Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketika reformasi digulirkan, terlalu banyak harapan diletakkan sehingga setelah lebih
dari satu dasawarsa tampak masih banyak hal yang belum terselesaikan. Ketika desentralisasi
dijalankan, hubungan antar jenjang pemerintahan diharapkan mampu menyelesaikan semua
persoalan masyarakat. Faktanya justeru banyak hal belum terselaikan dengan baik termasuk
apa yang terjadi di daerah-daerah yang berstatus khusus (bukan secara administratif) seperti
misalnya daerah konflik, daerah terpencil, daerah terbelakang, dan daerah-daerah perbatasan.
Meski memiliki karakter kriteria yang berbeda, seringkali beberapa daerah menyandang
status tersebut secara kombinatif dan kumulatif. Artinya, terdapat banyak daerah yang selain
terpencil, juga berstatus terbelakang dan berada di daerah perbatasan. Kondisi ini memberi
tantangan dan permasalahan tersendiri bagi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang
memang memiliki kawasan perbatasan relatif banyak.
Indonesia berbatasan dengan banyak negara tetangga, baik di darat maupun laut. Di area
daratan, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara yaitu Malaysia (Kalimantan Barat
dan Kalimantan Timur dengan Serawak dan Sabah), Provinsi Papua dengan Papua New
Guinea (PNG) dan Nusa Tenggara Timur dengan Republik Demokratik Timor Leste. Di
wilayah laut, Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara yaitu India, Thailand, Malaysia,
Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, PNG, Australia dan Timor Leste.
Sebagian besar kawasan perbatasan di Indonesia merupakan kawasan tertinggal dengan
kontribusi ekonomi hanya 0,1% dari ekonomi nasional. Hal ini ditunjukkan juga dengan
lokasinya yang relatif terisolir (terpencil) dengan tingkat aksesibilitas, tingkat pendidikan,
tingkat kesehatan masyarakat, tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang rendah
dan langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan masyarakat (blank spot).
Umumnya kawasan perbatasan bercirikan adanya jarak geografis yang relatif jauh secara
fisik dengan pusat pemerintahan, baik daerah, pemerintahan provinsi maupun pusat. Selain
itu, ciri lainnya adalah derajat interaksi atau orientasi hubungan yang intensif dengan negara
tetangga bahkan ada kecenderungan mengalami ketergantungan.
Kawasan perbatasan darat antara RI dan Papua New Guinea memanjang sejauh +780 km,
melintasi Kota Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten
Boven Digoel hingga ujung selatan Papua, Kabupaten Merauke. Lima puluh dua pilar batas
bersama antara kedua negara dibangun: dua puluh empat pilar tanggung awab Pemerintah RI
dan dua puluh delapan sisanya menjadi tanggung jawab pemerintah PNG.
Tanah Papua dikenal endemik, subur, dan kaya sumber daya. Tambang emas terbesar di
dunia bahkan ada di sana. Kawasan perbatasan Keerom-PNG pun memiliki banyak potensi
yang belum dieksploitasi. Bagi negara dunia ketiga seperti Indonesia, keadaan tersebut
menjadi peluang bagi peningkatan laju ekonomi nasional, khusunya bagi pengembangan
kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan eksploitasi. Terlebih untuk Papua New Guinea
yang karena kemandekan sosial dan ekonominya, pada tahun 2006 lalu oleh komisi PBB
untuk kebijakan pembangunan statusnya sebagai negara berkembang diturunkan menjadi
negara terbelakang. Pengelolaan bersama potensi-potensi SDA di perbatasan tersebut juga
akan lebih mutualis bagi kedua negara. Dari sisi PNG, Indonesia akan menjadi partner yang
sangat membantu dalam hal investasi, alat produksi, dan kesediaan sumber daya manusia.
Sementara dari sisi Indonesia, PNG menjadi sekutu terutama yang berkaitan dengan isu-isu
kesejahteraan masyarakat perbatasan, termasuk isu politik dan kemanan di kawasan
perbatasan Papua-PNG.
Pemerintah RI sebetulnya memiliki cukup pengalaman soal penggarapan wilayah
bersama di kawasan perbatasan. Sewatu Timor Leste masih menjadi bagian dari NKRI,
pemerintah Indonesia telah melakukan kerjasama dengan pemerintah Australia dalam
mengelola daerah perbatasan. Pada studi kasus Timor Gap, (daerah landas kontinen antara
Timor Leste dan Australia), kedua negara telah melahirkan sekian kerjasama: Elang Kakatua,
Bayu Undan, Grater Sunrise, dimana eksploitasi gas alam di daerah perbatasan dikelola
secara bersama. Sedikit keluar dari Timor Gap, RI-Australia juga mengelola Laminaria-
Corralina. Tercatat, kerjasama-kerjasama tersebut telah memasok devisa kedua negara
hingga miliaran dolar pertahun. Hanya saja, contoh kerjasama RI-Australia sebelum Timor
Leste lepas dari Indonesia, lebih bersifat ekonomis.
Model dan Orientasi kerjasama sebagaimana yang pernah dilakukan oleh pemerintah RI-
Australia dapat diterapkan dalam pengelolaan perbatasan Keerom-PNG. Karena faktanya,
kawasan tersebut memang memiliki banyak potensi yang nyaris belum tersentuh
pembangunan. Namun lebih dari itu, gagasan pembentukan wilayah bersama mengandaikan
juga kepaduan administrasi sebagian daerah dari kedua negara: wilayah bersama adalah
daerah arsir bagi dua lingkaran dalam konsep himpunan diagram venn. Jika Pada konsep kota
kembar kita menemukan dua konsep sama di tempat berbeda,25 maka wilayah bersama yang
digagas dalam penelitian ini adalah peleburan dua wilayah karena kesamaan demografi,
kesamaan geografis, kesamaan sosiologis-antropologis, kesamaan persoalan, namun berbeda
secara administrative.
Dalam wilayah bersama, garis demarkasi Keerom-Sandaun hilang. Tepatnya bergeser ke
bagian terluar dari dua daerah yang diandaikan menjadi wilayah bersama. Di Indonesia,
bagian terluar dari wilayah bersama adalah bagian terluar dari Kabupaten Keerom atau
sekadar lima distrik yang berbatasan langsung dengan PNG. Sementara di PNG, bagian
terluar mencakup beberapa Cencus Division di Sandaun Province. Di sana, pemerintah RI
dan PNG dapat mengelola sumberdaya lintas nasional secara bersama melalui ekplorasi
sumber daya alam, perdagangan lintas-batas, pembangunan kawasan industri, dan lain-lain.
Pembentukan wilayah bersama antara RI-PNG pada gilirannya akan memberikan keuntungan
ekonomis kedua negara, juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Selain itu,
pembentukan wilayah bersama antara RI-PNG akan menjawab persoalaan sosiologis
masyarakat setempat terutama soal kekerabatan dan tanah ulayat yang keberadaannya telah
menerobos batas-batas negara.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kerjasama sister city atau yang sering
disebut kota kembar antara kota jayapura dan PNG.kota kembara ini pun juga mempunyai
pengaruh yang besar dalam melakukan hubungan internasional dengan negara lain.Jenis
penelitian ini adalah penelitian deskriftif, kualitatif dengan mendengar langsung dari
narasumber, Guru Sekolah, Tokoh Masyarakat,dan satuan TNI yang bertugas di kampung
mosso. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa pendidikan didaerah perbatasan
kampung mosso masih mengalami kendalah yakni, tenaga guru, sarana dan prasarana
sekolah, perpustakaan, rumah dinas guru dan gedung sekolah yang kurang layak untuk dua
sekolah dalam satu atap yang terlihat di kampung mosso.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasar pada eksplorasi di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah;
Apakah peluang dan Tantangan bagi pembentukan Wilayah Bersama di perbatasan Keerom-
Sandaun?

