net/publication/321758891
CITATIONS READS
0 13,103
1 author:
Edwin Martin
National Research and Innovation Agency Republic of Indonesia
64 PUBLICATIONS 175 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Edwin Martin on 13 December 2017.
Oleh:
EDWIN MARTIN
Peneliti Muda
2012
ISBN: 978-602-98588-3-9
PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohim
Yang terhormat para anggota Tim Penilai Peneliti Instansi (TP2I), Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
Yang terhormat Kepala Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Yang terhormat para tamu undangan
Yang terhormat rekan-rekan peneliti dan teknisi serta seluruh hadirin
I. PENDAHULUAN
V. PENUTUP
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 2
I. PENDAHULUAN
1
Istilah social forestry merupakan istilah payung yang mencakup program-program atau kegiatan kehutanan
yang sedikit atau banyak melibatkan peranan masyarakat lokal, atau yang dikembangkan untuk kepentingan
masyarakat banyak.
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 3
peristiwa masyarakat internasional memberikan perhatian bersama tentang perlunya aspek
sosial-budaya masyarakat untuk diperhatikan dan dijadikan pertimbangan dalam pengurusan
hutan di seluruh dunia (Suhendang, 2004). Sejak itu, slogan “Hutan untuk Kesejahteraan
Masyarakat” menjadi label baru beragam program, tema seminar, peraturan perundangan,
dan visi-misi berbagai institusi kehutanan baik di pusat maupun di daerah.
Slogan “Hutan untuk Kesejahteraan Masyarakat” memiliki varian lain di kalangan
rimbawan Indonesia yaitu Hutan Lestari, Masyarakat Sejahtera. Hanya saja, moto peran
sosial hutan tersebut pada kenyataannya diterjemahkan secara beragam oleh para pihak.
Paradigma pengelolaan hutan berbasis kayu (timber management) telah berurat akar dalam
benak rimbawan. Di lain pihak, masyarakat umum beranggapan bahwa kehutanan memiliki
ranah sendiri yang terpisah dari pihak lain, baik dari sisi fisik kewilayahan maupun tugas
pokok dan fungsi. Di satu sisi, rimbawan yang bekerja sebagai aparat pemerintah dan badan
usaha kehutanan berpendapat bahwa kehutanan ilmiah (scientific forestry) yang dikelola
secara efisien mengikuti kaidah-kaidah manajemen hutan baku adalah yang terbaik, sehingga
akan mampu memberikan “kesejahteraan bagi masyarakat”. Di sisi lain, masyarakat merasa
bahwa kesejahteraan adalah ketika mereka mendapatkan nilai ekonomi langsung dari hutan
atau kawasan hutan. Kedua belah pihak, dalam banyak kasus, secara ekstrim tidak berusaha
saling memahami, bahkan berkonflik. Akibatnya keadaan hutan makin buruk dan status
kesejahteraan masyarakat tidak langgeng. Makna “kesejahteraan” yang diberikan kedua
pihak menjadi kabur ketika dampak perubahan iklim mulai terasa, kenyamanan hidup
berkurang, ancaman kekeringan, banjir dan lonsor datang silih berganti.
Tulisan ini ditujukan untuk memberikan pandangan atas peran yang dapat diberikan
oleh keilmuan sosiologi kehutanan dalam memaknai secara arif visi “Hutan untuk
Kesejahteraan Masyarakat”.
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 4
saat akan mengalami pemulihan lagi. Teori transisi hutan menggambarkan bahwa prosentase
tutupan hutan suatu tempat akan terus mengalami penurunan sampai titik tertentu pada masa
tertentu, kemudian akan mengalami peningkatan kembali (Gambar 1). Oleh karena itu,
tindakan yang perlu dan penting dilakukan adalah bagaimana mengubah trend deforestasi
saat ini memasuki poin reforestasi, tanpa harus menunggu penutupan hutan menjadi 0%.
Status posisi transisi hutan di Indonesia tentu berbeda antara satu pulau dengan pulau
lainnya, bahkan antara satu daerah dengan daerah lain dalam satu pulau. Proyeksi yang
dilakukan oleh Kanninen et al. (2007) menempatkan Papua pada posisi mulai mengalami
deforestasi, Kalimantan pada fase deforestasi cepat dan Sumatera sedang berada dalam posisi
deforestasi menuju reforestasi (Gambar 2). Lembaga-lembaga penelitian di bawah payung
Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR) telah menyusun agenda
prioritas penelitiannya berdasarkan posisi transisi hutan pada suatu tempat (Gambar 3). Jika
mengacu agenda prioritas ini, maka kegiatan sektor kehutanan yang sesuai untuk di lakukan
di Pulau Sumatera adalah: 1). Fasilitasi sistem produksi dan pemasaran usaha kehutanan
skala rumah tangga; 2). Pengelolaan bentang lahan untuk menghasilkan jasa-jasa lingkungan,
konservasi biodiversitas dan sumber nafkah; dan 3) Analisis dampak investasi dan
perdagangan terhadap hutan dan masyarakat. Agenda prioritas sektor kehutanan di Sumatera
ini secara eksplisit membutuhkan bidang keahlian sosial kehutanan.
