Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“DEFORESTASI AKIBAT PERKEBUNAN SAWIT DI


INDONESIA DALAM PERSPEKTIF DEEP ECOLOGY”

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Samariadi, S.H., M.H.

DISUSUN OLEH:

1. Maria Dwinoverine (2109112142)


2. Michelle Tamana (2109112143)
3. Sarmauli Br Simamora (2109112512)

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS RIAU
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Bantuan Hukum,
dengan judul: “Deforestasi Akibat Perkebunan Sawit Di Indonesia Dalam
Perspektif Deep Ecology.” Penulis juga berterima kasih kepada Bapak dosen yang
telah memberikan bimbingan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran, dan kritik
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari


sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang penulis
miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk masukan bahkan
kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya penulis berharap semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca dan penulis
khususnya, serta memberikan manfaat bagi perkembangan dunia Pendidikan.

Pekanbaru, 18 Oktober 2023

Tim Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Saat ini, semakin banyak orang sadar bahwa isu lingkungan hidup
tidak terbatas pada aspek fisiknya saja. Permasalahan lingkungan hidup
melibatkan aspek yang tidak hanya terkait dengan kehidupan manusia
secara biologis. Namun, juga ada esensi moral yang perlu diperhatikan.
Dampak negatif terhadap lingkungan seperti erosi, banjir, longsor,
kerusakan dan kebakaran hutan tidak hanya menyebabkan kekhawatiran
terhadap kelangsungan hidup manusia, tetapi juga menunjukkan betapa
manusia telah melanggar tugasnya sebagai pengelola alam yang
bertanggung jawab.

Isu mengenai sumber daya alam dan ekosistem telah menjadi krisis
global yang signifikan, yang memiliki dampak negatif terhadap
kelangsungan hidup manusia dan proses pembangunan. Sebagai tanggapan
terhadap krisis ini, gerakan lingkungan telah muncul dan berkembang
sejak awal abad ke-20. Gerakan ini didasarkan pada pendekatan ecosophy
di mana filosofi untuk menyelamatkan planet bumi mencakup aspek
ekologi dan juga sisi spiritual. Pada tahun 1972, seorang filsuf Norwegia
bernama Arne Naess memperkenalkan konsep ecosophy atau deep
ecology1.

Deep ecology adalah konsep etika lingkungan yang melihat


manusia bukan hanya sebagai pusat alam, melainkan sebagai satu bagian
yang tidak terpisahkan dari alam itu sendiri. Kaitannya alam dan manusia
adalah tidak terpisahkan dan memiliki posisi yang setara dalam ekosistem.
Telah disebutkan bahwa deep ecology memfokuskan perhatiannya pada
dua hal utama, yaitu manusia dan kepentingannya. Manusia tidak hanya

1
Sinopsis Buku Hadi S. Alikodra, Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup:
Pendekatan Ecosophy bagi Penyelamatan Bumi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
2012, www.wwf.or.id/?26300/WW
memenuhi kebutuhannya sendiri, tetapi juga harus memenuhi kepentingan
dari semua komponen lingkungan hidup demi keberlanjutan jangka
panjang.

Arne Naess mengungkapkan bahwa solusi dari keadaan yang sulit


dalam lingkungan saat ini hanya dapat dicapai dengan mengubah cara kita
memahami dan bertindak terhadap alam secara mendasar dan
menyeluruh2. Kesalahan fundamental dalam pemahaman manusia
mengenai dirinya, alam, dan tempatnya dalam ekosistem, sebenarnya
menjadi akar dari krisis lingkungan global yang sedang terjadi saat ini.
Dalam konsekuensinya, kesalahan dalam pandangan ini menghasilkan
tindakan yang salah terhadap lingkungan. Manusia sering kali salah dalam
memahami dan memposisikan dirinya dalam hubungannya dengan alam
dan keseluruhan semesta. Ini adalah permulaan dari masalah lingkungan
hidup yang kita hadapi saat ini.

Dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup, manusia sering salah


dalam memandang dirinya sebagai entitas terpisah dari alam atau
ekosistem secara keseluruhan. Hal ini mengakibatkan manusia tidak
menyadari bahwa kerusakan ekologi yang terjadi akibat fokus terlalu besar
pada kepentingan manusia (antroposentris) pada akhirnya akan
bersentuhan dengan diri manusia itu sendiri.3

Sekarang ini, keamanan manusia di dunia sedang terancam oleh isu


perlindungan hutan yang berkaitan dengan peran penting hutan. Sekarang
ini, seringkali terjadi penebangan hutan yang dilakukan untuk berbagai
tujuan, termasuk untuk memenuhi kebutuhan hidup sejumlah orang, untuk
mendapatkan keuntungan bisnis, dan untuk meningkatkan pendapatan
negara. Di awal masa pemerintahan Orde Baru, upaya dilakukan oleh
pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi negara. Salah satu
langkah yang diambil adalah memanfaatkan sumber daya hutan, seperti

2
Arne Naess dalam Sonny Keraf, Etika Lingkungan, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006,
hlm. XIV
3
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi VIII, Cetakan Kesembilan Belas,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2006, Hlm. 4
kayu, untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor tersebut. Itu
merupakan langkah pertama dalam memanfaatkan hutan untuk
meningkatkan devisa negara sebanyak mungkin.

Berkembangnya populasi dan meningkatnya harapan untuk


meningkatkan kekayaan pribadi telah mengakibatkan banyak investor
yang mengalokasikan dana mereka dalam industri kehutanan. Akibatnya,
hutan semakin terancam oleh adanya berbagai faktor yang mengancam
keberadaannya. Banyak hutan-hutan di Indonesia yang mengalami
perubahan fungsi. Alih penggunaan lahan umumnya dilakukan untuk
daerah pertanian seperti perkebunan kelapa sawit. Tanaman yang ditanam
di perkebunan memiliki peran penting dalam mendorong perkembangan
ekonomi dan sebagai salah satu sumber penerimaan valuta asing.

Di balik manfaat yang dihasilkan dari pemanfaatan hutan di bidang


perkebunan, terdapat dampak buruk yang dirasakan yaitu kerusakan hutan.
Kerusakan hutan tersebut juga berdampak pada flora fauna yang ada di
hutan, lingkungan dan bahkan berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
mengatur dasar pengelolaan sumber daya alam yang termuat dalam Pasal
33 ayat 3, “Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.” Akan tetapi dalam pengaturan dan pelaksanaannya
lebih ditonjolkan aspek menguasai oleh negara sehingga mengedepankan
konsep Hak Menguasai Negara4.

Fenomena deforestasi hutan akibat pengembangan perkebunan


kelapa sawit menggambarkan masalah rumit yang dihadapi pemerintah
Indonesia dalam mengembangkan sektor pertanian di negara ini. Hal ini
penting untuk mengangkat perbincangan mengenai fenomena ini,
mengingat situasi yang sangat mendesak dari keragaman hayati di
Indonesia, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Maka, pada kesempatan
4
Najicha and Handayani, “Politik Hukum Perundang – Undangan Kehutanan Dalam Pemberian
Izin Kegiatan Pertambangan Di Kawasan Hutan Ditinjau Dari Strategi Pengelolaan Lingkungan
Hidup Yang Berkeadilan.”
ini, tujuan menggunakan teori adalah untuk mengidentifikasi sejauh mana
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sesuai dengan nilai-nilai, prinsip-
prinsip, dan pendekatan deep ecology. Selain itu, tulisan ini juga
dihasilkan sebagai wujud tanggung jawab dan partisipasi secara tidak
langsung dalam upaya untuk mewujudkan perubahan ekologi yang
penting. Hal ini cocok dengan prinsip kedelapan dari platform deep
ecology. Diharapkan bahwa penurunan atau pengurangan penyimpangan
ini akan dapat membantu dalam mempertahankan keseimbangan antara
manusia dan alam.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah perkembangan Deep Ecology?
2. Apa saja prinsip Deep Ecology?
3. Apa saja tujuan Deep Ecology?
4. Bagaimana penerapan konsep Deep Ecology dalam kasus
Deforestasi Akibat Perkebunan Sawit di Indonesia?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan Deep Ecology
2. Untuk mengetahui prinsip Deep Ecology
3. Untuk mengetahui tujuan Deep Ecology
4. Untuk memahami penerapan konsep Deep Ecology dalam
kasus Deforestasi Akibat Perkebunan Sawit di Indonesia
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Perkembangan Deep Ecology

Teori Deep Ecology adalah teori etika lingkungan atau


ekosentrisme yang sangat terkenal. Deep Ecology memusatkan kedalaman
etika pada seluruh komponen ekologis, baik komponen biotik maupun
abiotik.

Deep Ecology adalah filsafat baru atau Ecosophy yang bertumpu


pada perubahan dari antroposentrik menjadi gerakan lingkungan murni.
Filsafat ini ditandai dengan tafsir baru tentang identitas manusia dengan
cara menghilangkan menghilangkan dualisme rationalistik antara manusia
dan lingkungannya. Karenanya, Deep Ecology menekankan pada nilai-
nilai intrisik pada spesies lain, sistem dan proses proses yang terjadi di
alam. Posisi ini melahirkan pandangan system ekosentrik pada etika
lingkungan hidup. Deep Ecology menyebutkan dirinya sebagai “deep”
karena ia mempertanyakan hal-hal kompleks dan spiritual tentang peran
manusia di ekosfir.

Ekologi menunjukkan kepada kita bahwa alam hanya berada dalam


keadaan seimbang yang dinamis dan hanya dapat menghadapi perubahan
kecil. Kelompok ahli lingkungan percaya bahwa aktivitas manusia yang
sangat meluas telah menyebabkan ketidakseimbangan dalam biosfer,
seperti penurunan keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.

Dampak dari sudut pandang ini adalah bahwa ideologi peradaban


barat telah menyebabkan kehilangan aspek-aspek penting kehidupan.
Inilah yang melahirkan kebutuhan paradigma baru seperti Deep
Ecology yang mampu menjadi panduan kegiatan manusia menghindari
kerusakan lingkungan yang lebih buruk. Frasa “deep ecology” diungkap
oleh Filsuf Norwegia Norwegia Arne Naess pada 1972 dan ia kemudian
kemudian memberikan sebuah landasan teorinya. Naess menolak gagasan
bahwa segala sesuatu bisa diranking sesuai nilai nilai relatifnya. Seperti,
manusia dinilai lebih tinggi dari binatang. Ia menyatakan semua bentuk
kehidupan berhak hidup di dunia. Tak ada satu pun spesies yang memiliki
hak lebih dari spesies lain. Deep Ecology memperoleh dukungan ilmiah
dari lapangan ilmu ekologi dan sistem dinamis. Naess tidak menggunakan
logika induksi dalam menyampaikan filsafatnya tetapi secara langsung
masuk pada metafisika termasuk gagasan tentang “self ”. Salah satu
pikiran berpengaruh pada deep ecology adalah “Hipotesis Gaia”.

Teori ini diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf lingkungan


asal Norwegia, pada tahun 1973. Kemudian beberapa ilmuwan seperti
George sessions, Bill Deval, John Seed, dan Theodore Roszak serta
ilmuan lainnya ikut pula mengembangkan konsep-konsep teori ini. Tidak
hanya itu, meskipun menjadi pencetus teori deep ecology, Arnes Naess
banyak banyak mendapatkan mendapatkan inspirasi dari beberapa
beberapa tokoh filsuf dan tokoh lingkungan lain, seperti Rachel Carson,
Mathama Gandhi, dan Barukh Spinoza.

Pengembangan dan inspirasi dari beberapa tokoh filsuf dan tokoh


lingkungan lain seperti berikut:
1) Rachel Carson
Rachel Louise Carson (27 Mei 1907 – 14 April 1964) adalah
biolog kelautan dan penulis alam Amerika Serikat yang tulisannya
ering berhubungan dengan peluncuran pergerakan lingkungan global.
Carson lahir pada tanggal 27 Mei 1907, di sebuah peternakan kecil
keluarga dekat Springdale, Pennsylvania, di Sungai Allegheny dari
Pittsburgh. Dia mulai menulis cerita (sering melibatkan hewan) pada
usia delapan tahun, dan cerita pertamanya diterbitkan saat ia bersia
sebelas tahun. Dia sangat menikmati St Nicholas Magazine (majalah
yang memuat berita rentang cerita pertama Carson), karya-karya
Beatrix Potter, dan novel-novel Gene Stratton Porter, dan pada
tahuntahun remajanya, Herman Melville, Joseph Conrad dan Robert
Louis Stevenson. Alam, terutama laut, adalah benang merah sastra
sastra favoritnya.

Rachel Carson dalam bukunya Silent Spring, telah menjadi


inspirasi Naess dalam pengembangan deep ecology. Seperti yang
dikatakan Carson bahwa sudah terlalu banyak pencemaran yang
dilakukan oleh manusia akibat dari pestisida dan perang dunia II.
Carson juga menentang antroposentrisme yang menganggap manusia
adalah penngendali alam. Carson menganggap hubungan manusia
dengan alam adalah sebuah kenyamanan.

2) Barukh Spinoza
Baruch de Spinoza (24 November 1632 - 21 Februari 1677)
adalah filsuf keturunan Yahudi-Portugis berbahasa Spanyol yang lahir
yang lahir besar di Belanda. Pikiran Spinoza berakar dalam tradisi
pikiran Spinoza berakar dalam tradisi Yudaisme. Pemikiran Spinoza
yang terkenal adalah ajaran mengenai Substansi tunggal tunggal Allah
atau alam. Hal ini ia katakan karena baginya Tuhan dan Hal ini ia
katakan karena baginya Tuhan dan alam semesta adalah satu dan
Tuhan juga mempunyai bentuk yaitu seluruh alam jasmaniah. Oleh
karena pemikirannya ini, Spinoza pun disebut sebagai penganut
panteisme-monistik. Menurut Spinoza, sifat substansi adalah abadi,
tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh. Bagi Spinoza, hanya ada satu
yang dapat memenuhi definisi ini yaitu Allah. Hanya Allah yang
memiliki sifat yang tak terbatas, abadi, mutlak, tunggal, dan utuh.
Selain itu, Spinoza juga mengajarkan apabila Allah adalah satu-
satunya substansi, maka segala yang ada harus dikatakan berasal
berasal daripada Allah. Hal ini berarti berarti semua gejala pluralitas
dalam alam baik yang bersifat jasmaniah (manusia, flora dan fauna,
bahkan bintang maupun yang bersifat bersifat rohaniah (perasaan,
pemikiran, pemikiran, atau kehendak) bukanlah hal yang berdiri
sendiri melainkan tergantung sepenuhnya dan mutlak pada Allah.
3) Mahatma Gandhi
Mohandas Karamchand Gandhi (lahir di Porbandar, Gujarat, India
Britania, 2 Oktober 1869 – meninggal di New Delhi, India, 30 Januari
1948 pada umur 78 tahun) adalah seorang seorang pemimpin spiritual
dan politikus dari India. Gandhi adalah salah seorang yang paling
penting yang terlibat dalam Gerakan Kemerdekaan India. Ia adalah
aktivis yang tidak menggunakan yang tidak menggunakan
kekerasan, mengusung gerakan kemerdekaan melalui aksi
kemerdekaan melalui aksi demonstrasi damai. Mahatma Gandhi dalam
wisdom terkenalnya mengakatan bahwa kebesaran beserta kemajuan
moral suatu bangsa ditentukan dari bagaimana hewan-hewan yang
hidup di sana diperlakukan. Wisdom ini mendorong deep ecology
mengembangkan prinsip-prinsip politik hijaunya dan kesetaraan asasi
semua mahkluk hidup.

2.2. Tujuan Deep Ecology


Secara umum fungsi Deep Ecology adalah untuk menekankan:
1. Manusia adalah bagian dari alam.
2. Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat
dimanfaatkan oleh manusia, tidak boleh diperlakukan
sewenang-wenang.
3. Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam
diperlakukan sewenang-wenang.
4. Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk.
5. Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai.
6. Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati.
7. Menghargai dan memelihara tata alam.
8. Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem.
9. Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan
sistem alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara.
2.3. Tujuan Deep Ecology

Anda mungkin juga menyukai