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui lebih lanjut terkait dengan peluang dan Tantangan bagi pembentukan
Wilayah Bersama di perbatasan Keerom-Sandaun?

1.4 Manfaat Penelitian


Tiap penelitian harus mempunyai kegunaan bagi pemecahan masalah yang diteliti. Untuk
itu suatu penelitian setidaknya mampun memberikan manfaat praktis pada kehidupan
masyarakat. Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yakni
dari segi teoritis dan segi praktis. Dengan adanya penelitian ini penulis sangat berharap akan
dapat memberikan manfaat. Manfaat penelitian tersebut adalah:
1. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam perkuliahan dan
membandingkannya dengan praktik di lapangan.
2. Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi peneliti.
3. Menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk
melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.
4. Untuk memberikan masukan dan informasi bagi Pemerintah Kabupaten Merauke
terkait pendidikan antara RI dan PNG.

1.5 Metode Penelitian


1.5.1 Jenis dan Tipe Penlitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah, dimana peneliti
merupakan instrumen kunci (Sugiyono, 2005). Perbedaannya dengan penelitian
kuantitatif adalah penelitian ini berangkat dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai
bahan penjelas dan berakhir dengan sebuah teori.
Moleong setelah melakukan analisis terhadap beberapa definisi penelitian kualitatif
kemudian membuat definisi sendiri sebagai sintesis dari pokok-pokok pengertian
penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2005:6), penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistic, dan dengan
cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
1.5.2 Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan berupa buku, Ebook, jurnal, blue print, website resmi, dan
laporan-laporan penelitian.
1.5.3 Teknik Validasi Data
Validitas penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif, validitas tidak
memiliki konotasi yang sama dengan penelitian kualitatif, tidak pula sejajar dengan
reliabilitas (yang berarti pengujian stabilitas dan konsistensi respon) ataupun generalisasi
(yang berarti validitas eksternal atau hasil penelitian yang dapat diterapkan pada setting ,
orang, atau sampel yang baru) dalam penelitian kualitatif mengenai generalisasi dan
reliabilitan kualitatif Craswell (dalam Susanto, 2013). Validitas dalam penelitian
kualitatif didasarkan pada kepastian apakah hasil penelitian sudah akurat dari sudut
pandang peneliti, partisipasi, atau pembaca secara umum, istilah validitas dalam
penelitian kualitatif dapat disebut pula dengan trusworthiness, authenticity, dan
credibility Creswell (dalam Susanto, 2013).
Sugiono (2014) terdapat dua macam validitas penelitian yaitu, validitas internal
dan validitas eksternal. Validitas internal berkenaan dengan derajat akurasi penelitian
dengan hasil yang dicapai. Sedangkan validitas eksternalberkenaan dengan derajat
akurasi apakah hasil penelitian dapat digeneralisasikan atau diterapkan pada populasi
dimana sampel teeersebut diambil. Dalam penelitian ini, uji validitas yang digunakan
adalah:
A. Triangulasi
Triangulasi (Moleong, 2014) yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data dengan
melakukan pengecekan atau perbandingan terhadap data yang diperoleh dengan
sumber atau kriteria yang lain diluar data itu, untuk meningkatkan keabsahan data.
Pada penelitian ini, triangulasi yang dilakukan adalah:
1. Triangulasi sumber, yaitu dengan cara membandingkan apa yang dikatakan oleh
subyek dengan dikatakan informan dengan maksud agar data yang diperoleh
dapat dipercaya karena tidak hanyadiperoleh dari satu sumber saja yaitu subyek
penelitian, tetapi data juga diperoleh dari beberapa sumber lain seperti tetangga
atau teman subyek.
B. Menggunakan bahan Refrensi
Bahan referensi ini merupakan alat pendukung untuk membuktikan data yang
ditemukan oleh peneliti. Seperti data hasil wawancara perlu didukung dengan
adanya rekaman wawancara. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat
perekam untuk merekam hasil wawancara dengan informan. Sedangkan dalam uji
validitas eksternal dalam penelitian kulitatif, peneliti dalam membuat laporan harus
memeberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya. Dengan
demikian pembaca menjadi jelas atas hasil penelitian tersebut.
1.5.4 Teknik Analisa Data
Data-data yang terkumpul akan dianalisa dengan menggunakan teori perencanaan dimana
pada komponen development planning, tipologi yang digunakan adalah konsep user-
oriented. Penelitian ini juga akan sedikit banyak mengacu pada konsep ASEN
Connectivity

1.6 Sistematika Penulisan


Bab I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Kajian Teori, pada bab ini penulis menguraikan atau menjelaskan tentang
pengertian-pengertian, Physical Planning, Macro-Economic Planning, Sosial Planning,
Development Planning, Geopolitik, Wilayah Perbatasan, Kebijakan Pengelolaan Wilayah
Perbatasan dan Fungsi Kawasan Perbatasan.
BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Tinjaun Pustaka


