M
Course Materials about Criminal Law
Menu
Lanjut ke konten
Beranda
105-106 UAS DELIK-DELIK KHUSUS DILUAR KUHP
207-210 UTS KRIMINOLOGI
302 UAS POLITIK HUKUM PIDANA
307 UTS POLITIK HUKUM PIDANA
A414-415-B416 LATIHAN S0AL UAS HUKUM INTERNASIONAL
A423-433 LATIHAN S0AL UAS POLITIK HUKUM PIDANA
ANTROPOLOGI (SOAL LATIHAN)
B425 LATIHAN S0AL UAS FORENSIK & VIKTIMOLOGI
BUKU I RUU KUHP 2015
Buku II RUU KUHP 2015
D303 LATIHAN SOAL UAS KRIMINOLOGI
D304 LATIHAN S0AL UTS DELIK-DELIK KHUSUS DILUAR KUHP
D306-307 LATIHAN SOAL UTS HAM
D310 LATIHAN S0AL UTS HAM
D316-Latihan Soal Hukum Internasional
FINAL TEST TRAINING OF ANTROPOLOGY
HUKUM PIDANA KHUSUS
Komunikasi Saya
LATIHAN SOAL HUKUM INTERNASIONAL
LATIHAN SOAL KRIMINOLOGI
Penjelasan RUU KUHAP
RUU KUHAP 2015
Seminar Perlindungan Saksi dan Korban
SINOPSIS BUKU : PERBANDINGAN HUKUM PIDANA BEBERAPA NEGARA
SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK
SOAL LATIHAN DELIK-DELIK KHUSUS DILUAR KUHP
SOAL LATIHAN HUKUM PEMBUKTIAN
SOAL LATIHAN SOSIOLOGI
SOAL LATIHAN TINDAK PIDANA TERTENTU DALAM KUHP
SOAL LATIHAN TIPIKOR
SOAL LATIHAN UAS TIPIKOR
SOSIOLOGI HUKUM
TINDAK PIDANA ANAK
TINDAK PIDANA KORPORASI
TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME
UAS FORENSIK & VIKTIMOLOGI
UAS KRIMINOLOGI
UAS POLITIK HUKUM PIDANA
UAS SOSIOLOGI
HUKUM PIDANA KHUSUS
BAB I
PENDAHULUAN
UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang berhubungan
dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai penyalahgunaan kewenangan.
Tindak Pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan ini terdapat dalam perumusan
tindak pidana korupsi.
Hukum Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu; untuk orang/golongan tertentu.
Hukum Tindak Pidana Khusus menyimpang dari Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana
Formal.
Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum.
Dasar hukum UU Pidana Khusus melihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Ps. 103
KUHP ini mengandung pengertian:
Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepanjang
UU itu tidak menentukan lain.
Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur
seluruh tindak pidana didalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).
Perundang-undangan Pidana:
UU Pidana dalam arti sesungguhnya, yaitu hak memberi pidana dari negara;
Peraturan Hukum Pidana dalam arti tersendiri, adalah memberi sanksi pidana terhadap aturan
yang berada di luar Hukum Pidana Umum.
Apabila diperhatikan suau undang-undang dari segi hukum pidana ada 5 substansi:
UU saja yang tidak mengatur ketentuan pidana seperti (UU No. 1 Tahun 1974, UU No. 7/1989
yang diubah dengan UU No. 32/2004, UU No. 4/2004, UU No. 23/1999 yang diubah dengan UU
No. 3/2004)
UU yang memuat ketentuan pidana, maksudnya mengancam dengan sanksi pidana bagi
pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam Bab ketentuan pidana seperti (UU
No. 2/2004, UU No. 8/1999, UU No. 7/1996, UU No. 18/1997 yang diubah dengan UU No.
34/2000, UU No. 23/2004, UU No. 26/2000).
UU Pidana, maksudnya UU yang merumuskan tindak pidana dan langsung mengancam dengan
sanksi pidana dengan tidak mengaur bab tersendiri yang memuat ketentuan pidana (seperti UU
No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20/2001, UU No.
1/Perpu/2000, UU No. 15/2002 yang diubah dengan UU No. 25/2003).
UU Hukum Pidana adalah UU yang mengatur ketentuan hukum pidana. UU ini terdiri dari UU
pidana mateiil dan formal (UU acara pidana). Kedua UU hukum pidana ini dikenal dengan
sebutan “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”
(seperti KUHP, UU No. 8/1981 tentang KUHAP, KUHP Militer).
Hukum Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan Hukum Administrasi (HPE, Hk. Pidana
Fiskal, UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 khusus masalah
penyalahgunaan kewenangan).
Dasar hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103
ini mengandung pengertian:
Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepanjang
UU itu tidak menentukan lain.
Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur
seluruh tindak pidana didalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).
Kekhususan Tindak Pidana Khusus
Hukum Tindak Pidana Khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan terhadap
Hukum Pidana Umum, baik dibidang hukum pidana materiil maupun dibidang hukum pidana
formal. Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk
golongan/orang-orang tertentu.
Tujuan dibentuknya UU Drt. No 7 Tahun 1955 adalah untuk mengadakan kesatuan dalam
peraturan perundang-undangan tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan mengenai tindak
pidana ekonomi. UU ini merupakan dasar hukum dari Hukum Pidana Ekonomi. Disebut dengan
hukum pidana ekonomi, oleh karena UU Drt. No. 7 Tahun 1955 mengatur secara tersendiri
perumusan Hukum Pidana Formal disamping adanya ketentuan Hukum Pidana Formal dalam
Hukum Pidana Umum (Hukum Acara Pidana). Selain itu juga terdapat penyimpangan terhadap
ketentuan Hukum Pidana Materiil (KUHP).
Tindak pidana ekonomi dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 ini lebih bersifat hokum administrasi.
Secara teliti pelanggaran terhadap UU Drt. No. 7 Tahun 1955 disebut dengan tindak pidana
ekonomi, oleh karena berupa kejahatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e, dan sub 3e UU Drt. No. 7 Tahun 1955, tindak
pidana ekonomi ini terdapat dua kelompok:
Pertama, tindak pidana yang berasal dari luar UU Drt. No. 7 Tahun 1955, yaitu undang-undang
atau staatblad sebagaimana disebutkan dalam Ps. 1 sub 1e dan Pasal 1 sub 3e.
Kedua, tindak pidana yang dirumuskan sendiri yaitu Ps. 26, Ps. 32 dan Ps. 33 sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 sub 2e.
Tindak Pidana berdasarkan Pasal 26
Tindak pidana Ps. 26 merupakan pelanggaran karena tidak mengindahkan tuntutan pengawal
pengusut (selanjutnya disebut penyidik).[7] Pasal 26 merumuskan dengan “sengaja tidak
memenuhi tuntutan pegawai pengusut, berdasarkan suatu aturan dari undang-undang ini”.
Bagi penyidik untuk dapat diberlakukan ketentuan Pasal 26 harus diketahui dulu bahwa yang
disidik itu bukan tindak pidana ekonomi bagi yang tidak mengindahkan tuntutan penyidik
dikenakan ketentuan Ps. 216 KUHP. Jadi apabila yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi,
maka orang yang tidak memenuhi tuntutan penyidik diberlakukan Ps. 26. Tuntutan sebagaimana
yang dimaksud Ps. 26 adalah:
Tuntutan menyerahkan untuk disita semua barang yang dapat digunakan untuk mendapatkan
keterangan atau yang dapat dirampas atau dimusnahkan (Ps. 18 ayat (1)).
Tuntutan untuk diperlihatkan segala surat yang dipandang perlu untuk diketahui Penyidik agar
penyidik ini dapat melakukan tugas dengan sebaik-baiknya (Ps. 19 ayat (1)).
Tuntutan untuk membuka bungkusan barang-barang, jika hal itu dipandang perlu oleh penyidik
untuk memeriksa barang-barang itu (Ps. 22 ayat (1)).
Tindak Pidana berdasarkan Ps. 32
“Barang siapa dengan sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan
hukuman tambahan sebagai tercantum dalam Ps. 7 ayat (1) a, b, atau c, dengan suatu tindakan
tata tertib seperti tercantum dalam Ps. 8, dengan suatu peraturan seperti termaksud dalam Ps. 10
atau dengan suatu tindakan tata tertib sementara atau menghindari hukuman tambahan, tindakan
tata tertib, peraturan, tindakan tata tertib sementara seperti tersebut diatas.”
Menurut pembuat UU, yang dimuat dalam Penjelasan Ps. 32 ini agar agar dengan mudah dapat
dipaksakan kepada yang bersalah untuk memenuhi pidana tambahan dan sebagainya, sebab
pengusaha yang membandel, banyak mempunyai alat untuk menghindari diri dari dibebankannya
pelbagai pidana tambahan.
Rumusan secara lengkap sbb: “Barang siapa dengan sengaja, baik sendiri maupun dengan
peraturan orang lain, emnarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan-tagihan atau
pelaksanaan suatu hukuman, tindakan tata tertib atau tindakan tata tertib sementara, yang
dijatuhkan berdasarkan undang-undang ini.”
Ps. 33 ini dimaksudkan untuk dapat mengatasi jika seseorang yang dengan sengaja baik sendiri
maupun perantaraan orang lain:
Menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan atau pelaksanaan suatu pidana atau;
Tindakan tata tertib atau tindakan tata tertib sementara yang dijatuhkan kepadanya berdasarkan
UU Drt. No. 7 Tahun 1955, karena sering orang menghindari dari hukuman kekayaan itu.
Berarti untuk dapat dikenakan Pasal 33 hanya terbatas terhadap:
Tagihan-tagihan;
Pelaksanaan suatu tindakan tata tertib;
Pelaksanaan suatu tindakan tat tertib sementara, yang kesemuanya 1), 2), 3) harus berdasarkan
UU Drt. No. 7 Tahun 1955.
Menurut penulis, apa yang diamksudkan dengan menarik bagian tagihan-tagihan dalam Ps. 33
adalah mungkin sama dengan mencabut barang dari harta bendanya dalam Ps. 399 KUHP. Ps.
399 KUHP merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengurus atau pembantu suatu korporasi
yang dinyatakan jatuh pailit yang diperintahkan Hakim untuk menyelesaikan urusan
perniagaannya, akan tetapi ia mengurangi dengan jalan penipuan terhadap hak penagih. Kegiatan
yang dilakukannya:
UU No. 8 Prp. Tahun 1962 LN No. 42 Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-Barang dalam
Pengawasan.
UU No. 9 Prp. Tahun 1962 LN No. 43 Tahun 1962 tentang Pengendalian Harga.
