Anda di halaman 1dari 11

JAWABAN NOMOR 1

Hukum pidana internasional adalah salah satu cabang ilmu hukum yang baru
berkembang. Dalam perkembangannya tidak terlepas dari sejarah perkembangan Hak Asasi
Manusia. Hukum pidana internasional dan hak asasi manusia berkaitan sangat erat. Sifatnya
seperti kedua mata uang yang tak dapat dipisahkan. Keduanya memiliki ketergantungan yang
kuat, sinergis dan berkesinambungan. Hukum pidana internasional telah mengatasi kelemahan-
kelemahan hukum pidana yang merupakan hukum positif khususnya menghadapi kejahatan
lintas batas territorial.

Istilah Hukum Pidana Internasional atau International Criminal Law atau Internationale
Strafprocessrecht semula diperkenalkan dan dikembangkan oleh pakar-pakar hukum
internasional dari Eropa daratan seperti: Friederich Meili pada tahun 1910 (Swiss); Georg
Schwarzenberger pada tahun 1950 (Jerman); Gerhard Mueller pada tahun 1965 (Jerman); J.P.
Francois pada tahun 1967; Roling pada tahun 1979 (Belanda); Van Bemmelen pada tahun 1979
(Belanda); kemudian diikuti oleh pakar hukum dari Amerika Serikat seperti: Edmund Wise pada
tahun 1965 dan herif Basiouni pada tahun 1986.

JAWABAN NOMOR 2

Mengenai tujuan dari hukum pidana internasional, beberapa sarjana hukum berfokus
pada pengendalian kejahatan melalui penuntutan dan hak asasi manusia, atau keduanya. Para
sarjana hukum juga menambahkan beberapa tujuan tambahan meskipun mereka tidak selalu
menyatakannya sebagai tujuan, seperti proses hukum yang cepat, kedaulatan Negara, pencarian
kebenaran, partisipasi serta perlindungan korban dan saksi. Mirjan Damaska mencoba untuk
menyimpulkan tujuan dari proses hukum pidana internasional, Antara lain:

1. Pengendalian Kejahatan
Tujuan dari pengendalian kejahatan dalam hukum pidana internasional setidaknya ada dua,
untuk menegakkan keadilan dengan menghukum pelaku dan untuk menghalangi baik pelaku
maupun masyarakat umum dari kejahatan lebih lanjut. Tujuan pengendalian kejahatan,
cenderung mengabaikan aspek permusuhan dari prosedur pidana. Tujuan dari pengendalian
kejahatan diperlukan menurut Herbert L. Packer “bahwa perhatian utama harus diberikan
pada efisiensi dimana proses kriminal beroperasi untuk menyaring tersangka, menentukan
kesalahan, dan menjamin perlakuan yang tepat terhadap orang yang dihukum karena terbukti
melakukan kejahatan
2. Persidangan yang adil
Ungkapan persidangan yang adil terkait erat dengan konsep Anglo-Amerika ‘Proses hukum
yang wajar’. Hal ini bertujuan untuk melindungi dan menegakkan hak individu untuk
pengadilan yang adil dan telah digunakan dalam pembuatan hukum internasional. Hal ini
sama seperti yang terdapat dalam Pasal 14 dari ICCPR tentang peradilan yang adil. Hak
untuk persidangan yang adil dalam prosedur pidana internasional mengikat, sebagai norma
kebiasaan.
3. Proses persidangan yang cepat
Proses persidangan yang cepat diakui sebagai tujuan yang sudah ada dalam Statuta IMT dan
IMTFE, dalam undang-undang pengadilan ad hoc dan Pengadilan Kriminal Internasional
(ICC). Gagasan proses cepat terkait dengan hak untuk diadili tanpa penundaan yang tidak
semestinya dan untuk sidang dalam waktu yang wajar. Namun, proses cepat lebih dari hak
terdakwa. Komisi Eropa untuk Hak Asasi Manusia menganggap bahwa setidaknya tiga
macam kesulitan dapat menunda proses pidana, kompleksitas kasus, perilaku terdakwa dan
perilaku pihak yang berwenang.
4. Kebenaran
Salah satu manfaat membawa tersangka pelaku kejahatan berat dan kejahatan internasional di
depan pengadilan adalah bahwa adanya catatan sejarah yang akurat dapat ditetapkan. Hakim
adalah 'pencari keadilan' di antara para pihak dan bukan 'pencari kebenaran'. Dalam
pengaturan IMT dan IMTFE, para Hakim dan Jaksa Penuntut tidak memiliki peran pencarian
kebenaran aktif. Konsep kekuasaan peradilan untuk ikut campur tangan dalam prosesnya
lebih cocok untuk proses inkuisitorial yang "dikendalikan oleh hakim" dan di mana hakim
dan jaksa penuntut memiliki peran sebagai "pencari kebenaran". Sebaliknya, para hakim
ICC, termasuk jaksa, memiliki tugas tambahan untuk secara aktif menjelaskan sebanyak
mungkin fakta-fakta historis dari suatu kasus.
5. Partisipasi korban
Kepentingan dan tujuan para korban partisipasi dalam proses dan perlindungan. Dalam
prosedur pidana internasional, konsep korban sebagai pihak dengan locus standi formal
adalah hal yang baru dalam ICC. Di sistem pengadilan yang sebelumnya korban memiliki
posisi marjinal karena mereka hanya dapat didengar sebagai saksi dan tidak berpartisipasi. Di
ICC, korban dapat diterima untuk mengajukan pengarahan, menghadiri sidang dan
memeriksa saksi-saksi.
6. Perlindungan korban dan saksi
Sangatlah penting bagi keberhasilan proses pidana internasional bahwa para korban dan saksi
didorong untuk maju dan bersaksi. Mereka yang datang ke persidangan harus diberi
perlindungan untuk meminimalkan risiko demi keamanan mereka, menghindari penyerangan
atas martabat mereka dan mengurangi trauma yang terkait dengan memberikan bukti.
Namun, langkah-langkah perlindungan mengenai korban dan saksi sering bertentangan hak
dan kepentingan terdakwa untuk persidangan yang adil