1. Physical Planning
Perencanaan fisik merupakan usaha mengatur dan menata kebutuhan fisik dalam
memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan berbagai kegiatan atau aktivitas fisiknya. Di
sana, isu-isu dan kajian tentang lingkungan menjadi salah satu acuan. Karenanya, dalam
pembentukan Wilayah Bersama di perbatasan RI-PNG, physical planning mengarah pada
upaya pengaturan tata ruang wilayah yang berkaitan dengan simpulsimpul aktivitas
masyarakat perbatasan. Tentu saja rencana tata ruang wilayah ini mencakup seluruh
teritorial Wilayah Bersama yang kemudian akan menjadi garis demarkasi baru bagi
kedua negara.
2. Macro-Economic Planning
Teori ekonomi makro berkaitan dengan pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi,
pendapatan, distribusi pendapatan, tenaga kerja, produktifitas, perdagangan, konsumsi
dan investasi. Perencanaan ini berkaitan dengan perencanaan ekonomi di Wilayah
Bersama RI-PNG guna merangsang pertumbuhan ekonomi di Wilayah Bersama tersebut.
Dengan merujuk pada potensi-potensi yang dimiliki kawasan perbatasan RI-PNG yang
berupa kekayaan alam dan ketersediaan tenaga kerja, maka bentuk produk dari
perencanaan ini berupa pemanfaatan sumber daya alam, produktifitas, perdagangan, dan
aksesibilitas ketenagakerjaan.
3. Sosial Planning
Perencanaan sosial membahas tentang pendidikan, kesehatan, integritas sosial, kondisi
tempat tinggal dan tempat kerja, wanita, anak-anak dan masalah kriminal. Perencanaan
sosial diarahkan untuk membuat perencanaan yang menjadi dasar program pembangunan
sosial di wilayah bersama RI-PNG. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan
demografis. Karena integrasi perencanaan sosial di Wilayah Bersama RI-PNG harus
disesuaikan dengan kondisi geografis dan kependudukan masyarakat setempat yang tidak
terkonsentrasi dan merata.
4. Development Planning
Perencanaan ini berkaitan dengan perencanaan program pembangunan secara
komprehensif guna mencapai pengembangan wilayah. Menurut Susan S. Fainstein dan
Norman I. Fainstein, perencanaan pembangunan terbagi dalam empat tipologi yaitu, (1)
traditional; (2) user-oriented; (3) advocacy; (4) incremental.
5. Geopolitik
Dalam studi Hubungan Internasional, geopolitik merupakan suatu kajian yang melihat
masalah/hubungan internasional dari sudut pandang ruang atau geosentrik. Dalam
konteks teritorial, hubungan itu terjadi bervariasi dalam fungsi wilayah dalam interaksi,
lingkup wilayah, dan hierarki aktor: dari nasional, internasional, sampai benua-kawasan,
juga provinsi atau local. Geopolitik bangsa Indonesia terumuskan dalam konsepsi
wawasan nusantara. Bagi bangsa Indonesia, geopolitik merupakan pandangan baru dalam
mempertimbangkan faktor-faktor geografis wilyah negara untuk mencapai tujuan
nasionalnya. Bagi Indonesia, geopolitik adalah kebijakan dalam rangka mencapai tujuan
nasional dengan memanfaatkan keuntungan letak geografis negara berdasarkan
pengetahuan ilmiah tentang kondisi geografis tersebut.
6. Wilayah Perbataasan
Wilayah perbatasan seringkali didefinisikan sebagai periphery dari sebuah negara. Model
yang dimodifikasi oleh Prescott menunjukan juga perbedaan yang jelas antara pusat
negara dengan pusat provinsi yang berperan dan terkait dengan wilayah perbatasan.
Perbatasan, dapat berperan penting dalam kebijakan lebih luas.
Dari pengertian diatas, kawasan perbatasan dicirikan oleh adanya batas-batas yang
jelas berdasarkan adanya kesamaan unsur pengikat, yaitu batas wilayah negara. Dalam
hal ini, batas diartikan sebagai tanda pemisah antara satu wilayah dengan wilayah yang
lain, baik berupa tanda alamiah maupun buatan. Tanda alamiah bisa berupa sungai,
gunung, bukit dan sebagainya, sedangkan tanda buatan bisa berupa patok atau tugu.
Dari sejarahnya, perbatasan sebuah negara (state’s border) mulai diperkenalkan
bersamaan dengan munculnya konsep negara modern di Eropa sejak abad 18. Perbatasan
sebuah negara dipahami sebagai sebuah ruang geografis yang sejak awal telah menjadi
perebutan kekuasaan antarnegara, yang ditandai oleh adanya perseteruan untuk
memperluas wilayah kekuasaan. Riwayat lahirnya kawasan perbatasan sangat terkait
dengan sejarah kelahiran sebuah negara-bangsa (nation-state) sebagai bentuk negara
modern yang berkembang seiring dengan munculnya nasionalisme bangsa (ethnic
nationalism) dan identitas nasional (national identity).
7. Kebijakan Pengelolaan Wilayah Perbatasan
Dalam rangka kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan berdasarkan teori yang
dikembangkan dari Theory of Boundary Making, Stephen B. Jones: A Handbook for
Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners; dibagi ke dalam empat ruang
manajamen yaitu alokasi, delimitasi, demarkasi, dan administrasi/manajemen
pembangunan. Alokasi sendiri adalah inventarisasi dasar dari kepemilikan wilayah NKRI
yang didasarkan pada prinsip hukum internasional, prinsip Uti Posideti Juris. Sedangkan
delimitasi adalah Penetapan Garis Batas antara dua negara yang sebagian wilayahnya
overlaping. Lalu demarkasi adalah penegasan batas antarnegara di lapangan setelah
dilakukan delimitasi selanjutnya. Administrasi sendiri adalah pengelolaan administrasi di
wilayah yang berbatasan dengan negara tetangga seperti pengelolaan penduduk dan
sumber daya, pembagian kewenangan pusat dan daerah, pengelolaan CIQ dan lain
sebagainya.
Pengembangan dan pengelolaan wilayah Indonesia secara umum merupakan
kabijakan dari penyelenggaran desentralisasi yang berorientasi pada pemecahan masalah
ketertinggalan dan ketertimpangan antarwilayah dalam tingkatan kesejahteraan dan
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pembangunan yang terpusat telah berdampak pada
kurang optimalisasinya sumber daya lokal dan kemandirian daerah. Era otonomi, daerah
dituntut untuk mengelola dan mampu memberdayakan sumber daya yang ada secara
mandiri, sehingga wilayah perbatasan mempunyai potensi yang sangat besar yang dapat
dijadikan modal dalam membangun daerah.
8. Fungsi Kawasan Perbatasan
Perbatasan dapat diartikan sebagai suatu unit legal-politis yang mempunyai
berbagai fungsi unik sekaligus strategis bagi suatu negara, dalam konteks pemahaman
semacam ini perbatasan memiliki fungsi militer-strategis, ekonomis, konstitutif, identitas,
kesatuan nasional, pembangunan negara, dan kepentingan domestik. Bagi setiap negara
berdaulat perbatasan setidaknya memiliki tujuh macam fungsi menurut Ganewati:
1. Fungsi militer strategis
Dalam konteks ini perbatasan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan militer
strategis suatu negara, terutama pembangunan sistem pertahanan laut, darat
dan udara untuk menjaga diri dari ancaman eksternal.
2. Fungsi ekonomis
Perbatasan berfungsi sebagai penetapan wilayah tertentu untuk negara
melakukan kontrol terhadap arus modal, perdagangan antarnegara, investasi
asing, pergerakan barang antarnegara. Fungsi ekonomis perbatasan juga
memberikan patokan bagi suatu negara untuk melakukan eksplorasi sumber-
sumber alam secara legal pada wilayah tertentu.
3. Fungsi konstitutif
Berdasarkan konsep hukum international modern suatu negara berdaulat wajib
memiliki wilayah perbatasan yang terdefinisikan dengan jelas. Artinya,
perbatasan menetapkan posisi konstitutif negara tertentu di dalam komunitas
internasional. Suatu negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah yang
merupakan teritorialnya sebagaimana ditetapkan oleh perbatasan yang ada.
4. Fungsi identitas nasional
Sebagai pembawa identitas nasional, perbatasan memiliki fungsi pengikat
secara emosional terhadap komunitas yang ada dalam teritori tertentu.
Kesamaan pengalaman dan sejarah, secara langsung maupun tidak langsung
telah mengikat secara emosiaonal untuk mengklaim identitas dan wilayah
tertentu.
5. Fungsi persatuan nasional
Melalui pembentukan identitas nasional perbatasan ikut menjaga persatuan
nasional. Untuk menjaga persatuan dan kesatuan nasional, para pemimpin
negara biasanya mengombinasikan simbol dan jargon dengan konsep teritori
dan perbatasan. Konsep-konsep seperti kekuatan maritim dan kekuatan darat
biasanya dipakai untuk mendorong warga agar menjadi persatuan dan
kesatuan nasional.
6. Fungsi pembangunan negara bangsa
Perbatasan sangat membantu dalam pembangunan dan pengembangan negara
bangsa karena memberikan kekuatan bagi negara untuk menentukan
bagaimana sejarah bangsa dibentuk, menentukan simbol-simbol apa yang
dapat diterima secara luas, dan menentukan identitas bersama secara normatif
maupun kultural.
7. Fungsi pencapaian kepentingan domestik
Perbatasan berfungsi untuk memberikan batas geografis bagi upaya negara
untuk mencapai kepentingan nasional di bidang politik, sosial, ekonomi,
pendidikan, pembangunan infrastruktur, konservasi energi, dan sebagainya.
Perbatasan juga menetapkan sampai sebatas mana negara dapat melakukan
segala upayanya untuk mencapai kepentingan nasionalnya