UU No. 11 Tahun 1965 LN. No. 54 Tahun 1965 tentang Pergudangan.
Sanksi dalam Tindak Pidana Ekonomi
Sanksi terhadap pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi menganut sistem sanksi pidana dan
tindakan tata tertib. Sistem ini dikenal dengan istilah double track system. Sanksi pidana berupa
sanksi pidana pokok dan pidana tambahan. Sanksi pidana ini sesuai dengan ketentuan Ps. 10
KUHP. Sedangkan tindakan tata tertib sebagaimana diatur dalam Ps. 8 UU Drt. No. 7 Tahun
1955.
UU Drt. No. 8 Tahun 1958 selain menambah tindak pidana ekonomi terhadap ketentuan Ps 1 sub
1e, memperberat ancaman hukuman yang terdapat dalam Ps 6 ayat (1) huruf a yaitu kata-kata
lima ratus ribu rupiah diubah menjadi satu juta rupiah.
UU No. 5/PNPS/1959 memperberat ancaman sanksi pidana terhadap ketentuan Hukum Pidana
Ekonomi, tindak pidana korupsi, tindak pidana dalam buku II Bab I dan II KUHP, dengan
hukuman penjara sekurang-kurangnya satu tahun[8] dan setinggi-tingginya 20 tahun atau
hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati.
Untuk itu dapat dikenakan ketentuan ini apabila mengetahui, patut menduga bahwa tindak
pidana itu akan menghalang-halangi terlaksana program pemerintah, yaitu:
Memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu yang sesingkat-singkatnya;
Menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara;
Melanjutkan perjuangan menentang imperealisme ekonomi politik (Irian Barat).
UU No. 21/Peperpu/1959 memperberat ancaman hukuman dendz yang semulanya satu juta
berdasarkan UU No. 8/Drt/1958 dikalikan dengan 30, berarti dari satu juta menjadi 30 juta
rupiah. Jika tindak pidana itu dapat menimbulkan kekacauan dibidang perekonomian dalam
masyarakat, maka pelanggar dihukum dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau
penjara sementara selama-lamanya 20 tahun dan hukuman denda sebesar 30 kali jumlah yang
ditetapkan pada ayat (1). Hakim harus menjatuhkan pidana secara kumulatif.
Tingkat pertama, Peradilan tindak pidana ekonomi diatur dalam Ps. 35, Ps. 36, Ps. 37, Ps. 38, Ps.
39;
Tingkat banding, diatur dalam Ps. 41, Ps. 42, Ps. 43, Ps. 44, Ps. 45, dan Ps. 46;
Tingkat kasasi, diatur dalam Ps. 47, Ps. 48.
Pada tingkat pertama, Ps. 35 ayat (1) disebutkan bahwa pada tiap-tiap Pengadilan Negeri
ditempatkan seorang hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang jaksa
atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana
ekonomi.
Ps. 35 ayat (2) dikatakan bahwa pengadilan pada tingkat pertama tindak pidana ekonomi adalah
pengadilan ekonomi. Berdasarkan kedua ketentuan ini berarti bahwa dengan adanya hakim,
panitera dan jaksa adalah tugas khusus atau pengkhususan dari peradilan umum. Pengadilannya
khusus hanya pengadilan ekonomi saja yang dapat memeriksa dan mengadili perkara pidana
ekonomi bukan pengadilan negeri. Hanya lokasinya saja ada di Pengadilan Negeri. Ps. 35 ayat
(1) memberikan arti Pengadilan Ekonomi ada di Pengadilan Negeri. Pengadilan Ekonomi itu
timbul ketika pada saat memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi. Fisiknya tidak
Nampak akan tetapi fungsinya ada.
Menurut Ps. 36, seorang Hakim atau Jaksa pada Pengadilan Ekonomi itu dapat dipekerjakan
lebih dari satu Pengadilan Ekonomi. Perlu diketahui ketentuan ini, dikehendaki pada tahun 1955
untuk mempercepat dan memberantas tindak pidana ekonomi, ketika itu Hakim di Indonesia
tidak sebanding dengan tindak pidana yang ada.[10] Oleh karena pada Ps. 36 itu tidak disebut
Panitera berarti Panitera tidak dapat dipekerjakan lebih dari satu Pengadilan Ekonomi.
Untuk mengatasi kesulitan terhadap percepatan, penyelesaian tindak pidan ekonomi maka dalam
Ps. 37 diatur bahwa Pengadilan Ekonomi dapat bersidang di luar tempat keduudkan Pengadilan
Ekonomi. Berarti dapat bersidang diluar wilayah hokum Pengadilan Negeri apabila pada
Pengadilan Negeri dalam lingkungan Pengadilan Tinggi itu tidak terdapat Hakim atau Jaksa yang
khusus diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi.
Pada tingkat banding disebutkan pada Ps. 41 ayat (1) bahwa pada tiap-tiap Pengadilan Tinggi
untuk wilayah hukumnya masing-masing diadakan Pengadilan Tinggi Ekonomi yang diberi
tugas memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi pada tingkat banding. Ketentuan ini
mempunyai jiwa yang sama dengan Ps. 35 ayat (1).
Tindakan tata tertib sementara diatur dalam Ps. 27 dan Ps. 28 UU Drt. No. 7 Tahun 1955.
Instansi yang berwenang megambil tindakan tata tertib sementara ini adalah Jaksa sebagaimana
diatur dalam Ps. 27 ayat (1), dan Hakim sebagaimana diatur dalam Ps. 28 ayat (1) UU Drt. No. 7
Tahun 1955. Selain kedua instansi ini tidak berwenang mengambil tindakan tata tertib sementara.
Ketentuan Ps. 27 ayat (1) dan Ps. 28 ayat (1) telah diubah oleh UU No. 26/Prp/1960. Secara
akademik, untuk dapat mengambil tindakan tata tertib sementara harus sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Ps. 27 ayat (1) dan Ps. 28 ayat (1). Ketentuan Ps. 27 ayat (1) sama
dengan Ps. 28 ayat (1).
Apabila dikaji ketentuan kedua pasal itu, terdapat 4 (empat) macam substansi, yaitu: 1) syarat, 2)
waktu, 3) tujuan, 4) tindakan yang harus dilakukan pengambilan tindakan tata tertib sementara.
Penutupan sebagian atau seluruh perusahaan si tersangka, dimana tindak pidana ekonomi itu
disangka telah dilakukan;
Penempatan perusahaan tersangka, dimana tindak pidana ekonomi itu disangka telah dilakukan,
dibawah pengampuan;
Pencabutan seluruh atau sebagian hak tertentu, atau pencabutan hak seluruh atau sebagian
keuntungan, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada si tersangka berhubungan
dengan perusahaan itu;
Supaya si tersangka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu;
Supaya si tersangka berusaha supaya barang tersebut dalam perintah yang dapat disita
dikumpulkan dan disimpan di tempat yang ditunjuk dalam pemerintah itu.
Didalam pelaksanaan pengambilan tindakan tatatertib sementara, apabila Hakim telah menerima
berkas perkara ekonomi harus diperhatikan “apakah Jaksa sudah atau belum mengambil tindakan
tata tertib sementara sesuai dengan ketentuan syarat, waktu, dan tujuan.” Jaksa setelah
mengambil tindakan tata tertib sementara berdasarkan Ps. 27 ayat (2) dapat mengeluarkan
perintah-perintah sebagaimana diatur dalam Ps. 10 ayat (1). Apabila Jaksa sudah melakukan,
maka Hakim berdasarkan ketentuan Ps. 28 ayat (3) dapat mengambil keputusan:
Memperpanjang tindakan tatatertib sementara satu kajian selama-lamanya 6 (enam) bulan atas
dasar hakim karena jabatannya, atau tuntutan Jaksa.
Mencabut atau merubah tindakan tatatertib semnetara yang diambil Jaksa atas dasar Hakim
karena jabatannya, atau tuntutan Jaksa, atau permohonan terdakwa.
Tindakan tata tertib sementara berdasarkan ketentuan Ps. 27 ayat (3) dapat diubah atau dicabut
oleh Jaksa atau Hakim asal perkara tindak pidana ekonomi itu belum diputus oleh Hakim. Jika
Jaksa belum mengambil tindakan tatatertib sementara, maka Hakim berdasarkan Ps. 28 ayat (1)
dapat mengambil tindakan tatatertib sementara. Setelah Hakim mengambil tindakan tatatertib
sementara, Hakim dapat emngeluarkan perintah-perintah sebagaimana diatur dalam Pasal. 10
ayat (1). Tindakan tatatertib sementara yang diambil oleh Hakim, dapat diperpanjang dengan
satu kali selama-lamanya 6 bulan, atau diuabh atau dicabut:
BAB III
Istilah narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah “narcotics” pada farmacologie (farmasi),
melainkan sama artinya dengan “drug”, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan
membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu:
Mempengaruhi kesadaran;
Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia;
Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa:
Penenang;
Perangsang (bukan rangsangan sex);
Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan
kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat). [12]
Yang dimaksud narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang ini.
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan
khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Jenis-Jenis Narkotika
Jenis-jenis narkotika di dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 6:
(1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:
Narkotika Golongan I;
Narkotika Golongan II; dan
Narkotika Golongan III.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, bahwa Psikotropika
yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digolongkan menjadi:
Psikotropika golongan I;
Psikotropika golongan II;
Psikotropika golongan III;
Psikotropika golongan IV.
Kebijakan Kriminalisasi Tindak Pidana Narkotika
Pokok-Pokok Pengertian Tindak Pidana Narkotika
Tindak Pidana Narkotika dapar diartikan dengan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-
ketentuan hokum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 dan
ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang
tersebut. [13]
Pelaku utama;
Pelaku peserta;
Pelaku pembantu. [14]
Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain berikut ini:
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 10 diatur mengenai jenis-jenis pidana atau
hukuman.
Pidana Pokok:
Pidana mati
Pidana penjara
Kurungan
Denda
Pidana Tambahan
Pencabutan hak-hak tertentu
Perampasan barang-barang tertentu
Pengumuman putusan hakim
Ketentuan Pidana mengenai tindak pidana narkotika, diatur dalam Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai berikut:
Pasal 74
(1) Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, termasuk
perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian
secepatnya.
(2) Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika
pada tingkat banding,tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses
pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 111
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 130
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal
114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal
123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain pidana
penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi
berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal-Pasal tersebut.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa:
pencabutan izin usaha; dan/atau
pencabutan status badan hukum.
