Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pengelolaan sumber daya pesisir di Indonesia masih mengalami berbagai
permasalahan. permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat berbagai macam pula, baik
secara sosial dan budaya, politik, ekonomi maupun kondisi lingkungan di suatu wilayah
itu sendiri. Menurunnya kualitas lingkungan dan daya dukung, saran dan prasarana
terbatas, demikian pula tingkat aksesbilitas dan dana yang tersedia termasuk program
pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. Lingkungan sosial maupun lingkungan
alam merupakan hal utama dalam menentukan pemberdayaan. sejak dulu pengelolaan
sumber daya pesisir belum berjalan secara optimal. Sehingga kompleksitas permasalahan
kelautan dan perikanan tidak dapat dilepaskan bertahun-tahun lamanya, hal ini
disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang lebih berbasiskan daratan.
Hal ini mejadi penyebab masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir menjadi
masyarakat termiskin di seluruh nusantara (Awaka, 2010). Saat ini pemerintah sedang
mengoptimalkan kebijakan dalam mengembangkan kawasan pesisir dan laut. Hal ini
dapat mengatasi permasalahan yang terjadi di masyarakat pesisir. Salah satu cara untuk
mengatasi permasalahan yang terjadi adalah dengan memberdayakan masyarakat yang
tinggal di wilayah itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan
proses pertumbuhan dan perkembangan kekuatan masyarakat untuk ikut terlibat dalam
berbagai aspek pembangunan di wilayah tersebut (Arviyanthi, 2012). Selain itu
pemberdayaan masyarakat merupakan konsep pembangunan ekonomi yang dapat
merangkul nilai-nilai sosial. Pemberdayaan tidak hanya dilaukan oleh berbagai macam
program dari pemerintah namun masyarakat juga ikut melaksanakannya.
Salah satu wilayah pesisir yang ada di Indonesia adalah Desa Tongas Kulon, desa ini
berada di Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Desa ini merupakan
desa yang terletak di Pantai Selat Madura (Petajalan.com). Desa ini memiliki kawasan
mangrove yang cukup luas, namun buah mangrove belum dimanfaatkan dengan baik.
Hasil laut yang berupa kepiting, ikan yang dijual mentah tanpa dijadikan sebagai olahan
untuk dijadikan sebagai buah tangan. Pada dasarnya mangrove dapat diolah menjadi
berbagai produk bernilai jual tinggi yang dapat menambah pendapatan warga. Potensi
mangrove dan hasil laut belum dimanfaatkan secara optimal. sumberdaya yang terdapat di
desa ini jika dimanfaatkan secara optimal dapat meningkatkan perekonomian masyarakat
desa. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pemberdayaan di desa tongas kulon agar
potensi sumber daya alam yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut
:
1. Bagaimana kondisi aset fisik di Desa Tongas Kulon?
2. Bagaimana kondisi non-fisik di Desa Tongas Kulon?
3. Bagaimana dampak kerjasama antara masyarakat Desa Tongas Kulon dengan
UINSA?
4. Bagaimana upaya yang dilakukan dalam mengoptimalkan pemanfaatan potensi Desa
Tongas Kulon?

1.3 TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang diperoleh adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui kondisi aset fisik di Desa Tongas Kulon.
2. Mengetahui kondisi non-fisik di Desa Tongas Kulon.
3. Mengetahui dampak kerjasama antara masyarakat Desa Tongas Kulon dengan
UINSA.
4. Mengetahui upaya yang dilakukan dalam mengoptimalkan pemanfaatan potensi Desa
Tongas Kulon.

1.4 MANFAAT
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan literatur untuk pengembangan
keilmuan dan menambah ilmu pengetahuan di bidang sosial masyarakat, serta tentang
potensi serta kondisi perekonomian masyarakat Desa Tongas Kulon.
2. Manfaat praktis
a. Bagi Pemerintah Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Probolinggo dapat
dijadikan sebagai bahan rekomendasi dalam perbaikan sistem pemberdayaan
masyarakat pesisir.
Selain itu juga dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk menentukan kebijakan
dalam memanfaatkan potensi yang ada di wilayah tersebut
b. Bagi masyarakat, dapat memberikan informasi mengenai pola perbaikan ekonomi
dan melibatkan secara langsung dalam program-program yang akan dilakukan
oleh pemerintah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keadaan Umum Wilayah Tongas
2.1.1 Sejarah
Syaroni (2011) mengungkapkan bahwa arti sejarah secara etimologi dapat
dibagi berdasarkan empat bahasa, yaitu:
1. Bahasa Inggris yang berasal dari kata “history” yang memiliki arti masa
lampau, cerita, catatan, dan juga peristiwa.
2. Bahasa Jerman yang berasal dari kata “geschicht” yang berarti telah terjadi.
3. Bahasa Belanda yang berasal dari kata “gischedinisch” yang berarti peristiwa
atau kejadian.
4. Bahasa Arab yang berasal dari kata “syajarotun” yang memiliki arti pohon.
Pohon juga dapat diartikan sebagai “wit”, apabila “wit”nya banyak maka akan
menjadi “wit-wit an” (wiwitan) yang kemudian diartikan sebagai asal-usul atau
asal mulanya kejadian.

Syaroni (2011), mengatakan bahwa dalam kamus Bahasa Indonesia, arti sejarah
sendiri mengandung tiga pengertian, yaitu riwayat, silsilah atau asal-usul, dan
kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sedangkan
menurut beberapa ahli, definisi sejarah adalah sebagai berikut:

1. Dr. R. Ruslan Abdul Gani:


Sejarah merupakan cabang dari ilmu pengetahuan yang meneliti dan
menyelidiki perkembangan masyarakat, kejadian-kejadian di masa lampau
beserta masyarakat yang hidup pada saat itu secara sistematis.
2. Prof. Dr. H. Muh. Yamin:
Sejarah adalah ilmu pengetahuan yang tersusun atas hasil penyelidikan dari
beberapa peristiwa yang dapat dibuktikan dengan fakta- fakta yang ada.
3. Patrick Gardiner:
Suatu ilmu yang mempelajari macam-macam hal yang telah dilakukan atau
diperbuat oleh manusia dinamakan dengan sejarah.
4. JV. Bryce:
Sejarah merupakan kumpulan catatan dari apa saja yang dikatakan, dipikirkan,
dan juga diperbuat oleh manusia.
5. R. Moh. Ali:
Sejarah merupakan suatu ilmu yang terfokuskan pada pencatatan sesuatu hal
atau peristiwa yang penting bagi manusia.

Berdasarkan definisi yang telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa di


dalam sejarah mengandung peristiwa yang telah tersusun secara sistematis melalui
penelitian terlebih dahulu serta adanya ilmu yang mempelajari perkembangan
peristiwa ataupun kejadian yang terjadi di masa lampau yang berhubungan, baik
dengan manusia maupun benda, sehingga menyebabkan adanya perubahan dalam
kehidupan manusia. Sejarah memiliki rentang waktu yang panjang dan
berkesinambungan (continue), maka dari itu, sejarah mengandung nilai-nilai spesifik
apabila dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lainnya. Sesuatu dapat dikatakan sejarah
apabila mengandung unsur ilmu, masa lampau, peristiwa, manusia, dan bukti sejarah
(Syaroni dkk, 2011).

2.1.2 Lokasi
Desa Tongas Kulon merupakan desa yang berada di Kecamatan Tongas,
Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Tongas Kulon merupakan salah satu
desa di Kecamatan Tongas yang terletak di pantai Selat Madura, dengan batas - batas
sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Laut (Pantai Utara)
b. Sebelah Timur : Desa Tongas Wetan
c. Sebelah Selatan : Desa Pamatan
d. Sebelah Barat : Desa Curah Tulis
Luas wilayah Desa Tongas Kulon 787,314 Ha yang terdiri dari, Persawahan
558,075 Ha, Tegalan 129,972 Ha, Pemukiman 97,364 Ha, dan falisitas Umum 2.002
Ha (Mujib, 2012). Desa Tongas Kulon merupakan dataran dengan ketinggian sekitar
10 m di atas permukaan laut, iklim Tongas Kulon termasuk dalam klasisfikasi sebagai
iklim tropis. Di musim dingin, terdapat lebih sedikit curah hujan dari pada musim
panas. Klasifikasi iklim suhu di Tongas Kulon rata - rata 26.5oC dan dalam setahun
curah hujan rata - rata adalah 1251 mm. Presipitasi terendah di Agustus, dengan rata -
rata 3 mm (Mujib, 2012). Dengan rata - rata 234 mm, hampir semua presipitasi jatuh
pada bulan Februari. Pada suhu rata - rata 27.4oC, Nopember adalah bulan terpanas
sepanjang tahun. Juli memiliki suhu rata - rata terendah dalam setahun ini adalah
25oC. Diantara bulan terkering dan bulan terbasah, perbedaan dalam presipitasi adalah
240 mm. selama setahun tersebut suhu rata - rata bervariasi menurun 2.4oC (Mujib,
2012).

2.1.3 Potensi
Desa Tongas Kulon memiliki potensi yang sangat besar, baik sumber daya
alam maupun sumber daya manusia. Mujib (2012) mengatakan bahwa sumber daya
alam yang dimiliki oleh Desa Tongas Kulon adalah sebagai berikut:
a. Lahan pertanian (sawah) seluas 16,28 Ha yang masih dapat ditingkatkan
produktivitasnya karena saat ini belum dikerjakan secara maksimal.
b. Lahan perkebunan dan pekarangan yang subur seluas 19,2 Ha, belum dikelola
secara maksimal.
c. Tersedianya pakan ternak yang baik untuk mengembangkan peternakan seperti
sapi, kambing, dan ternak lain.
d. Banyaknya sisa kotoran ternak sapi atau kambing memungkinkan untuk
mengembangkan usaha pembuatan pupuk organik.
Selain itu, menurut Mujib (2012), adapun sumber daya manusia di Desa Tongas
Kulon sebagai berikut:
a. Kehidupan masyarakat dari masa ke masa relatif teratur dan terjaga adatnya.
b. Besarnya penduduk usia produktif disertai etos kerja masyarakat yang tinggi.
c. Terpeliharanya budaya rembug (musyawarah) di desa dalam penyelesaian
permasalahan.
d. Cukup tingginya dalam pembangunan desa
e. Masih hidupnya tradisi gotong royong dan kerja bakti masyarakat.
f. Terpeliharanya budaya saling membantu di antara warga masyarakat
g. Kemampuan Bertani yang diwariskan secara turun temurun
Besarnya sumber daya perempuan usia produktif sebagai tenaga produktif
yang dapat mendorong potensi industri rumah warga.
2.2 Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
2.2.1 Pengertian Pemberdayaan
Pemberdayaan merupakan proses serta tujuan suatu kegiatan yang
berfungsi untuk memperkuat keberdayaan atau kekuatan kelompok lemah
dalam masyarakat. Tujuan utama dari pemberdayaan adalah menuju pada
keadaan yang lebih baik secara fisik, ekonomi maupun secara sosial. Keadaan
sosial yang lebih baik yakni seperti memiliki kepercayaan diri, dapat
menyampaikan aspirasi kepada pemerintahan, memiliki mata pencaharian
yang layak, serta dapat berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan mandiri dalam
melaksanakan tugas-tugas kehidupan (Rahmanto dan Endang, 2015). Selain
itu, tujuan pemberdayaan adalah dapat memampukan dan memandirikan
masyarakat terutama dari kemiskinan dan keterbelakangan. Menurut
Arviyanthi dkk (2016), istilah pemberdayaan juga dapat diartikan sebagai
suatu upaya untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh individu,
kelompok, maupun masyarakat luas agar masyarakat memiliki kemampuan
untuk melakukan kontrol terhadap lingkungannya serta memenuhi harapan-
harapan mereka, termasuk aksesbilitasnya terhadap sumberdaya alam maupun
sumberdaya manusia yang terkait dengan pekerjaan serta aktifitas sosialnya.
Pemberdayaan berarti upaya atau suatu kekuatan yang dilakukan
sekelompok masyarakat dengan harapan dapat meningkatkan daya guna dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya ke arah yang lebih sejahtera. Pemberdayaan
memiliki konsep dasar yaitu upaya suatu kelompok masyarakat untuk dapat
meningkatkan kemampuan serta kemandirian sehingga masyarakat dapat
mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki dalam rangka tujuan hidup
yang lebih sejahtera. Pemberdayaan yang diinginkan masyarakat adalah suatu
pemberdayaan yang bisa membangun masyarakat ke arah yang lebih sesuai
dengan tujuan hidup mereka (Indarti dan Dwiyadi, 2013).
2.2.2 Pengertian Pemberdayaan Mayarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pemberian daya atau
kekuatan (power) terhadap perilaku dan potensi individu atau masyarakat,
serta pengorganisasian kelompok masyarakat oleh pemerintah maupun
masyarakat itu sendiri atas dasar partisipasi. Pemberdayaan tersebut bertujuan
agar masyarakat mempunyai inisiatif untuk dapat melaksanakan berbagai
kegiatan sosial kemasyarakatan di sekitarnya untuk dapat memperbaiki atau
meningkatkan kualitas serta kondisi diri sendiri menjadi lebih baik lagi. Selain
itu, pemberdayaan memiliki tujuan untuk membuat masyarakat dapat hidup
mandiri, dapat mengatasi segala aspek permasalahan yang ada, dalam arti
memiliki potensi agar mampu mengatasi permasalahan yang mereka hadapi
dan sanggup memenui kebutuhannya dengan tidak bergantung pada bantuan
pihak luar baik pemerintah maupun non pemerintah (Taufik, 2013).

