PENDAHULUAN
1.3 TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang diperoleh adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui kondisi aset fisik di Desa Tongas Kulon.
2. Mengetahui kondisi non-fisik di Desa Tongas Kulon.
3. Mengetahui dampak kerjasama antara masyarakat Desa Tongas Kulon dengan
UINSA.
4. Mengetahui upaya yang dilakukan dalam mengoptimalkan pemanfaatan potensi Desa
Tongas Kulon.
1.4 MANFAAT
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan literatur untuk pengembangan
keilmuan dan menambah ilmu pengetahuan di bidang sosial masyarakat, serta tentang
potensi serta kondisi perekonomian masyarakat Desa Tongas Kulon.
2. Manfaat praktis
a. Bagi Pemerintah Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Probolinggo dapat
dijadikan sebagai bahan rekomendasi dalam perbaikan sistem pemberdayaan
masyarakat pesisir.
Selain itu juga dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk menentukan kebijakan
dalam memanfaatkan potensi yang ada di wilayah tersebut
b. Bagi masyarakat, dapat memberikan informasi mengenai pola perbaikan ekonomi
dan melibatkan secara langsung dalam program-program yang akan dilakukan
oleh pemerintah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keadaan Umum Wilayah Tongas
2.1.1 Sejarah
Syaroni (2011) mengungkapkan bahwa arti sejarah secara etimologi dapat
dibagi berdasarkan empat bahasa, yaitu:
1. Bahasa Inggris yang berasal dari kata “history” yang memiliki arti masa
lampau, cerita, catatan, dan juga peristiwa.
2. Bahasa Jerman yang berasal dari kata “geschicht” yang berarti telah terjadi.
3. Bahasa Belanda yang berasal dari kata “gischedinisch” yang berarti peristiwa
atau kejadian.
4. Bahasa Arab yang berasal dari kata “syajarotun” yang memiliki arti pohon.
Pohon juga dapat diartikan sebagai “wit”, apabila “wit”nya banyak maka akan
menjadi “wit-wit an” (wiwitan) yang kemudian diartikan sebagai asal-usul atau
asal mulanya kejadian.
Syaroni (2011), mengatakan bahwa dalam kamus Bahasa Indonesia, arti sejarah
sendiri mengandung tiga pengertian, yaitu riwayat, silsilah atau asal-usul, dan
kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sedangkan
menurut beberapa ahli, definisi sejarah adalah sebagai berikut:
2.1.2 Lokasi
Desa Tongas Kulon merupakan desa yang berada di Kecamatan Tongas,
Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Tongas Kulon merupakan salah satu
desa di Kecamatan Tongas yang terletak di pantai Selat Madura, dengan batas - batas
sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Laut (Pantai Utara)
b. Sebelah Timur : Desa Tongas Wetan
c. Sebelah Selatan : Desa Pamatan
d. Sebelah Barat : Desa Curah Tulis
Luas wilayah Desa Tongas Kulon 787,314 Ha yang terdiri dari, Persawahan
558,075 Ha, Tegalan 129,972 Ha, Pemukiman 97,364 Ha, dan falisitas Umum 2.002
Ha (Mujib, 2012). Desa Tongas Kulon merupakan dataran dengan ketinggian sekitar
10 m di atas permukaan laut, iklim Tongas Kulon termasuk dalam klasisfikasi sebagai
iklim tropis. Di musim dingin, terdapat lebih sedikit curah hujan dari pada musim
panas. Klasifikasi iklim suhu di Tongas Kulon rata - rata 26.5oC dan dalam setahun
curah hujan rata - rata adalah 1251 mm. Presipitasi terendah di Agustus, dengan rata -
rata 3 mm (Mujib, 2012). Dengan rata - rata 234 mm, hampir semua presipitasi jatuh
pada bulan Februari. Pada suhu rata - rata 27.4oC, Nopember adalah bulan terpanas
sepanjang tahun. Juli memiliki suhu rata - rata terendah dalam setahun ini adalah
25oC. Diantara bulan terkering dan bulan terbasah, perbedaan dalam presipitasi adalah
240 mm. selama setahun tersebut suhu rata - rata bervariasi menurun 2.4oC (Mujib,
2012).
2.1.3 Potensi
Desa Tongas Kulon memiliki potensi yang sangat besar, baik sumber daya
alam maupun sumber daya manusia. Mujib (2012) mengatakan bahwa sumber daya
alam yang dimiliki oleh Desa Tongas Kulon adalah sebagai berikut:
a. Lahan pertanian (sawah) seluas 16,28 Ha yang masih dapat ditingkatkan
produktivitasnya karena saat ini belum dikerjakan secara maksimal.
b. Lahan perkebunan dan pekarangan yang subur seluas 19,2 Ha, belum dikelola
secara maksimal.
c. Tersedianya pakan ternak yang baik untuk mengembangkan peternakan seperti
sapi, kambing, dan ternak lain.
d. Banyaknya sisa kotoran ternak sapi atau kambing memungkinkan untuk
mengembangkan usaha pembuatan pupuk organik.
Selain itu, menurut Mujib (2012), adapun sumber daya manusia di Desa Tongas
Kulon sebagai berikut:
a. Kehidupan masyarakat dari masa ke masa relatif teratur dan terjaga adatnya.
b. Besarnya penduduk usia produktif disertai etos kerja masyarakat yang tinggi.
c. Terpeliharanya budaya rembug (musyawarah) di desa dalam penyelesaian
permasalahan.
d. Cukup tingginya dalam pembangunan desa
e. Masih hidupnya tradisi gotong royong dan kerja bakti masyarakat.
f. Terpeliharanya budaya saling membantu di antara warga masyarakat
g. Kemampuan Bertani yang diwariskan secara turun temurun
Besarnya sumber daya perempuan usia produktif sebagai tenaga produktif
yang dapat mendorong potensi industri rumah warga.
2.2 Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
2.2.1 Pengertian Pemberdayaan
Pemberdayaan merupakan proses serta tujuan suatu kegiatan yang
berfungsi untuk memperkuat keberdayaan atau kekuatan kelompok lemah
dalam masyarakat. Tujuan utama dari pemberdayaan adalah menuju pada
keadaan yang lebih baik secara fisik, ekonomi maupun secara sosial. Keadaan
sosial yang lebih baik yakni seperti memiliki kepercayaan diri, dapat
menyampaikan aspirasi kepada pemerintahan, memiliki mata pencaharian
yang layak, serta dapat berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan mandiri dalam
melaksanakan tugas-tugas kehidupan (Rahmanto dan Endang, 2015). Selain
itu, tujuan pemberdayaan adalah dapat memampukan dan memandirikan
masyarakat terutama dari kemiskinan dan keterbelakangan. Menurut
Arviyanthi dkk (2016), istilah pemberdayaan juga dapat diartikan sebagai
suatu upaya untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh individu,
kelompok, maupun masyarakat luas agar masyarakat memiliki kemampuan
untuk melakukan kontrol terhadap lingkungannya serta memenuhi harapan-
harapan mereka, termasuk aksesbilitasnya terhadap sumberdaya alam maupun
sumberdaya manusia yang terkait dengan pekerjaan serta aktifitas sosialnya.
Pemberdayaan berarti upaya atau suatu kekuatan yang dilakukan
sekelompok masyarakat dengan harapan dapat meningkatkan daya guna dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya ke arah yang lebih sejahtera. Pemberdayaan
memiliki konsep dasar yaitu upaya suatu kelompok masyarakat untuk dapat
meningkatkan kemampuan serta kemandirian sehingga masyarakat dapat
mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki dalam rangka tujuan hidup
yang lebih sejahtera. Pemberdayaan yang diinginkan masyarakat adalah suatu
pemberdayaan yang bisa membangun masyarakat ke arah yang lebih sesuai
dengan tujuan hidup mereka (Indarti dan Dwiyadi, 2013).
2.2.2 Pengertian Pemberdayaan Mayarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pemberian daya atau
kekuatan (power) terhadap perilaku dan potensi individu atau masyarakat,
serta pengorganisasian kelompok masyarakat oleh pemerintah maupun
masyarakat itu sendiri atas dasar partisipasi. Pemberdayaan tersebut bertujuan
agar masyarakat mempunyai inisiatif untuk dapat melaksanakan berbagai
kegiatan sosial kemasyarakatan di sekitarnya untuk dapat memperbaiki atau
meningkatkan kualitas serta kondisi diri sendiri menjadi lebih baik lagi. Selain
itu, pemberdayaan memiliki tujuan untuk membuat masyarakat dapat hidup
mandiri, dapat mengatasi segala aspek permasalahan yang ada, dalam arti
memiliki potensi agar mampu mengatasi permasalahan yang mereka hadapi
dan sanggup memenui kebutuhannya dengan tidak bergantung pada bantuan
pihak luar baik pemerintah maupun non pemerintah (Taufik, 2013).
a. Natural assets, contohnya seperti tanah dan air, karena sebagian besar
masyarakat di pedesaan hanya menguasai lahan yang kurang memadai untuk
mata pencahariannya.
b. Human assets, hal ini menyangkut kualitas terhadap sumber daya manusia
yang relatif masih rendah dibandingkan masyarakat di perkotaan. Hal ini
baik dalam bidang tingkat pendidikan, keterampilan, pengetahuan, maupun
tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi.
c. Physical assets, yaitu minimnya akses untuk ke infrastruktur dan juga fasilitas
umum seperti listrik, jaringan jalan, dan komunikasi yang ada di pedesaan.
d. Financial assets, berupa tabungan, serta akses untuk memperoleh modal
usaha.
e. Social assets, berupa kontak, jaringan, dan juga pengaruh politik, dalam hal
ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan
politik.
Kawasan pesisir memiliki tiga habitat utama (vital) yakni mangrove, padang lamun
dan terumbu karang. Di antara ketiga habitat tersebut terdapat hubungan dan interaksi
yang saling mempengaruhi. Kerusakan yang terjadi pada satu habitat akan
mempengaruhi kehidupan biota pada habitat lainnya, sehingga pengelolaan pada suatu
habitat harus mempertimbangkan kelangsungan habitat lainnya (Mirza dkk, 2017).
Mulai
Pengumpulan Data
Kesimpulan
Selesai
Focus Group Discusssion (FGD) dengan tema pemetaan Potensi Sumber Daya
Alam (SDA) Sumber Daya Manusia (SDM) Desa Tongas Kulon Probolinggo
JawaTimur, kegiatan ini dilaksanakan pada :
Narasumber :
Mahasiswa Ilmu Kelautan UIN Sunan Ampel Surabaya telah melaksanakan praktik
kuliah lapangan dengan mata kuliah Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Kegiatan tersebut
berlangsung selama 3 (tiga) hari yaitu mulai tanggal 30 November s/d 02 Desember 2018
yang bertempat di Dusun Renak, Desa Tongas Kulon, Kecamatan Tongas, Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur. Pada hari pertama, tepatnya pada Hari Jum’at tanggal 30
Desember 2018 pukul 19.00 WIB (setelah ba’dha sholat isya) telah dilaksanakan salah
satu kegiatan pemberdayaan masyarakat pesisir yaitu Focus Group Disscusion (FGD)
yang bertempat di salah satu rumah warga Dusun Renak, Desa Tongas Kulon yaitu rumah
bapak Ja’i. Kegiatan FGD ini telah dihadiri oleh sesepuh/tokoh masyarakat seperti ketua
RT, Kepala Desa, Masyarakat Desa Tongas Kulon (Masyarakat Nelayan) yang mayoritas
adalah anggota aktif Lestari Desaku, Dosen Pembimbing mata kuliah Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir serta seluruh mahasiswa Ilmu Kelautan UIN Sunan Ampel Surabaya.
Tujuan diadakannya kegiatan FGD ini yaitu untuk mengetahui sejarah atau asal usul desa
Tongas Kulon, serta mengenali dan menggali potensi-potensi dan permasalahan yang ada
di desa Tongas Kulon. Sehingga setelah diadakannya kegiatan FGD ini diharapkan
mahasiswa Ilmu Kelautan UIN Sunan Ampel Surabaya beserta seluruh masyarakat desa
Tongas Kulon dapat saling gotong-royong dalam membangun desa Tongas Kulon agar
bisa lebih maju dan lebih berkembang, baik disektor perikanan, pertanian maupun bidang-
bidang lainnya.
Kegiatan Focus Group Disscusion (FGD) ini dipimpin oleh dua orang moderator yang
memiliki tugas untuk memimpin dan mengatur jalannya kegiatan tersebut. Semua
informasi yang didapatkan dari masyarakat selama kegiatan FGD berangsung telah dicatat
oleh notulen sehingga informasi tersebut dapat membantu dalam menggali potensi serta
mengetetahui permasalahan yang sedang terjadi di desa Tongas Kulon sehingga nantinya
dapat mempermudah untuk mencari solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang
sedang terjadi di desa tersebut. Selain itu, seluruh mahasiwa Ilmu Kelautan juga turut andil
dalam mencari serta menggali informasi dari masyarakat dengan berbaur langsung
bersama masyarakat (peserta FGD) sehingga diharapkan dengan informasi yang telah
didapatkan tersebut dapat membantu dalam mencari solusi dalam menyelesaikan
permasalahan yang sedang terjadi di desa Tongas Kulon.
Kegiatan FGD ini dimulai dengan sambutan dari moderator untuk membuka acara FGD
dan selanjutnya sambutan dari beberapa tokoh masyarakat seperti bapak ketua RT,
Perwakilan Kepala Desa, perwakilan dari masyarakat Desa Tongas serta sambutan dari ibu
Kaprodi Ilmu Kelautan UIN Sunan Ampel Surabaya selaku dosen pembimbing kegiatan
kuliah lapangan ini. Point pertama yang dibahas dalam kegiatan Focus Group Disscusion
(FGD) adalah sejarah atau asal usul desa Tongas Kulon. Disini moderator berkesempatan
untuk memberikan pertanyaan kepada masyarakat desa Tongas Kulon agar masyarakat
dapat mengenang atau mengingat kembali masa-masa kejayaan desa Tongas Kulon.
Dari hasil kegiatan FGD tersebut dapat diketahui bahwa Tongas Kulon adalah sebuah
desa yang berada di Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur,
Indonesia. Tongas Kulon merupakan salah satu desa di Kecamatan Tongas yang terletak di
pantai Selat Madura. Desa Tongas Kulon terletak sekitar 30 km dari objek wisata gunung
bromo, dengan batas-batas desa sebagai berikut :
Sebagian besar masyarakat desa Tongas Kulon juga menggunakan bahasa Madura untuk
berkomunikasi sehari-harinya. Renak merupakan salah satu dusun yang terletak di Tongas
Kulon. selain itu, dusun Renak juga terkenal sebagai pelaut ulung, dimana sebagian besar
masyarakat dusun Renak bermata pencaharian sebagai nelayan.
Desa tongas kulon sendiri telah berdiri sejak tahun 1970 dengan diawalinya babat alas
oleh H. Moh Asyari. Hingga saat ini masih terdapat bukti-bukti sejarah yang menceritakan
terbentuknya desa Tongas Kulon. Salah satu peninggalan sejarah yang masih ada hingga
saat ini yaitu berdirinya masjid Ar-Royan, di belakang masjid Ar-Royan terdapat sebuah
makam, makam tersebut adalah makam KH Syeikh Moh. Ashari yang merupakan pendiri
dari masjid Ar-Royan. Menurut masyarakat Tongas Kulon, dahulu banyak orang yang
suka berkelana dan tinggal/menetap sampai akhirnya meninggal di desa Tongas Kulon,
masyarakat sering menyebutnya dengan istilah “bacar acir”. Hal ini dibuktikan terdapat
beberapa peninggalan makam-makam (pesarean) dari para ulama tersebut. Seperti adanya
pesarean (makam) leluhur terdahulu yang diberi nama “Buyut Pendem” yang sampai
sekarang pesarean tersebut masih terawat. Sedangkan di desa Tongas Wetan terdapat
pesarean umum yang diberi nama pesarean “Buyut Purut”.
Kata Tongas berasal dari dua gabungan kata, yaitu “Tong” dan “Angas”, kata Tong
memiliki arti sebuah drum besi, sedangkan “Angas” yang merupakan sejenis pohon yang
mirip pohon waru namun memiliki perbedaan pada daunnya atau biasa disebut sebagai
pohon angas dan hanya terdapat di Tongas saja. Makna dari tong menunjukkan bagian
desa yang terletak di tongas dan pohon angas bermakna sebagai pemisah/ pembatas dari
desa tersebut. Terdapat dua tong (drum besi) yang ada di desa Tongas yang mengibaratkan
nama dua desa yang berada di Tongas Kulon. Dimana tong yang terletak di sebelah Timur
merupakan Desa Tongas Wetan dan tong sebelah Barat sebagai DesaTongas Kulon.
Diantara dua tong tersebut terdapat sebuah pohon angas yang mengibaratkan sebagai
pembatas antara kedua Desa tersebut. Berikut Gambar Tong dan Sumber air yang ada di
Tongas Kulon
Menurut sejarah, kedua desa tersebut juga dibatasi oleh sungai Klemprit sepanjang 2.750
meter. Dibagian hulu sungai Klemprit tersebut terdapat sumber air yang mana airnya
keluar dari sebuah tebing yang diatasnya ditumbuhi pohon bambu. Dari situlah asal mula
nama Tongas berasal. Dahulu sumber air tersebut digunakan masyarakat untuk kebutuhan
sehari-sehari seperti mandi dan juga diminum. Menurut cerita sumber air tersebut selalu
keluar dan tidak pernah habis meskipun pada saat musim kemarau, bahkan dahulu drum
yang berisi air penuh meskipun digunakan oleh 100 orang tidak akan pernah habis.
Kondisi airnya pun sangat jernih dan dingin, dahulu warga sering membersihkan tong
tersebut apabila sudah kotor. Namun, nasib tong tersebut kini sudah terbengkalai dan
sudah tidak terurus lagi, dikarenakan sudah tercukupinya kebutuhan air bersih di rumah-
rumah warga. Letak tong tersebut juga berada diantara persawahan dan jauh dari
jangkauan masyarakat.
Berdasarkan informasi pada saat diskusi, dapat diketahui bahwa desa Tongas Kulon
dahulu terdapat sebuah pantai yang sangat indah dan memiliki pasir putih tepatnya sekitar
tahun 1980- an. Pada saat itu mangrove masih banyak ditemukan disepanjang pantai
bahkan dahulu ada beberapa jenis mangrove yang sudah dikonsumsi oleh sebagian
masyarakat Tongas Kulon yaitu dijadikan urap – urap, pelengkap makanan bahkan juga
dijadikan sebagai obat. Dahulu juga masyarakat Tongas Kulon masih memanfaatkan
ranting – ranting tanaman mangrove sebagai kayu bakar. Berikut Kondisi Mangrove di
Tongas Kulon
Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki ekosistem
yang seimbang, profosional dan adaptif yang berbeda dengan tipe hutan lainnya. Hutan
mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya tumbuh dan berkembang baik di daerah
tropis, seperti indonesia hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang
bermanfaat bagi manusia. Secara ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai daerah
pemijahan (spawning ground) dan daerah pembesaran (nursery ground) sebagai jenis ikan,
udang, karang-karangan dan spesis lainnya. Selain itu adalah seresah mangrove (berupa
dedaunan, ranting, dan biomassa lainnya) yang jatuh ke perairan menjadi sumber pakan
biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan.
Hutan mangrove juga merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptelia,
mamalia, dan jenis-jenis kehidupan lainnya, adapun Fungsi ekonomi dari mangrove yaitu
sumber penghasil kayu bangunan, dan kapal, bahan baku pulp dan kertas, kayu bakar,
bahan arang, alat tangkap ikan dan bahan pewarna selain itu fungsi dari mangrove yaitu
sebagai penaggulangan abrasi (Madjid, 2012). Salah satunya yaitu ekosistem mangrove
yang terdapat di Tongas Kulon, Probolinggo.
Menurut Haryani (2013), luas area mangrove salah satunya di Kabupaten Probolinggo
pada tahun 2001 sebesar 209,32 hektar, sedangkan luas area mangrove pada tahun 2011
seluas 295,20 hektar. Hasil pengolahan tersebut bahwa area mangrove selama kurun waktu
sebelas tahun tahun 2001 sampai dengan tahun 2011 terlihat adanya peningkatan atau
penambahan luas area hutan mangrove seluas 95,08 hektar yang terjadi di 36 desa. Selain
adanya penambahan luas area mangrove juga terjadi penurunan luas areal hutan mangrove
dari tahun 2001 hingga tahun 2011 seluas 10,66 % terjadi di 8 desa, yaitu Desa Bayeman,
Dungun, Karangpranti, Klaseman, Mayangan, Pesisir, Randumerak, dan Sumberanyar.
Adanya penambahan atau peningkatan luas hutan mangrove dan adanya penurunan atau
berkurangnya luasan hutan mangrove tersebut dapat diperhitungkan bahwa di Kabupaten
Probolinggo selama kurun waktu sebelas tahun masih adanya peningkatan luas area hutan
mangrove seluas 85,88 hektar.
Kondisi hutan mangrove di Tongas Kulon pada tahun 1970-an memulai penanaman
mangrove di Wilayah Tongas Kulon, 1980-an kondisinya masih terlihat sangat lebat, dan
jenis-jenis mangrove yang ada di Tongas Kulon pun bermacam-macam yaitu seperti
Rizhopora, Avicennia, Bruguiera, Nypa, Jeruju dan banyak biota laut maupun biota
lainnya yang ada di sekitar hutan mangrove yaitu seperti kepiting, burung, dan ikan,
namun pada tahun 1988-1992 datang juragan China untuk menyewa lahan untuk dijadikan
sebagai tambak udang Vanname dan mengakibatkan banyak mangrove yang ditebang
sebagai lahan pertambakan, selain itu dampak dari pengalihan fungsi lahan mangrove di
Tongas Kulon ini mengakibatkan semakin kurangnya habitat kepiting, hilangnya pantai
berpasir putih karena adanya pengerukan orang China dan pegaruh sedimentasi dari
proyek-proyek yang didirikan oleh orang China.
Desa Tongas Kulon sejatinya memiliki kondisi alam pesisir yang eksotis dengan
gugusan ekosistem Mangrove dan lahan pantai pasir putih sebagai komponen utama
penyusun pesisir Desa Tongas Kulon. Menurut informasi dari para warga pada saat
berlangsungnya kegiatan FGD, pada tahun 1980-an pantai di Desa Tongas kulon terkenal
dengan keindahan alamnya meskipun tidak secara resmi dijadikan sebagai destinasi wisata
namun sudah banyak pengunjung yang datang untuk menikmati keindahan pantai Tongas
Kulon. Keindahan pantai Tongas Kulon bukan hanya memikat wisatawan lokal saja
bahkan wisatawan asing juga pernah menginjakkan kaki di pantai Tongas Kulon demi
untuk menikmati keindahan pantainya. Kondisi keindahan pantai Tongas Kulon
setidaknya masih terlihat hingga tahun 1986 dan ditahun itu pula mulai ada proyek tambak
udang yang digagas oleh pemerintah yang mengakibatkan banyak diantara pohon
mangrove yang ditebangi untuk digunakan sebagai lahan tambak udang milik pemerintah.
Hal inilah yang dapat meyebabkan terjadinya perubahan struktur penyusun pantai, diman
dulunya memiliki pemandangan yang indah dengan pasir putih dan sekarang pantai
tersebut telah beruah menjadi kawasan berlumpur. Salah satu narasumber mengatakan
bahwa perubahan struktur penyusun pantai Tongas dari pasir menjadi lumpur adalah
perubahan lingkungan. Struktur sedimen pasir adalah struktur sedimen awal pantai
Tongas. Perubahan sedimen pantai Tongas disebabkan oleh menyusutnya luasan
mangrove, sehingga pasir yang berada di sekitar pantai mengalami abrasi.
Alih fungsi kawasan hutan mangrove saat ini sangat mencuat dikalangan masyarakat
yang telah banyak dijadikan lahan usaha pertambakan. Salah satu penyebabnya kurangnya
peran serta pemahaman dari individu maupun kelompok masyarakat untuk merehabilitasi
hutan mangrove. Padahal, dengan merehabilitasi hutan mangrove akan berdampak positif
dalam peningkatan pembangunan ekonomi khususnya dalam bidang perikanan, industri,
pemukiman, rekreasi dan lain-lain. (Madjid, 2012). Pada faktanya kawasan hutan
mangrove Tongas Kulon beralih fungsi menjadi lahan usaha tambak. Perubahan fungsi
lahan mangrove yang terjadi di pesisir pantai Tongas tersebut telah melanggar Undang-
Undang (UU) No. 41/1999 Tentang Kehutanan menetapkan hutan berdasarkan fungsi
pokoknya yaitu: (1) Hutan Konservasi, (2) Hutan Lindung, dan (3) Hutan Produksi, dapat
diketahui bahwa hutan mangrove termasuk hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan
ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya (Pasal 1 angka 9) (Muazzin,2010).
Sejak pemerintah merencanakan proyek tambak udang pada tahun 1986 di wilayah
pesisir pantai Tongas Kulon, dua tahun setelahnya yakni pada tahun 1988 keberadaan
tambak udang tersebut semakin meningkat dengan gencar – gencarnya para investor
swasta asal China yang ingin membuka lahan tambak udang diarea pesisir pantai Tongas
Kulon. Para investor terebut dapat mempengaruhi masyarakat dengan perjanjian
kerjasama bagi hasil sampai kemudian perjanjian tersebut dapat diterima oleh para desa
Tongas Kulon. Pengadaan tambak oleh investor pun tidak dalam jumlah sedikit, bahkan
jauh lebih banyak dari pada jumlah tambak milik pemerintah. Banyaknya tambak tersebut
secara otomatis juga dapat membuat kawasan hutan mangrove di desa Tongas Kulon
menjadi semakin habis karena ditebangi untuk pengadaan tambak tersebut.
Pada awal berjalannya sistem kerjasama tambak dengan investor China tersebut,
masyarakat tidak merasa dirugikan karena dari masyarakat sendiri juga merasa
diuntungkan. Berkat adanya tambak tersebut masyarakat Desa Tongas Kulon memiliki
lapangan kerja baru yakni sebagai buruh tambak. Dengan adanya perkerjaan tersebut,
masyarakat desa Tongas Kulon selain mendapat penghasilan dari kerjasama bagi hasil
tambak, mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dengan bekerja sebagai buruh
tambak tersebut. Masyarakat desa Tongas Kulon baru merasakan kerugian dari adanya
kegiatan pertambakan setelah mereka merasa bahwa hasil tangkapan ikan terutama ikan
yang hidup pada ekosistem hutan mangrove menjada sulit untuk ditemukan dan ditangkap
tidak seperti dulu dimana mereka lebih mudah untuk mendapatkan kepiting dan ikan di
area mangrove yang dulu masih sangat rapat dan kini ekosistem mangrove tersebut hanya
tersisa pada beberapa lahan saja. Setelah masyarakat merasakan hal tersebut barulah
mereka sadar terhadap pentingnya keberadaan ekosistem mangrove yang dalam dunia
perikanan memiliki peran penting yaitu sebagai sebagai daerah pemijahan (spawning
ground) dan daerah pembesaran (nursery ground) sebagai jenis ikan, udang, karang-
karangan dan spesis lainnya. Selain itu seresah mangrove (berupa dedaunan, ranting, dan
biomassa lainnya) yang jatuh ke perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur
hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan. Dengan fungsi mangrove tersebut,
apabila ekosistem mangrove mengalami kerusakan maka akan terjadinya
ketidakseimbangan dan mengganggu aktifitas biota yang hidup di ekosistem tersebut.
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat desa Tongas Kulon juga tidak
bisa berbuat banyak dikarenakan mereka juga sudah terikat kontrak dengan para investor
China tersebut.
Keberadaan proyek tambak udang oleh investor berlangsung dalam kurun waktu yang
cukup lama, menurut masyarakat desa Tongas Kulon, kontrak kerjasama antara investor
dengan masyarakat desa Tongas yang telah disetujui oleh kedua belah pihak yakni selama
15 tahun, namun tambak udang tersebut terakhir terlihat benar-benar masih aktif sekitar
tahun 1992 dan pada tahun-tahun selanjutnya tambak udang tersebut mulai kurang
beroperasi. Pada tahun 1994 tambak udang milik investor China tersebut benar-benar telah
berhenti beroperasi dikarenakan mengalami kerugian akibat adanya virus yang menyerang
pada sebagian besar udang yang berada dalam tambak budidaya tersebut. Virus yang
menyerang pada tambak udang tersebut juga dapat menyebar atau menularkan pada udang
– udang lainnya yang mana nantinya dapat menimbulkan kematian pada udang di semua
tambak yang ada. Hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya kerugian pada kegiatan
budidaya udang sehingga penghasilan yang diperoleh dari hasil panen udang tidak
setimpal dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan selama perkembangbiakan udang.
Setelah kejadian tersebut, para investor lebih memilih untuk meninggalkan petak-petak
atau kolam budidaya udang. Hingga saat ini, petak atau kolam budidaya udang tersebut
masih berada dalam kondisi utuh dan terbengkalai di desa Tongas Kulon.
Kegagalan dalam budidaya udang oleh para investor tersebut juga akan berdampak
pada masyarakat desa Tongas Kulon dimana mereka telah kehilangan kawasan mangrove
yang telah menjadi tempat mereka mencari nafkah untuk memenuhi kehidupan sehari-
harinya. Selain itu, hilangnya lahan mangrove juga dapat berdampak pada masyarakat
desa Tongas Kulon, diantaranya yaitu hilangnya tempat – tempat sumber telur kepiting
dan ikan-ikan kecil yang dulu banyak ditemukan di ekosistem mangrove. Saat ini
masyarakat sulit mencari kepiting padahal sebelum adanya pengalihan lahan mangrove
menjadi tambak, kepiting sangat mudah ditemukan di ekosistem mangrove tersebut. Selain
sulit ditemukannya kepiting dampak lainnya yaitu semakin sedikitnya populasi ikan yang
terdapat diperairan Tongas Kulon. Dimana keadaan ini sangat memberikan dampak pada
masyarakat Tongas yang sebagian besar masyarakatnya sebagai nelayan dan tergantung
terhadap hasil tangkapan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada tahun 1990-an juga, masyarakat desa Tongas Kulon mulai kembali lagi melakukan
penanaman pohon mangrove di daerah Tongas Kulon oleh pemerintah dan sampai
sekarang mangrove di Tongas Kulon tumbuh lebat di sekitar rumah warga. Penanaman
yang di lakukan pemerintah kurang tertata karena dapat dilihat dari hasil pertumbuhannya
sekarang yang terlalu rapat dan tidak tersusun rapi. Hal ini sangat disayangkan, karena
yang seharusnya mangrove bisa tumbuh lebat tetapi jarak antara mangrove satu dan
lainnya terlalu berdekatan mengakibatkan mangrove tidak bisa tumbuh maksimal.
Penataan antara jenis-jenis mangrove pun tidak beraturan.
Menurut informasi dari masyarakat desa Tongas Kulon, dapat diketahui bahwa sekitar
tahun 1978 – 1981 desa Tongas Kulon kedatangan mahasiswa dari Universitas Dr.
Soetomo (UNITOMO) untuk melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Salah
satu program kerja yang di lakukan oleh mahasiswa UNITOMO pada saat itu adalah
membangun sebuah kincir air. Kincir air tersebut dibangun bersama-sama antara warga
desa Tongas Kulon dan mahasiswa UNITOMO. Tujuan dibangunnya kincir air tersebut
salah satunya yaitu untuk mempermudah warga dalam mendapatkan sumber air dimana
sampai saat ini kincir air tersebut masih berfungsi untuk menyalurkan air ke rumah –
rumah masyarakat Tongas Kulon.
Nelayan Tongas Kulon mulai banyak mempunyai kapal sendiri pada tahun 2000 an namun
hasil tangkapan nelayan tidak sebanyak pada tahun 90-an, dimana bisa mendapatkan
tangkapan ±8-10 kg/ hari. Sedangkan penghasilan sekarang hanya mendapat 1 pick-up dan
itupun harus dibagi dengan banyak nelayan. Alat bantu tangkap tradisional sudah
ditemukan pada tahun 1970 yaitu suling henpon. Suling henpon di adopsi dari nelayan
tuban, yaitu terbuat dari kayu pohon waru yang tingginya sekitar 150 cm dengan diameter
40 cm di bagian bawahnya dan 20-30 cm bagian atas dan panjang bagian pegangan alat
henpon yang terbuat dari bambu ukurannya 1-2 meter. Penggunaan alat bantu tangkap
suling henpon masih digunakan sampai saat ini. suling henpon digunakan untuk
mendengar suara ikan yang berada dilaut, kemudian ikan dapat di jaring menggunakan
jaring ikan . Berikut gambar alat tradisional Tongas Kulon (henpon)
Gambar 3. Alat Tradisional Henpon
Penggunaan Suling henpon untuk mendengar suara ikan sangat membantu nelayan
untuk mencari ikan. Suara yang di dapat dari suling henpon dapat menentukan ikan apa
dan jumlah ikan yang akan di dapat. Hal ini menjadi keunikan Desa Tongas Kulon yang
menjadikan kayu pohon waru menjadi alat bantu tangkap ikan dan alat bantu tangkap
suling henpon juga berpotensi untuk dijadikan wisata. Banyaknya masyarakat awam yang
penasaran akan suara ikan yang di tangkap suling henpon dapat menjadi peluang
masyarakat Tongas Kulon untuk mengembalikan wisata di desa tersebut.
Adapun suatu kelompok yang terdiri dari beberapa masyarakat dan nelayan Tongas
Kulon berdiri mulai tahun 2013 sampai sekarang. Lestari Desaku merupakan suatu
kelompok masyarakat yang memiliki tujuan yang sama yaitu melestarikan Desa Tongas
yang di pelopori oleh Dr. Arif. Pada tahun didirikannya Lestari Desaku banyak kelompok
nelayan yang ikut bergabung dalam kelompok Lestari Desaku. Antusiasme warga dan
anggota Lestari Desaku yang hadir dalam FGD (Focus Group Disscussion) menceritakan
Tongas Kulon pada masa jayanya dan didapatkan beberapa permasalahan yang dikeluhkan
warga yaitu sebagai berikut :
4.4 Upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan potensi Desa Tongas Kulon
Sumber daya alam di Probolinggo khususnya wilayah Tongas Kulon sangat potensial
untuk dikembangkan. Bukan hanya sumber daya alamnya tetapi sumber daya manusia
yang kreatif juga menjadi nilai tambah masyarakat Tongas Kulon Probolinggo. Potensi
sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tinggi menjadi peluang untuk
mengembangkan potensi tersebut, untuk mewujudkan pengembangan potensi yang ada di
wilayah Tongas Kulon diperlukan strategi serta kerjasama yang baik antar masyarakat,
pemerintah, serta stakeholder terkait. Beberapa upaya yang dapat ditempuh untuk
mengoptimalkan potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang ada di
wilayah Tongas Kulon adalah sebagai berikut :
1. Pengembangan Usaha Pembesaran Kepiting Bakau Melalui Sistem
Silvofishery di Sekitar Kawasan Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan suatu kawasan hutan yang berada di wilayah
pantai. Kawasan mangrove pada umunya sangat peka terhadap perubahan
lingkungan di sekitarnya. Menurunnya kualitas dan kuantitas mangrove dapat
menyebabkan penurunan pula terhadap ekosistem disekitarnya misalnya
ekosistem kepiting bakau (Saidah dan Leila, 2016). Budidaya kepiting bakau
menggunakan sistem silvofishery di sekitar kawasan mangrove dapat
menanfaatkan sumberdaya mangrove secara optimal dan lestari karena dengan
melakukan pemeliharaan kepiting secara tidak langsung akan dilakukan
pemeliharaan mangrove secara rutin pula. Selain itu, tujuan dari pembesaran
kepiting bakau di wilayah mangrove juga bertujuan untuk meningkatkan nilai
tambah dan peluang kerja bagi masyaraakat pesisir.
Kawasan pesisir Desa Tongas Kulon Kabupaten Probolinggo memiliki potensi
kawasan mangrove sebesar 0,79% dari luas wilayah desa yakni 4,03 km2 dan garis
pantai sejauh 0,495 km (Sukandar dkk, 2017). Kawasan mangrove di wilayah
Tongas Kulon sangat berpotensi untuk dimanfaatkan guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pesisir. Wilayah mangrove Desa Tongas Kulon
merupakan kawasan penyangga sumber daya kelautan di wilayah tersebut karena
ekosistem mangrove merupakan area pengasuhan utama bagi banyak spesies ikan,
udang, dan kepiting, termasuk kepiting bakau. Produksi tangkapan kepiting bakau
di wilayah Tongas Kulon turut berkontribusi dalam perdagangan hasil perikanan
di wilayah tersebut karena kepiting bakau menjadi spesies target tangkapan
nelayan yang sangat sering dicari. Kondisi kepiting bakau yang sering dijadikan
sebagai spesies target patut diwaspadai kepunahannya. Hal tersebut menjadi
permasalahan utama perlunya dilakukan pembudidayaan kepiting bakau. Selain
itu, dasar pemikiran dibuatnya sistem pembudidayaan kepiting bakau di kawasan
mangrove adalah mempertahankan fungsi ekologis mangrove sebagai area tinggal
kepiting bakau maupun ekosistem perikanan yang lainnya.
Budidaya kepiting bakau dengan menggunakan sistem silvofishery merupakan
salah satu alternatif untuk menjaga area mangrove serta meningkatkan perikanan
masyarakat pesisir sekaligus. Prinsip sistem silvofishery adalah mengembalikan
kawasan mangrove sebagai ekosistem penyangga di wilayah pesisir 80% atau
mempertahankannya sebagai area konservasi dan 20% untuk pemanfaatan (seperti
budidaya silfofishery yang ramah lingkungan dan tidak membuat kerusakan
terhadap mangrove) (Triyanto dkk, 2012). Silvofishery merupakan salah satu
konsep pengelolaan sumber daya pesisir yang mengintegrasikan antara konservasi
dengan budidaya air payau. Budidaya yang dilakukan menggunakan prinsip
bentuk budidaya perikanan yang berkelanjutan dengan input yang rendah karena
memanfaatkan potensi sumber daya yang ada. Pendekatan dengan
mengintegrasikan antara konservasi dengan budidaya perikanan diharapkan
mampu meningkatkan pemanfaatan sumber daya mangrove yang ada di wilayah
Tongas Kulon dengan mempertahankan keutuhan mangrove yang relatif tinggi
dan diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir wilayah
Tongas Kulon.
Komoditas perikanan di wilayah Tongas Kulon yang sesuai untuk budidaya
silvofishery adalah kepiting bakau karena merupakan spesies yang khas di
kawasan mangrove. Kepiting bakau hidup di daerah muara sungai dan area rawa
pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi mangrove (Triyanto dkk, 2012).
Kepiting bakau merupakan jenis kepiting yang paling populer sebagai bahan
makanan dan memiliki harga yang cukup mahal dibanding kepiting jenis lainnya
(memiliki nilai ekonomis yang tinggi). Saat ini untuk memenuhi keputuhan pasar
kepiting bakau masih dilakukan penangkapan di alam secara langsung sehingga
hasil yang didapatkan pun tergantung dari stok alam. Hal tersebut dapat
mengancam kelestarian kepiting bakau jika dilakukan secara terus menerus.
Budidaya kepiting bakau dengan menggunakan sistem silvofishery di dalam
area hutan mangrove memungkinkan adanya budidaya tanoa perlu melakukan
konversi area mangrove. Alternatif pengelolaan seperti ini diharapkan dapat
meningkatkan nilai ekonomi hutan mangrove tanoa mengancam fungsi
ekologisnya. Budidaya kepiting bakau dengan menggunakan sistem silvofishery
merupakan teknik budidaya pembesaran yang dilakukan dengan cara memelihara
kepiting bakau dalam kurungan tancap yang dibangun di dalam area mangrove.
Lokasi untuk melakukan pembangunan kurungan tancap untuk sistem silvofishery
dipilih di dalam area rawa yang berada pada kisaran pasang surut air laut.
Untuk mengatasi kendala diatas dapat dilakuakan beberapa jalan keluar demi
mengoptimalkan hasil produksi tas daur ulang, yakni:
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ajie, Agyl Satya. 2013. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pemberdayaan Masyarakat
Nelayan di Daerah Pesisir (Studi Di Desa Gejugan, Kecamatan Pajarakan,
Kabupaten Probolinggo). Malang: Universitas Muhammadiyah.
Arviyanthi, Eka P. Margaretha S dan Tri Yuniningsi. 2012. Strtegi Pemberdayaan Masyarkat
Pesisir Secara Terpadu di Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Mangunharjo).
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Diponegoro.
Arsiyah. 2009. Pemberdayaan Dalam Pembangunan Ekonomi Desa. Jurnal Wacana Vol. 12
(2).
Arviyanthi, E.P., dkk. 2016. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Secara Terpadu di
Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Mangunharjo). Jurnal Sosial Universitas
Diponegoro, Semarang.
Durand, S.S. 2010. Studi Potensi Sumberdaya Alam di Kawasan Pesisir Kabupaten
Minahasa Selatan. Jurnal Perikanan dan Kelautan, Vol. 6, No. 1 (1-7).
Hervelly, MP., dkk. 2016. Pengaruh Metode Pengeringan dan Pemberian Bumbu Terhadap
Karakteristik Dendeng Giling Ikan Tongkol (Euthynnus affinis). Artikel Teknologi
Pangan Universitas Pasundan Bandung.
Indarti, I., Dwiyadi S.W. 2013. Metode Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Melalui
Penguatan Kelembagaan di Wilayah Pesisir Kota Semarang. Jurnal Manajemen dan
Bisnis, Vol. 17, No. 1 (75-88).
Kurniaty, Dian R., Mohamad Rizal. 2011. Pemanfaatan Hasil Pengelolaan Sampah Sebagai
Alternatif Bahan Bangunan Konstruksi. Jurnal SMARTek Vol. 9 (1) : 47-60.
Madjid A.2012.Analsis Yuridis Kebijakan Pemerintah Terhadap Alih Fungsi Kawasan Hutan
Mangrove di Kabupaten Pohuwato.Gorontalo. Fakultas Ilmu Sosial
Mirza, A.C., dkk. 2017. Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Laut Nasional Terhadap
Kebijakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. E-Journal Lentera Hukum, Vol. 4,
No. 2 (56-70).
Muazzin dan Enzus.2010.Alih Fungsi Ekosistem Manggrove di Kabupaten Aceh Tamiang.
Kanun Edisi 52
Mujib, Abdul Wafi. 2016. Peran Tokoh Masyarakat Dalam Menanggulangi Perjudian
Remaja Melalui Pembinaan Mental Keagamaan Di Desa Tongas Kulon, Tongas,
Probolinggo Tahun 2015/2016. Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan. Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Jember.
Nasiru, Wa Ode A., dkk. 2017. Distribusi Suhu Permukaan Laut Secara Spasial dan
Temporal Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Madidihang di Perairan Wakatobi.
Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan, Vol. 2, No. 4 (307-316).
Nilasari, Dias. 2017. Analisis Peran Pemerintah Daerah dalam Pemberdayaan (Masyarakat
Pesisir di Desa Wewangriu Kecamatan Malili Kabupaten Luwu Timur). Makassar:
Universitas Hasanuddin.
Saidah, S., Leila Ariyani S. 2016. Pengembangan Usaha Pembesaran Kepiting Bakau (Scylla
spp) Melalui Sistem Silvofishery. Jurnal Hutan Tropis Vol. 4 (3) : 265-272.
Santosa, Ari W.B., dkk. 2016. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pantai dalam
Meningkatkan Produktifitas dan Efisiensi di Sentra Industri Kapal Kayu di
Kabupaten Batang. Jurnal Kapal, Vol. 13, No. 1 (38-44).
Sukandar, dkk. 2017. Profil Desa Pesisir Provinsi Jawa Timur Volume 1 (Utara Jawa
Timur). Surabaya : Bidang Kelautan, Pesisir, dan Pengawasan Dinas Kelautan Dan
Perikanan Provinsi Jawa Timur.
Suryawati, Chriswardani. 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional
(Understanding Multidimension Of Poverty). Semarang: Universitas Diponegoro.
JMPK Vol. 08/No. 03/September/2005.
Taufik. 2013. Analisis Peran Pemerintah Daerah dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
di Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali Mandar. Jurnal Ilmu Pemerintahan,
Vol. 6, No. 1 (61-70).
Triyanto, dkk. 2012. Pengembangan Silvofishery Kepiting Bakau (Scylla serrata) dalam
Pemanfaatan Kawasan Mangrove di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Prosiding
Seminar Nasional Limnologi VI : 739-751.