Pasal 131
Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117,
Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126,
Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 132
(1) Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115,
Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124,
Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal
114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal
123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan secara terorganisasi, pidana
penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga).
(3) Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua
puluh) tahun.
Sedangkan ketentuan pidana mengenai tindak pidana psikotropika diatur dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, sebagai berikut:
Pasal 59
(1) Barang siapa :
menggunakan psikotropika golongan 1 selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); atau
memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan 1
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau
mengedarkan psikotropika golongan 1 tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (3); atau
mengimpor psikotropika golongan 1 selain untuk kepentingan llmu Pengetahuan; atau
secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan 1 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling
banyak Rp.750.000 000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).
(3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya
pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).
Pasal 69
Pasal 70
Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal
63, dan Pasal 64 dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya pelaku tindak pidana,
kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang berlaku untuk
tindak pidana tersebut dan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.
BAB IV
Dalam konteks kriminologi atau ilmu tentang kejahatan ada Sembilan tipe korupsi yaitu:
Political bribery adalah termasuk kekuasaan dibidang legislatif sebagai badan pembentuk
undang-undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana
yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan
tertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang
menguntungkan mereka.
Political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan
borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan
banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan umum.
Corrupt campaign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas Negara
maupun uang Negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan Negara.
Discretionary corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan
kebijakan.
Illegal corruption ialah korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa hukum atau
interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik itu polisi,
jaksa, pengacara, maupun hakim.
Ideological corruption ialah perpaduan antara discretionary corruption dan illegal corruption
yang dilakukan untuk tujuan kelompok.
Mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk kepentingan
pribadi.
Dalam konteks hukum pidana, tidak semua tipe korupsi yang kita kenal diatas dikualifikasikan
sebagai perbuatan pidana. Oleh Karena itu, perbuatan apa saja yang dinyatakan sebagai korupsi,
kita harus merujuk pada undang-undang pemberantasan korupsi.[18]
Pengertian korupsi diatur juga dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, yaitu:
Pasal 2 ayat (1): “Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana …”
Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana ….”.
Barangsiapa melakukan tindak pidana tersebut dalam KUHP yang ditarik sebagai tindak pidana
korupsi, yang berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 rumusannya diubah dengan tidak
mengacu pasal-pasal dalam KUHP tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat
dalam masing-masing Pasal KUHP.
Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada Pasal 1 butir 3, dimuat pengertian korupsi
sebagai berikut: “korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”.
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam ketentuan Bab I, II, III
dapat disimpulkan bahwa subyek hukum dalam tindak pidana korupsi adalah korporasi dan
pegawai negeri.
Subyek Hukum dan Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi
Subyek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam ketentuan Bab
I, II, III dapat disimpulkan bahwa subyek hukum dalam tindak pidana korupsi adalah:
Korporasi: kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
Pegawai Negeri:
Menurut Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, bahwa
pegawai negeri adalah orang yang memenuhi syarat perundang-undangan diangkat oleh pejabat
yang berwenang, diserahi tugas jabatan negeri atau tugas lainnya serta digaji menurut undang-
undang yang berlaku.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 92, pegawai negeri adalah:
Orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga
orang-orang yang bukan karena pemilihan menjadi anggota badan pembentuk undang-undang
badan pemerintahan, badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama
pemerintah; begitu juga semua anggota dewan subak, semua kepala rakyat Indonesia asli dan
kepala golongan timur asing yang menjalankan kekuasaan sah.
Hakim termasuk ahli memutus perselisihan (wasit) yang menjalankan peradilan administrasi,
ketua/anggota peradilan agama.
Anggota angkatan perang.
Penerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
Penerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau
daerah.
Penerima gaji atau upah dari korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara
atau masyarakat.
c. Setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi.
Setiap orang yang dimaksud disini adalah orang per orang atau individu-individu. Menurut
Moelyatno, pengertian diatas mengandung arti bahwa “orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana), kalau dia tidak melakukan delik, tetapi meskipun dia
melakukan delik tidak selalu dipidana.[19]
Selain yang disebutkan diatas, pembuktian terbalik juga diberlakukan terhadap tuntutan
perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15 dan 16 Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 dan Pasal 15-21 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Sedangkan Fungsi Sistem Pembuktian Terbalik atau Sistem Pembalikan Beban Pembuktian
mensyaratkan adanya sifat limitatif (terbatas) dan eksepsional (khusus). Dari pendekatan doktrin
dan komparasi sistem hukum pidana, makna atau arti “Terbatas” atau “Khusus” dari
implementasi Sistem Pembalikan Beban Pembuktian (di Indonesia nantinya) adalah:
Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap delik
“gratification” (pemberian) yang berkaitan dengan “bribery” (suap), dan bukan terhadap delik-
delik lainnya dalam tindak pidana korupsi. Delik-delik lainnya dalam UU No. 31 Tahun 1999
yang tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 beban pembuktiannya tetap berada pada
Jaksa Penuntut Umum.
Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap “perampasan”
dari delik-delik yang didakwakan terhadap siapapun sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 sampai
dengan Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999. Perlu ditegaskan pula bahwa sistem pembuktian
terhadap dugaan pelanggaran pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 tetap
dibebankan kepada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja, apabila Terdakwa berdasarkan tuntutan
Jaksa Penuntut Umum dianggap terbukti melakukan pelanggaran salah satu dari delik-delik
tersebut dan dikenakan perampasan terhadap harta bendanya. Terdakwa wajib membuktikan
(berdasarkan sistem pembalikan beban pembuktian) bahwa harta bendanya bukan berasal dari
tindak pidana korupsi.
Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas penerapan asas Lex Temporis-nya,
artinya sistem ini tidak dapat diberlakukan secara Retroaktif (berlaku surut) karena potensiel
terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran terhadap asas legalitas, dan
menimbulkan apa yang dinamakan asas Lex Talionis (balas dendam).
Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dan tidak diperkenankan
menyimpang dari asas “Daad-daderstrafrecht”. KUHPidana yang direncanakan bertolak dari
pokok pemikiran keseimbangan monodualistik, dalam arti memperhatikan keseimbangan dua
kepentingan, antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu, artinya Hukum Pidana
yang memperhatikan segi-segi obyek dari perbuatan (daad) dan segi-segi subyektif dari
orang/pembuat (dader). Dari pendekatan ini, sistem pembalikan beban pembuktian sangat tidak
diperkenankan melanggar kepentingan dan hak-hak prinsipiel dari pembuat/pelaku
(tersangka/terdakwa). Bahwa penerapan sistem pembalikan beban pembuktian ini sebagai
realitas yang tidak dapat dihindari, khususya terjadinya minimalisasi hak-hak dari “dader” yang
berkaitan dengan asas “non self-incrimination” dan “presumption of innocence”, namun
demikian adanya suatu minimalisasi hak-hak tersebut sangat dihindari akan terjadinya eliminasi
hak-hak tersebut, dan apabila terjadi, inilah yang dikatakan bahwa sistem pembalikan beban
pembuktian adalah potensiel terjadinya pelanggaran HAM.[21]
Dari penjelasan tersebut diatas, ada 2 (dua) hal pokok yang harus menjadi atensi semua pihak
berkaitan dengan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian yang rencananya akan diterapkan dalam
Sistem Hukum Pidana Indonesia. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian diterapkan
secara terbatas dan khusus hanya terhadap 2 (dua) perbuatan saja, yaitu penyuapan dan
perampasan harta benda terdakwa.
Asas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada di luar
kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum (Acara) Pidana yang universal. Dalam Hukum
Pidana (Formil), baik sistem kontinental maupun anglo-saxon, mengenal pembuktian dengan
tetap membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum, hanya saja dalam “certain cases”
(kasus-kasus tertentu) diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu
Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau dikenal sebagai “Reversal of Burden Proof”
(“Omkering van Bewijslast”), itupun tidak dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-batas
yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan
penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Tersangka/Terdakwa.[22]
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 menerapkan asas pembuktian terbalik yang bersifat terbatas
atau berimbang sebagaimana ketentuan dalam Pasal 37 yang mengatur terdakwa mempunyai hak
untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan. Apabila terdakwa mampu membuktikan tidak melakukan tindak pidana korupsi,
hal ini dapat dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan terdakwa dan apabila terdakwa
gagal membuktikan harta benda yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber
penambahan kekayaannya, hal ini dapat memperkuat alat bukti bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi. Disebut pembuktian terbalik yang terbatas karena jaksa masih tetap
berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya, baik terdakwa berhasil maupun gagal
membuktikan tindak pidana korupsi maupun dalam hal pemilikan harta benda.[23]
Pembuktian dalam proses beracara merupakan hal yang sangat penting dan menentukan, karena
dari sinilah hakim dapat mengambil keputusan apakah seorang terdakwa dinyatakan telah
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum atau tidak. Pembuktian
terbalik yang terbatas dalam tindak pidana korupsi merupakan penyimpangan dari asas yang
dianut dalam KUHAP, terutama terkait dengan kedudukan terdakwa. Dalam Pasal 37 ayat (1)
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dinyatakan bahwa: “Terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi”.
Dari pasal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pembuktian selain merupakan kewajiban Jaksa
Penuntut Umum juga merupakan hak terdakwa. Apabila terdakwa mempergunakan haknya dan
dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah maka hal tersebut merupakan hal yang
menguntungkan posisinya demikian juga sebaliknya apabila terdakwa tidak dapat membuktikan
bahwa dirinya tidak melakukan korupsi maka hal tersebut akan memperlemah posisinya. Disisi
yang lain terdakwa wajib untuk memberikan keterangan tentang harta bendanya, isteri, suami,
dan anak-anaknya serta harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga berhubungan
dengan perkara yang didakwakan, hal itu termuat dalam Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang No.
31 Tahun 1999: “Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta
benda isteri atau suami, anak-anaknya serta harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan”.
Masalah Pengembalian Asset Negara Pasca Ratifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 (UNCAC
2003)
Di dalam Program Legislasi Nasional untuk tahun 2008 yang telah disetujui Pemerintah dan
DPR RI, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA) termasuk salah satu prioritas
program RUU yang akan dibahas mulai tahun 2008, di samping RUU Pengadilan TIPIKOR;
RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan RUU Perubahan UU Nomor 30 tahun 2002
tentang KPK. Keempat paket RUU tsb di atas akan merupakan “bench-mark” yang amat
menentukan dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia untuk masa yang akan datang.
