Anda di halaman 1dari 13

PERTEMUAN KE: 3

NORMA HUKUM 2

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Adapun tujuan pembeajaran yang akan dicapai, mahasiswa mampu:

 Memahami dan menjelaskan mengenai ragam norma hukum.


 Memahami dan menjelaskan norma hukum dalam peraturan
perundang-undangan
B. URAIAN MATERI

Pertemuan ke 3 ini merupakan kelanjutan dari uraian materi pada


pertemuan ke 2. Pada pertemuan ke 3 ini kita akan berbicara mengenai
ragam norma hukum dan norma hukum dalam peraturan perundang-
undangan.

1. Ragam Norma Hukum

Maria Farida Indrati Soeprapto (2007: 26-35) mengemukakan, ada beberapa


kategori norma hukum, dengan melihat pada berbagai bentuk dan sifatnya:

a. Didasarkan pada pihak-pihak yang dituju oleh ketentuan-ketentuannya,


norma hukum bisa dibedakan dalam 2 (dua) macam, yaitu:
1) Norma Hukum Umum adalah suatu norma hukum yang ketentuan-
ketentuannya ditujukan pada banyak orang atau beberapa orang yang
tidak tertentu. Misalnya: Setiap warganegara yang telah berusia 17 (tujuh
belas) tahun harus …
2) Norma Hukum Individual adalah suatu norma hukum yang ketentuan-
ketentuannya (hanya) ditujukan pada seseorang atau beberapa orang yang
tertentu. Misalnya: Ahmad Muhammad, Nomor Induk Pegawai
12345678 dapat …
b. Didasarkan pada hal atau perilaku yang ditentukan oleh ketentuan-
ketentuannya, norma hukum bisa dibedakan dalam 2 (dua) macam, yaitu:
1) Norma Hukum Abstrak adalah suatu norma hukum yang ketentuan-
ketentuannya mengenai perilaku yang tidak tertentu. Misalnya: …harus
memiliki Surat Izin Mengemudi.
2) Norma Hukum Konkret adalah suatu norma hukum yang ketentuan-
ketentuannya (hanya) mengenai perilaku yang tertentu (kasuistik).
Misalnya: Ahmad Muhammad, Nomor Induk Pegawai 12345678 dapat
menghadiri Pelatihan CompTIA SECURITY+ pada tanggal 20 April s.d.
12 Mei 2015 di Universitas Indonesia.

c. Didasarkan pada masa laku ketentuan-ketentuannya, norma hukum bisa


dibedakan dalam 2 (dua) macam, yaitu:

1) Norma Hukum Terus-menerus (dauerhaftig) adalah suatu noma hukum


yang ketentuan-ketentuannya terus berlaku walaupun seseorang atau
beberapa orang telah memenuhinya. Norma hukum ini, misalnya yang
mengharuskan memiliki SIM, terus berlaku walaupun telah ada pihak-
pihak yang memenuhi kewajiban itu.
2) Norma Hukum Sekali Selesai (einmahlig) adalah suatu norma hukum
yang keberlakuannya selesai setelah ketentuan-ketentuannya dipenuhi
oleh pihak-pihak yang dituju. Keberlakuan norma hukum ini, misalnya
hak yang terkait dengan izin untuk mengikuti suatu seminar, selesai
setelah diikutinya kegiatan tersebut oleh pihak yang dituju.

Sifat Norma Hukum

Agar menjadi norma yang utuh, suatu norma hukum terbangun dari gabungan
ragam-ragam norma hukum. Didasarkan pada pola gabungan ragam-
ragamnya, norma hukum bisa dibedakan dalam 3 (tiga) sifat, yaitu:

 Norma hukum yang bersifat pengaturan;


 Norma hukum yang bersifat penetapan;
 Norma hukum yang bersifat berentang-umum.
1) Norma Hukum yang Bersifat Pengaturan

Norma hukum yang terbangun dari gabungan ragam norma yang umum,
abstrak, dan terus-menerus, yaitu: ditujukan pada banyak orang atau beberapa
orang yang tidak tertentu; mengenai perilaku yang tidak tertentu; terus
berlaku walaupun seseorang atau beberapa orang telah memenuhinya.
Misalnya: Setiap Orang warganegara yang telah berusia 17 (tujuh belas)
tahun harus memiliki Kartu Tanda Penduduk.