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 5
Gambar 2. Skema transisi hutan di Indonesia (Kanninen et al., 2007)
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 6
Martin (2001a) berhasil mendapatkan teknik rehabilitasi lahan bekas tambang
batubara, yaitu dengan cara penanaman sengon yang telah diinokulasi mikoriza VA pada
lahan yang digaruk. Jenis tanaman cepat tumbuh, yaitu pulai (Alstonia angustiloba) dan
mangium (Acacia mangium) yang dipersiapkan untuk ditanam di lahan bekas tambang
batubara menunjukkan respon pertumbuhan mengesankan setelah diinokulasi mikoriza
Glomus etunicatum (Martin et al., 2004). Tanaman lokal seru (Schima sp.) tumbuh lebih baik
setelah diinokulasi mikoriza Glomus clorum, Glomus etunicatum dan Gigaspora sp (Ulfa et
al., 2009). Sayangnya, keberhasilan teknik penyiapan bahan tanam dan lahan bekas tambang
batubara ini tidak dapat dievaluasi pada taraf pertumbuhan tanaman lebih lanjut. Petak-petak
penelitian di lapangan selalu dibongkar ulang oleh pihak perusahaan (PT. Bukit Asam).
Keinginan untuk merehabilitasi lahan yang telah rusak parah ternyata dikalahkan oleh
kepentingan produksi tambang. Pemaknaan “kesejahteraan” pada kasus ini adalah apabila
aktivitas produksi pertambangan tidak terganggu maka kesejahteraan akan didapatkan.
Pemaknaan seperti ini sangat mengabaikan jasa-jasa lingkungan yang dapat diberikan lahan
sehat yang berhutan. Kepentingan ekonomi tambang batubara dengan sistem terbuka (open
pit mining) adalah salah satu faktor pendorong percepatan laju deforestasi di suatu daerah.
Pada awal dekade tahun 2000an, Pemerintah Indonesia c.q. Departemen Kehutanan
mengambil kebijakan untuk melakukan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN).
Kebijakan ini merupakan respon dari keadaan makin meluasnya lahan kritis, baik di dalam
dan di luar kawasan hutan. Di Sumatera bagian Selatan, jenis tanaman yang banyak
direkomendasikan sebagai tanaman GERHAN umumnya merupakan pohon unggulan lokal,
seperti tembesu (Fragrea fragrans), bambang lanang (Michelia champaca), jati (Tectona
grandis) dan kayu bawang (Protium javanicum). Di samping faktor kelimpahan sumber
benih, faktor lain di balik terpilihnya jenis-jenis lokal tersebut adalah penguasaan teknik
budidaya. Tembesu misalnya, dapat dirangsang pertumbuhan semainya melalui penaungan
paranet intensitas 65% dan pemberian pupuk urea 400 mg (Martin dan Sofyan, 2001). Guna
mengurangi kegagalan penanaman, Ulfa et al. (2003) berhasil mengkarakterisasi sifat-sifat
tanah pada berbagai umur tegakan kayu bawang. Namun demikian, rupanya pelaksanaan
GERHAN kurang memperhatikan aspek teknik budidaya hutan. Perilaku moral hazard
oknum para pihak pelaksana GERHAN menjadi hambatan utama untuk diterapkannya
inovasi teknik budidaya.
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat pemerintah adalah faktor utama
kegagalan program-program penanaman yang melibatkan masyarakat (Martin, 2007a). Bibit
tanaman banyak sekali yang tidak tertanam; terbuang percuma dan tidak dilirik masyarakat
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 7
apalagi dipelihara. Karenanya, Martin (2006a) merekomendasikan penggunaan teknologi
direct seeding sebagai pengganti teknik penanaman GERHAN, terutama untuk daerah-daerah
yang mengalami kegagalan tanam berulang. Di sisi lain, ternyata masyarakat dapat
ditingkatkan motivasi dan minatnya untuk terlibat dalam program pemerintah membangun
hutan rakyat jika melalui serangkaian perencanaan partisipatif (Martin dan Balle Galle,
2005). Pengalaman ini memberikan pelajaran berharga bahwa membangun kembali hutan
untuk kesejahteraan masyarakat tidak dapat dilakukan hanya dengan penyediaan teknik
budidaya hutan saja. Aspek pemahaman tata nilai, budaya, pengetahuan, perilaku dan
hubungan sosial para pihak masih sangat dibutuhkan pada situasi/keadaan hutan Sumatera
saat ini. Ini berarti, situasi deforestasi merupakan peluang bagi keilmuan sosiologi kehutanan
untuk turut berperan membalik keadaan memasuki era reforestasi.