RUU PA merupakan RUU terbaru dari keempat paket ruu tsb sebagai konsekuensi politik dari
ratifikasi terhadap Konvensi PBB Anti Korupsi (KAK PBB,2003) dengan Undang-undang
Nomor 7 tahun 2006. Pertanyaan pertama yang patut diajukan adalah, relevankah saat ini
diajukan suatu Rancangan Undang-undang tentang Perampasan Aset (RUU PA), dan
bagaimanakah kiranya yang merupakan landasan pemikiran diperlukannya suatu pengaturan
secara khusus dan tersendiri, di luar ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku
seperti ketentuan perampasan dan penyitaan dalam KUHAP dan ketentuan di luar KUHP atau
KUHAP seperti Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan UU Pencucian Uang.
Masalah relevansi RUU PA saat ini terkait langah pemerintah dalam pemberantasan korupsi
terutama upaya pengembalian kerugian Negara termasuk yang telah dilarikan ke Negara lain,
tampak bahwa RUU tersebut sangat penting dan mendesak. Mengapa?
pertama, pengalaman pahit dalam hal pengembalian kerugian Negara selama 30 (tigapuluh)
tahun lebih tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap kas Negara.Bahkan sebaliknya,
laporan BPK tahun 2006 tentang setoran Kejaksaan Agung sebesar 6 (enam) trilyun rupiah,
sampai saat ini raib entah kemana. Begitu juga pemasukan biaya perkara kepada Negara sampai
saat ini masih dipermasalahkan sehingga menimbulkan silang sengketa antara MA dan BPK.
Kedua, Keadaan APBN yang masih sangat terbatas untuk membiayai kegiatan operasional
penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi menimbulkan hambatan sehingga gerak
langkah penegakan hukum tidak maksimal. Bahkan jika diungkap secara terbuka mungkin akan
besar pasak daripada tiang. Ketiga, Gerakan pemberantasan korupsi internasional yang
dipelopori Bank Dunia dan UNODC, “STAR Initiative” dengan mengacu kepada Konvensi PBB
Anti Korupsi (KAK PBB) juga telah mengisyaratkan agar masalah pengembalian asset hasil
kejahatan terutama untuk tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya mengatasi
kemiskinan global, merupakan prioritas utama yang tidak boleh diabaikan. Keempat, perangkat
hukum yang berlaku di Indonesia saat ini belum mampu secara maksimal mengatur dan
menampung kegiatan-kegiatan dalam rangka pengembalian asset hasil korupsi dan kejahatan di
bidang keuangan dan perbankan pada umumnya. Ketentuan perundang-undangan KUHAP dan
UU Pemasyarakatan yang mengatur tentang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (Rupbasan)
tidak khusus ditujukan untuk mengatur pemulihan asset/pengembalian asset hasil kejahatan
kecuali untuk penyimpanan benda-benda sitaan Negara akibat putusan pengadilan melalui proses
penuntutan pidana.
Sedangkan RUU PA justru akan mengatur juga asset-aset hasil kejahatan baik yang dirampas
sementara atau yang disita setelah memperoleh putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, atau asset yang berhasil dikembalikan melalui gugatan keperdataan yang
dilakukan oleh pihak pemerintah. Selain itu RUU PA tsb diharapkan dapat mengatur pengelolaan
asset hasil kejahatan seefisien dan sefektif mungkin baik untuk kepentingan pelaksanaan
operasional penegakan hukum maupun untuk mengisi kas Negara. Bahkan merujuk kepada KAK
PBB yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 tahun 2006, kepentingan pihak ketiga yang
beritikad baik dan dirugikan karena tindak pidana korupsi, dapat mengajukan tuntutan ganti
rugi/klaim atas sebagian dari asset yang telah disita dan ditampung dalam lembaga pengelola
asset berdasarkan RUU PA. Untuk tujuan ini memang diperlukan lembaga khusus dan tersendiri
untuk mengkelola asset hasil kejahatan termasuk korupsi, bersifat independent, dikelola secara
transparan dan bertanggung jawab serta professional. Ketentuan tentang Rupbasan yang berada
dalam lingkup UU Pemasyarakatan masih jauh dari memadai untuk tujuan sebagaimana
disampaikan di atas; apalagi kepercayaan akan kredibilitas pemasyarakatan dalam mengkelola
tugas pokoknya masih jauh dari harapan masyarakat luas.
Kelima, RUU Perampasan Aset sangat relevan dengan maksud dan tujuan pengembalian asset
hasil kejahatan tsb di atas. Bahkan RUU PA tsb harus diperluas lingkup dan objek
pengaturannya, termasuk asset-aset kejahatan yang dapat dikembalikan tidak saja melalui
tuntutan pidana (penuntutan) melainkan juga asset yang dapat dikembalikan melalui gugatan
perdata yang dilakukan oleh pemerintah atas asset seorang tersangka/terdakwa yang ditempatkan
di Negara lain.
Keenam, pengalaman pengembalian asset hasil korupsi dalam kasus Marcos (Filipina) , Sani
Abacha (Nigeria) , dan Fujimori (Peru) telah terbukti bahwa, proses pengembalian asset tersebut
tidak semudah apa yang telah dituliskan di dalam KAK PBB tsb. Bahkan dalam beberapa hal
proses pengembalian asset tersebut tidak serta berjalan mulus karena masih ada beberapa
persyaratan khusus (conditional recovery) yang diminta oleh Negara Yang Diminta (Requested
State) dan harus dipenuhi oleh Negara peminta (Requesting State), antara lain, Negara peminta
harus dapat membuktikan bahwa asset-aset yang disimpan di Negara yang diminta adalah benar
asset hasil kejahatan dan dimiliki oleh tersangka/terdakwa untuk mana asetnya dituntut untuk
dikembalikan ke Negara peminta; Negara Peminta harus membuktikan bahwa proses peradilan
terhadap tersangka/terdakwa untuk mana asetnya hendak ditrariik kembali ke Negara asalnya
telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip umum internasional mengenai “fair trial” dan “due
process of law”. Masih banyak persyaratan-persyaratan lainnya yang dituntut oleh Negara yang
Diminta, antara lain, dalam kasus Filipina, harta kekayaan mantan presiden Marcos, tidak
langsung dikembalikan ke Filipina melainkan harus ditempatkan di suatu “escrow account” Bank
di Swiss. Pencairan dan pengembalian harta dimaksud hanya atas perintah Pengadilan Filipina
yang benar fair dan independent. Untuk kasus Nigeria, pengembalian harta kekayaan Sani
Abacha harus disertai jaminan bahwa, penggunaan harta kekayaan dimaksud untuk kepentingan
peningkatan kesejahteraan rakyat Nigeria; bahkan sebagian digunakan untuk membayar hutang-
hutang luar negeri Negara yang bersangkutan.
Berkaca kepada pengalaman pengembalian asset korupsi dari negara-negara tersebut, dan hukum
kebiasaan internasional yang telah berlaku di dalamnya, jelas bahwa ketentuan peraturan
perundang-undangan dalam pemberantasan kejahatan termasuk korupsi dan pencucian uang
yang berlaku di Indonesia saat ini belum cukup memadai jika ditujukan menyelamatkan asset-
aset hasil kejahatan tersebut dari Negara lain untuk kepentingan sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan rakyat dan mengatasi kemiskinan.[24]
BAB V
Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang “pajak” yang dikemukakan oleh para
ahli diantaranya adalah :
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum
(undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra
prestasi/tegen prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut:
Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama
untuk membiayai public investment.
Selain karena kealpaan, tindak pidana perpajakan juga dapat terjadi karena kesengajaan. Hal ini
diatur dalam Pasal 39 UU KUP. Secara ringkas tindak pidana yang dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara itu meliputi:[25]
“Pemeriksaan pajak adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak yang berwenang
terhadap buku-buku dan dokumen rekening bank Wajib Pajak, baik dalam rangka pemeriksaan
ruti maupun pemeriksaan khusus adanya dugaan penggelapan pajak.”
Sedangkan menurut ketentuan perpajakan Indonesia, pengertian pemeriksaan pajak diatur dalam
Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (dikenal sebagai UU KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, bahwa pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk
mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dasar hukum pelaksanaan pemeriksaan pajak diatur dalam Pasal 29 UU KUP dan aturan
pelaksanaannya dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000 yang
menyatakan:
Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan agar diperoleh kepastian hukum,
keadilan dan pembinaan kepada Wajib Pajak, antara lain dalam hal:
SPT menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak.
SPT Tahunan PPh menunjukkan rugi.
SPT yang disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah ditetapkan.
SPT yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ada indikasi kewajiban perpajakan tidak dipatuhi oleh Wajib Pajak.
Untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, misalnya:
Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan atau penghapusan NPWP.
Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Wajib Pajak mengajukan keberatan.
Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.
Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN.
Dalam melaksanakan pemeriksaan pajak, pemeriksa pajak berwenang untuk:[28]
Memberitahukan secara tertulis tentang akan dilakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
Memperlihatkan tanda pengenal pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3) kepada
Wajib Pajak.
Menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa.
Membuat Laporan Pemeriksaan Pajak.
Memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa hal-hal
yang berbeda antara SPT dengan hasil pemeriksaan.
Memberi petunjuk kepada Wajib Pajak mengenai penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan
dan petunjuk lainnya mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan sehubungan dengan
pemeriksaan yang dilakukan.
Mengembalikan buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen pendukung lainnya kepada Wajib
Pajak paling lama 7 hari (untuk pemeriksaan kantor) dan 14 hari (untuk pemeriksaan lapangan)
sejak selesainya pemeriksaan.
Dalam pelaksanaan pemeriksaan diatur pula kewajiban dan hak-hak Wajib Pajak. Hak-hak Wajib
Pajak dalam pemeriksaan adalah sebagai berikut:
Meminta kepada pemeriksa untuk memperlihatkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak dan Tanda
Pengenal Pemerintah.
Meminta kepada pemeriksa untuk menyerahkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan.
Meminta kepada pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan
pemeriksaan.
Meminta kepada pemeriksa mengenai rincian yang berkenaan dengan hal-hal yang berbeda
antara hasil pemeriksaan dengan SPT.
Memberikan tanda bukti peminjaman buku/dokumen/catatan secara rinci.
Sedangkan kewajiban Wajib Pajak dalam hal dilaksanakan pemeriksaan adalah sebagai
berikut:[29]
Dalam hal Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib memenuhi panggilan untuk dating
menghadiri pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Memenuhi permintaan peminjaman buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang
diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan dan memberikan keterangan dalam jangka waktu 7
(tujuh) hari sejak tanggal surat permintaan.
Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang
perlu.