JAWABAN NOMOR 3

Sumber hukum internasional merupakan berbagai materi, kebiasaan, atau asas yang
mengandung atau menjelaskan aturan-aturan hukum internasional. Dalam hukum internasional,
tidak terdapat badan legislatif yang dapat mengeluarkan undang-undang yang mengikat semua
negara, sehingga hukum internasional dibuat berdasarkan tindakan dan kebiasaan negara-negara
sebagai pemegang kedaulatan. Pasal 38.1 Piagam Mahkamah Internasional menyebutkan empat
sumber hukum internasional, yaitu:

1. Traktat atau perjanjian internasional (bahasa Inggris: treaty, bahasa Prancis: traité)
adalah sebuah perjanjian yang dibuat di bawah hukum internasional oleh beberapa
pihak yang utamanya adalah negara, walaupun ada juga perjanjian yang melibatkan
organisasi internasional. Traktat merupakan salah satu sumber hukum internasional.
Hal-hal yang terkait dengan perjanjian internasional diatur dalam Konvensi Wina
tentang Hukum Perjanjian tahun 1969, dan sebagian dari isinya kini dianggap
melambangkan kebiasaan internasional sehingga menjadi norma hukum internasional
yang mengikat. Pada dasarnya praktik perjanjian internasional diatur oleh asas pacta
sunt servanda, yang berarti perjanjian tersebut mengikat semua pihak yang berjanji
untuk melaksanakan kewajibannya dengan iktikad baik.
2. Kebiasaan internasional (bahasa Inggris: customary international law) adalah
kebiasaan bersama negara-negara di dunia yang menjadi bukti praktik umum yang
diterima sebagai hukum. Kebiasaan internasional diakui sebagai salah satu sumber
hukum internasional oleh Pasal 38(1)(b) Piagam Mahkamah Internasional.[1] Pasal
92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menyatakan bahwa kebiasaan
internasional adalah salah satu sumber hukum yang akan diterapkan oleh Mahkamah
Internasional. Kebiasaan internasional terdiri dari aturan-aturan hukum yang berasal
dari tindakan negara-negara yang konsisten yang muncul dari keyaknian bahwa
tindakan mereka itu diwajibkan oleh hukum.
3. Asas hukum yang "diakui oleh negara-negara beradab"
4. Putusan-putusan pengadilan dan
5. ajaran-ajaran para ahli sebagai sumber tambahan untuk menentukan aturan hukum
6. STATUTA ROMA. Hierarkhi sumber hukum yang digunakan dalam Hukum Pidana
Internasional:
a. Top Tier. The Statute itself
b. Second Tier. Applicable treaties and the principles and rules of international law,
including the established principles of the international law of armed conflict,
there's no express mention of customary international law but it is surely covered
by the reference to 'principles and rules of international law'
c. Third Tier. Domestic law, meninjau hukum dari hukum negara offender (ada
kelemahan) Prinsipnya, diutamakan Tier 1, jika Tier 1 tidak ada, maka baru
meninjau Tier 2. Sedangkan Tier 3 baru digunakan ketika Tier 1 dan Tier 2 tidak
dapat lagi memberikan jawaban.

