A. Latar Belakang
Di dalam dunia dewasa ini perang menjadi salah satu cara penyelesaian dalam
menyelesaikan sengketa, namun dalam perang tersebut bukan hanya kedua pihak yang
bersengketa saja yang menjadi korban tetapi non-combatan yang dilindungi pun dapat menjadi
korban. Karena hukum humaniter tidak melarang perang dan juga tidak membenarkan adanya
perang, hukum humaniter ini hanya memanusiawikan perang agar korban akibat perang ini
seminimal mungkin. Namun dalam peperangan sering terjadi pelanggaran dan kejahatan
humaniter, sehingga perlu diaturnya suatu mekanisme penegakan hukum agar kejahatan –
kejahatan ini semaksimal mungkin tidak terjadi.
Suatu perangkat hukum akan dapat dikatakan efektif apabila ia dapat di implementasikan
dan sanksinya dapat ditegakkan apabila ada yang melanggarnya. Untuk dapat ditegakkan maka
didalam perangkat hukum itu perlu ada suatu mekanisme yang mengatur dan menetapkan
bagaimana norma-norma itu dapat ditegakkan.
Dalam salah satu common articles dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa
kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan sanksi pidana efektif kepada mereka yang
melakukan pelanggaran hukum humaniter. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan dalam
Konvensi Jewnewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum humaniter
dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum nasional.
Apablia mekanisme nasional tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan,
maka mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya.
B. Rumusan Masalah
C. Pembahasan
• Pasal 49 ayat (1) Konvensi I, Pasal 50 (1) Konvensi II, Pasal 129 (1) Konvensi III dan
• Pasal 146 (1) Konvensi IV, yang merupakan ketentuan yang bersamaan,
Sebagai contoh dalam kasus Pelanggaran HAM dan penyiksaan terhadap tahanan Iraq
kembali terkuak setelah pemerintah AS mengeluarkan dokumen Naval Criminal Investigation
Service (NCIS), dokumen setebal 11.000 halaman tersebut mengungkapkan belasan kasus
penyiksaan yang dilakukan pasukan Marinir AS terhadap tahanan Iraq. Dokumen itu meliputi
kasus-kasus yang terjadi di belasan tempat tahanan Iraq, kecuai Penjara Abu Ghraib. Keputusan
pemerintah untuk mengeluarkan dokumen NCIS terjadi karena tuntutan sejumlah lembaga,
termasuk American Civil Liberties Union (ACLU) dan The Center for Constitutional Rights.
Kasus paling menonjol dalam dokumen ini terjadi Juni 2003 di Diwaniyah, Kala itu
Marinir AS memerintahkan empat anak - anak Iraq pelaku penjarahan untuk berlutut mereka
dipaksa membuka mulut dan pasukan mengarahkan moncong pistol ke mulut mereka petugas
berpura-pura siap mengeksekusi tahanan. Kemudian dokumen bertanggal 13 April 2003
menunjukkan Marinir AS menyiramkan cairan berbahan alkohol ke tangan tahanan dan
membakarnya. Aksi pembakaran tangan tahanan Iraq juga terjadi di Kamp Dogwood,
Iskandariyah. Pelakunya Marinir AS dan kini yang bersangkutan telah mendapat hukuman
kurungan 90 hari.
Kekejian di penjara Abu Ghraib mencuat setelah beberapa media massa internasional
memuat gambar-gambar yang dipublikasikan, para tawanan tidak hanya dianiaya. Mereka,
ditelanjangi, disiksa, kepala mereka ditutup dengan kain, mereka juga dikencingi sambil berdiri.
Seorang tawanan mengaku, mereka disodomi dan di seret dengan menggunakan tali. Seperti
dikutip The Washington Post, ada juga foto-foto yang menunjukkan tiga sampai empat tahanan
telanjang diikat menjadi satu di lantai di luar sel mereka sambil ditonton serdadu-serdadu AS.
Dari contoh kasus diatas Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal Konvensi Jenewa 1949 dan
Protokol Tambahan 1977 di atas maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa
diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-undang nasional yang memberikan sanksi pidana
efektif kepada setiap orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran
berat terhadap Konvensi.
Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme di mana penegakan
hukum humaniter yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, Di
lingkungan militer, apabila ada seorang prajurit yang melakukan pelanggaran terhadap hukum
humaniter maka Komandan atau Atasan yang berwenang untuk menghukum (Ankum)
berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan sebagaimana yang dimaksud pada ketentuan
Pasal 87 di atas. Apabila Komandan atau atasan langsung dari prajurit yang bersalah tidak
mengambil tindakan, maka Komandan yang diatasnya berkewajiban untuk mengambil tindakan
yang dimaksud. Begitu seterusnya sampai kepada tingkat yang paling tinggi. Jika diperlukan, di
samping menggunakan sistem disiplin internal komando, maka institusi pengadilan (militer
dan/atau sipil) juga dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya penghormatan terhadap
ketentuan - ketentuan hukum humaniter. Apabila mekanisme internal atau nasional ini tidak
berfungsi atau tidak difungsikan dengan baik, maka pada tahapan berikutnya kasus yang
berasangkutan dapat diambil alih oleh suatu mekanisme internasional (baik melalui pengadilan
yang bersifat ad hoc atau yang permanen).
Salah satu perkembangan baru yang terdapat dalam Protokol 1977 antara lain mengenai
mekanisme. Yang dimaksud disini adalah mekanisme yang dilakukan melalui Komisi
Internasional Pencari Fakta (International Fact Finding Commission). Komisi Pencari Fakta
merupakan penyempurnaan atas ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 52 Konvensi I; Pasal 53
Konvensi II; Pasal 132 Konvensi II dan Pasal 149 Konvensi IV yang mengatur mengenai
prosedur penyelidikan terhadap pelanggaran yang terjadi terhadap hukum humaniter atau
terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa
Mekanisme Internasional
Mahkamah atau tribunal yang bersifat ad hoc dan mahkamah yang bersifat permanen.
Dalam sejarah dikenal ada dua mahkamah yang mengadili penjahat Perang Dunia II,
yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo. Mahkamah Nuremberg dibentuk untuk
mengadili para penjahat perang Nazi Jerman, sedangkan Mahkamah Tokyo dibentuk untuk
mengadili para penjahat perang Jepang. Kedua mahkamah ini bersifat ad hoc atau sementara
yang berarti bahwa mahkamah ini dibentuk untuk jangka waktu dan kasus tertentu saja.
Mengenai hal yang terakhir, kemudian di dalam Pasal 7 Piagam Mahkamah, disebutkan
dengan tegas bahwa kedudukan resmi dari si pelaku, baik sebagai kepala negara atau sebagai
pejabat yang bertanggung jawab di dalam institusi pemerintah, tidak dapat dijadikan alasan
untuk membebaskan yang bersangkutan dari tanggung jawabnya atau untuk mengurangi
hukuman yang dijatuhkan.
Mahkamah Tokyo (International Military Tribunal for the Far East) dibentuk pada tanggal
19 Januari 1946. Berbeda dengan Mahkamah Nuremberg yang dibentuk melalui Treaty yang
disusun oleh beberapa negara, Mahkamah Tokyo dibentuk berdasarkan suatu pernyataan atau
proklamasi dari Jenderal Douglas MacArthur sebagai Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di
Timur Jauh. Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk Mahkamah ini yang pada
dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg. Sama halnya dengan Mahkamah
Nuremberg, Mahkamah Tokyo juga mempunyai yurisdiksi terhadap tiga kejahatan, yaitu crimes
against peace; war crimes; dan crimes against humanity
(d) International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal
Tribunal for Rwanda (ICTR)
Setelah mahkamah yang dibentuk mengadili para pelaku kejahatan perang pada Perang Dunia II,
terdapat dua mahkamah ad hoc lainnya yaitu mahkamah yang mengadili penjahat perang di
negara bekas Yugoslavia serta di Rwanda. Untuk di negara bekas Yugoslavia dibentuk ICTY
(International Criminal Tribunal for former Yugoslavia), sedangkan untuk Rwanda dibentuk
ICTR (International Criminal Trbunal for Rwanda).
Pembentukan kedua tribunal in juga bersifat ade hoc (sementara/khusus), artinya tribunal
ini berlaku untuk mengadili kejahatan tertentu pada jangka waktu tertentu dan untuk daerah
tertentu saja. Perbedaan kedua kategori mahkamah ad hoc tersebut yang dibentuk setelah Perang
Dunia II (yaitu Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo) disatu sisi dengan ICTY dan
ICTR di sisi lain yaitu bahwa Mahkamah Tokyo dan Nuremberg dibentuk oleh pihak yang
menang perang (dalam hal ini adalah AS dan sekutunya), sedangkan Mahkamah Yugoslavia dan
Rwanda dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB.
Pasal 1 sampai dengan Pasal 5 dari Statuta Mahkamah untuk bekas Yugoslavia mengatur
mengenai kompetensi atau yurisdiksi Mahkamah, yaitu :
4. Genosida
Penjelasan dari pelanggaran atau kejahatan yang dimaksud di atas terdapat pada Pasal-
pasal yang mengaturnya. Misalnya tentang pelanggaran berat, Statuta ini mengambil rumusan
sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa 1949. Begitu juga misalnya apa yang
dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti disebutkan dalam Pasal 5 Statuta.
Pada bulan Juli 1998 masyarakat internasional mencatat suatu perkembangan penting,
yakni ketika disepakatinya Statuta Roma tentang pembentukan Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court, selanjutnya disebut ICC). Berbeda dengan mahkamah ad hoc yang
telah dibentuk sebelumnya (misalnya Mahkamah Nuremberg, Tokyo, ICTY dan ICTR), maka
ICC ini merupakan suatu mahkamah yang bersifat permanen. Mahkamah ini juga dibentuk
sebagai pelengkap (complementarity) dari mahkamah pidana nasional.
Mengenai complementarity tersebut merupakan hal yang penting. Maksudnya bahwa ICC
nanti akan menjalankan fungsinya apabila mahkamah nasional tidak dapat menjalankan
fungsinya dengan baik. Sehubungan dengan hal ini dalam Statuta Roma dikatakan bahwa ICC
akan bekerja apabila mahkamah nasional tidak mau (unwilling) dan tidak mampu (unable) untuk
mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud.
Dengan cara ini berarti apabila terjadi suatu kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi
ICC, maka si pelaku harus diadili dahulu oleh mahkamah nasionalnya. Apabila mahkamah
nasional tidak mau dan/atau tidak mampu mengadili si pelaku, maka ICC akan menjalankan
fungsinya untuk mengadili si pelaku kejahatan yang bersangkutan. Adapun yirisdiksi dari ICC
ini mencakup empat hal yaitu :
1. genosida
3. kejahatan perang
4. kejahatan agresi
Kecuali mengenai kejahatan agresi, masing-masing kejahatan lainnya telah dirumuskan
secara rinci mengenai apa-apa saja yang termasuk dalam kejahatan yang dimaksud beserta unsur-
unsur deliknya. Statuta ICC berlaku sejak bulan Juli tahun 2002 dan kejahatan agresi akan
dirumuskan delapan tahun setelah Statuta berlaku, yaitu pada tahun 2010.
Hal yang perlu digarisbawahi sekali lagi disini bahwa ICC bersifat complementarity atau
pelengkap terhadap sistem hukum nasional. Oleh karena itu yurisdiksi ICC hanya bisa
dilaksanakan apabila telah dilalui suatu mekanisme nasional. Dalam hal ini yurisdiksi ICC hanya
bisa dilaksanakan apabila ternyata suatu negara tidak mau dan tidak mampu (unwilling and
unable) untuk mengadili kejahatan - kejahatan yang termasuk dalam ruang lingkup kompetensi
ICC.
D. Penjelasan
1. Hukum nasional dapat dikatakan efektif apabila mau dan mampu untuk memeriksa, mengadili
dan memutus perkara terhadap pelanggaran hukum humaniter. Jika Hukum nasional suatu
negara tidak mau dan tidak mampu (unwilling and unable) untuk mengadili terhadap
pelanggaran hukum humaniter maka dapat diselesaikan melalui mekanisme internasional.
2. Penegakan hukum terhadap sengketa hukum humaniter dalam common articles dari Konvensi-
konvensi Jenewa 1949 dikatakan bahwa kewajiban Pihak Peserta Agung untuk memberikan
sanksi pidana efektif kepada mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter mekanisme
nasional jika tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat memenuhi rasa keadilan, maka
mekanisme internasional menjadi opsi berikutnya. Pada dasarnya mekanisme yang didahulukan
dalam Konvensi Jenewa 1949 adalah mekanisme nasional, yang artinya penegakan hukum
humaniter dilakukan oleh Pengadilan Nasional dan dengan menggunakan instrumen hukum
nasional apabila penggunaan hukum nasional dianggap kurangnya rasa keadilan maka diajukan
ke mahkamah internasional yang bersifat permanen atau ad hoc.
E. Kesimpulan
• Suatu Mahkamah nasional seharusnya mau dan mampu (unable and unwilling) untuk
menyelesaikan pelanggaran hukum humaniter.
F. Daftar Pustaka