Memberikan keterangan yang diperlukan secara tertulis maupun lisan.
Menandatangani surat persetujuan apabila seluruh hasil pemeriksaan disetujui.
Menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan apabila hasil pemeriksaan tersebut tidak atau
tidak seluruhnya disetujui.
Menandatangani surat pernyataan penolakan pemeriksaan, apabila menolak membantu
kelancaran pemeriksaan.
Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk melakukan penyegelan tempat atau ruangan
tertentu.
Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak
Produk hukum yang dihasilkan dari dilakukannya pemeriksaan pajak adalah diterbitkannya
ketetapan pajak yang dapat berupa surat ketetapan pajak (SKP) atau surat tagihan pajak (STP),
kecuali apabila pemeriksaan tersebut dilanjutkan dengan tindakan penyidikan pajak.
Pasal 1 angka 14 UU KUP. Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah surat ketetapan yang meliputi
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT) atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) atau Surat Ketetapan
Pajak Nihil (SKPN).
Pasal 1 angka 19 UU KUP, Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan
pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. Berdasarkan ketentuan Pasal 18
ayat (1) UU KUP menyatakan bahwa Surat Tagihan Pajak (STP), SKPKB, dan SKPKBT
merupakan dasar untuk melakukan penagihan pajak.[30]
Penyidikan Pajak
Apabila Wajib Pajak atau seseorang terdapat indikasi atau petunjuk bahwa ia patut diduga
melakukan atau membantu perbuatan tindak pidana dibidang perpajakan, maka akan
dilaksanakan penyidikan pajak, yang merupakan tindka lanjut dari hasil pemeriksaan bukti
permulaan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (2) UU KUP, Pejabat Penyidik Pajak mempunyai
wewenang untuk:
Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan
tindak pidana dibidang perpajakan;
Meneliti, mencari dan mengumpulkan keteranagn mengenai orang pribadi atau badan tentang
kebenaran perbuatan yang dilakukan dengan tindak pidana dibidang perpajakan;
Meminta keterangan dan bukti dari orang pribadi atau badan hukum;
Memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dokumen lain berkaitan dengan tindak pidana
perpajakan;
Melakukan penggeledahan dan penyitaan bahan bukti;
Memanggil saksi dan meminta bantuan tenaga ahli.
Penyidikan pajak dilaksanakan apabila terdapat dugaan dan indikasi Wajip Pajak atau setiap
orang lainnya melakukan perbuatan yang melanggar larangan atau tidak melaksanakan
kewajiban yang ditentukan dalam undang-undang perpajakan, yang dapat menimbulkan kerugian
pendapatan negara dan diancam dengan hukuman pidana. Yang menjadi subyek hukum tindak
pidana pajak adalah orang, badan atau siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas pelanggaran
hukum pidana pajak dan terhadapnya dapat dijatuhi hukuman pidana.
Pejabat Pajak
Pejabat pajak yang melanggar kewajiban untuk merahasiakan semua data dan informasi yang
diketahuinya atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak kepada pihak lain yang tidak
berhak, dapat dikenai hukuman pidana kurungan maksimum satu tahun dan denda setinggi-
tingginya Rp 4.000.000,- (emapat juta rupiah)
Pihak Ketiga
Pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa atau disidik, wajib
memberikan data, keterangan dan bukti yang diminta secara tertulis oleh Direktur Jenderal Pajak,
pelanggaran atas kewajiban tersebut dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
Penyertaan tindak pidana pajak, dalam Pasal 43 ayat (1) UUKUP diatur ketentuan tentang
Penyertaan Tindak Pidana Pajak yang bunyinya: “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 dan 39, berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak, yang menyuruh
melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan
tindak pidana dibidang perpajakan.”
Ketentuan tersebut diadopsi dari ketentuan Pasal 55 dan 56 KUHP, untuk melengkapi ketentuan
pidana yang diatur dalam Pasal 38 dan 39 UUKUP, sebagai antisipasi terhadap tindak pidana
pajak yang dilakukan oleh beberapa orang baik secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama.
Penagihan Pajak
Berdasarkan Pasal 20 UUKUP, apabila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan
Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Suat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak
dibayar oleh Penanggung Pajak dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan,
ditagih dengan Surat Paksa.
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa itu sendiri secara khusus diatur dalam UU No.
19Tahun1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000. Langkah-Langkah dalam melakukan
tindakan penagihan pajak adalah:[31]
Surat Teguran
Surat Teguran diterbitkan segera setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran
STP/SKPKB/SKPKBT/SK Pembetulan/SK Keberatan/Putusan Banding yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
Surat Paksa
Surat Paksa diterbitkan apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi
setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak diterbitkannya Surat Teguran atau terhadap
Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus.
Pengumuman Lelang
Pengumuman lelang dilaksanakan apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak
tanggal pelaksanaan penyitaan Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak yang masih harus dibayar.
Lelang
Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh
Penanggung Pajak setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengumuman lelang,
maka Pejabat segera melaksanakan lelang.
Pencegahan
Sesuai UU PPSP, terhadap Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah utang pajak
sekurang-kurangnya Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam
melunasi utang paja dapat dilakukan pencegahan.
Penyanderaan
Menurut Pasal 1 angka 21 UU PPSP, penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu
kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. Penyanderaan hanya
dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang tidak melunasi utang pajak setelah lewat
waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada
Penanggung Pajak dan mempunyai jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp
100.000.000,- (seratus juta rupiah) serta diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
Penanggung Pajak yang disandera lepas, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:[32]
Apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
Apbila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Penyanderaan telah dipenuhi;
Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
Berdasarkan pertimbangan tertentubdari Menteri Keuangan atau Gubernur.
Jenis Sengketa Pajak
Sengketa koreksi Fiskal
Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan maupun untuk
tujuan lain dalam rangka pelaksanaan undang-undang perpajakan, fiskus melaksanakan tugas
pengawasan dan pembinaan, diantaranya dengan pemeriksaan pajak. Pemeriksaan yang
dilakukan terhadap kegiatan Wajib Pajakdalam kurun waktu tertentu, misalnya 1 tahun,
dilakukan terhadap berkas, dokumen yang terkait dengan transaksi kegiatan yang terrangkum
dalam pembukuan dan laporan keuangan. Dalam pelaksanaannya pemeriksaan antara lain
menghasilkan koreksi fiscal terhadap pos-pos sebagai berikut:[33]
Peredaran usaha
Peredaran usaha yang dilaporkan menurut SPT Tahunan PPh Badan lebih besar atau lebih kecil
dibandingkan dengan SPT PPN.
Harga jual produk kepada perusahaan afiliasi lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan
jual kepada pihak ketiga.
Harga Pokok Penjualan
Pembelian yang berasal dari grup atau perusahaan afiliasi lebih tinggi atau lebih rendah dari
harga umum pembelian dari pihak ketiga.
Jumlah pembelian menurut PPh Badan berbeda dengan jumlah pembelian menurut PPN.
Penyusutan aktiva yang digunakan untuk produksi tidak sesuai dengan ketentuan UU Pajak
Penghasilan mengenai tariff, pengelompokan aktiva, aktiva yang masih disusutkan terus oleh
Wajib Pajak walaupun umur ekonomis/masa manfaatnya telah habis.
Penghasilan Lain dari Luar Usaha
Masih ditemukan penghasilan lain dari luar usaha yang tidak dilaporkan Wajib Pajak dalam SPT
PPh.
Penghasilan bunga yang telah dikenakan PPh Final dimasukkan Wajib Pajak sebagai penghasilan
dari luar usaha.
Pengurangan Penghasilan Bruto
Biaya Penyusutan Aktiva atas kendaraan untuk keperluan pribadi komisaris atau direksi.
Biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai ketentuan Pasal 9 UU
Pajak Penghasilan misalnya: sumbangan yang dikeluarkan oleh perusahaan, biaya entertainment
yang tidak dilampiri daftar nominative di SPT, dan biaya yang tidak ada hubungannya dengan
kegiatan usaha Wajib Pajak.
Wajib Pajak tidak konsisten menerapkan kurs yang digunakan.
Biaya royalty, jasa teknik dan jasa manajemen kepada perusahaan afiliasi lebih besar dari jumlah
yang wajar dibayarkan kepada pihak ketiga.
Pembayaran bunga kepada pemegang saham lebih besar dari suku bunga yang berlaku di pasaran
umum.
Adanya pembayaran biaya-biaya kepada pemegang saham yang tidak wajar, sebagai dividen
terselubung.
Wajib Pajak membebankan seluruh bunga pinjaman dari bank, tetapi ditemukan bukti bahwa
Wajib Pajak menerima penghasilan bunga atas deposito atau tabungan lainnya.
Pemotongan dan pemungutan pajak
Pembayaran upah, bonus tidak atau kurang dipotong PPh (Pasal 21) oleh Wajib Pajak selaku
pemberi kerja.
Pembayaran sewa tidak atau kurang dipotong PPh (Pasal 23), PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat (2).
Pembayaran bunga kepada pemegang saham tidak atau kurang dipotong PPh Pasal 23/26.
Pembayaran jasa teknik, jasa manajemen, konsultan dan jasa lainnya yang tidak dipotong oleh
Wajib Pajak selaku pengguna jasa.
PPN
Jumlah peredaran usaha dan pembelian BKP/JKP yang dilaporkan SPT PPN tidak sama dengan
PPh Badan.
Konfirmasi paja masukan dijawab tidak ada.
Pengkreditan pajak masukan dilakukan beberapa kali masa pajak.
Penetapan dasar pengenaan pajak yang lebih tinggi atau lebih rendah dari yang seharusnya,
terutama penyerahan kepada perusahaan afiliasi.
Faktur pajak fiktif.
Utang piutang Pemegang Saham dari Afiliasi
Perluasan sebab musabab terjadinya utang piutang
Tidak ada beban kerja
Pengecilan modal
Pengeluaran persero dilakukan oleh perusahaan
Pengeluaran usaha ditalangi pemegang saham
Sengketa Keberatan Pajak
Dalam proses pemeriksaan terdapat tahap pembahasan akhir (closing conference) untuk
membahas dan menyamakan persepsi mengenai pos-pos yang diperiksa dan dtemukan koreksi
fiscal. Adakalanya masih terdapat perbedaan pengakuan antara Wajib Pajak dan fiskus, namun
secara procedural tidak menunda keluarnya ketetapan pajak. Bila demikian halnya, Wajib Pajak
dapat mengajukan keberatan atau pos-pos yang tidak sependapat ke Kantor Pelayanan Pajak
tempatnya terdaftar. Beberapa masalah yang sering dijumpai dalam pengajuan surat keberatan,
antara lain:[34]
Wajib Pajak mengajukan keberatan sekaligus untuk beberapa SKPKB dan untuk beberapa tahun
pajak.