JAWABAN NOMOR 4

Dalam istilah Hukum Pidana Internasional telah menunjukkan adanya sekumpulan


kaidah-kaidah dan asas-asas Hukum Pidana yang mengatur tentang kejahatan internasional.
Kaidah-kaidah dan asas-asas Hukum Pidana yang mengatur tentang kejahatan internasional
tersebut, dapat diketemukan dalam berbagai macam bentuk perjanjian internasional baik bilateral
maupun multilateral yang substansi materinya secara langsung maupun tidak langsung mengatur
tentang kejahatan internasional, di antaranya adalah : Konvensi tentang Genosida tahun 1948,
Konvensi tentang Kejahatan Penerbangan Internasional dalam Konvensi Tokyo tahun 1963,
Konvensi Den Haag tahun 1970, Konvensi Montreal tahun 1971, Konvensi tentang Apartheid
tahun 1973, Konvensi Palermo tahun 2000 tentang Transnational Organized Crimes (TOC),
termasuk pula di dalamnya Perjanjian Ekstradisi yang dilakukan oleh dua negara dan lain
sebagainya. Sementara itu, istilah kejahatan internasional dimaksudkan sebagai upaya untuk
menunjukkan adanya suatu peristiwa kejahatan yang sifatnya internasional, atau yang bersifat
lintas batas negara, atau yang menyangkut kepentingan dari dua atau lebih negara. Dalam hal ini
dapat dikemukakan beberapa contoh yang termasuk dalam kejahatan internasional antara lain
meliputi Salvery, Piracy, Terorisme, Pelanggaran HAM yang berat, Cyber Crime, dan lain
sebagainya.

Lebih lanjut perlu kita ketahui juga bahwa Hukum Pidana Internasional adalah hukum
yang menentukan Hukum Pidana nasional manakah yang akan diterapkan terhadap kejahatan
yang nyata-nyata telah dilakukan, bilamana terdapat unsur-unsur internasional di dalamnya.
Sesuai pengertian tersebut maka Hukum Pidana dapat dikatakan sebagai Hukum Pidana
Internasional kalau Hukum Pidana nasional tersebut digunakan atau diterapkan untuk memidana
terhadap kejahatan yang terdapat unsur-unsur internasional di dalamnya. Dalam hal ini dapat
dikemukakan sebagai contoh pengadilan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme dengan
menggunakan UndangUndang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
PidanaTerorisme, yang digunakan untuk mengadili para pelaku kejahatan terorisme yang juga
merupakan salah satu bentuk kejahatan internasional, adalah masuk dalam lingkup pengertian
dari Hukum Pidana Internasional.

Demikian pula halnya dengan pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana Money
Laundering, Narkotika, Pembajakan Pesawat Udara (Hijacking) dan Pembajakan di Laut Lepas
(Piracy) yang juga merupakan lingkup dari pengertian Hukum Pidana Internasional karena
kejahatankejahatan tersebut secara resmi telah diatur dalam Konvensi Internasional. Dengan
demikian, pada prinsipnya Hukum Pidana Internasional merupakan Hukum Pidana Nasional
suatu negara yang dipergunakan sebagai sarana untuk mengadili dan menghukum para pelaku
kejahatan yang bersumber pada ketentuan Hukum Internasional, baik yang diatur dalam
Perjanjian Internasional, Hukum Kebiasaan Internasional, Prinsip Hukum Umum maupun
Yurisprudensi, dan Doktrin para sarjana terkemuka.

JAWABAN NOMOR 5

Genosida adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku
bangsa atau sekelompok suku bangsa dengan maksud memusnahkan (atau membuat punah)
bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael
Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di
Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani: γένος - genos ('ras', 'bangsa' atau 'rakyat')
dan bahasa Latin: caedere ('membunuh').Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM
berat yang berada dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Pelanggaran HAM berat
lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama
dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang
berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan
kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran
dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.

JAWABAN NOMOR 6

Dalam hal ini perlu kita ketahui lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan kejahatan
terhadap kemanusiaan adalah Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam
Hubungan Internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan
terhadap tubuh orang-orang sebagai suatu kejahatan penyerangan terhadap yang lain. Para
sarjana Hubungan Internasional telah secara luas menggambarkan kejahatan terhadap umat
manusia sebagai tindakan yang sangat keji, Pada suatu skala yang sangat besar, yang
dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap
kemanusiaan dilakukan atas dasar kepentingan politik, seperti yang terjadi di Jerman oleh
pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia.

Kejahatan kemanusiaan ini diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-
Undang No. 26 tahun 2000[2] tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma, definisi
kejahatan terhadap kemanusiaan ialah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan
yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil.[3] Selain itu, kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan
salah satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International
Criminal Court (ICC). Pelanggaran HAM berat lainnya, antara lain genosida, kejahatan perang,
dan kejahatan agresi.

JAWABAN NOMOR 7

Dalam hal ini perlu kita ketahui lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan Kejahatan
perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional, terhadap hukum
perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini
disebut penjahat perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan
kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa
dianggap kejahatan perang. Joachim von Ribbentrop Menteri Luar Negeri Jerman dari 1938
sampai 1945. Divonis hukum gantung di Peradilan Nürnberg karena kejahatan perang. Kejahatan
perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum
perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan
pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih, atau sebaliknya,
menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik perang untuk mengecoh pihak lawan
sebelum menyerang.

Perlakuan semena-mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil juga bisa dianggap
sebagai kejahatan perang. Pembunuhan massal dan genosida kadang dianggap juga sebagai suatu
kejahatan perang, walaupun dalam hukum kemanusiaan internasional, kejahatan-kejahatan ini
secara luas dideskripsikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan perang
merupakan bagian penting dalam hukum kemanusiaan internasional karena biasanya pada kasus
kejahatan ini dibutuhkan suatu pengadilan internasional, seperti pada Pengadilan Nürnberg.
Contoh pengadilan ini pada awal abad ke-21 adalah Pengadilan Kejahatan Internasional untuk
Bekas Yugoslavia dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda, yang dibentuk oleh
Dewan Keamanan PBB berdasarkan pasal VII Piagam PBB.

JAWABAN NOMOR 8

Dalam hal ini perlu kita pahami terlebih dahulu bahwa, konsep kejahatan agresi
merupakan salah satu hal yang dibahas dalam waktu yang sangat panjang. Hal ini dapat dilihat
hingga berlakunya Statuta Roma, di dalamnya tidak juga ditemukan definisi agresi.
Keterlambatan dalam menuangkan definisi kejahatan agresi telah menyebabkan beberapa
masalah. Pertama, tidak seperti kejahatan internasional substantif lainnya, agresi merupakan
suatu kejahatan kepemimpinan dan tentu saja harus ditentukan sebagai titik awalnya bahwa
negara tersebut, di mana terdakwa menjadi pemimpin dalam kapasitas tertentu, telah melakukan
agresi. Proposisi ini berbeda sepenuhnya dari pendirian tentang tanggung jawab individu atas
genosida, kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Juga tidak jelas perbedaan apa
yang mungkin ada di antara tindakan agresi negara dan kejahatan agresi individu.

Pengertian agresi memang sangatlah krusial dan kompleks. Secara historis, agresi sudah
berulang kali dirumuskan definisinya secara tepat namun belum juga terlaksana. Tercatat sejak
League of Nations (Liga Bangsa-Bangsa/LBB) lahir, agresi sudah menjadi perhatian utama. Hal
ini diketahui karena terdapat pula agresi dalam Kovenan LBB. Lebih lanjut Definisi agresi
selanjutnya terdapat dalam Konvensi tentang Definisi Agresi yang ditandatangani pada tahun
1933 di London yang memberikan definisi agresi yaitu:

1. Pernyataan perang terhadap negara lain.


2. Melakukan invasi dengan kekuatan senjata bahkan sekalipun tanpa adanya
pernyataan perang terhadap wilayah suatu negara
3. Suatu serangan melalui darat, laut dan udara terhadap wilayah, kapal laut dan kapal
terbang negara lain.
4. Melakukan blokade laut di pantai atau pelabuhan negara
5. Pemberian bantuan terhadap gerombolan senjata yang dibentuk di wilayah negara
lain.