2.2.3 Tujuan dan Sasaran Pemberdayaan Masyarakat


Menurut Ding (2014), tujuan dan sasaran pemberdayaan masyarakat adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
a. Membantu pengembangan manusiawi yang otentik dan integral dari
masyarakat lemah, rentan, miskin marjinal dan kaum kecil petani kecil,
buruh tani masyarakat kecil perkotaan, masyarakat adat terbelakang,
kaum pencari kerja, kaum cacat dan kelompok wanita yang
didiskriminasikan dan dikesampingkan.
b. Memberdayakan kelompo-kelompok masyarakat tersebut secara
sosioekonomis sehingga mereka dapat lebih mandiri dan dapat
memenuhi kebutuhan dasar mereka sehingga mereka dapat lebih
mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka namun
sanggup berperan serta dalam masyarakat.
2. Sasaran Pemberdayaan Masyarakat
 Tumbuhnya kesadaran masyarakat serta keterlibatan masyarakat
mengorganisir diri untuk kemajuan dan kemandirian bersama.
 Diperbaikinya kondisi sekitar kehidupan kaum renta, tak berdaya,
miskin dengan kegiatan-kegiatan peningkatan pemahaman,
peningkatan pendapatan dan usaha-usaha dibidang ekonomi secara
swadaya.
 Ditingkatkan kemampuan dan kinerja kelompo-kelompok swadaya
dalam keterampilan teknis dan manajemen untuk perbaikan
produktifitas dan pendapatan mereka.
2.2.4 Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Konteks pekerjaan sosial pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga
aras atau matra pemberdayaan (empowering setting), yaitu Aras Mikro, Aras
Mezzo, dan Aras Makro (Suharto, 2005 dalam Ding, 2014). Berikut
penjelasan dari masing-masing matra pemberdayaan:
1. Aras Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu
melalui bimbingan, konseling, strees management, crisis intervention.
2. Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan sekelompok klien. Pemberdayaan
dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi.
Pendidik atau pelatihan, dinamika kelompok biasanya digunakan sebagai
srategi dalam meningkatkan kesadaran pengetahuan, keterampilan dan
sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang
dihadapi.
3. Aras Makro. Pemberdayaan ini sering disebut juga sebagai strategi sistem
besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada
sistem lingkungan yang lebih luas.

2.2.5 Pengertian Masyarakat Nelayan


Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang saling berinteraksi
dan memiliki prasarana untuk kegiatan serta saling adanya keterikatan untuk
mencapai tujuan bersama. Masyarakat adalah tempat kita untuk dapat melihat
dengan jelas individu sebagai keluarga, keluarga sebagai tempat prosesnya,
dan masyarakat adalah tempat kita melihat hasil (output) dari proses tersebut
(Taufik, 2013).
Masyarakat nelayan merupakan masyarakat yang hidup, beraktifitas,
tumbuh, dan juga mendiami suatu kawasan transisi antara darat dan laut yang
biasa disebut dengan wilayah pesisir. Masyarakat pesisir memiliki nilai dan
juga simbol kebudayaan yang digunakan sebagai acuan untuk perilaku mereka
sehari-hari. Akibat adanya faktor kebudayaan inilah yang menyebabkan
masyarakat nelayan berbeda dengan kelompok yang lainnya. Potensi dan
kelimpahan dari sumber daya perikanan membuat sebagian masyarakat pesisir
secara langsung maupun tidak langsung menggantungkan kelangsungan
hidupnya dengan mengelola hasil dari sumber daya perikanan (Ajie, 2013).
Masyarakat pesisir merupakan sekelompok warga yang memiliki
tempat tinggal di wilayah pesisir dan hidup bersama serta memenuhi
kebutuhan hidupnya dari sumber daya di wilayah pesisir. Masyarakat yang
hidup di wilayah pemukiman pesisir memiliki karakteristik secara sosial
ekonomis sangat terkait dengan sumber perekonomian di wilayah laut
(Awaka, 2011).
Demikian pula dengan jenis mata pencaharian yang memanfaatkan
sumberdaya alam atau jasa-jasa lingkungan yang ada di sekitar wilayah pesisir
seperti nelayan, petani ikan, dan pemilik atau pekerja industri maritim.
Masyarakat pesisir yang didominasi oleh pengusaha perikanan pada umumnya
masih berada pada garis kemiskinan, mereka tidak mempunyai pilihan mata
pencaharian, memiliki tingkat pendidikan yang rendah, tidak mengetahui dan
menyadari kelestarian sumber daya alam dan lingkungan (Taufik, 2013).
Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah daratan yang berbatasan
dengan laut, batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air
maupun yang tidak tergenang air tetapi masih dipengaruhi oleh proses laut
seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi garam. Sedangkan batas di laut
ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan
seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut
yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Santosa dkk,
2016).
Taufik (2013), mengemukakan bahwa lingkungan alam sekitar akan
membentuk sifat dan perilaku masyarakat. Lingkungan fisik serta biologi
mempengaruhi interaksi sosial, distribusi peran sosial, karakteristik nilai,
norma sosial, sikap dan persepsi yang melembaga dalam masyarakat.
Dikatakannya pula perubahan lingkungan dapat merubah konsep keluarga.
Nilai-nilai sosialyang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan
fungsi lingkungan dapat memacu perubahan sosial. Masyarakat kawasan
pesisir cenderung agresif karena kondisi lingkungan pesisir yang panas serta
terbuka, keluarga nelayan biasanya mudah diprovokasi oleh pihak luar, dan
salah satu kebiasaan yang umum di kalangan masyarakat pesisir adalah
mereka lebih konsumtif karena kemudahan mendapatkan uang (Indarti dan
Dwiyadi, 2013).
Persoalan sosial dalam pengelolaan lingkungan sosial antara lain:
berkembangnya konflik sosial, ketidakmerataan akses sosial ekonomi,
meningkatnya jumlah pengangguran, meningkatnya angka kemiskinan,
meningkatnya kesenjangan sosial ekonomi, kesenjangan akses pengelolaan
sumberdaya, meningkatnya gaya hidup (konsumtif), kurangnya perlindungan
pada hak-hak masyarakat lokal atau tradisional dan modal sosial, perubahan
nilai, memudarnya masyarakat adat, lemahnya kontrol sosial, perubahan
dinamika penduduk, masalah kesehatan dan kerusakan lingkungan.
Masyarakat pesisir yang dimaksudkan dalam uraian ini adalah mereka yang
hidup dan menetap di kawasan pesisir dan laut. Secara khusus masyarakat
pesisir yang dimaksudkan dalam uraian ini adalah para nelayan tradisional
yang oleh karena ketidakberdayaannya dalam segala aspek, baik materi,
pengetahuan, maupun teknologi, menjadikan mereka miskin dan tertinggal
(Qodriyatun, 2013).

2.2.6 Pemberdayaan Masyarakat Pesisir


Pemberdayaan masyarakat pesisir merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan di wilayah pesisir dengan tujuan dapat meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pengelolaan
sumberdaya laut dan pesisir. Dengan demikian akan lebih menjamin
kesinambungan peningkatan pendapatan masyarakat dan pelestarian
sumberdaya pesisir dan laut langsung dengan penduduk (Arviyanthi dkk,
2016).
Pada prinsipnya, pemberdayaan masyarakat pesisir memiliki tujuan
untuk mencapai kesejahteraan sosial budaya dan hal ini menjadi dasar
membangun kawasan pesisir. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan dukungan
kualitas sumberdaya manusia dan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang
optimal dalam kehidupan warga. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan dan
tujuan yang terukur, yang pencapaianya dilakukan secara bertahap, dengan
memperhatikan kemampuan sumberdaya pembangunan yang dimiliki oleh
masyarakat pesisir (Indarti dan Dwiyadi, 2013). Tujuan pemberdayaan dapat
tercapai dengan baik jika interaksi antara masyarakat dan pemerintah dalam
pengelolaan sumberdaya sosial, ekonomi dan lingkungan terjalin dengan baik.
Beberapa dasar filosofis yang harus dipertimbangkan dalam kegiatan
pemberdayaan masyarakat pesisir menurut Taufik (2013) adalah sebagai
berikut:
a. Potensi sumberdaya alam yang ada di kawasan pesisir adalah karunia
Allah SWT sehingga harus dijaga kelestariannya oleh semua pihak serta
dikelola secara optimal dan berkelanjutan untuk kesejahteraan sosial,
budaya, dan kemakmuran ekonomi masyarakat pesisir.
b. Pengelolaan potensi sumberdaya alam pesisir dan dan laut harus
dilaksanakan oleh masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya laut
dengan sikap hati-hati, berorientasi pada kepentingan masa depan. Serta
dilandasi oleh rasa tanggung jawab terhadap Allah SWT dan generasi
penerus mereka.
c. Negara bertanggung jawab terhadap masa depan kehidupan warganya dan
menjamin perwujudan hak-hak warga terhadap akses sumberdaya
ekonomi dan lingkungan sebagai upaya menjaga kelangsungan hidup
masyarakat dikawasan pesisir.
d. Masyarakat, lembaga pemerintah, dan lembaga non pemerintah
bertanggung jawab untuk melindungi kelestarian sumberdaya alam dari
berbagai ancaman.
Di samping landasan filosofis di atas, asas-asas yang harus dijadikan
acuan dalam mengaplikasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat pesisir
menurut Arviyanthi dkk (2016) adalah sebagai berikut :
a. Asas kemanusiaan, asas ini menempatkan pemberdayaan sebagai sarana
untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka memanusiakan
manusia. Oleh karena itu, harus dihindari timbulnya percikan pemikiran
dan aktivitas-aktivitas pemberdayaan yang bertentangan dengan nilai-
nilai kemanusiaan.
b. Asas keadilan sosial, asas ini menempatkan kesejahteraan sosial dan
kemakmuran ekonomi yang merata, proporsional, dan adil sebagai tujuan
pembangunan dan menjadi sarana mewujudkan kebahagiaan dunia akhirat
masyarakat di kawasan pesisir.
c. Asas demokrasi partisipatif, asas ini menempatkan bahwa kegiatan untuk
mencapai tujuan pemberdayaan merupakan proses panjang yang harus
menjadi tanggung jawab semua pihak. Demokrasi dalam pemberdayaan
merupakan upaya mewujudkan tanggung jawab kolektif dalam
mengemban amanat pembangunan. Oleh karena itu, asas demokrasi
partisipatif sangat menghargai dan menjunjung tinggi prakarsa lokal dan
partisipasi masyarakat.

Kegiatan pemberdayaan masyarakat nelayan akan mampu mencapai


tujuan secara optimal jika masyarakat membuka diri terhadap partisipasi
pihak-pihak lain, seperti perusahaan swasta, LSM, atau perguruan tinggi yang
memiliki kepedulian terhadap pembangunan kawasan pesisir. Dalam kerja
sama antara pihak ini, yang harus dipegang teguh oleh masyarakat adalah
prinsip-prinsip saling menguntungkan dan tidak merugikan salah satu pihak,
saling menghormati, serta dapat membawa arus perubahan kehidupan sosial,
ekonomi dan budaya ke arah yang lebih baik dari masa-masa sebelumnya
(Qodriyatun, 2013).

Agar skala pencapaian pemberdayaan cukup signifikan, maka basis


pemberdayaan pada masyarakat di kawasan pesisir adalah keluarga atau
rumah tangga. Penguatan sosial, budaya, ekonomi, dan politik pada unit-unit
terkecil dalam kehidupan masyarakat ini diharapkan dapat memperkokoh
integrasi sosial dan komitmen kolektif terhadap pembangunan kawasan
pesisir secara berkelanjutan (Indarti dan Dwiyadi, 2013).

Beberapa indikator yang menandai bahwa suatu masyarakat pesisir


memiliki keberdayaan menurut Indarti dan Dwiyadi (2013) adalah sebagai
berikut:

a. Tercapainya kesejahteraan sosial ekonomi: individu, rumah tangga, dan


masyarakat, yang ditandai dengan hal-hal berikut ini :
1. Kemandirian ekonomi berkembang, orientasi kewirausahaan
meningkat,dan kepercayaan diri menguat.
2. Nilai tabungan dan investasi bertambah.
3. Kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi optimal dan berkelanjutan.
4. Kondisi kualitas SDM berkembang baik.
b. Kelembagaan-kelembagaan ekonomi yang ada dapat berfungsi optimal
dan aktivitas ekonomi stabil.
1. Kelembagaan sosial atau pranata-pranata budaya berfungsi dengan
baik sebagai instrumen aspirasi pembangunan lokal.
2. Potensi sumberdaya lingkungan sebagai basis kehidupan masyarakat
pesisir terpelihara kelestariannya dan bisa dimanfaatkan secara
berkelanjutan.
3. Berkembangnya kemampuan akses masyarakat terhadap sumberdaya
ekonomi: informasi, kapital, pasar, teknologi, dan jaringan kemitraan.
4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan
pembangunan di kawasan pesisir dan tumbuhnya kesadaran kritis
warga terhadap persoalan-persoalan pembangunan yang ada di
kawasan pesisir.
5. Kawasan pesisir menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi wilayah
dan ekonomi nasional yang dinamis, serta memiliki daya tarik
investasi.
2.3 Kemiskinan
Kemiskinan dalam arti proper dipahami sebagai suatu keadaan dimana
kekurangan uang dan juga barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Sedangkan
dalam arti luasnya, kemiskinan adalah suatu fenomena multiface atau dapat disebut
juga multidimensional (Nasikun, 2001 dalam Suryawati, 2005).
Menurut Nasikun (2001) dalam Suryawati (2005), kemiskinan dibagi kedalam
empat bentuk, yaitu:
a. Kemiskinan absolut, dimana pendapatannya ada di bawah garis kemiskinan atau
tidak mencukupi untuk memenuhi sandang, pangan, dan papan.
b. Kemiskinan relatif, hal ini karena adanya pengaruh dari kebijakan pembangunan
yang belum terjangkau oleh semua masyarakat, sehingga menyebabkan adanya
ketimpangan dalam hal pendapatan.
c. Kemiskinan kultural, dikarenakan sikap seseorang atau masyarakat yang tidak mau
berusaha untuk memperbaiki kualitas hidupnya, bermalas-malasan, boros, dan
tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
d. Kemiskinan struktural, disebabkan oleh akses yang rendah terhadap sumber daya
yang ada di suatu sistem sosial budaya dan juga sosial politikyang seringkali malah
menyuburkan kemiskinan dan tidak mendukung adanya pembebasan kemiskinan.

2.3.1 Penyebab Kemiskinan


Nasikun (2001) dalam Suryawati (2005), mengamati dari beberapa
sumber dan berikut ini merupakan beberapa proses penyebab terjadinya
kemiskinan, yaitu:
a. Policy induces processes, merupakan proses pemiskinan yang dilestarikan
dan direproduksi melalui pelaksanaan adanya suatu kebijakan (induced of
policy) dan diantaranya adalah kebijakan mengenai anti kemiskinan, tetapi
realitanya justru melestarikan kemiskinan itu sendiri.
b. Socio-economic dualism, kemiskinan dikarenakan oleh pola produksi
kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah-tanah yang paling subur
dikuasai oleh petani yang berskala besar dan berorientasi ekspor.
c. Population growth, perspektif ini didasari pada teori Malthus yang
mengatakan bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur sedangkan
pertambahan pangan hanya seperti deret hitung.
d. Recources management and the environment, hal ini karena adanya unsur
mismanagement mengenai sumber daya alam dan lingkungan, contohnya
seperti manajemen pertanian yang akan menurunkan produktivitas apabila
dilakukan dengan cara asal tebang.
e. Natural cycles and processes, kemiskinan yang terjadi karena adanya siklus
alam. Misalnya saja tinggal di lahan kritis yang mana lahan ini akan terjadi
banjir apabila hujan turun tetapi saat musim kemarau lahan tersebut akan
kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan adanya produktivitas yang
maksimal dan terus-menerus.
f. The marginalization of woman, penyepelean terhadap kaum perempuan
karena perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga
akses dan penghargaan hasil kerja yang diberikan akan lebih rendah dari laki-
laki.
g. Cultural and ethnic factors, disebabkan oleh faktor budaya dan etnik yang
memelihara kemiskinan. Contohnya, pola hidup petani dan nelayan yang
konsumtif ketika panen raya, serta adanya adat istiadat yang sangat
konsumtif saat diadakannya upacara adat atau keagamaan.
h. Explotative intermediation, adanya keberadaan penolong yang menjadi
penodong, seperti rentenir (lintah darat).
i. Internal political fragmentation and civil stratfe, disebabkan oleh suatu
kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya
kuat. Hal ini juga dapat menjadi penyebab kemiskinan.
j. International processes, adanyanya sistem-sistem internasional (kolonialisme
dan kapitalisme) yang membuat banyak negara menjadi semakin miskin.

Selain itu, Nasikun (2001) dalam Suryawati (2005) juga mengatakan


bahwa terdapat faktor lain yang dapat menjadi penyebab kemiskinan di
masyarakat khususnya di pedesaan yang disebabkan oleh keterbatasan aset yang
dimiliki, yaitu:

a. Natural assets, contohnya seperti tanah dan air, karena sebagian besar
masyarakat di pedesaan hanya menguasai lahan yang kurang memadai untuk
mata pencahariannya.
b. Human assets, hal ini menyangkut kualitas terhadap sumber daya manusia
yang relatif masih rendah dibandingkan masyarakat di perkotaan. Hal ini
baik dalam bidang tingkat pendidikan, keterampilan, pengetahuan, maupun
tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi.
c. Physical assets, yaitu minimnya akses untuk ke infrastruktur dan juga fasilitas
umum seperti listrik, jaringan jalan, dan komunikasi yang ada di pedesaan.
d. Financial assets, berupa tabungan, serta akses untuk memperoleh modal
usaha.
e. Social assets, berupa kontak, jaringan, dan juga pengaruh politik, dalam hal
ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan
politik.

2.4 Potensi Sumber Daya Pesisir dan Laut


Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan
(interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam
dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan ini mempunyai daya tarik
tersendiri bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan mendorong
berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya (Clark, 1996 dalam Nasiru,
2017). Sumberdaya pesisir sendiri merupakan salah satu sumberdaya alam,
sumberdaya binaan atau buatan, dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di sekitar
wilayah pesisir.
Menurut Durand (2010), Potensi sumberdaya pesisir secara umum dibagi
menjadi empat kelompok, yaitu:
1. Sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources)
2. Sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources)
3. Energi kelautan
4. Jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services)
Sumberdaya yang dapat pulih seperti berbagai jenis ikan, udang, rumput laut,
padang lamun, magrove, terumbu karang. Seumberdaya tersebut biasanya termasuk
dalam kategori kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (marine culture).
Ketersediaan lahan pesisir merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan
untuk kegiatan perikanan maupun pengembangan sumberdaya pesisir yang lain.
Demikian juga dengan wilayah perairan pantainya yang dapat dikembangkan untuk
kegiatan budidaya maupun kegiatan pariwisata yang dapat meningkatkan
perekonomian masyarakat pesisir (Durand, 2010).
Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang atau galian,
minyak bumi, dan gas. Sumberdaya energi terdiri dari OTEC (Ocean Thermal
Energy Consevation), pasang surut, gelombang, dan sebagainya. Sedangkan yang
termasuk jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut
seperti dengan adanya pelabuhan yang dapat memudahkan transportasi atas wilayah.
Selain itu, dengan adanya jasa-jasa lingkungan kelautan juga dapat meningkatkan
pendapatan pemerintah pengelola maupun masyarakat pesisir sendiri (Durand,
2010).
Wilayah pesisir dan laut memiliki ekosistem yang dinamis serta memiliki
karakteristik yang sangat unik. Keunikan wilayah pesisir dan laut yang dimiliki
Indonesia mengisyaratkan bahwa pengelolaan wilayah tersebut sangat penting untuk
dilaksanakan secara terpadu dan bijaksana. Menurut Mirza dkk (2017), secara
biofisik wilayah pesisir memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Secara empiris terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar
ekosistemdi dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan
lahan atau uplanddengan laut lepas. Perubahan yang terjadi pada suatu
eksosistem pesisir, cepat ataulambat, langsung atau tidak langsung akan
mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pulajika pengelolaan kegiatan
pembangunan (industri, pertanian, pemukiman dan lain-lain)di lahan atas
(upland) suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak dilakukan secarabijaksana
akan merusak tatanan dan fungsi ekologis kawsan pesisir dan laut.
b. Dalam suatu kawasan pesisir, biasanya terdapat lebih dari dua macam
sumberdaya alamdan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk
kepentingan pembangunan.Terdapat keterkaitan langsung yang sangat kompleks
antara proses-proses dan fungsilingkungan dengan pengguna sumberdaya alam.
c. Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok
masyarakat yang memiliki keterampilan atau keahlihan dan kesenangan
(preference)bekerja yang berbeda sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani
rumput laut,pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga dan
sebagainya. Padahalsangat sukar atau hampir tidak mungkin untuk mengubah
kesenangan bekerja (profesi)sekelompok orang yang sudah memiliki tradisi
menekuni suatu bidang pekerjaan.
d. Baik secara ekologis maupun secara ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan
pesisir secaramonokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan
internal maupuneksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Misalnya suatu
hamparan pesisir hanyadigunakan untuk satu peruntukan, seperti tambak, maka
akan lebih rentan, jika hamparan tersebut digunakan untuk beberapa
peruntukan.
e. Kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama
(commonproperty resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open
access) Sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan.
Olehkarena itu, wajar jika pencemaran sering terjadi di suatu lokasi yang over
eksploitasi sumberdaya alam dan konflikpemanfaatan ruang seringkali terjadi di
kawasan ini, yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik antar masyarakat.

Kawasan pesisir memiliki tiga habitat utama (vital) yakni mangrove, padang lamun
dan terumbu karang. Di antara ketiga habitat tersebut terdapat hubungan dan interaksi
yang saling mempengaruhi. Kerusakan yang terjadi pada satu habitat akan
mempengaruhi kehidupan biota pada habitat lainnya, sehingga pengelolaan pada suatu
habitat harus mempertimbangkan kelangsungan habitat lainnya (Mirza dkk, 2017).

2.5 Kebijakan Pemerintah Daerah


2.5.1. Pengertian Kebijakan
Jumlah masyarakat pesisir yang hidup dalam kemiskinan semakin lama
semakin tinggi, oleh karena itu kebijakan-kebijakan pemerintah sangat dibutuhkan
untuk mengatasi hal tersebut. Untuk pemecahan masalah kemiskinan ini diperlukan
analisis kebijakan yang optimal (Ajie, 2013). “Menurut Dunn, analisis kebijakan
merupakan suatu ilmu sosial terapan yang mana harus menggunakan fakta dan
penalaran untuk memperjelas, memperkirakan, dan juga mendapatkan cara untuk
memecahkan masalah yang diiringi oleh prosedur-prosedur tertentu sehingga
menghasilkan pandangan yang logis mengenai keputusan-keputusan yang telah
dipilih.” (Sahri, 2011 dalam Ajie, 2013).
Kebijakan (policy) merupakan sebuah instrument pemerintahan yang berisi
keputusan-keputusan atau pilihan tindakan untuk mengelola dan mendistribusikan
sumber daya, finansial, dan juga manusia untuk kepentingan masyarakat luas.
Suatu kebijakan dihasilkan dari adanya sinergi, kompromi, dan bahkan kompetisi
dari berbagas gagasan, ideologi, teori, serta kepentingan-kepentingan yang
mewakili sistem politik dari suatu negara (Edi, 2008 dalam Ajie, 2013).
Salah satu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi
permasalahan yang ada di masyarakat nelayan adalah dengan melakukan program-
program intervensi pembangunan, contohnya seperti Program Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Program pemberdaayan diharapkan dapat
mendorong mobilitas masyarakat nelayan untuk terus berkembang , hal ini
dikarenakan perlunya kemandirian masyarakat untuk semakin meningkatkan posisi
tawar mereka dalam hal pembangunan wilayah dan juga dalam hal pemanfaatan
sumber daya yang ada di lingkungan sekitar. Oleh karena itu, pemberdayaan
masyarakat nelayan sangat dibutuhkan (Ajie, 2013).

2.5.2. Pengertian Pemerintah Daerah


Kata “pemerintah” secara etimologi berasal dari kata “perintah” dan
mendapatkan imbuhan “me”, sehingga menjadi kata “pemerintah” yang memiliki
arti suatu badan atau organ elit yang memiliki pekerjaan untuk mengurus suatu
negara. Secara singkatnya, pemerintah merupakan perkumpulan orang yang
memiliki kebijakan tersendiri dalam mengelola serta mengatur jalannya suatu
proses maupun sistem suatu pemerintahan. Sedangkan secara emilogis berarti
“suatu tindakan yang terus-menerus dilakukan (kontinu) atau suatu kebijaksanaan
yang menggunakan rencana maupun akal serta dengan tata cara tertentu untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.” (Utrecht, 1986 dalam Nilasari, 2017).
Pemerintah mempunyai dua fungsi dasar, yaitu fungsi primer atau fungsi
pelayanan adalah pemerintah memiliki tugas sebagai provider jasa-jasa publik yang
tidak dapat diprivatisasikan dan juga fungsi sekunder atau fungsi pemberdayaan
yang bertugas sebagai provider kebutuhan dan tuntutan mengenai barang dan jasa
yang tidak mampu masyarakat penuhi sendiri karena masih lemah dan juga tidak
berdaya (powerless), hal ini termasuk ketersediaan dalam hal sarana dan prasarana
(Nilasari, 2017).
Pemerintah daerah dalam struktur pemerintahan merupakan kepanjangan
tangan dari pemerintah pusat. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 1 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 mengenai Pemerintah Pusat
disebutkan bahwa pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan atas pemerintah Republik Indonesia sebagaimana disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Kemudian, dalam
undang-undang otonomi daerah nomor 32 tahun 2004 mengenai pemerintahan
daerah, dijelaskan bahwa pemerintah daerah merupakan penyelanggara urusan
pemerintahan di daerah dan DPRD berdasarkan asas otonomi dan juga tugas
pembantuan dengan menggunakan prinsip otonomi yang seluas-luasnya didalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Undang-Undang
1945 (UU Otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004 dalam Ajie, 2013).
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 mengenai Program
Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000 – 2004 dan Program
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) telah tertera tujuan dari adanya pemberdayaan
masyarakat yang berbunyi, adanya pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk
meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui penguatan lembaga dan juga
organisasi setempat, menanggulangi kemiskinan dan melindungi sosial masyarakat,
meningkatkan keswadayaan masyarakat luas untuk membantu peningkatan
kehidupan ekonomi, sosial, dan politik masyarakat (UU Nomor 25 Tahun 2000
dalam Ajie, 2013).
2.6 Kendala dalam Pemberdayaan Mayarakat Pesisir
Dalam pemberdayaan masyarakat, pasti akan ada hambatan atau kendala yang
dihadapi oleh fasilitator atau pemberdaya. Adanya kendala-kendala dalam pemberdayaan
masyararakat pesisir menjadi sebuah faktor penentu apakah pemberdayaan tersebut akan
mempengaruhi terhadap kesuksesan suatu program pemberdayaan di masyarakat.
Kendala dalam pemberdayaan masyarakat pesisir utamanya bergantung pada kondisi
sosial di masyarakat pesisir, meliputi adat atau kebiasaan yang ada di masyarakat,
kesenjangan sosial, adanya kelompok berkepentingan, keterbatasan sumberdaya, kurang
dapat menerima hadirnya orang luar,kurangnya akan partisipasi masyarakat, dan
sebagainya.
Menurut Agus (2011), dalam penelitiannya menyatakan bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi pelaksanaan program pemberdayaan yaitu keinginan masyarakat
dalam mengikuti program tersebut. Fitriansyah (2012) menyatakan bahwa ada 3 faktor
pembentuk pemberdayaan masyarakat yaitu kepemimpinan, kepercayaan, dan solidaritas.
Kepemimpinan menjadi suatu hal yang perlu dalam pemberdayaan bertujuan dalam
mengarahkan dan membina anggota kelompok secara khusus dan masyarakat secara
umum, menumbuhkan kepercayaan masyarakat untuk berpartisipasi secara total dalam
memperbaiki lingkungan mereka. Kepercayaan tersebut menumbuhkan solidaritas sosial
antara masyarakat yang berdampak kepada keberlanjutan usaha masyarakat dalam
mengelola dan memelihara lingkungan mereka. Partisipasi ataupun minat masyarakat
dalam kegiatan pemberdayaan menjadi suatu hal yang penting, pemberdayaan tanpa
adanya partisipasi langsung dari masyarakat pesisir akan membuat efek program yang
dijalankan tidak akan berjalan ataupun dapat berhenti ditengah jalan tanpa mencapai dari
tujuan program pemberdayaan masyarakat itu sendiri.
Arsiyah (2009), menjelaskan bahwa terdapat beberapa hambatan dalam proses
pelaksanaan pemberdayaan masyarakat yaitu hambatan internal dan hambatan eksternal.
Hambatan internal antara lain:
1. Terbatasnya sumber daya manusia
2. Tidak tersedianya bahan baku
3. Keterbatasan kemampuan manajerial
4. Tidak adanya kemampuan mengelola peluang pasar yang ada dan terbatasnya modal
usaha yang dimiliki.

Sedangkan hambatan eksternal antara lain:


1. Akses kelompok usaha bersama (KUB) sebagai mitra pemerintah sebagai jembatan
pemerintah dengan pengusaha kurang optimal
2. Belum ada pihak swasta yang memberikan bantuan modal sebagai usaha
pemeberdayaan ekonomi masyarakat.
Lebih lanjut, Ibrahim (1998) menyebutkan bahwa terdapat enam faktor utama yang
menjadi hambatan dalam inovasi pemberdayaan, yaitu :

1. Kurang tepatnya perencanaan atau estimasi dalam proses difusi inovasi.


2. Adanya konflik dan motivasi, disebabkan karena adanya masalah-masalah pribadi
seperti pertentangan antar anggota tim pelaksana, kurang motivasi untuk bekerja dan
berbagai macam sikap pribadi yang menganggu kelancaran proses inovasi.
3. Inovasi tidak berkembang.
4. Masalah financial.
5. Penolakan dari kelompok tertentu.
6. Kurang adanya hubungan sosial.
Selain itu, menurut Rahmanto dan Endang (2015), kendala lain yang ditemui dalam
pemberdayaan masyarakat pesisir yaitu terkait permodalan, selain modal dalam hal
keterampilan perlu juga bantuan modal berupa barang atau alat dari pemerintah. Selama
ini permodalan berupa pelatihan atau penyuluhan yang dilakukan hanya bersifat
seremonial saja, pelatihan tidak didukung dengan adanya sarana dan prasarana. Serta
diperlukan bantuan dari pemerintah berupa pendampingan terkait pemasaran yang
berkelanjutan dari hasil program pemberdayaan masyarakat pesisir.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 November sampai dengan 1
Desember 2018 yang bertempat di Desa Tongas Kulon, Kecamatan Tongas, Kabupaten
Probolinggo. Lokasi penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.

Gambar 1. Lokasi Desa Tongas Kulon (Sumber: Google earth)


3.2 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu
metode pengumpulan data, metode pelaksanaan penelitian dan metode pengolahan data.
Uraian dari metode penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
3.2.1 Metode Pengumpulan Data
Kegiatan penelitian ini dilakukan secara langsung di lokasi. Sumber data dan jenis
pengumpulan data dikelompokkan menjadi dua macam yaitu data primer dan data
sekunder.
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan dengan
metode survei dan wawancara. Data hasil survei dan wawancara masyarakat Desa
Tongas Kulon ini meliputi :
 Data-data terkait aset fisik dan non-fisik Desa Tongas Kulon

 Wawancara kepada masyarakat Desa Tongas Kulon terkait potensi desa,


permasalah desa dan pasca kegiatan penurunan rumah ikan
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data pelengkap yang sifatnya mendukung keperluan
data primer seperti: literature, artikel, jurnal dan situs internet yang berkenaan
dengan penelitian yang dilakukan.

3.2.2 Metode Pelaksanaan Penelitian


Tahap pelaksanaan penelitian dilakukan dengan cara pendekatan terhadap
masyarakat melalui forum diskusi, wawancara dan survei lokasi. Target forum diskusi
adalah bapak-bapak nelayan dengan topik diskusi sejarah Desa Tongas Kulon dan
permasalah para nelayan desa Tongas Kulon. Wawancara dilakukan dengan sebar
kuisioner kepada warga yang bersifat umum tanpa menargetkan perbedaan gender dan
status pekerjaan, sedangkan survei lokasi yang dimaksud adalah survei jalaran yang
dipandu oleh tokoh warga yang berpengaruh di Desa Tongas Kulon.

3.2.3 Metode Pengolahan Data


Sampel penelitian adalah individu yang menjadi narasumber dalam kegiatan
wawancara. Pada penelitian ini jumlah sampel sebanyak 34 responden yang berasal dari
masyarakat Desa Tongas Kulon. Data hasil wawancara dianalisis secara kuantitatif,
yaitu diolah dengan menggunakan mikrosoft excel. Data-data tersebut kemudian
dianalisis kembali secara deskriptif. Sedangkan data hasil survei dianalisis secara
deskriptif.
3.4 Skema Penelitian
Skema pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Mulai

Pengumpulan Data

Data Primer Data Sekunder

Survei dan Wawancara Literatur, jurnal, artikel dan


hal-hal yang terkait dengan
penelitian

Data hasil survei :


- aset fisik Desa Tongas Kulon
Pengolahan Data
- aset non-fisik Desa Tongas
Kulon

Data hasil wawancara :


- potensi masyarakat Desa Analisis Secara Kuantitatif
Tongas Kulon
- permasalahan Desa Tongas
Kulon
- persepsi pasca kegiatan Analisis Deskriptif
penurunan rumah ikan

Kesimpulan

Selesai

Gambar 2. Skema Penelitian


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Aset Fisik di Desa Tongas Kulon

4.2 Aset Non fisik di Desa Tongas Kulon

4.2.1 Focus Group Discussion (FGD)

Focus Group Discusssion (FGD) dengan tema pemetaan Potensi Sumber Daya
Alam (SDA) Sumber Daya Manusia (SDM) Desa Tongas Kulon Probolinggo
JawaTimur, kegiatan ini dilaksanakan pada :

Waktu Pelaksanaan: Probolinggo, 30 November 2018

Lokasi : Rumah Bapak Ja’i – Tongas Kulon

Narasumber :

 Perangkat Desa Tongas


 Warga Desa Tongas Kulon, Probolinggo (Masyarakat Nelayan)
 Warga anggota Lestari Desaku

Tujuan dilaksanakannya kegiatan FGD di Desa Tongas Kulon – Probolinggo yaitu :

1. Mengetahui sejarah atau asal usul desa Tongas Kulon – Probolinggo.


2. Mengenali dan menggali potensi-potensi dan permasalahan yang ada di desa
Tongas Kulon – Probolinggo.
3. Stakeholder masyarakat untuk membangun desa Tongas Kulon – Probolinggo agar
bisa lebih maju dan berkembang, baik dibidang perikanan, pertanian maupun
bidang-bidang lainnya.
1. Sejarah Desa Tongas Kulon – Probolinggo

Mahasiswa Ilmu Kelautan UIN Sunan Ampel Surabaya telah melaksanakan praktik
kuliah lapangan dengan mata kuliah Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Kegiatan tersebut
berlangsung selama 3 (tiga) hari yaitu mulai tanggal 30 November s/d 02 Desember 2018
yang bertempat di Dusun Renak, Desa Tongas Kulon, Kecamatan Tongas, Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur. Pada hari pertama, tepatnya pada Hari Jum’at tanggal 30
Desember 2018 pukul 19.00 WIB (setelah ba’dha sholat isya) telah dilaksanakan salah
satu kegiatan pemberdayaan masyarakat pesisir yaitu Focus Group Disscusion (FGD)
yang bertempat di salah satu rumah warga Dusun Renak, Desa Tongas Kulon yaitu rumah
bapak Ja’i. Kegiatan FGD ini telah dihadiri oleh sesepuh/tokoh masyarakat seperti ketua
RT, Kepala Desa, Masyarakat Desa Tongas Kulon (Masyarakat Nelayan) yang mayoritas
adalah anggota aktif Lestari Desaku, Dosen Pembimbing mata kuliah Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir serta seluruh mahasiswa Ilmu Kelautan UIN Sunan Ampel Surabaya.

Tujuan diadakannya kegiatan FGD ini yaitu untuk mengetahui sejarah atau asal usul desa
Tongas Kulon, serta mengenali dan menggali potensi-potensi dan permasalahan yang ada
di desa Tongas Kulon. Sehingga setelah diadakannya kegiatan FGD ini diharapkan
mahasiswa Ilmu Kelautan UIN Sunan Ampel Surabaya beserta seluruh masyarakat desa
Tongas Kulon dapat saling gotong-royong dalam membangun desa Tongas Kulon agar
bisa lebih maju dan lebih berkembang, baik disektor perikanan, pertanian maupun bidang-
bidang lainnya.

Kegiatan Focus Group Disscusion (FGD) ini dipimpin oleh dua orang moderator yang
memiliki tugas untuk memimpin dan mengatur jalannya kegiatan tersebut. Semua
informasi yang didapatkan dari masyarakat selama kegiatan FGD berangsung telah dicatat
oleh notulen sehingga informasi tersebut dapat membantu dalam menggali potensi serta
mengetetahui permasalahan yang sedang terjadi di desa Tongas Kulon sehingga nantinya
dapat mempermudah untuk mencari solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang
sedang terjadi di desa tersebut. Selain itu, seluruh mahasiwa Ilmu Kelautan juga turut andil
dalam mencari serta menggali informasi dari masyarakat dengan berbaur langsung
bersama masyarakat (peserta FGD) sehingga diharapkan dengan informasi yang telah
didapatkan tersebut dapat membantu dalam mencari solusi dalam menyelesaikan
permasalahan yang sedang terjadi di desa Tongas Kulon.
Kegiatan FGD ini dimulai dengan sambutan dari moderator untuk membuka acara FGD
dan selanjutnya sambutan dari beberapa tokoh masyarakat seperti bapak ketua RT,
Perwakilan Kepala Desa, perwakilan dari masyarakat Desa Tongas serta sambutan dari ibu
Kaprodi Ilmu Kelautan UIN Sunan Ampel Surabaya selaku dosen pembimbing kegiatan
kuliah lapangan ini. Point pertama yang dibahas dalam kegiatan Focus Group Disscusion
(FGD) adalah sejarah atau asal usul desa Tongas Kulon. Disini moderator berkesempatan
untuk memberikan pertanyaan kepada masyarakat desa Tongas Kulon agar masyarakat
dapat mengenang atau mengingat kembali masa-masa kejayaan desa Tongas Kulon.

Dari hasil kegiatan FGD tersebut dapat diketahui bahwa Tongas Kulon adalah sebuah
desa yang berada di Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur,
Indonesia. Tongas Kulon merupakan salah satu desa di Kecamatan Tongas yang terletak di
pantai Selat Madura. Desa Tongas Kulon terletak sekitar 30 km dari objek wisata gunung
bromo, dengan batas-batas desa sebagai berikut :

 Sebelah Utara : Pesisir, Laut


 Sebelah Timur : Desa Curah Dringu, Desa Dungun
 Sebelah Selatan : Alas
 Sebelah Barat : Dusun Kelampok

Sebagian besar masyarakat desa Tongas Kulon juga menggunakan bahasa Madura untuk
berkomunikasi sehari-harinya. Renak merupakan salah satu dusun yang terletak di Tongas
Kulon. selain itu, dusun Renak juga terkenal sebagai pelaut ulung, dimana sebagian besar
masyarakat dusun Renak bermata pencaharian sebagai nelayan.

Desa tongas kulon sendiri telah berdiri sejak tahun 1970 dengan diawalinya babat alas
oleh H. Moh Asyari. Hingga saat ini masih terdapat bukti-bukti sejarah yang menceritakan
terbentuknya desa Tongas Kulon. Salah satu peninggalan sejarah yang masih ada hingga
saat ini yaitu berdirinya masjid Ar-Royan, di belakang masjid Ar-Royan terdapat sebuah
makam, makam tersebut adalah makam KH Syeikh Moh. Ashari yang merupakan pendiri
dari masjid Ar-Royan. Menurut masyarakat Tongas Kulon, dahulu banyak orang yang
suka berkelana dan tinggal/menetap sampai akhirnya meninggal di desa Tongas Kulon,
masyarakat sering menyebutnya dengan istilah “bacar acir”. Hal ini dibuktikan terdapat
beberapa peninggalan makam-makam (pesarean) dari para ulama tersebut. Seperti adanya
pesarean (makam) leluhur terdahulu yang diberi nama “Buyut Pendem” yang sampai
sekarang pesarean tersebut masih terawat. Sedangkan di desa Tongas Wetan terdapat
pesarean umum yang diberi nama pesarean “Buyut Purut”.

Kata Tongas berasal dari dua gabungan kata, yaitu “Tong” dan “Angas”, kata Tong
memiliki arti sebuah drum besi, sedangkan “Angas” yang merupakan sejenis pohon yang
mirip pohon waru namun memiliki perbedaan pada daunnya atau biasa disebut sebagai
pohon angas dan hanya terdapat di Tongas saja. Makna dari tong menunjukkan bagian
desa yang terletak di tongas dan pohon angas bermakna sebagai pemisah/ pembatas dari
desa tersebut. Terdapat dua tong (drum besi) yang ada di desa Tongas yang mengibaratkan
nama dua desa yang berada di Tongas Kulon. Dimana tong yang terletak di sebelah Timur
merupakan Desa Tongas Wetan dan tong sebelah Barat sebagai DesaTongas Kulon.
Diantara dua tong tersebut terdapat sebuah pohon angas yang mengibaratkan sebagai
pembatas antara kedua Desa tersebut. Berikut Gambar Tong dan Sumber air yang ada di
Tongas Kulon

Gambar1.Tong dan sumber air

Menurut sejarah, kedua desa tersebut juga dibatasi oleh sungai Klemprit sepanjang 2.750
meter. Dibagian hulu sungai Klemprit tersebut terdapat sumber air yang mana airnya
keluar dari sebuah tebing yang diatasnya ditumbuhi pohon bambu. Dari situlah asal mula
nama Tongas berasal. Dahulu sumber air tersebut digunakan masyarakat untuk kebutuhan
sehari-sehari seperti mandi dan juga diminum. Menurut cerita sumber air tersebut selalu
keluar dan tidak pernah habis meskipun pada saat musim kemarau, bahkan dahulu drum
yang berisi air penuh meskipun digunakan oleh 100 orang tidak akan pernah habis.
Kondisi airnya pun sangat jernih dan dingin, dahulu warga sering membersihkan tong
tersebut apabila sudah kotor. Namun, nasib tong tersebut kini sudah terbengkalai dan
sudah tidak terurus lagi, dikarenakan sudah tercukupinya kebutuhan air bersih di rumah-
rumah warga. Letak tong tersebut juga berada diantara persawahan dan jauh dari
jangkauan masyarakat.

2. Kondisi Mangrove di Tongas Kulon

Berdasarkan informasi pada saat diskusi, dapat diketahui bahwa desa Tongas Kulon
dahulu terdapat sebuah pantai yang sangat indah dan memiliki pasir putih tepatnya sekitar
tahun 1980- an. Pada saat itu mangrove masih banyak ditemukan disepanjang pantai
bahkan dahulu ada beberapa jenis mangrove yang sudah dikonsumsi oleh sebagian
masyarakat Tongas Kulon yaitu dijadikan urap – urap, pelengkap makanan bahkan juga
dijadikan sebagai obat. Dahulu juga masyarakat Tongas Kulon masih memanfaatkan
ranting – ranting tanaman mangrove sebagai kayu bakar. Berikut Kondisi Mangrove di
Tongas Kulon

Gambar 2. Kondisi Jalaran

Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki ekosistem
yang seimbang, profosional dan adaptif yang berbeda dengan tipe hutan lainnya. Hutan
mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya tumbuh dan berkembang baik di daerah
tropis, seperti indonesia hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang
bermanfaat bagi manusia. Secara ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai daerah
pemijahan (spawning ground) dan daerah pembesaran (nursery ground) sebagai jenis ikan,
udang, karang-karangan dan spesis lainnya. Selain itu adalah seresah mangrove (berupa
dedaunan, ranting, dan biomassa lainnya) yang jatuh ke perairan menjadi sumber pakan
biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan.

Hutan mangrove juga merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptelia,
mamalia, dan jenis-jenis kehidupan lainnya, adapun Fungsi ekonomi dari mangrove yaitu
sumber penghasil kayu bangunan, dan kapal, bahan baku pulp dan kertas, kayu bakar,
bahan arang, alat tangkap ikan dan bahan pewarna selain itu fungsi dari mangrove yaitu
sebagai penaggulangan abrasi (Madjid, 2012). Salah satunya yaitu ekosistem mangrove
yang terdapat di Tongas Kulon, Probolinggo.

Menurut Haryani (2013), luas area mangrove salah satunya di Kabupaten Probolinggo
pada tahun 2001 sebesar 209,32 hektar, sedangkan luas area mangrove pada tahun 2011
seluas 295,20 hektar. Hasil pengolahan tersebut bahwa area mangrove selama kurun waktu
sebelas tahun tahun 2001 sampai dengan tahun 2011 terlihat adanya peningkatan atau
penambahan luas area hutan mangrove seluas 95,08 hektar yang terjadi di 36 desa. Selain
adanya penambahan luas area mangrove juga terjadi penurunan luas areal hutan mangrove
dari tahun 2001 hingga tahun 2011 seluas 10,66 % terjadi di 8 desa, yaitu Desa Bayeman,
Dungun, Karangpranti, Klaseman, Mayangan, Pesisir, Randumerak, dan Sumberanyar.
Adanya penambahan atau peningkatan luas hutan mangrove dan adanya penurunan atau
berkurangnya luasan hutan mangrove tersebut dapat diperhitungkan bahwa di Kabupaten
Probolinggo selama kurun waktu sebelas tahun masih adanya peningkatan luas area hutan
mangrove seluas 85,88 hektar.
Kondisi hutan mangrove di Tongas Kulon pada tahun 1970-an memulai penanaman
mangrove di Wilayah Tongas Kulon, 1980-an kondisinya masih terlihat sangat lebat, dan
jenis-jenis mangrove yang ada di Tongas Kulon pun bermacam-macam yaitu seperti
Rizhopora, Avicennia, Bruguiera, Nypa, Jeruju dan banyak biota laut maupun biota
lainnya yang ada di sekitar hutan mangrove yaitu seperti kepiting, burung, dan ikan,
namun pada tahun 1988-1992 datang juragan China untuk menyewa lahan untuk dijadikan
sebagai tambak udang Vanname dan mengakibatkan banyak mangrove yang ditebang
sebagai lahan pertambakan, selain itu dampak dari pengalihan fungsi lahan mangrove di
Tongas Kulon ini mengakibatkan semakin kurangnya habitat kepiting, hilangnya pantai
berpasir putih karena adanya pengerukan orang China dan pegaruh sedimentasi dari
proyek-proyek yang didirikan oleh orang China.

Desa Tongas Kulon sejatinya memiliki kondisi alam pesisir yang eksotis dengan
gugusan ekosistem Mangrove dan lahan pantai pasir putih sebagai komponen utama
penyusun pesisir Desa Tongas Kulon. Menurut informasi dari para warga pada saat
berlangsungnya kegiatan FGD, pada tahun 1980-an pantai di Desa Tongas kulon terkenal
dengan keindahan alamnya meskipun tidak secara resmi dijadikan sebagai destinasi wisata
namun sudah banyak pengunjung yang datang untuk menikmati keindahan pantai Tongas
Kulon. Keindahan pantai Tongas Kulon bukan hanya memikat wisatawan lokal saja
bahkan wisatawan asing juga pernah menginjakkan kaki di pantai Tongas Kulon demi
untuk menikmati keindahan pantainya. Kondisi keindahan pantai Tongas Kulon
setidaknya masih terlihat hingga tahun 1986 dan ditahun itu pula mulai ada proyek tambak
udang yang digagas oleh pemerintah yang mengakibatkan banyak diantara pohon
mangrove yang ditebangi untuk digunakan sebagai lahan tambak udang milik pemerintah.
Hal inilah yang dapat meyebabkan terjadinya perubahan struktur penyusun pantai, diman
dulunya memiliki pemandangan yang indah dengan pasir putih dan sekarang pantai
tersebut telah beruah menjadi kawasan berlumpur. Salah satu narasumber mengatakan
bahwa perubahan struktur penyusun pantai Tongas dari pasir menjadi lumpur adalah
perubahan lingkungan. Struktur sedimen pasir adalah struktur sedimen awal pantai
Tongas. Perubahan sedimen pantai Tongas disebabkan oleh menyusutnya luasan
mangrove, sehingga pasir yang berada di sekitar pantai mengalami abrasi.

Alih fungsi kawasan hutan mangrove saat ini sangat mencuat dikalangan masyarakat
yang telah banyak dijadikan lahan usaha pertambakan. Salah satu penyebabnya kurangnya
peran serta pemahaman dari individu maupun kelompok masyarakat untuk merehabilitasi
hutan mangrove. Padahal, dengan merehabilitasi hutan mangrove akan berdampak positif
dalam peningkatan pembangunan ekonomi khususnya dalam bidang perikanan, industri,
pemukiman, rekreasi dan lain-lain. (Madjid, 2012). Pada faktanya kawasan hutan
mangrove Tongas Kulon beralih fungsi menjadi lahan usaha tambak. Perubahan fungsi
lahan mangrove yang terjadi di pesisir pantai Tongas tersebut telah melanggar Undang-
Undang (UU) No. 41/1999 Tentang Kehutanan menetapkan hutan berdasarkan fungsi
pokoknya yaitu: (1) Hutan Konservasi, (2) Hutan Lindung, dan (3) Hutan Produksi, dapat
diketahui bahwa hutan mangrove termasuk hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan
ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya (Pasal 1 angka 9) (Muazzin,2010).

Sejak pemerintah merencanakan proyek tambak udang pada tahun 1986 di wilayah
pesisir pantai Tongas Kulon, dua tahun setelahnya yakni pada tahun 1988 keberadaan
tambak udang tersebut semakin meningkat dengan gencar – gencarnya para investor
swasta asal China yang ingin membuka lahan tambak udang diarea pesisir pantai Tongas
Kulon. Para investor terebut dapat mempengaruhi masyarakat dengan perjanjian
kerjasama bagi hasil sampai kemudian perjanjian tersebut dapat diterima oleh para desa
Tongas Kulon. Pengadaan tambak oleh investor pun tidak dalam jumlah sedikit, bahkan
jauh lebih banyak dari pada jumlah tambak milik pemerintah. Banyaknya tambak tersebut
secara otomatis juga dapat membuat kawasan hutan mangrove di desa Tongas Kulon
menjadi semakin habis karena ditebangi untuk pengadaan tambak tersebut.

Pada awal berjalannya sistem kerjasama tambak dengan investor China tersebut,
masyarakat tidak merasa dirugikan karena dari masyarakat sendiri juga merasa
diuntungkan. Berkat adanya tambak tersebut masyarakat Desa Tongas Kulon memiliki
lapangan kerja baru yakni sebagai buruh tambak. Dengan adanya perkerjaan tersebut,
masyarakat desa Tongas Kulon selain mendapat penghasilan dari kerjasama bagi hasil
tambak, mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dengan bekerja sebagai buruh
tambak tersebut. Masyarakat desa Tongas Kulon baru merasakan kerugian dari adanya
kegiatan pertambakan setelah mereka merasa bahwa hasil tangkapan ikan terutama ikan
yang hidup pada ekosistem hutan mangrove menjada sulit untuk ditemukan dan ditangkap
tidak seperti dulu dimana mereka lebih mudah untuk mendapatkan kepiting dan ikan di
area mangrove yang dulu masih sangat rapat dan kini ekosistem mangrove tersebut hanya
tersisa pada beberapa lahan saja. Setelah masyarakat merasakan hal tersebut barulah
mereka sadar terhadap pentingnya keberadaan ekosistem mangrove yang dalam dunia
perikanan memiliki peran penting yaitu sebagai sebagai daerah pemijahan (spawning
ground) dan daerah pembesaran (nursery ground) sebagai jenis ikan, udang, karang-
karangan dan spesis lainnya. Selain itu seresah mangrove (berupa dedaunan, ranting, dan
biomassa lainnya) yang jatuh ke perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur
hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan. Dengan fungsi mangrove tersebut,
apabila ekosistem mangrove mengalami kerusakan maka akan terjadinya
ketidakseimbangan dan mengganggu aktifitas biota yang hidup di ekosistem tersebut.
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat desa Tongas Kulon juga tidak
bisa berbuat banyak dikarenakan mereka juga sudah terikat kontrak dengan para investor
China tersebut.

Keberadaan proyek tambak udang oleh investor berlangsung dalam kurun waktu yang
cukup lama, menurut masyarakat desa Tongas Kulon, kontrak kerjasama antara investor
dengan masyarakat desa Tongas yang telah disetujui oleh kedua belah pihak yakni selama
15 tahun, namun tambak udang tersebut terakhir terlihat benar-benar masih aktif sekitar
tahun 1992 dan pada tahun-tahun selanjutnya tambak udang tersebut mulai kurang
beroperasi. Pada tahun 1994 tambak udang milik investor China tersebut benar-benar telah
berhenti beroperasi dikarenakan mengalami kerugian akibat adanya virus yang menyerang
pada sebagian besar udang yang berada dalam tambak budidaya tersebut. Virus yang
menyerang pada tambak udang tersebut juga dapat menyebar atau menularkan pada udang
– udang lainnya yang mana nantinya dapat menimbulkan kematian pada udang di semua
tambak yang ada. Hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya kerugian pada kegiatan
budidaya udang sehingga penghasilan yang diperoleh dari hasil panen udang tidak
setimpal dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan selama perkembangbiakan udang.
Setelah kejadian tersebut, para investor lebih memilih untuk meninggalkan petak-petak
atau kolam budidaya udang. Hingga saat ini, petak atau kolam budidaya udang tersebut
masih berada dalam kondisi utuh dan terbengkalai di desa Tongas Kulon.

Kegagalan dalam budidaya udang oleh para investor tersebut juga akan berdampak
pada masyarakat desa Tongas Kulon dimana mereka telah kehilangan kawasan mangrove
yang telah menjadi tempat mereka mencari nafkah untuk memenuhi kehidupan sehari-
harinya. Selain itu, hilangnya lahan mangrove juga dapat berdampak pada masyarakat
desa Tongas Kulon, diantaranya yaitu hilangnya tempat – tempat sumber telur kepiting
dan ikan-ikan kecil yang dulu banyak ditemukan di ekosistem mangrove. Saat ini
masyarakat sulit mencari kepiting padahal sebelum adanya pengalihan lahan mangrove
menjadi tambak, kepiting sangat mudah ditemukan di ekosistem mangrove tersebut. Selain
sulit ditemukannya kepiting dampak lainnya yaitu semakin sedikitnya populasi ikan yang
terdapat diperairan Tongas Kulon. Dimana keadaan ini sangat memberikan dampak pada
masyarakat Tongas yang sebagian besar masyarakatnya sebagai nelayan dan tergantung
terhadap hasil tangkapan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada tahun 1990-an juga, masyarakat desa Tongas Kulon mulai kembali lagi melakukan
penanaman pohon mangrove di daerah Tongas Kulon oleh pemerintah dan sampai
sekarang mangrove di Tongas Kulon tumbuh lebat di sekitar rumah warga. Penanaman
yang di lakukan pemerintah kurang tertata karena dapat dilihat dari hasil pertumbuhannya
sekarang yang terlalu rapat dan tidak tersusun rapi. Hal ini sangat disayangkan, karena
yang seharusnya mangrove bisa tumbuh lebat tetapi jarak antara mangrove satu dan
lainnya terlalu berdekatan mengakibatkan mangrove tidak bisa tumbuh maksimal.
Penataan antara jenis-jenis mangrove pun tidak beraturan.

3. Instalasi Kincir Air

Menurut informasi dari masyarakat desa Tongas Kulon, dapat diketahui bahwa sekitar
tahun 1978 – 1981 desa Tongas Kulon kedatangan mahasiswa dari Universitas Dr.
Soetomo (UNITOMO) untuk melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Salah
satu program kerja yang di lakukan oleh mahasiswa UNITOMO pada saat itu adalah
membangun sebuah kincir air. Kincir air tersebut dibangun bersama-sama antara warga
desa Tongas Kulon dan mahasiswa UNITOMO. Tujuan dibangunnya kincir air tersebut
salah satunya yaitu untuk mempermudah warga dalam mendapatkan sumber air dimana
sampai saat ini kincir air tersebut masih berfungsi untuk menyalurkan air ke rumah –
rumah masyarakat Tongas Kulon.

4. Kondisi Nelayan Tongas Kulon

Nelayan Tongas Kulon mulai banyak mempunyai kapal sendiri pada tahun 2000 an namun
hasil tangkapan nelayan tidak sebanyak pada tahun 90-an, dimana bisa mendapatkan
tangkapan ±8-10 kg/ hari. Sedangkan penghasilan sekarang hanya mendapat 1 pick-up dan
itupun harus dibagi dengan banyak nelayan. Alat bantu tangkap tradisional sudah
ditemukan pada tahun 1970 yaitu suling henpon. Suling henpon di adopsi dari nelayan
tuban, yaitu terbuat dari kayu pohon waru yang tingginya sekitar 150 cm dengan diameter
40 cm di bagian bawahnya dan 20-30 cm bagian atas dan panjang bagian pegangan alat
henpon yang terbuat dari bambu ukurannya 1-2 meter. Penggunaan alat bantu tangkap
suling henpon masih digunakan sampai saat ini. suling henpon digunakan untuk
mendengar suara ikan yang berada dilaut, kemudian ikan dapat di jaring menggunakan
jaring ikan . Berikut gambar alat tradisional Tongas Kulon (henpon)
Gambar 3. Alat Tradisional Henpon

Penggunaan Suling henpon untuk mendengar suara ikan sangat membantu nelayan
untuk mencari ikan. Suara yang di dapat dari suling henpon dapat menentukan ikan apa
dan jumlah ikan yang akan di dapat. Hal ini menjadi keunikan Desa Tongas Kulon yang
menjadikan kayu pohon waru menjadi alat bantu tangkap ikan dan alat bantu tangkap
suling henpon juga berpotensi untuk dijadikan wisata. Banyaknya masyarakat awam yang
penasaran akan suara ikan yang di tangkap suling henpon dapat menjadi peluang
masyarakat Tongas Kulon untuk mengembalikan wisata di desa tersebut.

Adapun suatu kelompok yang terdiri dari beberapa masyarakat dan nelayan Tongas
Kulon berdiri mulai tahun 2013 sampai sekarang. Lestari Desaku merupakan suatu
kelompok masyarakat yang memiliki tujuan yang sama yaitu melestarikan Desa Tongas
yang di pelopori oleh Dr. Arif. Pada tahun didirikannya Lestari Desaku banyak kelompok
nelayan yang ikut bergabung dalam kelompok Lestari Desaku. Antusiasme warga dan
anggota Lestari Desaku yang hadir dalam FGD (Focus Group Disscussion) menceritakan
Tongas Kulon pada masa jayanya dan didapatkan beberapa permasalahan yang dikeluhkan
warga yaitu sebagai berikut :

 Akses jalan menuju laut susah karena substrat berlumpur


Sejak substrat pantai tongas bukan lagi pasir putih, nelayan kesusahan untuk menjangkau
kapal di laut. Jarak antara pesisir dengan kapal lumayan jauh dan terhalang lumpur.
Terbuntunya saluran air mengakibatkan jalan yang digunakan menuju laut menjadi susah
dan berlumpur.
 Pembersihan Tong
Setelah kebutuhan air bersih di rumah-rumah warga sangat mudah di dapatkan Kini
kondisi tong sumber air sudah mulai tidak terurus dan terbengkalai. Letak tong yang juga
berada diantara persawahan dan jauh dari jangkauan masyarakat menjadikan warga sudah
tidak membersihkan tong lagi.
 Pompa Air Sumur
Warga masih sangat membutuhkan aliran air bersih kerumah-rumah, tambak dan
membuka jalan untuk jalaran menuju laut. Karena tertutupnya akses jalan menuju kapal
yang berada di laut oleh lumpur, dan harus dialiri air agar memudahkan terbukanya jalan
menuju laut.

4.3 Kerjasama masyarakat Tongas Kulon dengan UINSA

4.4 Upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan potensi Desa Tongas Kulon

Sumber daya alam di Probolinggo khususnya wilayah Tongas Kulon sangat potensial
untuk dikembangkan. Bukan hanya sumber daya alamnya tetapi sumber daya manusia
yang kreatif juga menjadi nilai tambah masyarakat Tongas Kulon Probolinggo. Potensi
sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tinggi menjadi peluang untuk
mengembangkan potensi tersebut, untuk mewujudkan pengembangan potensi yang ada di
wilayah Tongas Kulon diperlukan strategi serta kerjasama yang baik antar masyarakat,
pemerintah, serta stakeholder terkait. Beberapa upaya yang dapat ditempuh untuk
mengoptimalkan potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang ada di
wilayah Tongas Kulon adalah sebagai berikut :
1. Pengembangan Usaha Pembesaran Kepiting Bakau Melalui Sistem
Silvofishery di Sekitar Kawasan Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan suatu kawasan hutan yang berada di wilayah
pantai. Kawasan mangrove pada umunya sangat peka terhadap perubahan
lingkungan di sekitarnya. Menurunnya kualitas dan kuantitas mangrove dapat
menyebabkan penurunan pula terhadap ekosistem disekitarnya misalnya
ekosistem kepiting bakau (Saidah dan Leila, 2016). Budidaya kepiting bakau
menggunakan sistem silvofishery di sekitar kawasan mangrove dapat
menanfaatkan sumberdaya mangrove secara optimal dan lestari karena dengan
melakukan pemeliharaan kepiting secara tidak langsung akan dilakukan
pemeliharaan mangrove secara rutin pula. Selain itu, tujuan dari pembesaran
kepiting bakau di wilayah mangrove juga bertujuan untuk meningkatkan nilai
tambah dan peluang kerja bagi masyaraakat pesisir.
Kawasan pesisir Desa Tongas Kulon Kabupaten Probolinggo memiliki potensi
kawasan mangrove sebesar 0,79% dari luas wilayah desa yakni 4,03 km2 dan garis
pantai sejauh 0,495 km (Sukandar dkk, 2017). Kawasan mangrove di wilayah
Tongas Kulon sangat berpotensi untuk dimanfaatkan guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pesisir. Wilayah mangrove Desa Tongas Kulon
merupakan kawasan penyangga sumber daya kelautan di wilayah tersebut karena
ekosistem mangrove merupakan area pengasuhan utama bagi banyak spesies ikan,
udang, dan kepiting, termasuk kepiting bakau. Produksi tangkapan kepiting bakau
di wilayah Tongas Kulon turut berkontribusi dalam perdagangan hasil perikanan
di wilayah tersebut karena kepiting bakau menjadi spesies target tangkapan
nelayan yang sangat sering dicari. Kondisi kepiting bakau yang sering dijadikan
sebagai spesies target patut diwaspadai kepunahannya. Hal tersebut menjadi
permasalahan utama perlunya dilakukan pembudidayaan kepiting bakau. Selain
itu, dasar pemikiran dibuatnya sistem pembudidayaan kepiting bakau di kawasan
mangrove adalah mempertahankan fungsi ekologis mangrove sebagai area tinggal
kepiting bakau maupun ekosistem perikanan yang lainnya.
Budidaya kepiting bakau dengan menggunakan sistem silvofishery merupakan
salah satu alternatif untuk menjaga area mangrove serta meningkatkan perikanan
masyarakat pesisir sekaligus. Prinsip sistem silvofishery adalah mengembalikan
kawasan mangrove sebagai ekosistem penyangga di wilayah pesisir 80% atau
mempertahankannya sebagai area konservasi dan 20% untuk pemanfaatan (seperti
budidaya silfofishery yang ramah lingkungan dan tidak membuat kerusakan
terhadap mangrove) (Triyanto dkk, 2012). Silvofishery merupakan salah satu
konsep pengelolaan sumber daya pesisir yang mengintegrasikan antara konservasi
dengan budidaya air payau. Budidaya yang dilakukan menggunakan prinsip
bentuk budidaya perikanan yang berkelanjutan dengan input yang rendah karena
memanfaatkan potensi sumber daya yang ada. Pendekatan dengan
mengintegrasikan antara konservasi dengan budidaya perikanan diharapkan
mampu meningkatkan pemanfaatan sumber daya mangrove yang ada di wilayah
Tongas Kulon dengan mempertahankan keutuhan mangrove yang relatif tinggi
dan diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir wilayah
Tongas Kulon.
Komoditas perikanan di wilayah Tongas Kulon yang sesuai untuk budidaya
silvofishery adalah kepiting bakau karena merupakan spesies yang khas di
kawasan mangrove. Kepiting bakau hidup di daerah muara sungai dan area rawa
pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi mangrove (Triyanto dkk, 2012).
Kepiting bakau merupakan jenis kepiting yang paling populer sebagai bahan
makanan dan memiliki harga yang cukup mahal dibanding kepiting jenis lainnya
(memiliki nilai ekonomis yang tinggi). Saat ini untuk memenuhi keputuhan pasar
kepiting bakau masih dilakukan penangkapan di alam secara langsung sehingga
hasil yang didapatkan pun tergantung dari stok alam. Hal tersebut dapat
mengancam kelestarian kepiting bakau jika dilakukan secara terus menerus.
Budidaya kepiting bakau dengan menggunakan sistem silvofishery di dalam
area hutan mangrove memungkinkan adanya budidaya tanoa perlu melakukan
konversi area mangrove. Alternatif pengelolaan seperti ini diharapkan dapat
meningkatkan nilai ekonomi hutan mangrove tanoa mengancam fungsi
ekologisnya. Budidaya kepiting bakau dengan menggunakan sistem silvofishery
merupakan teknik budidaya pembesaran yang dilakukan dengan cara memelihara
kepiting bakau dalam kurungan tancap yang dibangun di dalam area mangrove.
Lokasi untuk melakukan pembangunan kurungan tancap untuk sistem silvofishery
dipilih di dalam area rawa yang berada pada kisaran pasang surut air laut.

2. Pembersihan dan Pengaktifan Kembali Kolam Tong Sebagai Pemandian


Nama desa Tongas berasal dari Tong yang berada di sumber air yang kelilingi
dengan pohon Angas. Pada awalnya sumber air tersebut digunakan sebagai
pemandian baik oleh warga sekitar atau pendatang. Dahulu pada umumnya
masyarakat Tongas Kulon saat selesai melakukan pekerjaannya di ladang atau di
sawah kemudian akan mandi di sumber air tersebut. Selain itu, setiap bulan-bulan
islam tertentu masyarakat gotong royong membersihkan sumber air tersebut
bahkan memberikan obor sebagai sumber penerangan di area tersebut. Seiring
berjalannya waktu, sumber air yang hingga kini masih mengalir deras airnya
tersebut tidak lagi dimanfaatkan dan tidak terurus bahkan hanya beberapa warga
yang berprofesi sebagai petani saja yang membersihkan sumber air tersebut
sambil mencuci tangan atau kaki mereka setelah terkena lumpur dari sawah.
Kegiatan masyarakat dahulu yang rutin melakukan gotong royong untuk
membersihkan sumber air tersebut akan sangat baik jika digalakkan kembali.
Dibutuhkan kerjasama antar masyarakat dan penggeraknya (seperti ketua RT dan
RW) untuk memberikan dorongan terhadap warganya untuk melakukan kerja
bakti secara rutin membersihkan sumber air tersebut. Selain dapat dimanfaatkan
sebagai tempat membersihkan diri para pekerja dari sawah maupun ladang,
sumber air tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pemandian jika kondisinya bersih
dan terurus. Jika kondisi sumber air tersebut bersih dapat pula dibuka sebagai
pemandian umum yang nantinya dapat dilakukan penarikan biaya kebersihan
sebagai pemasukan bagi masyarakat sekitar.
Kondisi air yang ada di sumber air tersebut sekarang sedikit menguning
karena dampak sampah dan terkena sisa-sisa lumpur dari area persawahan. Selain
itu, aliran air yang tidak lancar menyebabkan terjadinya penyumbatan sehingga
terjadi kekeruhan air yang ada di sumber air tersebut. Solusi utama yang dapat
dilakukan adalah membersihkan sampah dedaunan maupun sampah plastik yang
ada di area sumber air tersebut secara rutin dan berkala. Kemudian melakukan
peremajaan terhadap aliran air dari sumber air tersut sehingga walaupun mengaliri
sawah tidak menyebabkan kekeruhan pada sumber air. Saluran air yang bersih
untuk menyalurkan air menuju ke sawah juga dapat mempengaruhi kekeruhan dari
air tersebut. Mengembalikan kondisi sumber air seperti sediakala memang
bukanlah hal yang mudah tetapi jika dapat dilakukan pembersihan secara rutin
serta pencegahan dari masyarakat sekitar bukan tidak mungkin sumber air tersebut
dapat dimanfaatkan seperti semula. Pencegahan yang dapat dilakukan seperti tidak
membuang sampah sembarangan terutama di wilayah sekitar sumber air karena
dapat menyebabkan pencemaran.
3. Pusat Kerajinan Tas Daur Ulang Karya Ibu-Ibu PKK desa Tongas
Sampah merupakan salah satu masalah lingkungan yang masih sulit diatasi di
wilayah Indonesia khususnya wilayah Pesisir. Ada berbagai jenis sampah yang
dikelompokkan menjadi 2 yakni sampah organik dan sampah anorganik. Sampah
organik merupakan sampah yang berasal dari makhluk hidup seperti kulit buah,
sisa sayuran, kayu, ranting pohon, dan lain sebagainya. Upaya yang dilakukan
untuk mengurangi limbah sampah organik adalah dengan cara memanfaatkannya
sebagai pupuk kompos, biogas, pembuatan kertas, danlain sebagainya. Sampah
anorganik merupakan jenis sampah yang dihasilkan dari berbagai macam proses.
Jenis sampah anorganik tidak dapat diuraikan oleh bakteri secara alami dan
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menguraikannya. Beberapa contoh
sampah anorganik yakni plastik, botol, kaca, kaleng, besi, dan lain sebagainya
(Kurniaty dan Mohamad, 2011).
Sampah anorganik yang tidak dapat diuraikan menjadi masalah utama bagi
lingkungan karena terjadi peningkatan sampah plastik yang dibuang di laut.
Banyak cara telah dilakukan untuk menangani permasalahan mengenai sampah
organik, penanganan sampah anorganik dapat dilakukan dengan menggunakan
tiga cara yakni reduce, reuse, dan recycle. Reduce yakni berarti mengurangi
penggunaan sampah, reuse berarti menggunakan kembali seperti menggunakan
botol minum, recycle atau daur ulang seperti pengolahan kembali sampah plastik.
Pengelolaan sampah dengan metode daur ulang merupakan salah satu cara yang
saat ini paling efektif. Selain menguntungkan secara ekonomi juga dapat dijadikan
sebagai barang kerajinan.
Kegiatan daur ulang sampah anorganik telah diterapkan juga di wilayah Desa
Tongas Kulon, kegiatan tersebut di prakarsai oleh ibu-ibu PKK desa Tongas
Kulon. Sampah anorganik yang dimanfaatkan yaitu sampah gelas plastik dari
minuman-minuman instan seperti Ale-ale, Teh Sisri, dan lain sebagainya.
Beberapa kendala yang sering dialami oleh ibu-ibu PKK dalam pemasaran
maupun proses produksi tas dari limbah minuman instan adalah sebagai berikut:
 Model tas yang terbatas sehingga terkesan monoton.
 Kurangnya pemasaran tas hasil karya ibu-ibu PKK sehingga terkadang tas
hasil produksi tidak terjual secara optimal.
 Sampah plastik dari minuman-minuman instan yang sangat sulit di dapatkan
secara optimal untuk memenuhi kebutuhan pembuatan tas.

Untuk mengatasi kendala diatas dapat dilakuakan beberapa jalan keluar demi
mengoptimalkan hasil produksi tas daur ulang, yakni:

 Melakukan pembinaan terhadap ibu-ibu PKK desa Tongas Kulon dengan


mendatangkan narasumber yang telah terlatih dalam bidang proses daur
ulang khususnya pembuatan tas dari limbah minuman instan. Selain itu,
langkah inovasi produksi daur ulang limbah dapat dilakukan dengan mencari
inspirasi melalui internet dengan mencari tutorial pembuatan tas daur ulang
melalui limbah minuman instan baik tutorial video maupun tulisan untuk
mencari desain baru yang lebih menarik sehingga hasil produksi tas lebih
bervariasi. Dapat pula dilakukan pengembangan produksi sehingga daur
ulang tidak hanya terpaku pada pembuatan tas saja. Selain hasilnya lebih
variatif akan lebih optimal mengurangi sampah plastik yang ada di
lingkungan sekitar desa Tongas Kulon.
 Pemasaran tas hasil daur ulang limbah selama ini belum didistribusikan
secara optimal oleh ibu-ibu PKK desa Tongas Kulon sehingga pemasukan
yang diterima pun tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan. Untuk
mngatasi hal tersebut dapat dilakukan penjualan secara online melalui
beberapa aplikasi berjualan online untuk menarik minat pembeli yang lebih
luas dengan jangakauan pemasaran seluruh Indonesia. Selain itu, dapat pula
dilakukan penjualan dengan membuat gerai atau toko yang menjual khusus
produk hasil daur ulang karya masyarakat desa Tongas Kulon. Penjualan
hasil produkasi daur ulang sampah dapat pula dilakukan dengan mengikuti
acra yang ada di sekitar wilayah Probolinggo atau di Kabupaten sekitarnya
dengan mengikuti acara bazar atau yang lainnya untuk melakukan promosi
kepada masyarakat luas. Pemberian merk atau label produksi juga dapat
meningkatkan kualitas dan akan menambah daya tarik bagi konsumen.
 Jumlah limbah plastik yang terbatas khususnya limbah sisa minuman instan
yang menjadi kendala dari pengembangan daur ulang ini dapat diatasi dengan
cara pembuatan bank sampah yang buka di wilayah desa Tongas Kulon.
Pembukaan bank sampah dengan tujuan masyarakat dapat secara langsung
berperan dalam mendukung proses produksi tas daur ulang di wilayah desa
Tongas Kulon. Selain itu, dapat pula dilakukan kerja sama dengan pabrik
yang mengelola rongsokan karena biasanya sampah tersebut telah dipilah
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan tas.
4. Pusat Oleh-Oleh Dendeng Ikan Khas Tongas
Ikan merupakan bahan makanan yang saat ini tengah digalakkan untuk di
konsumsi oleh masyarakat di Indonesia. Selain itu ikan juga merupakan salah satu
komoditi ekspor utama bangsa Indonesia. Ikan sangat cepat mengalami proses
pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan yang lainnya. Bakteri dan
perubahan kimiawi pada ikan yang telah mati menyebabkan pembusukan. Oleh
karena itu penanganan dan pengolahan ikan diperlukan untuk mengurangi atau
memperlambat daya rusak sehingga umur simpan dari ikan lebih lama (Hervelly
dkk, 2016). Untuk mencegah penurunan mutu pada ikan hasil produksi
masyarakat nelayan desa Tongas Kulon diperlukan pemafaatan daging ikan yang
diolah menjadi suatu produk. Salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk
mengoptimalkan pemanfaatan ikan hasil tangkapan nelayan desa Tongas Kulon
adalah dengan mengolah ikan dalam bentuk dendeng.
Selama ini masyarakat telah mampu memproduksi dendeng dengan
memanfaatkan ikan hasil tangkapan yang ada di wilayah Tongas Kulon, tetapi
distribusi dendeng masih sangat kurang sehingga masih diperlukan pengembangan
kembali. Pengembangan yang harus dilakukan tidak hanya dalam bidang
pemasaran tetapi juga dalam proses produksinya. Dendeng ikan yang diproduksi
harus steril dengan proses packing yang menarik sehingga menarik minat
konsumen untuk membeli atau bahkan konsumen berminat untuk menjadi
distributor dari hasil produksi olahan dendeng ikan. Untuk meningkatkan
penjualan dapat dilakukan penjualan secara online melalui beberapa aplikasi jual
beli. Tujuan dari pemasaran produk olahan dendeng secara online adalah
mendapat wilayah pemasaran yang lebih luas karena aplikasi penjualan online
pemasarannya secara nasional.
Pemasaran produk secara online dapat meningkatkan potensi penjualan dari
hasil produksi dendeng ikan oleh masyarakat desa Tongas Kulon. Selain itu dapat
pula dilakukan penjualan melalui toko-toko disekitar wilayah desa Tongas Kulon
untuk membantu proses distribusi hasil produksi dendeng ikan. Untuk
meningkatkan distribusi juga dapat dilakukan pembangunan sentra oleh-oleh
berupa kedai atau gerai yang dikelola oleh masyarakat secara langsung dengan
koordinasi dari desa atau ibu-ibu PKK. Pengolahan ikan juga perlu ditingkatkan
tidak hanya dendeng ikan untuk menarik minat konsumen karena memiliki pilihan
yang bervariasi. Beberapa produksi yang dapat dilakukan misalnya dengan
membuat rollade, nuget, otak-otak, kerupuk ikan, dan lain sebagainya yang dapat
menarik minat pembeli untuk lebih mengeksplor produksi yang lebih bervariasi.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Agus, Ragil. 2011. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah di Kelurahan


Jombang Kota Semarang. Skripsi. Fakultas Hukum.Universitas Negeri Semarang.

Ajie, Agyl Satya. 2013. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pemberdayaan Masyarakat
Nelayan di Daerah Pesisir (Studi Di Desa Gejugan, Kecamatan Pajarakan,
Kabupaten Probolinggo). Malang: Universitas Muhammadiyah.

Arviyanthi, Eka P. Margaretha S dan Tri Yuniningsi. 2012. Strtegi Pemberdayaan Masyarkat
Pesisir Secara Terpadu di Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Mangunharjo).
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Diponegoro.

Arsiyah. 2009. Pemberdayaan Dalam Pembangunan Ekonomi Desa. Jurnal Wacana Vol. 12
(2).

Arviyanthi, E.P., dkk. 2016. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Secara Terpadu di
Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Mangunharjo). Jurnal Sosial Universitas
Diponegoro, Semarang.

Awaka, M. Q. 2010. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Nelayan Tradisional) Melalui


Efektifitas Perundangan Dan Peraturan Yang Berlaku Dalam Upaya Menanggulangi
Kemiskinan Di Kabupaten Bangkayang Kalimantan Barat. Fakultas Hukum.
Universitas Tanjung Pura. Pontianak
Awaka, M.Q. 2011. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Nelayan Tradisional) Melalui
Efektifitas Perundangan dan Peraturan yang Berlaku dalam Upaya Menanggulangi
Kemiskinan di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat. Pontianak : Universitas
Tanjungpura.

Ding, Damianus. 2014. Studi tentang Efektivitas Pelaksanaan Program Nasional


Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) di Desa Noha Boan,
Kecamatan Long Apari, Kabupaten Mahakam Ulu. Samarinda. Universitas
Mulawarman. eJournal Ilmu Pemerintahan, 2 (2), 2014 : 2888-2902 ISSN 0000-0000.

Durand, S.S. 2010. Studi Potensi Sumberdaya Alam di Kawasan Pesisir Kabupaten
Minahasa Selatan. Jurnal Perikanan dan Kelautan, Vol. 6, No. 1 (1-7).

Fitriansah, Herry. 2012. Keberlanjutan Pengelolaan Lingkungan Pesisir Melalui


Pemberdayaan Masyarakat di Desa Kwala Lama Kabupaten Serdang Bedagai.
Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota. Vol 8 (4).

Haryani,2013.Analisis Perubahan Hutan Mangrove Menggunakan Citra Landsat.LAPAN.

Hervelly, MP., dkk. 2016. Pengaruh Metode Pengeringan dan Pemberian Bumbu Terhadap
Karakteristik Dendeng Giling Ikan Tongkol (Euthynnus affinis). Artikel Teknologi
Pangan Universitas Pasundan Bandung.

Ibrahim. 1998. Inovasi Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


P2LPTK.

Indarti, I., Dwiyadi S.W. 2013. Metode Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Melalui
Penguatan Kelembagaan di Wilayah Pesisir Kota Semarang. Jurnal Manajemen dan
Bisnis, Vol. 17, No. 1 (75-88).

Kurniaty, Dian R., Mohamad Rizal. 2011. Pemanfaatan Hasil Pengelolaan Sampah Sebagai
Alternatif Bahan Bangunan Konstruksi. Jurnal SMARTek Vol. 9 (1) : 47-60.

Madjid A.2012.Analsis Yuridis Kebijakan Pemerintah Terhadap Alih Fungsi Kawasan Hutan
Mangrove di Kabupaten Pohuwato.Gorontalo. Fakultas Ilmu Sosial

Mirza, A.C., dkk. 2017. Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Laut Nasional Terhadap
Kebijakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. E-Journal Lentera Hukum, Vol. 4,
No. 2 (56-70).
Muazzin dan Enzus.2010.Alih Fungsi Ekosistem Manggrove di Kabupaten Aceh Tamiang.
Kanun Edisi 52

Mujib, Abdul Wafi. 2016. Peran Tokoh Masyarakat Dalam Menanggulangi Perjudian
Remaja Melalui Pembinaan Mental Keagamaan Di Desa Tongas Kulon, Tongas,
Probolinggo Tahun 2015/2016. Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan. Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Jember.

Nasiru, Wa Ode A., dkk. 2017. Distribusi Suhu Permukaan Laut Secara Spasial dan
Temporal Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Madidihang di Perairan Wakatobi.
Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan, Vol. 2, No. 4 (307-316).

Nilasari, Dias. 2017. Analisis Peran Pemerintah Daerah dalam Pemberdayaan (Masyarakat
Pesisir di Desa Wewangriu Kecamatan Malili Kabupaten Luwu Timur). Makassar:
Universitas Hasanuddin.

Petajalan.com diakses pada tanggal 06 Desember 2018

Qodriyatun, S.N. 2013. Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kota Batam


Melalui Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Aspirasi, Vol. 4, No. 2 (91-100).

Rahmanto, D., Endang Purwaningsih. 2015. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Pulau


Untungjawa Dalam Upaya Meningkatkan Kesadaran Hukum dan Kemandirian
Nelayan. Jurnal Hukum, Vol. 7, No. 1 (111-125).

Saidah, S., Leila Ariyani S. 2016. Pengembangan Usaha Pembesaran Kepiting Bakau (Scylla
spp) Melalui Sistem Silvofishery. Jurnal Hutan Tropis Vol. 4 (3) : 265-272.

Santosa, Ari W.B., dkk. 2016. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pantai dalam
Meningkatkan Produktifitas dan Efisiensi di Sentra Industri Kapal Kayu di
Kabupaten Batang. Jurnal Kapal, Vol. 13, No. 1 (38-44).

Sukandar, dkk. 2017. Profil Desa Pesisir Provinsi Jawa Timur Volume 1 (Utara Jawa
Timur). Surabaya : Bidang Kelautan, Pesisir, dan Pengawasan Dinas Kelautan Dan
Perikanan Provinsi Jawa Timur.
Suryawati, Chriswardani. 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional
(Understanding Multidimension Of Poverty). Semarang: Universitas Diponegoro.
JMPK Vol. 08/No. 03/September/2005.

Syaroni, Moh., dkk. 2011. Pengertian Sejarah. Mataram: Universitas Mataram

Taufik. 2013. Analisis Peran Pemerintah Daerah dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
di Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali Mandar. Jurnal Ilmu Pemerintahan,
Vol. 6, No. 1 (61-70).

Triyanto, dkk. 2012. Pengembangan Silvofishery Kepiting Bakau (Scylla serrata) dalam
Pemanfaatan Kawasan Mangrove di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Prosiding
Seminar Nasional Limnologi VI : 739-751.

Anda mungkin juga menyukai