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 8
Sehingga, dapat ditafsirkan bahwa di Indonesia hanya berlaku dua rejim kepemilikan
sumberdaya hutan saja, yaitu state property dan private property.
Pembedaan rejim kepemilikan sumberdaya hutan antara state property dan private
property merupakan pendekatan yang sangat berguna dalam analisis sosial kehutanan. State
property adalah juga public property, sehingga kehadiran tata kelola negara (dalam hal ini
pemerintah) sangat diperlukan. Sehubungan dengan pemaknaan “hutan untuk kesejahteraan
masyarakat”, pertanyaan yang bijak bukan pada rejim kepemilikan mana yang lebih
menyejahteraan masyarakat, tetapi tindakan apa sajakah yang sebaiknya dilakukan guna
mendorong kedua rejim tersebut dapat menyejahteraan masyarakat.
A. Hutan Negara (State Property)
Hutan negara merupakan hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas
tanah. Berdasarkan teori kumpulan hak-hak yang dikembangkan oleh Schlager dan Ostrom
(1992), maka hanya pemerintah yang menguasai hak akses, hak pemanfaatan, hak-hak
pengelolaan, hak pembatasan dan hak pelepasan atas sumberdaya hutan negara. Karenanya,
masyarakat tidak memiliki legalitas untuk memanfaatkan sumberdaya hutan. Padahal, secara
faktual telah terjadi pemanfaatan vegetasi maupun lahan oleh masyarakat, baik pada hutan
lindung maupun hutan produksi..
Era pasca reformasi 1998 dikenal sebagai salah satu masa suram hutan negara.
Deforestasi akibat pembalakan liar dan perladangan terjadi sangat masif. Martin (2002)
mengusulkan agar pemerintah memfasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam
pemanfaatan lahan hutan, melalui legalisasi dan transfer teknologi budidaya intensif.
Gelombang pertama masyarakat yang membuka hutan umumnya merupakan kelompok
masyarakat yang memiliki ketergantungan terhadap kawasan hutan dan mengakui posisi legal
kawasan, sehingga lebih mudah “dibina”. Sayangnya, tindakan cepat tidak dilakukan. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Martin dan Winarno (2005) menunjukkan bahwa kerusakan
hutan yang ditimbulkan oleh praktik pembalakan ilegal dan perladangan masyarakat disikapi
pemerintah dengan menawarkan program Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang bersifat
proyek dan teknis. Proyek HKm saat itu tidak mampu memperbaiki keadaan. Justru,
program-program pendampingan masyarakat yang diinisiasi lembaga non pemerintah seperti
WARSI di Jambi menunjukkan kemajuan. Mereka mengupayakan legalitas atas praktik hutan
komunal masyarakat. Legalisasi ini terbukti memperkuat institusi pengelolaan hutan oleh
masyarakat dalam menghadapi dinamika perubahan sosial.
Meskipun cukup terlambat, pemerintah c.q Kementerian Kehutanan mengeluarkan
kebijakan baru dalam kerangka peningkatan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 9
negara. Perubahan terjadi akibat dinamika konsepsi dan realitas lapangan yang terjadi dalam
implementasi kebijakan yang bernuansa perhutanan sosial (Martin, 2006b). Program HKm,
Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dirancang tidak lagi berbentuk proyek teknis,
tetapi lebih mengarah kepada legalisasi pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat.
Namun, realitas lapangan telah berubah. Kekhawatiran Martin (2001b) terhadap perilaku
selfish sebagian besar para pemimpin daerah di era otonomi daerah kini telah terjadi. Para
pemimpin lebih mendahulukan kepentingan pribadinya. Kebijakan menjadi bersifat
transaksional. Di sisi lain, masyarakat pelaku pemanfaatan kawasan hutan yang hendak
dilibatkan dalam program HKm, Hutan Desa dan HTR sebagian besar kini bukanlah mereka
yang dulu pertama sekali membuka hutan.
Perubahan pelaku pemanfaat kawasan hutan yang dulu masuk secara ilegal pada era
pasca reformasi terjadi secara cepat. Generasi pertama pembuka hutan adalah orang-orang
yang “terpaksa” merusak hutan untuk membuat lahan usahatani baru. Mereka sadar areal
yang diusahakan merupakan tanah yang ditunjuk pemerintah sebagai kawasan hutan.