Perlu kita ketahui juga Berdasarkan Kampala Amendments yang diadopsi ke dalam
Statuta Roma, kejahatan agresi didefinisikan sebagai perencanaan, persiapan, inisiasi atau
eksekusi, oleh seseorang yang berada dalam posisi yang efektif untuk melakukan kontrol atas
atau mengarahkan tindakan politik atau militer suatu Negara, suatu tindakan agresi yang
berdasarkan karakternya, gravitasi dan skalanya, merupakan pelanggaran nyata Piagam PBB.
Suatu tindakan agresi tersebut berupa penggunaan angkatan bersenjata oleh suatu Negara
terhadap kedaulatan, integritas wilayah atau kemerdekaan politik dari Negara lain, atau dengan
cara lain apa pun yang tidak sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dari sekian
kejahatan yang disepakati masyarakat internasional tersebut, hanya kejahatan agresi lah yang
hingga saat ini masih “tidak jelas‟ konsep terlebih aplikasinya dalam menciptakan perdamaian
dunia. Dengan “tidak jelasnya‟ konsep tentang agresi, berakibat pada semakin tak terkendalinya
(uncontrolled) kekuatan negara-negara adi daya dalam melakukan berbagai tindakan penggunaan
kekuatan perang dalam melaksanakan misi-misinya yang mengatasnamakan polisi dunia.

Beberapa tragedi invasi dan agresi militer negaranegara adi daya hampir tidak tersentuh
oleh tangan hukum pidana internasional, sementara Dewan Keamanan PBB hanya menjadi
penonton setia yang terpaksa mengamini tindakan-tindakan agresi. Berbagai contoh bisa
dikemukakan, seperti Agresi Militer Israel ke Gaza yang terus berulang-ulang tanpa ada
pencegahan dari PBB, Agresi Militer Amerika Serikat ke Irak, Afganistan, dan yang terakhir
adalah Agresi Militer NATO ke Libya. Hal yang paling menyedihkan adalah negara-negara
agressor seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Kanada, Australia, dan Israel tidak pernah
merasa melakukan Kejahatan Agresi, bagi mereka justru tindakan yang dilakukannya adalah
untuk melindungi hukum internasional untuk memerangi terorisme dan kejahatan kemanusiaan.
Di sinilah seolah-olah agresi hanya dianggap sebagai asesoris kejahatan internasional.

JAWABAN NOMOR 9

ICC didirikan sebagai pelengkap dari pengadilan domestik. ICC dapat menjalankan
perannya jika pengadilan negara yang bersangkutan tidak mampu (unable) dan atautidak mau
(unwilling) melakukan proses penyidikan dan penuntutan terhadap mereka yang
bertanggungjawab dalam suatu kejahatan internasional. Sama seperti yang terjadi di Suriah
dikarenakan pengadilan dalam negeri setempat tidak mampu (unable) mengadakan pengadilan
domestik mereka karena kondisi di Suriah yang masih keadaan perang. Alasan inilah yang
menjadi dasar ICC untuk ikut serta dalam menangani kasus yang terjadi di Suriah.

ICC tidak dapat menangani suatu kasus jika kasus tersebut tengah diperiksa dan
pelakunya telah diadili oleh negara yang memiliki yuridiksi tersebu.Tidak ada hambatan jika
negara peserta atau negara peratifikasi Statuta Roma 1998 tunduk dan menyerahkan para pelaku
kejahatan luar biasa seperti yang diatur dalam Statuta Roma 1998. Jika di antara negara peserta
tersebut ada yang melanggar aturan yang tertuang dalam Statuta Roma 1998 maka negara
tersebut melanggar hukum internasional dan dapat dikenai sanksi dan tekanan internasional. ICC
dalam memulai penyidikan atau proses hukum yang ada terhadap suatu kasus yang terjadi di
negara peserta atau bukan perlu kewenangan untuk dapat terlibat dalam proses hukum tersebut.
Kewenangan ICC tersebut tergantung terhadap pemenuhan yuridiksi ratione materiae, rationae
loci (teritorial), temporis dan ratione personae, jika salah satu yuridiksi tidak terpenuhi misalnya
yang tidak terlalu berpengaruh adalah yuridiksi teritorial maka proses hukum ICC terhadap suatu
kasus tetap berjalan asalkan pertama adanya penerimaan negara bukan peserta terhadap yuridiksi
ICC di wilayahnya. Kedua, resolusi yang dikeluarkan DK PBB dapat menjadi pijakan bagi ICC
untuk memproses hukum suatu kasus kejahatan luar biasa. Ketiga, Penuntut umum dapat
mengajukan hak proprio motudengan syaratPenuntut meminta kepada komite pra-peradilan
sebuah permintaan kewenangan untuk melakukan penyidikan, ditambah dengan materi-materi
berupa bukti-bukti kejahatan perang, kejahatan atas kemanuisaan dan genosida.