Wajib Pajak mengajukan keberatan sekaligus untuk SKPKB dan STP.
Wajib Pajak tidak menyebutkan dalam surat keberatannya mengenai jumlah pajak terutang, atau
pajak yang dipotong, dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungannya.
Tanda penerimaan Surat Keberatan dari Kantor Pelayanan Pajak atau dari kantor Pos tercatat
telah melampaui waktu tiga bulan sejak tanggal SKPKB, dan tidak ada alasan yang sah dari
Wajib Pajak.
Wajib Pajak tidka melengkapi pengajuan keberatannya dengan alasan dan bukti pendukung yang
memadai.
Wajib Pajak melengkapi dokumen pendukung keberatan sangat berdekatan dengan saat jatuh
tempo penerbitan keputusan keberatan.
Sengketa Mengenai Gugatan
Terhitung sejak 1 Januari 2001, hak Wajib Pajak untuk mengajukan gugatan terhadap Direktur
Jenderal Pajak dipertegas dan diperluas, tidak terbatas pada pelaksanaan penagihan aktif dengan
Surat Paksa, tetapi juga terhadap keputusan Direktur Jenderal Pajak lainnya, sebagaimana diatur
dalam Pasal 23 KUP, yaitu:[35]
Gugatan terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau
Pengumuman Lelang.
Gugatan terhadap Pembetulan Surat Tagihan Pajak – Pasal 16 KUP.
Gugatan terhadap Keputusan Peninjauan Kembali STP – Pasal 36 KUP.
Gugatan terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak lainnya, selain keberatan dan banding.
Semua gugatan Wajib Pajak tersebut diatas hanya dapat diajukan kepada Badan Peradilan Pajak,
yang saat ini berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002 dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak (PP).
Penyelesaian Sengketa Pajak
Tahap Pemeriksaan
Dalam proses pelaksanaan pemeriksaan yang menghasilkan adanya koreksi fiscal terhadap
beberapa pos, maka terhadap koreksi fiscal tersebut harus diberitahukan secara tertulis dalam
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) kepada Wajib Pajak. Selanjutnya dengan
imbangannya Wajib Pajak menyampaikan tanggapan tanggapan hasil pemeriksaan tersebut
secara tertulis dalam waktu 7 hari dari diterimanya SPHP. Apabila Wajib Pajak tidak setuju atas
sebagian atau seluruh hasil koreksi fiscal, Wajib Pajak harus menandatangani dan
menyampaikan Surat Tanggapan kepada Kepala Unit Pelaksana Pemeriksa Pajak (UP3) dengan
disertai penjelasan data pendukung yang akurat dan lengkap. Tanggapan atas SPHP tersebut
dibahas oleh Tim Pemeriksa dan Wajib Pajak dalam forum Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan (closing conference). Untuk meminimalkan perbedaan yang masih ada dan cukup
material, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Kepala UP3 agar perbedaan
tersebut dilanjutkan pembahasannya oleh Tim Pembahas.[36]
Agar keputusan keberatan dapat dipertimbangkan secara obyektif dan seadil-adilnya, Wajib
Pajak harus memenuhi syarat formal dan material keberatan, dengan menguraikan alasan yang
benar dan didukung dokumen pembuktian yang lengkap. Dilain pihak KPP dan Kanwil DJP
harus mengumpulkan data dan keterangan yang lengkap dari UP3 yang bersangkutan untuk
membuat dan melengkapi uraian pemndangan keberatan terhadap masalah dan alasan yang
diajukan oleh Wajib Pajak.
KPP atau Kanwil DJP harus memberi waktu yang cukup bagi Wajib Pajak untuk melengkapi dan
menyampaikan dokumen pendukung yang memperkuat keberatannya, sebaliknya Wajib Pajak
harus memperhitungkan dan memahami bahwa kegiatan penagihan pajak secara aktif, termasuk
penerbitan Surat Paksa, tidaklah menjadi tertunda oleh karena pengajuan keberatan.
Keputusan keberatan yang baik dan ideal bukanlah keputusan yang memenangkan Wajib Pajak
atau memuaskan Direktorat Jenderal Pajak, tetapi keputusan yang adil dan obyektif berdasar alat
bukti yang sah sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.[37]
Agar Wajib Pajak memperoleh hasil optimal alam gugatannya, harus diuraikan secara detail dan
cermat kronologis dan prosedur apa yang tidak dipenuhi oleh aparat Direktorat Jenderal Pajak
dalam pelaksanaan penagihan pajak atau dalam penerbitan keputusan yang menjadi obyek
gugatan. Dilain pihak Direktorat Jenderal Pajak harus dapat membuktikan dan meyakinkan
hakim Pengadilan Pajak bahwa tidak ada prosedur yang dilanggar dan tidak ada aturan hukum
yang membatalkan pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan Direktur Jenderal Pajakyang
bersangkutan.
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap,
sehingga mengikat kedua belah pihak baik Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak secara
bersama-sama sesuai posisinya untuk mematuhi dan melaksanakannya.[38]
Menolak permohonan banding, atau dengan kata lain mempertahankan keputusan keberatan
Direktorat Jenderal Pajak.
Mengabulkan sebagian atau seluruhnya permohonan banding, berarti membatalkan sebagian atau
seluruhnya keputusan keberatan Direktorat Jenderal Pajak.
Menambah pajak yang harus dibayar, berarti mengubah keputusan keberatan Direktorat Jenderal
Pajak dengan keputusan sendiri yang mengakibatkan pajak terutang menjadi lebih besar.
Tidak dapat diterima, berarti permohonan banding tidak diperiksa sampai pokok sengketa,
karena tidak dipenuhinya persyaratan formal dalam surat banding, atau perkara yang diajukan
bandin bukan kompetensi PP.
Membetulkan kesalahan tertulis dan atau kesalahan hitung.
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir yang berkekuatan hukum tetap, dan
langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang,
kecuali undang-undang mengatur lain, misalnya kelebihan pembayaran pajak.
Atas putusan Pengadilan Pajak mengani banding pajak tersebut, kedua pihak yang bersengketa
(Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak) dapat melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali
(PK) kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Apabila Wajib Pajak atau Direktorat
Jenderal Pajak mempunyai bukti yang sangat meyakinkan bahwa hakim Pengadilan Pajak yang
memutus perkaranya melakukan pelanggaran hukum yang melanggar sumpah atau janji jabatan
dan mengakibatkan kerugian baginya, maka atas hal tersebut dapat melaporkan pelanggaran
tersebut kepada Menteri Keuangan dan Majelis Kehormatan Pengadilan Pajak.
Pengadilan Pajak
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Wajib Pajak yang belum puas atas keputusan
keberatannya yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak dapat mengajukan permohonan banding
hanya kepada badan peradilan pajak, demikian pula Wajib Pajak/Penanggung Pajak dapat
mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak yang telah dilakukan dengan Surat
Paksa, Penyitaan atau Lelang dan keputusan Peninjauan Kembali atau pembetulan Surat Tagihan
Pajak, hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak. Dengan diundangkan dan berlakunya
UU No. 14 Tahun 2002 pada tanggal 12 April 2002, maka sebagai badan peradilan pajak
tersebut adalah Pengadilan Pajak yang menggantikan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
(BPSP) sebagai lembaga sebelumnya.
Beberapa perubahan penting di Pengadilan Pajak dibandingkan dengan Badan Penyelesaian
Pajak adalah:[40]
Dalam modul pencegahan pelanggaran kepabeanan yang dibuat oleh World Customs
Organization (WCO) disebutkan bahwa pengawasan pabean adalah salah satu model untuk
mencegah dan mendeteksi pelanggaran kepabeanan. Berdasarkan modul World Customs
Organization (WCO) tersebut dinyatakan bahwa pengawasan Bea Cukai yang mampu
mendukung pendeteksian dan pencegahan penyelundupan paling tidak harus mencakup kegiatan:
penelitian dokumen, pemeriksaan fisik, dan audit pasca impor. Disamping tiga kegiatan itu
menurut hemat penulis patroli juga merupakan pengawasan Bea dan Cukai untuk mencegah
penyelundupan. Tindak pidana kepabenan adalah tindak pidana berupa pelanggaran terhadap
aturan hukum di bidang kepabeanan. Salah satu bentuk tindak pidana kepabeanan yang paling
terkenal adalah tindak pidana penyelundupan. Sumber hukum tindak pidana kepabeanan adalah
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Undang-undang ini mulai berlaku
1 April 1996, dimuat di dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1995.[42]
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 yang telah diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, maka aturan hukum
kepabeanan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi, yakni : (1) Indische tariff Wet Staatsblad
Tahun 1873 Nomor 35 sebagaimana telah diubah dan ditambah; (2) Rechten Ordonantie
Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240 sebagaimana telah diubah dan ditambah; (3) Tarief
Ordonantie Staatsblad Tahun 1910 Nomor 628 sebagaimana telah diubah dan ditambah.
Sedangkan pembentukan Undang-undang Kepabeanan ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan yakni : (a) bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan
perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional, khususnya di bidang perekonomian,
termasuk bentuk-bentuk dan praktik penyelenggaraan kegiatan perdagangan internasional; (b)
bahwa dalam upaya untuk selalu menjaga agar perkembangan seperti tersebut diatas dapat
berjalan sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan dalam
Garis-garis Besar Haluan Negara dan agar lebih dapat diciptakan kepastian hukum dan
kemudahan administrasi berkaitan dengan aspek kepabeanan bagi bentuk-bentuk dan praktik
penyelenggaraan kegiatan perdagangan internasional yang terus berkembang serta dalam rangka
antisipasi atas globalisasi ekonomi, diperlukan langkah-langkah pembaharuan; (c) bahwa
peraturan perundang-undangan Kepabeanan selama ini berlaku sudah tidak dapat mengikuti
perkembangan perekonomian dalam hubungan dengan perdagangan internasional; dan (d) bahwa
untuk mewujudkan hal-hal tersebut, dipandang perlu untuk membentuk Undang-undang tentang
kepabeanan yang dapat memenuhi perkembangan keadaan dan kebutuhan pelayanan
Kepabeanan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.[43]
Pasal-pasal dalam Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa aparatur penegak hukum yang
berwenang melakukan penyidikan adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang bertugas di
bidang Bea dan Cukai, hal ini selaras dengan asas Lex Specialis Derogate Legi Generali. Surat
Jaksa Agung Republik Indonesiakepada Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia Nomor
B-003/A/Ft.2/01/2009 tanggal 14 Januari 2009 perihal Pengendalian & Percepatan tuntutan
perkara tindak pidana kepabeanan dan cukai butir 3 disebutkan bahwa “Selanjutnya apabila
menerima Berkas Perkara Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai selain penyidik instansi tersebut
diatas “agar ditolak” hal ini perlu diingatkan sebagai antisipatif jangan sampai terulang
penyidikan yang keliru yang dilakukan oleh Penyidik Polri terhadap kasus M. Nurdin Khalid
dimana Pengadilan menolak Berkas Perkara karena menganggap Pejabat yang menyidik tidak
berwenang.
Dalam melangkah pada tugas dan fungsinya sebagai penyidik termasuk penyidik kepabeanan
dan cukai harusnya berpola pikir bahwa apa yang akan dikerjakan atau yang telah dikerjakan
sudah dapat menggambarkan terpenuhinya peristiwa pidana dengan terang dan jelas disertai alat
bukti yang cukup sehingga dapat dengan mudah dilakukan penuntutan karena alat bukti yang
cukup tersebut telah bersesuaian dan berfokus dan mengarah pada peristiwa pidana yang dapat
dibuktikan benar dan telah terjadi. Hal ini berarti bahwa apa yang dilakukan penyidik dalam
mengngungkap suatu peristiwa pidana dan terangnya sebuah perkara dilakukan dengan
mengumpulkan serangkaian alat bukti sebagaimana di kehendaki pasal 183 dan 184 KUHAP.
Berkas perkara atau yang lazim dikenal sebagai hasil penyidikan, dapat dilimpahkan ke
pengadilan, apabila telah memenuhi kelengkapan formil dan materiil dari suatu berkas perkara
atau hasil penyidikan. Perlu juga disampaikan disini bahwa selain kelengkapan formil dan
materiil tersebut terdapat ketentuan yang diatur pada pasal 76 ayat 1 KUHP, bahwa suatu
perbuatan tidak dapat di tuntut dua kali (nebis in idem) dan pasal 78 ayat 1 KUHP karena telah
dipenuhinya masa kadaluwarsa, atau pasal 83 KUHP jika tersangka atau terdakwa telah
meninggal dunia.
Patut juga di perhatikan adanya ketentuan yang diatur pada 56 jo pasal 114 KUHAP bahwa
tersangka mempunyai hak untuk didampingi penasehat hukum dan bahkan pasal 116 KUHAP
tersangka memiliki hak untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya. Selain itu
disebutkan pula pada pasal 117 KUHAP bahwa keterangan tersangka dan atau saksi diberikan
tanpa adanya paksaan dari siapapun dan dalam bentuk apapun, disamping pasal-pasal yang lain
terkait dengan penyidikan misalnya: syarat sahnya suatu penggeledahan (pasal 33 ayat 3,4,5
KUHAP). syarat sahnya suatu penyitaan sebagaimana diatur pada pasal 45 KuHAP, syarat
sahnya suatu penerimaan surat sebagaimana diatur pada pasal 47 KUHAP dan pasal 48 KUHAP
syarat sahnya suatu pembukaan dan pemeriksaan surat, disamping juga syarat sahnya suatu
sumpah atau janji pasal 113 KUHAP, disamping juga yang tidak kalah penting yaitu pemenuhan
ketentuan pasal 113 KIHAP tentang syarat sahnya suatu permintaan keterangan di tempat
kediaman tersangka atau saksi.
Penyidikan dianggap telah selesai umumnya di pahami dari hitungan waktu 14 hari penuintut
umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau dapat juga sebelum waktu di maksud berakhir
telah ada pemberitahuan tentang hal tersebut kepada penyidik. Penuntut Umum yang telah
menerima hasil penyidikan dalam rentang waktu 7 hari dan dalam waktu 7 hari beikutnya
menyatakan kurang lengkap, penuntut umum berkewajiban segera mengemnbalikan berkas
perkara kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi penyidik. Selanjutnya penyidik
berkewajiban melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang telah di berikan dan
segera mengembalikan berkas perkara yang telah dilengkapi kepada penuntut umum dalam
waktu 14 hari.
Patut mendapat perhatian bahwa sanksi pidana yang diatur di dalam Undang-Undang RI No. 10
tahun 1995 yang telah diperbarui dan ditambah dengan UU No. 17 tahun 2006 tentang
Kepabeanan dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 yang telah dirubah dengan Undang-
Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang cukai telah mengatur khusus delik Kepabeanan dan Cukai
yang dijabarkan dalam pasal-pasal Undang-undang tersebut, dengan demikian selaras dengan
surat Jaksa Agung tersebut diatas yang menyebutkan bahwa kepada para Kajari agar
memperhatikan secara cermat materi pokok perkara Tindak Pidana Ekonomi untuk tidak di
Yonctokan atau dihubung-hubungkan dengan pasal 480 atau pasal-pasal lain.[44]
Sistem peradilan tindak pidana kepabeanan dan cukai didalam pelaksanaannya, tidak tertutup
kemungkinan terjadi persidangan in absentia atau persidangan tanpa kehadiran terdakwa.
Persidangan ini sebenarnya mengacu pada prinsip bahwa Pengadilan tidak boleh menolak
menyidangkan suatu perkara. Hal ini diperkuat dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
BAB VII
Pada tanggal 17 April 2002 telah diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang melalui Lembaran Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang
dimaksud dengan pencucian uang, hanya dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai pencucian uang (money
laundering). Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 2
Undang-Undang ini yakni harta kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) atau lebih atau nilai setara yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari
kejahatan korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan
imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita, dan anak; perdagangan
senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan, yang dilakukan baik di
wilayah RI atau di luar wilayah RI dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut
hukum Indonesia. Berbeda dengan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, perubahan UU ini yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU
No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi tentang
pencucian uang mendefinisikan pencucian uang sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar
negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamar
asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal 1 angka
1).
Pelaku, dalam UU No. 15 Tahun 2002 maupun perubahannya dalam UU No. 25 Tahun 2003,
digunakan kata “setiap orang”, dimana dalam Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa Setiap orang
adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam Pasal
1 angka 3 yang menyatakan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Istilah
transaksi jarang atau hampir tidak dikenal dalam sisi hukum pidana tetapi lebih banyak dikenal
pada sisi hukum perdata, sehingga undang-undang tindak pidana pencucian uang mempunyai ciri
kekhususan yaitu di dalam isinya mempunyai unsur-unsur yang mengandung sisi hukum pidana
maupun perdata. UU No. 25 Tahun 2003 mendefinisikan Transaksi adalah seluruh kegiatan yang
menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua
pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan. Transaksi keuangan yang menjadi unsur pencucian
uang adalah transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan secara
tunai yang belum dilaporkan dan mendapat persetujuan dari Kepala PPATK. Definisi Transaksi
Keuangan Mencurigakan adalah (Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003):
transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari
pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau
transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan
yang diduga berasal dari hasil tindak pidana, dan
definisi Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No.
25 Tahun 2003 adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan
uang tunai atau instrument pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan.
Merupakan hasil tindak pidana
Penyebutan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya
perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2003,
dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan
pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak
pidana dinyatakan pada Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003 yang telah mengubah UU No. 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dalam pembuktian nantinya hasil tindakan
pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar harta
kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan ada atau terjadi
tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut, pembuktian disini bukan untuk
membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan
harta kekayaan.
Apabila digambarkan maka unsur-unsur pokok pencucian uang adalah sebagai berikut :
Pelaku
Perbuatan Melawan Hukum (hasil tindak pidan) Transaksi Keuangan menjadi LEGAL
BAB VIII
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 (2) merumuskan,
bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun,
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Jadi anak
dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam
perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam
perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, si anak dianggap sudah dewasa;
walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.[48]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1948 L.N.R.I. Tahun 1951 Nomor 12
tentang Undang-Undang Kerja memberikan pengertian: “Anak adalah orang laki-laki atau
perempuan yang berumur 14 tahun kebawah” (Pasal 1 ayat (1)). Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 L.N.R.I. Tahun 1979 Nomor 12 tentang Kesejahteraan
Anak memberikan pengertian: “Anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan
belum pernah kawin.
Anak menurut KUHP. Pasal 45 KUHP, mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila belum
bermur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana
hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya; walinya
atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Atau memerintahkannya supaya
diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman. Ketentuan pasal 45, 46
dan 47 KUHP ini sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 1997.
KUHP mengatur umur anak sebagai korban pidana adalah belum genap berumur 15 (lima belas)
tahun sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294, 295, 297 dan lain-
lainnya. Pasal-pasal itu tidak mengkualifikasinya sebagai tindak pidana, apabila dilakukan
dengan/terhadap orang dewasa, akan tetapi sebaliknya menjadi tindak pidana karena dilakukan
dengan/terhadap anak yang belum berusia 15 (lima belas) tahun.[49]
Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
Pemantau dan pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan
hukum;
Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Gosita[54] menulis bahwa, “korban kejahatan adalah mereka yang menderita fisik, mental, sosial
sebagai akibat tindakan jahat mereka yang mau memenuhi kepentingan diri sendiri atau pihak
yang menderita.
Selanjutnya Sahetapy[55] menulis bahwa, korban kejahatan dalam arti luas, bukan hanya korban
dalam pengertian hukum pidana dan kriminologi, melainkan juga meliputi korban dalam
pengertian hukum perdata, hukum administrasi, hukum lingkungan, dan korban dalam bidang
politik, sosial dan ekonomi. Atas dasar itulah maka ruang lingkup viktimologi tidak terbatas pada
ruang lingkup hukum pidana, melainkan menyangkut setiap bidang hukum dan seluruh aspek
yang bertalian dengan kehidupan manusia.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam hakim memutus perkara pidana anak sebagai korban dan
juga sebagai pelaku tindak pidana, hendaknya mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain
aspek mental, aspek kejiwaan, masa depan dan kesejahteraan anak. Hal ini jauh lebih penting
dari penjatuhan pidana secara fisik mengingat kondisi yang ada dalam diri anak. Penerapan
tindakan sesuai bagi mereka karena ini lebih menekankan pada pelayanan substansi, pembinaan
mental, fisik dan pendidikan anak.[56]
Made Sadhi Astuti[57] sependapat dengan Sahetapy bahwa, masalah korban dalam arti luas
adalah menyangkut setiap bidang hukum dan semua aspek yang bertalian dengan kehidupan
manusia, namun pengertian korban kejahatan diperluas dalam hubungannya dengan kajian anak
yang melakukan kenakalan atau tindak pidana sebagai korban. Artinya, anak yang melakukan
kenakalan atau tindak pidana sesungguhnya ia merupakan korban, antara lain: korban lingkungan
keluarga, lingkungan masyarakat, dan korban modernisasi.
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dilakukan melalui[58]:
Dari uraian diatas terlihat bahwa juvenile delinquency itu tidak dapat dijatuhi pidana. Kemudian
ada dua hal yang sifatnya menentukan yang perlu diperhatikan oleh hakim, yaitu:
Pada waktu anak melakukan tindak pidana, anak haruslah telah mencapai umur diatas 12 sampai
18 tahun.
Pada saat jaksa melakukan penuntutan terhadap anak, anak harus masih belum dewasa (belum
mencapai usia 18 tahun) atau belum kawin.
Pemeriksaan Pendahuluan
Jika anak yang melanggar hukum ditangkap polisi, maka sementara itu perlakuan khusus
terhadapnya dilaksanakan, yakni:
BAB IX
PENUTUP
Kesimpulan
Tindak pidana khusus yang meliputi Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Narkotika dan
Psikotropika, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Perpajakan, Tindak Pidana Kepabeanan
dan Cukai, Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering), dan Tindak Pidana Anak
merupakan tindak pidana yang memiliki penyimpangan dari hukum pidana umum baik
penyimpangan terhadap aturan hukum pidana formil maupun hukum pidana materiil.
Saran
Berbagai jenis tindak pidana khusus tersebut memerlukan upaya penegakan hukum (law
enforcement) oleh aparat penegak hukum dan masyarakat melalui tindakan preventif dan
tindakan represif.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Indriyanto Seno, Korupsi dan Penegaka Hukum, Cetakan Pertama, Diadit Media, Jakarta,
2009.
Anwar, Yesmil, Saat Menuai Kejahatan; Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi, Hukum,
dan HAM, Refika Aditama, Bandung, 2009.
D., Soedjono, Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, Karya Nusantara, Bandung, 1976.
Dellyana, Shanty, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Cetakan I, Liberty, Yogyakarta, 1988.
Eliyanti Putri, Miranti,Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen Pabean dan Penerapan Sanksi Pidana
(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali), Skripsi Pada Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2009.
Gunadi, Bunga Rampai Pemeriksaan, Penyidikan & Penagihan Pajak, MUC Publishing, Jakarta,
2004
Makarao, Moh. Taufik, Tindak Pidana Narkotika, Galia Indonesia, Jakarta, 2003.
Prinst, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Cetakan II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Sadhi Astuti, Made, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, Cetakan I, IKIP
Malang, Malang, 1997.
Shadily, Hassan. dkk., Ensiklopedi Indonesia 4, Edisi Khusus, Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta,
tt.
Sutedjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Cetakan Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2006,
Zamrony, dkk., Buku Panduan Kuliah Kerja Nyata Pemberdayaan Hukum Masayarakat
Pengguna Pengadilan, Cetakan II, Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi, Fakultas Hukum,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2009.
Internet
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Drt. No. 5 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.
[1] Yang dimaksud UU Pidana adalah UU yang memuat atau mengatur perumusan tindak
pidana, dan berlakunya ketentuan hukum pidana. Khusus untuk hukum tindak pidana khusus
diharuskan adanya indikator penyimpangan terhadap hukum pidana materiil dan juga formil.
[2] Ketentuan dalam UU No. 31/1999 jo. UU No. 30/2002 Komisis Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dapat melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, dapat
mengambil alih perkara tindak pidana korupsi baik pada tingkat penyidikan dan atau penuntutan
(Ps. 8 UU No. 30/2002).
[3] Menurut Hukum Pidana (KUHAP) penyidik adalah POLRI, dan PPNS.
[4] Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Erlangga, Jakarta, 1983, hlm. 25-42
[5] Lihat UU Drt. No 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi, dan UU No. 15 Prp. Tahun 1962.
[6] Tertulis sub 1e harus dibaca sub ke-1, demikian juga sub 2e dibaca sub ke-2e, dst. Tindak
pidana yang terdapat dalam Pasal 1 sub 1e sudah beberapa kali diubah dan ditambah. Perubahan
terakhir setelah Stb. No. 240 tahun 1882 Rechtenordonantie dicabut oleh UU No. 10 Tahun 1995
dan UU No. 11 Tahun 1995. Rechtenordonantie ini mengatur ketentuan tentang bea masuk dan
keluar sehingga disebut dengan UU Bea. Bacalah secara teliti ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e,
dan sub 3e. Lalu cari tindak pidana apakah itu yang telah dicabut dan apa peraturan perundang-
undangannya.
[7] Kata pengusut adalah istilah yang dikenal dalam HIR yang artinya sama dengan penyidik
dalam KUHAP.
[9] Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 2
[10] Negara RI merdeka baru sepuluh tahun, Rakyat Indonesia belum banyak yang dapat sekolah
pada jenjang lebih tinggi. Pertama kali ada pendidikan untuk Hakim dan Jaksa pada sekolah
Hakim dan Jaksa (SHD) stelah tahun 60-an.
[12] Soedjono D., Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, Karya Nusantara, Bandung,
1976, hlm. 14.
[13] Moh. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Galia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 41
[16] Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, 1999, Strategi Pemberantasan Korupsi
Nasional – Edisi Maret 1999, BPKP, 1996, hlm. 267
[18] Zamrony, dkk., Buku Panduan Kuliah Kerja Nyata Pemberdayaan Hukum Masayarakat
Pengguna Pengadilan, Cetakan II, Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi, Fakultas Hukum,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2009, hlm. 5-7
[19] Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hlm 155
[20] Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,
hlm. 11
[21] Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegaka Hukum, Cetakan Pertama, Diadit Media,
Jakarta, 2009, hlm. 287-289.
[25] Gunadi, Bunga Rampai Pemeriksaan, Penyidikan & Penagihan Pajak, MUC Publishing,
Jakarta, 2004, hlm. 85-86
[26] Ibid,. hlm. 41-42
[42] Miranti Eliyanti Putri, Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen Pabean dan Penerapan Sanksi
Pidana (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali), Skripsi Pada Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2009, hlm. 5
[45] Ibid.
[46] Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan; Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi,
Hukum, dan HAM, Refika Aditama, Bandung, 2009.
[48] Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Cetakan II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hlm. 2.
[49] Ibid.,.hlm. 4
[50] Teer Haar, dalam Made Sadhi Astuti, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak
Pidana, Cetakan I, IKIP Malang, Malang, 1997, hlm. 6-9
[59] Wagiati Sutedjo, Hukum Pidana Anak, Cetakan Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2006,
hlm. 30-33
[60] Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Cetakan I, Liberty, Yogyakarta, 1988,
hlm. 71-72
Iklan
Bagikan ini:
Twitter
Facebook
Google
Sukai ini:
Suka Memuat...
11 respons untuk ‘HUKUM PIDANA KHUSUS’
Koko Alravi berkata:
9 Desember 2015 pukul 12:38 am
Numpang tanya bu. Apa saja kekhsusan hukum tindak pidana khusus. Apakah undang-undang
narkotika, juga hukum pidana khusus atau hukum tindak pidana khusus.
SukaSuka
Balas
Sulis Setyowati, S.H., LL.M berkata:
26 September 2016 pukul 10:46 am
hukum pidana khusus juga disebut hukum tindak pidana khusus.
SukaSuka
Balas
Hamzah Hatrik berkata:
12 Februari 2017 pukul 10:25 pm
coba baca nomenklatur UU Narkotika dan bandingkanlah dengan UU Tipikor, Pencucian Uang,
Perdagangan Orang, dan Teroris.
SukaSuka
Sulis Setyowati, S.H., LL.M berkata:
13 Februari 2017 pukul 11:27 am
Jadi hukuman pidana penjara untuk Terpidana Korporasi tidak efektif, sebab subyek hukum
artifisial khususnya pemegang saham yang tidak ikut melakukan kesalahan, seharusnya tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana; dan yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana
adalah direksi.
SukaSuka
SukaSuka
Ardiansyah berkata:
14 Desember 2015 pukul 8:16 pm
Suka dengan ibu dosen yang satu ini, semangatnya dalam mengajar luar biasa. Baru kemarin di
info mengenai website Ibu dosen untuk mata kuliah Delik-Delik Khusus Di Luar KUHP, dan
langsung buka buat cari tau materi apa saja yang perlu di pelajari.
Jadi bisa lebih memudahkan mahasiswa dalam belajar, karena materi dan bahan sudah di bahas
di sini. Semoga semangatnya bisa mengalir ke semua anak-anak Indonesia.
SukaSuka
Balas
Sulis Setyowati, S.H., LL.M berkata:
26 September 2016 pukul 10:47 am
ok
SukaSuka
Balas
anton k berkata:
17 April 2016 pukul 9:55 pm
TERIMAKSIH ATAS ARTIKELNYA SEMOGA ILMU YANG ANDA BAGIKAN
BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA
SukaSuka
Balas
Sulis Setyowati, S.H., LL.M berkata:
5 Oktober 2016 pukul 2:57 pm
0k
SukaSuka
Balas
dayat berkata:
24 September 2016 pukul 8:20 am
bermanfaat izin copy
SukaSuka
Balas
Sulis Setyowati, S.H., LL.M berkata:
26 September 2016 pukul 10:45 am
ok
SukaSuka
Balas
Tinggalkan Balasan
Ketikkan komentar di sini...
Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:
Gravatar
Surel (wajib) (Alamat takkan pernah dipublikasikan)
Nama (wajib)
Situs Web
Logo WordPress.com
You are commenting using your WordPress.com account. ( Logout / Ubah )
Foto Google+
You are commenting using your Google+ account. ( Logout / Ubah )
Gambar Twitter
You are commenting using your Twitter account. ( Logout / Ubah )
Foto Facebook
You are commenting using your Facebook account. ( Logout / Ubah )
Batal
Connecting to %s
Visitors
348.042 Visitors
Dino opo iki?
Februari 2019
S S R K J S M
« Okt
1 2 3
4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17
18 19 20 21 22 23 24
25 26 27 28
Iklan
Blog di WordPress.com.
Privasi & Cookie: Situs ini menggunakan cookie. Dengan melanjutkan menggunakan situs web
ini, Anda setuju dengan penggunaan mereka.
Untuk mengetahui lebih lanjut, termasuk cara mengontrol cookie, lihat di sini: Kebijakan Cookie
%d blogger menyukai ini: