Wayan P. Windia Guru Besar Hukum Adat Bali Fakultas Hukum Universitas Udayana
Materi Ceramah untuk Anggota IWAPI Kab. Tabanan,
Serangkaian dengan Perayaan Hari Kartini, 21 April 2016, Dilaksanakan oleh IWAPI Kab. Tabanan, Tanggal 23 April 2016, Bertempat di Ruang Pertemuan Rumah Makan Dewi Sri, Kediri, Tabanan • Perempuan Bali: - Beban ganda (DOMESTIK + PUBLIK) dan TERPINGGIRKAN. - Perempuan Bali-Hindu tidak berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris (orang tua, suami, dan anaknya).
• Perempuan terpinggirkan juga terjadi di BELAHAN
DUNIA YANG LAIN.
• Benarkah perempuan Bali tidak berhak atas harta
warisan? • Kondisinya sekarang sudah berbeda. Kalau perempuan merasa terpinggirkan dan mengalami ketidakadilan, mereka tak ragu MENUNTUT CERAI. • Bagaimana sebenarnya aturan hukum mengatur tentang kedudukan perempuan Bali dalam pewarisan?
• Hukum yang berlaku di Bali:
- Hukum adat Bali. + Keputusan pemerintah (PASWARA 1900). + AWIG-AWIG desa pakraman. + KEPUTUSAN MUDP 2010. - Hukum Nasional. - HUKUM HINDU. Perlu dipahami. • Pewarisan menurut hukum adat Bali, bukan sekadar membagi harta peninggalan (warisan) orang tua dan leluhur (pewaris) oleh ahli waris, melainkan mengandung makna pelestarian, pengurusan dan penerusan kewajiban (SWADHARMA) pewaris (orang tua dan leluhur).
• Orang yang melaksanakan swadharma dengan
patut barulah memiliki hak (swadikara) atas warisan. • Dalam bahasa V.E. Korn (1932), ”ciri khas hukum adat waris Bali, bertujuan agar sebanyak dan sedapat mungkin harta pusaka keluarga tetap utuh dan dipegang serta diuruskan oleh seorang kepala keluarga, maka dengan sendirinya pembagian-pembagian jarang dilakukan. Karena itu juga hasrat untuk menetapkan bagian-bagian tertentu tidak sangat dirasai”. • Benarkah perempuan Bali tidak memiliki hak atas harta warisan?
• Bukan perempuan Bali-Hindu yang tidak
memiliki hak (swadikara) atas warisan, melainkan mereka yang tidak melaksanakan kewajiban (swadharma) sebagai umat Hindu (laki atau perempuan) sama saja.