2) Norma Hukum Yang Bersifat Penetapan

Norma hukum yang terbangun dari gabungan ragam norma yang individual,
konkret, dan sekali-selesai, yaitu: ditujukan pada seseorang atau beberapa
orang yang tertentu; mengenai suatu perilaku tertentu (kasuistik); selesai
berlakuan setelah ketentuan-ketentuannya dipenuhi oleh pihak-pihak yang
dituju. Misalnya: Ahmad Muhammad, Nomor Induk Pegawai 12345678
dapat menghadiri Pelatihan CompTIA SECURITY+ pada tanggal 20 April
s.d. 12 Mei 2015 di Universitas Indonesia.

3) Norma Hukum yang Bersifat Berentang Umum

Norma hukum yang terbangun dari gabungan ragam norma selain kedua pola
gabungan tersebut sebelumnya. Di samping norma hukum yang bersifat
mengatur (regeling), yaitu yang umum-abstrak dan berlaku terus-menerus dan
norma hukum yang bersifat menetapkan (beschikking), yaitu yang individual-
konkret dan berlaku sekali selesai, masih terdapat dua jenis komposisi, yaitu
norma hukum yang umum- konkret dan individual- abstrak yang berada di
antara kedua norma tersebut, yang merupakan keputusan-keputusan yang
berentang umum lainnya (besluiten van algemene strekking).

Penamaan besluiten van algemene strekking mengandung pengertian yang


lebih luas dari pengetian peraturan perundang-undangan (algemeen
verbindende voorchriften). Selain peraturan perundang-undangan, besluiten
van algemene strekking mencakup juga keputusan-keputusan yang bukan
peraturan perundang-undangan (algemeen verbindende voorchriften) karena
tidak mengikat secara umum dan bukan penetapan (beschikking) karena
akibat-akibatnya tidak bersifat konkret-individual tetapi umum. Jadi,
keputusan-keputusan yang berentang umum lainnya (besluiten van algemene
strekking) adalah keputusan yang bukan peraturan perundang-undangan dan
juga bukan ketetapan tetapi mempunyai akibat yang bersifat secara umum.

Misalnya: keputusan pengesahan, penundaan, atau pembatalan suatu Perda.

d. Didasarkan pada wujud norma-nya, terdapat 2 (dua) macam norma


hukum, yaitu:

1) Norma Hukum Tunggal adalah suatu norma hukum yang berdiri sendiri
dan tidak diikuti oleh norma hukum lainnya. Isinya hanya “suruhan”
tentang bagaimana kita harus bertingkah laku

Contoh perumusan norma hukum tunggal:

 Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa


lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa
jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7
UUDNRI Tahun 1945).
 Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 14 ayat (2)
UUDNRI tahun 1945).
2) Norma Hukum Berpasangan adalah suatu norma hukum yang terdiri atas
dua norma hukum, yaitu norma primer dan sekunder
 Norma Hukum Primer adalah norma hukum yang berisi
aturan/patokan bagaimana cara kita harus berperilaku dalam
masyarakat. Norma hukum primer ini juga merupakan das Sollen
(hendaknya)

Norma Primer, yaitu norma yang berisi perintah berperilaku kepada


pihak yang dituju.

Contoh :

Hendaknya engkau tidak mencuri.

Hendaknya engkau tidak menghilangkan nyawa orang lain.

 Norma Hukum Sekunder adalah norma hukum yang berisi tata cara
penanggulangan apabila norma hukum primer tidak dipenuhi.
Contoh : “……, apabila engkau mencuri engkau dihukum 3 (tiga) bulan”

Norma hukum sekunder ini memberikan pedoman bagi penegak hukum untuk
bertindak apabila suatu norma hukum primer itu tidak dipatuhi dan
mengandung sanksi bagi seseorang yang tidak memenuhi suatu ketentuan
dalam norma hukum primer.

Norma hukum sekunder ini juga merupakan das Sollen

a. Cara Perumusan Norma Hukum Primer dan Norma Hukum Sekunder:

Di dalam suatu peraturan perundang-undangan, ada 2 (dua) cara perumusan


norma hukum primer dan norma hukum sekunder, yaitu:

1) Perumusan norma hukum primer dan norma hukum sekunder yang


berhimpitan

Contoh:

 Setiap orang yang mencuri dipidana.


 Setiap orang yang menghilangkan nyawa orang lain dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima) belas tahun.

Perumusan norma-norma yang demikian itu dapat diuraian menjadi


norma hukum primer dan norma hukum sekunder sebagai berikut:

 Setiap orang yang mencuri dipidana


- Norma hukum primernya adalah: “Hendaknya seseorang
tidak mencuri.”
- Norma hukum sekundernya adalah: “Hendaknya seseorang
yang mencuri dipidana.”
 Setiap orang yang menghilangkan nyawa orang lain dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
- Norma hukum primernya adalah: “Hendaknya seseorang
tidak menghilangkan nyawa orang lain”.
- Norma hukum sekundernya adalah: “Hendaknya seseorang
yang menghilangkan nyawa orang lain dpidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.”

2) Perumusan norma hukum primer dan norma hukum sekunder saling


berjauhan.

Contoh:

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang


merumuskan norma hukum primernya dalam Pasal 8 dan norma
hukum sekundernya dalam Pasal 119 ayat (1), yang berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 8 ayat (1): Setiap orang yang masuk atau ke luar Wilayah
Indonesia wajib memiliki Dokumen Perjalanan yang
sah dan masih berlaku.

Pasal 8 ayat (2) ; Setiap Orang Asing yang masuk Wilayah Indonesia
wajib memiliki Visa yang sah dan masih berlaku,
kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang
ini dan perjanjian internasional.

Pasal 119 ayat (2): Setiap Orang Asing yang masuk dan/atau berada di
Wilayah Indonesia yang tidak memiliki Dokumen
Perjalanan dan Visa yang sah dan masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).

Dalam kenyataaannya, tidak semua norma hukum primer selalu diikuti


dengan norma hukum sekunder. Pada peraturan perundang-undangan di
bidang hukum tata negara dan hukum administrasi negara biasanya norma
hukum itu dirumuskan dalam norma tunggal saja.
Contoh:

 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman
 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana dan hukum perdata


kebanyakan dirumuskan dalam norma hukum primer yang diikuti dengan
norma hukum sekunder.

2. Norma Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan

Menurut D.W.P. Ruiter (Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007: 35-36), dalam
kepustakaan di Eropa Kontinental, peraturan perundang-undangan (wet in
materiele zin) terdiri atas 3 (tiga) unsur, yaitu:

1) norma hukum (rechtsnorm);


2) berlaku ke luar (naar buiten werken); dan
3) bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruimne zin).

Ketiga unsur peraturan perundang-undangan tersebut dapat diuraikan lebih


lanjut sebagai berikut:

1) Norma hukum

Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa:

a) perintah (gebod);
b) larangan (verbod);
c) pengizinan (toestemming);
d) pembebasan (vrijstelling).

2) Norma berlaku ke luar (naar buiten werken)

Norma hukum perundang-undangan ditujukan kepada masyarakat, baik


dalam hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang
lainnya (sebagai individu maupun sebagai kelompok) ataupun dalam
hubungannya dengan negara (pemerintah).

3) Norma bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruimne zin)

Norma juga dibedakan antara norma yang umum (algemeen) dan norma
yang individual (individueel), serta antara norma yang abstrak (abstract)
dan norma yang konkret (concreet).