2.2 Kerangka Konseptual


2.2.1 Konsep/Teori

Liberal Intergovernmentalism adalah teori bagi studi-studi integrasi yang dikembangkan


oleh Andrew Maitland Moravcsik, seorang dosen politik dan direktur Program Uni Eropa di
Universitas Princeton. Pada dasarnya, teori LI adalah teori integrasi yang secara epistemoligis
mengacu pada pandangan-pandangan liberal. Oleh Moravcsik, teori LI awalnya digunakan untuk
menganalisis fenomena integrasi komunitas Eropa pada dekade 90-an. Namun pada
perkembangannya, terutama dalam disiplin ilmu hubungan internasional, teori LI digunakan
untuk menjelaskan integrasi regional dan kerjasama antarnegara. Sebagai salah satu varian dari
teori intergovernmentalism, teori ini bahkan sudah dianggap sebagai baseline theory dalam studi
integrasi regional.

Dalam Preferences andf Power in the European Community: A Liberal


Intergovernmentalist Approach yang ditulis Moravcsik, disebutkan bahwa liberal
intergovernmentalism mengandung tiga elemen penting: asumsi perilaku negara rasional, teori
liberal pembentukan preferensi nasional, dan analisis negosiasi antarnegara. Asumsi perilaku
negara rasional memberikan kerangka umum analisis, dimana biaya dan manfaat dari saling
ketergantungan ekonomi adalah penentu utama preferensi nasional. Sedangkan intensitas relatif
preferensi nasional, keberadaan koalisi alternatif dan kesempatan untuk masalah hubungan,
memberikan dasar bagi analisis intergovernmental dari resolusi konflik antar pemerintah.
Sebagaimana yang ia tulis dalam artikelnya:

“At the core of liberal intergovernmentalism are three essential elements: the
assumption of rational state behavior, a liberal theory of national preference formation,
and an intergovernmental analysis of interstate negotiation. The premise of rational state
behavior provides a general framework for the study, within which the costs and benefits
of economic interdependence are the primary determinants of national preferences. In
contrast, the relative intensity of national priorities, the existence of alternative
coalitions, and the opportunity for issue linkages provide the basis for an
intergovernmental analysis of the resolution of distributional conflicts among
governments. Regime theory is a starting point for researching conditions under which
governments will delegate powers to international institutions.”

