Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

HUKUM TELEMATIKA

JAWABAN NOMOR 1

Dalam hal ini perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa pada dasarnya itu, Ujaran
Kebencian sebagaimana yang telah dijelakan oleh Indriyanto Seno Adji, untuk menghentikan
ujaran kebencian dapat dilakukan melalui pengembangan budaya toleransi sebagai basis prevensi
dan melalui pendekatan represif yaitu dengan penegakan hukum. Namun langkah yang juga
penting adalah dengan memahami kebebasan berbicara (freedom of speech) dan ujaran
kebencian (hate speech) (Media Indonesia, 3 Maret 2018). Pemahaman kedua perbedaan istilah
ini akan mencegah ketidakpastian hukum dan multitafsir, sehingga tidak menghambat hak atas
kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi.

Pada dasarnya, ujaran kebencian berbeda dengan ujaran (speech) pada umumnya,
walaupun di dalam ujaran tersebut mengandung kebencian, menyerang dan berkobar-kobar.
Perbedaan ini terletak pada niat (intention) dari suatu ujaran yang memang dimaksudkan untuk
menimbulkan dampak tertentu, baik secara langsung (aktual) maupun tidak 2 langsung (berhenti
pada niat). Menurut Susan Benesch, jika ujaran tersebut dapat menginspirasi orang lain untuk
melakukan kekerasan, menyakiti orang atau kelompok lain, maka ujaran kebencian itu berhasil
dilakukan.

Lebih lanjut berdasakan Berdasarkan Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor SE/6/X/2015 Tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate
Speech) (“SE KAPOLRI 6/2015”). tentang Bentuk-Bentuk Ujaran Kebencian Dalam surat
edaran tersebut, dijelaskan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”) dan ketentuan pidana lainnya di luar
KUHP, yang berbentuk: 1. penghinaan; 2. pencemaran nama baik; 3. penistaan; 4. perbuatan
tidak menyenangkan; 5. memprovokasi; 6. menghasut; 7. penyebaran berita bohong; dan semua
tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan,
penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial; Selanjutnya, bahwa ujaran kebencian sebagaimana
dimaksud dalam Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
SE/6/X/2015 Tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) (“SE KAPOLRI
6/2015”).

Angka 2 huruf g), bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu
dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek: 1. suku; 2.
agama; 3. aliran keagamaan; 4. keyakinan/kepercayaan; 5. ras; 6. antargolongan; 7. warna kulit;
8. etnis; 9. gender; 10. kaum difabel (cacat); 11. orientasi seksual; Pada( angka 2 huruf (h)
disebutkan, ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai
media, antara lain: 1. Dalam orasi kegiatan kampanye. 2. Spanduk atau banner. 3. Jejaring media
sosial. 4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi). 5. Ceramah keagamaan. 6. Media
masa cetak atau elektronik. 7. Pamflet. Untuk kasus yang saudara alami, apabila terjadi seperti
kasus diatas yaitu penghasutan, alangkah baiknya apabila diselesaikan dulu masalahnya secara
mediasi atau dengan cara kekeluargaan sebelum ke langkah selanjutnya yang lebih jauh yaitu
ranah hukum.

 Apabila masalahnya tidak bisa diselesaikan dengan cara mediasi maka dengan
memperhatikan pengertian ujaran kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila tidak
ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak
diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa. Semua penghinaan tersebut dapat
dituntut jika ada pengaduan dari individu yang terkena dampak penghinaan. Pasal-pasal yang
mengatur tindakan Hate speech terhadap seseorang semuanya terdapat di dalam Buku I KUHP
Bab XVI khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317, dan Pasal 318 KUHP.
Sementara, penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap pemerintah, organisasi, atau suatu
kelompok diatur dalam pasal-pasal khusus, yaitu 1. Penghinaan terhadap kepala negara asing
(Pasal 142 dan Pasal 143 KUHP) 2. Penghinaan terhadap segolongan
penduduk/kelompok/organisasi (Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP) 3. Penghinaan terhadap
pegawai agama (Pasal 177 KUHP) 4. Penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia
(Pasal 207 dan pasal 208 KUHP) Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar
Hukum: -Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”) -Surat Edaran Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor SE/6/X/2015 Tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran
Kebencian (Hate Speech) (“SE KAPOLRI 6/2015”).
JAWABAN NOMOR 2

Dalam hal ini perlu kita kketahui terlebih dahulu bahwa pada dasarnya itu,
Perkembangan masyarakat modern yang disertai dengan kecanggihan teknologi informasi dan
komunikasi menyebabkan semakin  terbukanya kesempatan individu untuk berinteraksi dengan
sesama. Media sosial menjadi sebuah tempat bagi para warganet atau netizen dalam menjalankan
beberapa ajang interaksi tanpa harus mengenal, mengetahui identitas, dan saling bertemu. Salah
satu bentuknya dengan saling memberikan komentar tentang apa yang suatu individu lihat dan
rasakan dalam sebuah postingan atau berita.

Komentar menurut KBBI merupakan sebuah ulasan atau tanggapan atas berita, pidato,
dan sebagainya untuk menerangkan atau menjelaskan. Sehingga, berkomentar dapat disebut
sebagai kegiatan mengulas atau menanggapi. Berkomentar merupakan suatu hal yang wajar,
sebagai bentuk curahan ekspresivitas suatu individu. Namun, tidak jarang komentar dalam media
sosial kerap menggiring suatu tren untuk memberikan hujatan atau ujaran kebencian pada suatu
individu atau kelompok. Tidak tersedianya pembatasan pertimbangan baik dan buruk dalam
berkomentar menjadi awal penyalahgunaan media sosial di era gawai (Ningrum et al., 2018). Hal
tersebut tentu saja dapat mengakibatkan polemik antar individu atau kelompok, seperti perasaan
sakit hati, kegaduhan, hingga kekerasan.

        Ujaran kebencian bertolak belakang dengan konsep  kesantunan berbahasa, sama hal nya
dengan etika berkomunikasi (Ningrum et al., 2018). Menurut Beryandhi (2020), terdapat banyak
faktor pendorong seseorang melakukan ujaran kebencian, seperti permasalahan emosional
pribadi, berita bohong, dan bahkan sekadar iseng. Kasus ujaran kebencian yang dapat ditemukan
di media sosial sangat beragam. Dapat berupa penghinaan terhadap suatu ras, penghinaan
terhadap fisik atau penampilan seseorang, bahkan hal miris seperti menyuruh suatu individu
untuk mati atau menghilang. Ujaran kebencian di media sosial termasuk ke dalam cyberbullying.
Dilansir dari kompas.com, komentar jahat atau ujaran kebencian memang ditujukan untuk
menghina, merendahkan, membuat korban merasa sakit. Masalah tersebut tentu saja tidak bisa
diabaikan karena dapat mempengaruhi permasalahan mental seseorang.

Dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-


Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 225), R. Soesilo mengatakan bahwa penghinaan
ada 6 macam, yaitu:
1. Menista (smaad) terdapat di Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(“KUHP”)
2. Menista dengan surat (smaadschrift) ada di Pasal 310 ayat (2) KUHP;
3. Memfitnah (laster) terdapat di Pasal 311 KUHP;
4. Penghinaan ringan (eenvoudige belediging) terdapat di Pasal 315 KUHP;
5. Mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht) terdapat di Pasal 317 KUHP;
6. Tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking) terdapat di Pasal 318
KUHP.

Sementara itu, berdasarkan Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Nomor SE/6/X/2015
Tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) (“SE KAPOLRI 6/2015”)
dijelaskan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan
ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk:

1. penghinaan;
2. pencemaran nama baik;
3. penistaan;
4. perbuatan tidak menyenangkan;
5. memprovokasi;
6. menghasut;
7. penyebaran berita bohong;

Sehingga berdasarkan yang telah dijelaskan di atas, Komentar Negatif yang dilakukan di
Media Sosial sudah pasti masuk ke dalam penghinaan yang merupakan salah satu bentuk dari
ujaran kebencian. Selanjutnya, bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan
untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat
dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek: suku; agama; aliran keagamaan;
keyakinan/kepercayaan; ras; antargolongan; warna kulit; etnis; gender; kaum difabel (cacat);
orientasi seksual.

Maka dari itu, Sebelum mengunggah komentar seharusnya kita sebagai sesama manusia,
ikut memikirkan dampak yang akan diterima bagi diri sendiri maupun orang yang menerimanya.
Warganet dapat mengunggah ungkapan yang dirasa bermanfaat dan menghapus ungkapan yang
dirasa dapat menimbulkan kondisi negatif. Pintar dalam menyerap suatu opini juga sangat
penting, agar ujaran kebencian kedepannya tidak menjadi sebuah tren dan bisa diminimalisir.

JAWABAN NOMOR 3

Dalam hal ini perlu kita ketahui terlebih dahulu Kata delik berasal dari bahasa Latin,
yaitu dellictum, yang di dalam Wetboek Van Strafbaar feit Netherland dinamakan Strafbaar feit.
Dalam Bahasa Jerman disebut delict, dalam Bahasa Perancis disebut delit, dan dalam Bahasa
Belanda disebut delict. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut.
"Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-
undang; tindak pidana."