Manakala syarat-syarat telah memenuhi untuk memuluskan kewenangan atau yuridiksi


ICC untuk menyelesaikan suatu kasus kejahatn luar biasa maka selanjutnya adalah
menerbitankan surat penangkapan atau surat panggilan terhadap pelaku yang diduga melakukan
kejahatan luar biasa. ICC juga melakukan upaya penangkapan, pencekalan terhadap tersangka
yang diduga melakukan kejahatan luar biasa. Jika seorang tersangka tertangkap di negara peserta
maka perlu dilakukan ekstradisi pelaku tersebut ke markas ICC yang berada di Den Haag di
Belanda. Jika seorang tersangka tertangkap di negara bukan peserta maka perlu adanya
kerjasama atau kesadaran dari negara bukan peserta untuk melakukan ekstradisi pelaku tersebut
ke markas ICC yang berada di Den Haag di Belanda. Sesampainya tersangka tersebut ditangkap
dan dibawa pada ICC maka didahului dengan acara pemeriksaan pendahuluan lalu kemudian
masuk dalam penuntutan hingga putusan dan sanksi.

JAWABAN NOMOR 10

Mahkamah Pidana Internasional atau dikenal juga dengan istilah International Criminal
Court dalam konteks hukum pidana internasional adalah suatu Badan Peradilan tetap yang
dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mahkamah Pidana Internasional merupakan salah
satu instrument Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menuntut dan mengadili para pelaku tindak
pidana atau kejahatan internasional. Mahkamah Pidana Internasional didirikan berdasarkan
Statuta Roma tahun 1998 (Statute of Rome 1998) yang merupakan hasil konferensi diplomatik
yang berlangsung di Roma pada tanggal 15 – 17 Juli 1998. Dalam konferensi tersebut telah
dihadiri oleh perwakilan masing-masing negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa di dunia
ataupun utusan-utusan dari organisasi pemerintah maupun organisasi non pemerintah. Setelah
diatur didalam Statuta Roma tahun 1998 dan mulai diberlakukan ketentuan didalamnya,
Mahkamah Pidana Internasional secara sah telah berdiri sebagai suatu badan peradilan
internasional yang bersifat permanen (tetap) dengan tugas, fungsi serta kewenangankewenangan
yang dimilikinya. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) berkedudukan
di Den Haag, Belanda.

Mahkamah Internasional sendiri mempunyai prinsip-prinsip dasar yaitu: prinsip


komplementer, prinsip penerimaan, prinsip otomatis, prinsip ratio temporis, prinsip nullum
crimen sine lege, prinsip nebis in idem, prinsip ratio loctie, prinsip tannggungjawab pidana
secara indidual, prinsip praduga tak bersalah, prinsip hak veto Dewan keamanan untuk
menghentikan penuntutan. Adapun yurisdiksi kriminal yang dimiliki oleh mahkamah
internasional (internasional criminal court/ICC adalah menjalankan tugasnya untuk mengadili
kejahatan-kejahatan interansional yang termasuk atau diatur didalam Statuta Roma tahun 1998.
Dalam yurisdiksi kriminal mahkamah telah diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma tahun 1998 yang
menyatakan kejahatan dalam yurisdiksi mahkamah, antara lain sebagai berikut:

1. Kejahatan genosida (the crime of genocide)


2. Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)
3. Kejahatan perang (war crimes)
4. Kejahatan agresi (the crimes of aggression)

Anda mungkin juga menyukai