2.3 Kerangka Alur Pemikiran


Letak geografis suatu negara dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan
nasionalnya, salah satunya adalah wilayah perbatasan negara. Wilayah perbatasan merupakan
paradigma baru dalam pengembangan wilayah. Munculnya wilayah baru tersebut sebagai
hasil dari globalisasi ataupun desentralisasi dalam kebijakan. Kawasan perbatasan yang
berkembang beberapa dekade terakhir menuntut adanya kerja sama bilateral yang saling
resiporokal, memahami, dan menguntungkan, serta berinteraksi satu negara dengan negara
tetangga. Kerja sama bilateral biasanya dalam isu-isu strategis yakni politik, ekonomi, sosial,
budaya, pendidikan, dan olahraga.
Bentuk interaksi di kawasan perbatasan tersebut dapat dianalisa melalui tingkat kohesi
sosial (etnis, ras, bahasa, agama, budaya, kesadaran serta warisan bersama), kohesi ekonomi
(pola-pola perdagangan), kohesi politik (tipe-tipe rezim dan ideologi), dan kohesi organisasi
(keberadaan organisasi yang sifatnya formal). Adanya interakasi kedua negara di kawasan
perbatasan didasarkan pada kedekatan geografis.
Letak geografis Indonesia yang berupa kepulauan yang membentang dari Sabang sampai
Merauke, merupakan sebuah tantangan bagi pemerintah Indonesia untuk dapat
memakmurkan dan meratakan pembanguan disegala bidang terhadap pulau dan kepulauan
NKRI di tengah regionalisme yang terus berkembang. Kebijakan desentralisasi yang oleh
Pemerintah Indonesia ditetapkan dan diyakini merupakan salah satu solusi yang efektif dan
efisien saat ini untuk meratakan pembangunan di tiap-tiap daerah di kepulauan Indonesia.
Salah satu bentuk nyata dari implementasi kebijakan desentralisasi yang diterapkan oleh
Pemerintah Negara Republik Indonesia yakni kebijakan otonomi daerah. Otonomi ini adalah
salah satu bentuk pelimpahan hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah-pemerintah daerah di tiap provinsi dan kota untuk
mengelola daerahnya masing-masing dengan tetap berpegang teguh terhadap Undang-
Undang Dasar Negara. Pada akhirnya diharapkan dapat mewujudkan secara nyata
penyelenggaraan pemerintahan yang efektif efisien, dan berwibawa demi mewujudkan
pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Dalam konteks otonomi daerah, Provinsi Papua memiliki otoritas khsuus dalam bentuk
pelimpahan hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. Dalam
pelaksanaan Otonomi Khusus di Indonesia pada 3 Provinsi yaitu: Provinsi Papua, Papua
Barat dan Provinsi Aceh. Pelaksanaa otonomi khusus bagi Provinsi Papua dapat melakukan
perjanjian dan kerja sama dengan pihak asing yang saling menguntungkan demi
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Papua.
Era globalisasi membawa peluang dan tantangan bagi pelaksanaan otonomi daerah.
Perkembangan transportasi dan arus informasi menjadi semakin tak terbendung serta tak
mengenal ruang dan waktu. Perkembangan ini membawa hal-hal positif untuk pembangunan
bagi pemerintah daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah mulai mengkreasikan dan
kreatif serta membuka diri dengan dunia luar dalam melakukan kerja sama baik bilateral
maupun multilateral.
Diplomasi dipahami sebagai sebuah aktifitas-aktifitas yang bertujuan untuk menjalin
relations dan kerja sama antarnegara. Saat ini diplomasi mengalami perkembangan yang
signifikan baik itu dari segi cara berdiplomasi maupun aktor-aktornya. Dalam hal ini
diplomasi tidak lagi hanya dilakukan oleh diplomat-diplomat resmi pemerintah (negara),
akan tetapi saat ini individu, organisasi, dan bahkan pemerintah daerah telah mampu
melakukan tugas-tugas seorang diplomat. Diplomasi terbagi menjadi dua bagian penting
yaitu diplomasi tradisonal atau diplomasi konvensional (first track diplomacy) atau diplomasi
modern yang disebut diplomasi publik (second track diplomacy dan multitrack diplomacy).
Akan tetapi dalam penulisan skripsi ini penulis lebih menitikberatkan pada diplomasi modern
atau diplomasi publik sebagai kerangka konseptual.
Diplomasi publik dalam aktivitas-aktivitasnya tidak lepas dari peranan publik dalam
menjalankan aktivitasnya. Diplomasi publik saat ini sangat dibutuhkan untuk melengkapi
aktivitas diplomasi tradisional. Hal ini dilakukan dengan keyakinan pada sebuah asumsi
bahwa pemerintah pusat selaku aktor dalam diplomasi tradisional terkadang tidak selalu
mampu menjawab berbagai tantangan dalam isu-isu diplomasi yang semakin kompleks yang
disebabkan oleh karakter diplomasi tradisional yang cenderung kaku.
Dengan adanya diplomasi publik memberikan ruang lebih kepada pemerintah daerah
khususnya untuk mangatur strategi kebijakan pembangunan di berbagai daerahnya.
Pemerintah daerah memiliki harapan bahwa dengan upaya diplomasi publik akan mampu
membawa citra positif dan membantu negara dalam mewujudkan kepentingan nasional
dalam politik internasional. Di samping itu, pemerintah daerah pun berharap hal ini dapat
membuka pintu bagi masyarakat internasional untuk melakukan kerja sama dalam
pembangunan, pertukaran informasi, perdagangan, pendidikan, dan pertukaran budaya.
Dalam melihat potensi tersebut pemerintah daerah melakukan berbagai cara untuk
memperoleh peluang dari diplomasi publik ini dengan menawarkan potensi yang dimiliki
oleh daerahnya. Di antaranya ditempuh dengan bekerja sama dengan masyarakat
internasional, NGO, perusahaan multinasional, dan dengan pemerintah kota atau daerah dari
negara lain. Hal ini pun dilakukan dengan berbagai cara dan bentuk yang salah satu di
antaranya adalah kerja sama dalam bentuk sister city (kota kembar). Kerja sama dalam
bentuk ini banyak terjalin dan diaplikasikan oleh hampir sebagian besar kota-kota di
Indonesia dengan kota-kota di negara lain di dunia, baik itu dalam level kota kecil, kota besar
(metropolitan, bahkan cosmopolitan).
Sister city dalam pengertiannya sering juga disebut twining city atau dalam bahasa
Indonesia kota kembar. Kerja sama antarkota bersifat luas, yang disepakati secara resmi dan
bersifat jangka panjang. Dengan begitu sister city ini hanya dapat diterapkan oleh dua
diantara pemerintah kota atau daerah di kedua belah pihak, yang terkadang didukung dan
disponsori oleh NGO, lembaga-lembaga non-profit, bahkan komunitas masyarakat
internasional. Di samping itu, pula ranah kerja sama antarkota ini bersifat luas baik
mencakup kerja sama ekonomi, pembangunan, pemerintahan, pengelolaan sumber daya
alam, pendidikan, dan kebudayaan yang kemudian disetujui secara formal melalui nota
penandatangan oleh kedua belah pihak.
Seperti yang dituliskan oleh Andi Oetomo awal diterapkan dan diperkenalkan sister city,
ketika kota-kota di negara maju, seperti di Amerika dan Eropa saling bekerja sama, sehingga
terjadi keseimbangan dan kesetaraan kondisi sosial dan ekonomi. Namun, seiring dengan
globalisasi yang semakin tidak terbendung, arus informasi yang cepat dan niat untuk bekerja
sama demi mencapai kepentingan sehingga menimbulkan munculnya sister city antara kota-
kota di negara maju dengan negara berkembang, bahkan kota-kota antarnegara berkembang.
Akan tetapi, hal itu terus dilakukan selama memiliki understanding, manfaat yang positif dan
niat baik untuk bekerja sama demi mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing. Dalam
hal ini, kerja sama Indonesia dan PNG di wilayah perbatasan Distrik sota, Kabupaten
Merauke, Provinsi Papua.
Kerja sama yang dilakukan oleh pihak Pemerintah RI dan PNG dalam menjalin kerja
sama bilateral dalam bidang Pendidikan menjadi payung hukum bagi kedua pihak di daerah
perbatasan. Oleh sebab itu, penulis melihat bahwa payung hukum tersebut sebagai dimensi
bilateral yang menjadi dasar yang utama bagi pemerintah di perbatasan sebagai dimensi
unilateral yang mengambil kebijakan dalam melakukan kerja sama dengan pihak PNG. Kerja
sama kedua pihak di perbatasan Sota merupakan Perjanjian Jabatan Tangan (Handshake
Agreement). Di samping itu, kerja sama tersebut sebagai peluang untuk melakukan
Diplomasi soft power dalam mendukung Diplomasi perbatasan.
2.4 Hipotesis/Argumen Utama
Fokus penelitian ini adalah kerja sama Indonesia dan Papua Nugini dalam bidang
pendidikan di wilayah perbatasan Distrik Sota. Peneliti berasumsi bahwa kerja sama
pendidikan di perbatasan Distrik Sota karena memiliki fasilitas pendidikan yang cukup baik,
letak geografis sangat dekat, memiliki hubungan sosial budaya dan ekonomi yang murah
membuat Distrik Sota menjadi pusat pendidikan bagi pelajar asal PNG khususnya dari
wilayah Distrik Mohed. Berdasarkan itu peneliti membuat hipotesa yang akan diuji
kebenarannya:
1. Kerja sama Indonesia dan Papua Nugini dalam bidang pendidikan di wilayah
perbatasan Distrik Sota, dapat dilihat dari dua dimensi yaitu dimensi bilateral dan
unilateral.
2. Kerja sama pendidikan oleh Distrik Sota dan Mohed merupakan dimensi unilateral
dalam membuat Handshake Agreement.

DAFTAR PUSTAKA

A., Giddens, The Nation-State and Violence, Volume. 2 of Contemporary History of


Historical Materialism, Cambridge: Polity Press, 1985.

Freeman, Chas, The Diplomat’s Diary, National Defence University Press, 2006.

Hasjim, Djalal, Pengelolaan Batas Maritim dan Kawasan Perbatasan: Menentukan Batas
Negara Guna Meningkatkan Pengawasan, Penegakan Hukum dan Kedaulatan
NKRI,2008,Diases melalui idu.ac.id/index.php/publikasi//artikelju nal?download=7:hasyimdj
File Format: PDF/Adobe Acrobat.

Humpherey, Wangke, Pengelolaan Perbatasan RI-PNG: Perspektif Keamanan Ekonomi,


Kajian, Vol. 13 No. 3, Setjen DPRRI, 2008.

A., Harsawaskita, Great Power Politics di Asia Tengah Suatu Pandangan Geopolitik
dalam Transformasi Studi Hubungan Internasional, Bandung: Graha Ilmu, 2007.

Arisoi, Tien Virginia, Analisis Kegagalan MoU Border Liaison Meeting Dalam
Mengatasi Masalah Ancaman Keamanan Non Tradisional di Kawasan Perbatasan RI dan PNG
2008-2011, Jakarta: Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Program
Hubungan Internasional, Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, 2012.

Bryman, Alan, Social Research Methods, New York: Oxford University Press, 2008.\

Djelantik, Sukawarsini, Diplomasi antara Teori & Praktik, Jakarta: Graha Ilmu, 2008.
Erniaty J., Herry Yogaswara, Hubungan Sosial Budaya Penduduk Perbatasan RI dan
PNG: Kekerabatan, Ekonomi dan Mobilitas, Bandung: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
1997.

Anda mungkin juga menyukai