Delik adalah suatu kondisi di mana sanksi diberikan berdasarkan norma hukum yang ada.
Tindakan manusia dikatakan sebagai suatu delik karena aturan hukum mengenakan suatu sanksi
sebagai konsekuensi dari tindakan tersebut. Ujaran kebencian dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia adalah hukum dari negara tanpa melihat efek dari denotasi
sebuah kombinasi kata yang akhirnya memiliki makna tunggal dan sebuah perbuatan yang
memiliki sanksi atau telah menjadi delik. Delik ujaran kebencian ditaati oleh masyarakat
Indonesia karena telah menjadi hukum yang berlaku di dalam peraturan perundang-undangan
bukan karena penyelesaian dengan delik tersebut masyarakat mendapatkan apa yang dicita-
citakan atau kehendak yang seharusnya (das sollen).

perumusan delik ujaran kebencian, yaitu dalam menggunakan hak berekspresi;


berpendapat; berkarya dan lain sejenisnya, masyarakat tidak hanya menyalurkan hal tersebut
dengan bahasa/ujaran yang dapat langsung dipahami secara denotatif tapi juga dapat lewat seni
gambar, karya sastra, seni gerak, seni pertunjukan dan lain sebagainya, apakah denotasi hukum
mampu mengidentifikasi ujaran kebencian yang telah menjadi delik.

Selanjutnya jika kita membahas tentang reduplikasi delik dalam masalah ujaran
kebencian dan hubungannya dengan delik-delik terkait penghinaan di Indonesia, di Indonesia
walaupun GBHN sebagai produk hukum yang lebih tinggi telah menggariskan berbagai "arahan"
yang sangat ideal, namun dalam kenyataannya berbagai produk hukum yang lebih rendah
daripadanya justru melegitimasi adanya penyimpangan, dengan sebagai justifikasinya.
Dalam hal delik ujaran kebencian yang sejatinya lahir dari jenis delik aduan absolut
dalam perumusan barunya otomatis menjadi delik biasa dan dapat dilaporkan oleh siapapun/tidak
harus dari korban langsungnya adalah salah satu penyimpangan bangunan hukum terkait
perbuatan penghinaan berdasarkan regulasi hukum penghinaan di Indonesia.

Sehingga berdasarkan uraian diatas Delik Ujaran Kebencian adalah Hukum yang Berlaku
Bukan Hukum yang Seharusnya adalah senada dengan pendapat Hans Kelsen bahwa Hukum
adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam. Hukum adalah formal, suatu teori tentang
cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem
yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.

Dalam hal ini terkait pertanyaan yang menanyakan apakah sama ujaran kebencian dan
pencemaran nama baik, perlu kita ketahui bahwa pada dasarnya itu, Pencemaran nama baik
adalah suatu tindakan menyerang nama baik dan kehormatan seseorang melalui tulisan ataupun
lisan. Pencemaran nama baik atau penghinaan diatur dalam Pasal 310 KUHP. Jika pencemaran
nama baik tersebut dilakukan di media sosial, maka ketentuan hukumnya mengacu pada Pasal 27
ayat (3) UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Sedangkan Ujaran kebencian adalah tindakan atau
perbuatan yang mengandung kebencian atau permusuhan terhadap orang lain atau suatu
kelompok. Aspek ujaran kebencian didasarkan pada suku, ras, agama, kepercayaan atau
keyakinan, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, orientasi seksual, aliran keagamaan, dan
kaum difabel. Ujaran kebencian yang dilakukan di media sosial yaitu dalam Pasal 28 ayat (2) UU
ITE.

Sehingga berdasarkan apa yang telah di jelaskan di atas, antara Ujaran Kebencian dan
Pencemaran Nama Baik jelas berbeda, Jika pencemaran nama baik menyerang nama dan
kehormatan orang lain atau suatu kelompok, tetapi ujaran kebencian menyerang harkat dan
martabat manusia.

SUMBER REFRENSI
1. Lidya Suryani Widayati, Ujaran Kebencian: Batasan Pengertian dan Larangan, Jurnal
Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual dan Strategis, Vol. X, No. 6, Maret 2018, diakses di
https://berkas.dpr.go.id/sipinter/files/sipinter-2475-180-20210722101553.pdf
2. Egsaugm, BUDAYA BERKOMENTAR WARGANET DI MEDIA SOSIAL: UJARAN
KEBENCIAN SEBAGAI SEBUAH TREN, diakses di
https://egsa.geo.ugm.ac.id/2022/02/06/budaya-berkomentar-warganet-di-media-sosial-
ujaran-kebencian-sebagai-sebuah-tren/
3. Dimas Hutomo, Bentuk Penghinaan yang Bisa Dijeraat Pasal tentang Hate Speech,
diakses di https://www.hukumonline.com/klinik/a/bentuk-penghinaan-yang-bisa-dijerat-
pasal-tentang-ihate-speech-i-lt5b70642384e40

Anda mungkin juga menyukai