Pembedaan antara umum-individual didasarkan pada mereka yang


terkena aturan norma tersebut. Jika ditujukan kepada orang atau
sekelompok orang tertentu, tergolong norma individual, dan jika
ditujukan kepada orang atau sekelompok orang yang tidak tertentu,
tergolong norma umum.

Pembedaan antara abstrak-konkret didasarkan pada hal yang diatur


dalam norma tersebut. Jika yang diaturnya adalah peristiwa-peristiwa
tidak tertentu, tergolong norma abstrak. Sebaliknya, jika yang diaturnya
peristiwa-peristiwa tertentu termasuk norma konkret. Peraturan
perundang-undangan sebaiknya mengandung norma hukum yang
umum-abstrak atau sekurang-kurangnya yang umum-konkret.

Berdasarkan ketiga unsur tersebut, terdapat kombinasi norma yang umum-


abstrak, umum-konkret, individual abstrak, dan individual konkret. Dalam hal
ini Ruiter (Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007:36-37) merumuskannya
sebagai berikut:

a. Umum-abstrak : Apabila matahari terbenam, para pengemudi harus


menyalakan lampu kendaraannya.
b. Umum-konkret : Apabila matahari terbenam pada tanggal 1 Januari
2007, para pengemudi harus menyalakan lampu kendaraannya.
c. Individual-abstrak : Apabila matahari terbenam, pengemudi A harus
menyalakan lampu kendaraanya.
d. Individual-konkret : Apabila matahari terbenam pada tanggal 1 Januari
2007, pengemudi A harus menyalakan lampu kedaraannya.
Menurut Ruiter (Maria Farida Indrati Indrati Soeprapto, 2007:37), suatu
norma, termasuk norma hukum, mengandung unsur-unsur:

a. cara keharusan berperilaku (modus van behoren) yang disebut sebagai


operator norma;
b. seseorang atau sekelompok orang adresat (normadressaat) yang disebut
sebagai subjek norma;
c. perilaku yang dirumuskan (normgedrag) yang disebut sebagai objek
norma; dan
d. syarat-syaratnya (normcondities) sebagai kondisi norma.

Contoh:

Setiap orang wajib membayar pajak pada akhir tahun

Setiap orang = subjek norma;

Wajib = operator norma;

membayar pajak = objek norma; dan

pada akhir tahun = kondisi norma.

3. Hubungan antara Norma Hukum Primer dan Sekunder (Maria Farida


Indrati Soeprapto, 2007: 37-39)

Suatu peristiwa pidana yang terjadi karena ketidakpatuhan atas norma primer
tidak serta-merta mengakibatkan setiap orang yang didakwa melakukan hal
tersebut dikenai hukuman, atau dikenai hukuman yang sama.

Penerapan norma sekunder akibat dakwaan ketidakpatuhan atas suatu norma


primer bukan didasarkan oleh hubungan sebab-akibat melainkan oleh
penilaian atas tanggungjawab dari perbuatan (zurechnung) orang yang
didakwa melanggar norma primer tersebut.

Norma sekunder yang diterapkan oleh majelis hakim kepada seseorang yang
tidak mematuhi norma primer dinilai berdasarkan tanggungjawab orang yang
bersangkutan atas perilaku ketidak-patuhannya kepada norma tersebut.
Bila kita melihat norma hukum primer dan norma sekunder, disebut apakah
hubungan antara keduanya?

Contoh : Hendaknya engkau tidak membunuh, apabila engkau


membunuh dihukum 15 tahun.

Apakah hubungan di atas adalah kasualitet (sebab akibat) ?

“Kasualitet adalah perbuatan tertentu selalu akan mengakibatkan kondisi atau


keadaan tertentu”.

Kasualitet dikenal dalam ilmu alam.

Contoh: air akan membeku pada 0 derajat, air mendidih pada 100
derajat di mana kondisi atau keadaan tertentu akan menimbulkan
gejala/akibat yang tertentu pula. Dari contoh norma hukum primer
dan sekunder, akibat yang ditimbulkan karena tidak terpenuhinya
norma hukum primer tidak selalu mengakibatkan
dipidana/dihukum dengan hukuman yang sama

Jadi, hubungan antar norma hukum primer dan sekunder adalah Zurechnung
atau pertanggung jawaban, karena seseorang yang melakukan suatu perbuatan
yang dikenankan pidana hanya dapat dijatuhi sanksi pidana sebatas apa yang
dapat dipertanggung jawabkan terhadap perbuatan tersebut.

4. Daya Laku dan Daya Guna

Suatu norma berlaku karena ia mempunyai “daya laku” (validitas) atau


karena ia mempunyai keabsahan (validity/geltung). Daya laku (validity) ada
apabila norma dibentuk oleh norma yang lebih tinggi atau oleh lembaga
yang berwenang membentuknya (Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007: 39),
misalnya, suatu Undang-Undang adalah sah apabila dibentuk oleh DPR
dengan persetujuan bersama Presiden dan berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan
Pasal 20 UUDNRI Tahun 1945; suatu Peraturan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang adalah sah apabila dibentuk oleh Presiden dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa dan Pasal 22 ayat (1) UUDNRI
Tahun1945.
Lebih lanjut, Maria Farida Indrati Soeprapto (2007: 29) mengemukakan,
dalam pelaksanaannya, berlakunya suatu norma karena adanya daya laku
(validity), dihadapkan pula pada daya guna (efficacy) dari norma tersebut.
Dalam hal ini dapat dilihat apakah norma itu diataati atau tidak. Selain itu,
dapat pula terjadi suatu ketentuan dalam sebuah peraturan perundang-
undangan tidak berdaya guna lagi walaupun peraturan tersebut masih
berdaya laku (karena belum dicabut). Hal ii dapat terjadi apabila suatu
peraturan perundang-undangan merumuskan ketentuan yang bertujuan untuk
menggantikan rumusan dalam peraturan perundang-undangan yang lain,
tetapi tidak dengan melakukan pencabutan terhadap ketentuan yang diubah
tersebut.

Contoh: keberadaan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum


dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dengan berlakunya Undamg-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, maka Tap MPR No. III/MPR/2000 tersebut tidak mempunyai
“daya guna lagi, walaupun Tap MPR tersebut belum dicabut. Suatu norma itu
mungkin berlaku dan absah karena dibentuk oleh lembaga yang berwenang
dan berdasarkan norma yang lebih tinggi, tetapi walaupun demikian mungkin
norma itu tidak berdaya guna atau tidak bekerja efektf.”

A. LATIHAN SOAL/TUGAS
1. Apakah yang dimaksud dengan norma hukum abstrak dan norma
hukum konkret? Mengapa ada perbedaan tersebut!
2. Apakah perbedaan antara peraturan dan keputusan? Berikan
masing-masing contohnya!
3. Jelaskan bagaimanakah hubungan antara norma hukum sekunder
dan norma hukum primer!
4. Sebutkan dan jelaskan unsur-unsur yang terkandung dalam
peraturan perundang-undangan!
B. DAFTAR PUSTAKA

Buku
Asshiddiqie, Jimly. 2010. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Rajawali
Pers.

Huda, Ni’matul & R. Nazriyah. 2011.Teori & Pengujian Peraturan


Perundang-undangan. Bandung: Nusa Media.

Indrati, Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-undangan I (Jenis, Fungsi,


dan Materi Muatan). Yogyakarta: Kanasius.

Latif, Abdul. 2005. Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel)


pada Pemerintahan Daerah. Yogyakarta: UII Press.

Mertokusumo, Sudikno. 2004. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar.


Yigyakarta: Liberty.

Purbacaraka, Purnadi & Soerjono Soekanto. 1993. Perihal Kaedah


Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Ranggawidjaja, Rosjidi. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan


Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor


III/MPR-RI/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-


Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai