksanakan. Secara
operasional pelaksanaan kode ini dikenal luas sebagai “persetujuan setelah
penjelasan” (PSP) yang dikenal dengan informed consent (kode 1). Subjek setaip
saat dapat menghentikan keikutsertaannya dalam penelitian (kode 9). 

2. Penelitian harus bermanfaat bagi masyarakat banyak (kode 2). 

3. Penelitian harus mempunyai landasann ilmiah yang kokoh, sehingga hasil yang
diharapkan diyakini dan dapat tercapai (kode 3). 

 4. Risiko yang harus dihadapi subjek harus wajar dan manusiawi untuk dihadapi
(kode 4,5,6,7, dan 10). 

5. Penelitian harus dilaksanakan oleh yang ahli di bidangnya (kode 8). Kode
Nürnberg (bahasa Inggris: Nuremberg Code) adalah kode etik dasar yang dibuat
berdasarkan hak asasi manusia setelah Perang Dunia II. Kode ini dibuat setelah Karl
Brandt melakukan pemaksaan terhadap warga Yahudi pada masa Perang Dunia II.
Kode   Nuremberg   adalah   aturan-aturan   yang   digunakan   untuk   penelitian  
yang   menggunakan   manusia sebagai   subyek.   
Keputusan hukum yang diambil dalam Mahkamah Nuremberg telah
meletakkan landasan bagi pengembangan hukum pidana internasional. Sedangkan
pada Tokyo Trial, Putusan Mahkamah Yamashita pasca Perang Dunia II telah
meletakkan prinsip tanggung jawab komandan terhadap pelanggaran hukum
perang atau kejahatan perang. Dampak dari Putusan Mahkamah ini bagi peradilan
pidana internasional merupakan suatu pertanggungjawaban pidana komandan
yang telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional, khususnya
Hukum Humaniter Internasional baik dalam Konvensi Jenewa 1949, maupun dalam
Protokol Tambahan I tahun 1977 (Additional Protocol), demikian juga dalam Statuta
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC), dimana
seorang komandan militer dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas
kejahatan yang dilakukan pasukan yang berada dibawah komando dan kendalinya
secara efektif. Bahkan Prinsip tanggung jawab komandan telah diterapkam dalam
beberapa Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat sementara.

DAFTAR PUSTAKA

1. Code N. (1949). The Nuremberg Code (1949). 9–10.


2. Czech, H., Druml, C., & Weindling, P. (2018). Medical Ethics in the 70 Years
after the Nuremberg Code, 1947 to the Present. In Wiener Klinische
Wochenschrift (Vol. 130, Issue July). Springer Vienna.
https://doi.org/10.1007/s00508-018-1343-y
3. Experiments, P. M. (1996). The Nuremberg Code. JAMA: The Journal of the
American Medical Association, 276(20), 1691–1691.
https://doi.org/10.1001/jama.276.20.1691
4. Ghooi, R. (2011). The Nuremberg Code-A critique. Perspectives in Clinical
Research, 2(2), 72. https://doi.org/10.4103/2229-3485.80371
5. Clark, S. R. T. L. M. C. G. J. S., 1997. The law of War Crime, National and
International Approaches. Netherlands: Kluwer Law International.
6. D.J, H., 1973. Cases and Materials on International Law. London: Street and
Maxwell.

7. Eddy, D., 2004. Perkembangan Doktrin "Command Responsibility". Jakarta:


Sekolah Tinngi Hukum Militer
8. Stauder, A. (1946). The ten points of the Nuremberg Code. January, 9–12.
9. Syahputra, G. (2018). Etika Dalam Penelitian Biomedis dan Uji Klinis.
BioTrends, 9(1), Hal. 7-15. https://doi.org/10.33560/.v5i1.144
10. Yudhawiranata, A. (2006). Tentang “Pengadilan HAM” Internasional 1. Elsam,
18(1), 1–6

Anda mungkin juga menyukai