Usahatani kopi yang dipraktikkan secara tradisional oleh masyarakat sekitar hutan tidak
mampu memberikan kelestarian kehidupan yang layak bagi petani, karena hanya
mengandalkan kesuburan alami tanah. Kemiskinan membuat mereka “terpaksa” membuka
hutan baru di sepanjang Bukit Barisan (Martin dan Yuna, 2011). Kemudahan masyarakat
untuk memasuki dan membuka hutan lindung dimungkinkan oleh ketiadaan tata
kelola/pemerintahan hutan lindung (Martin et al., 2009a). Pemerintahan desa-desa sekitar
hutan lindung merasa tidak memiliki kewajiban dan kewenangan untuk mencegah orang-
orang dari luar membuka hutan. Kawasan hutan lindung seperti tidak bertuan. Sebagai
ilustrasi, seluruh kawasan hutan lindung Bukit Balai di Kabupaten Empat Lawang tidak
termasuk dalam wilayah administrasi desa-desa di sekitarnya, sehingga kepala desa berlepas
tangan untuk turut menjaga hutan lindung.
Peningkatan harga komoditas sawit dan karet dalam 6 (enam) tahun terakhir
memunculkan para pemain baru pemanfaat lahan hutan. Orang-orang yang pada dasarnya
tidak memiliki ketergantungan hidup terhadap sumberdaya kawasan hutan membeli lahan
murah dari generasi pertama pembuka hutan. Generasi kedua pembuka hutan tidak lagi
kelompok masyarakat miskin, tetapi sebagian besar mereka datang dari kota dengan
membawa modal dan tidak dapat disebut sebagai masyarakat lokal sekitar hutan. Mereka
mengusahakan karet atau sawit dalam skala luas. Sebagian mereka memiliki jaringan yang
kuat dalam pemerintahan dan partai politik. Realitas ini menyulitkan perbaikan kualitas hutan
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 10
negara. Wajar jika sampai saat ini program HKm, hutan desa dan HTR tidak mengalami
kemajuan berarti.
Praktik perladangan masyarakat di dalam kawasan hutan dengan cara membuka hutan
atau memanfaatkan lahan pasca terbakar tidak hanya terjadi di kawasan hutan yang tidak
jelas status pengelolaannya, tetapi juga pada kawasan yang dikelola langsung oleh
pemerintah, seperti taman nasional, taman hutan raya (tahura) dan Kawasan Hutan dengan
Tujuan Khusus (KHDTK) penelitian. Pada kasus KHDTK Benakat, teridentifikasi 2 (dua)
faktor utama penyebab terjadinya perladangan, yaitu minimnya pengelolaan kawasan yang
berujung pada situasi open access dan kemiskinan masyarakat (Martin et al., 2003a).
Kawasan hutan produksi Benakat tidak berhasil mengubah peta kemiskinan yang terjadi pada
masyarakat lokal, bahkan cenderung mempertahankannya. Akibatnya, konflik antara
masyarakat lokal dan pengelola hutan sering terjadi, yang bermuara pada zero sum game.
Sejatinya, konflik yang terjadi dapat menjadi pemicu perbaikan keadaan jika dikelola dengan
baik (Martin, 2007b). Rendahnya kapabilitas pengelola KHDTK Benakat dapat ditutupi
dengan cara kolaborasi dengan pihak lain sedemikian rupa sehingga meningkatkan kapasitas
pengelolaan kawasan dan mengurangi kemiskinan serta penggangguran masyarakat lokal
(Martin, 2010). Partisipasi langsung masyarakat dalam kegiatan penelitian dapat meningkat,
misalnya untuk penelitian hutan tanaman campuran, apabila diatur secara jelas hak-hak
pemanfaatan pohon yang ditanam dan dipelihara masyarakat (Martin, 2008a).
Situasi kerumitan perbaikan kualitas hutan negara tidak dapat diurai melalui cara
berpikir linier seperti selama ini yang banyak dipraktikkan. Peter Checkland, seorang
pengajar di Universitas Lancaster Inggris pada awal dekade 1980an mengemas konsep
penelitian aksi dan berpikir sistem (lunak) menjadi Metodologi Sistem Lunak (Soft Systems
Methodology-SSM) (Baskerville 1999; Mingers 2000; Chapman 2004). Metodologi ini
dikembangkan untuk menangani masalah-masalah manajemen yang muncul dari
sistem aktivitas manusia. Martin et al. (2009b) berhasil mengadaptasikan SSM sebagai
tonggak awal penatakelolaan KHDTK Benakat. SSM mampu menghasilkan rencana aksi
pengelolaan kawasan yang sama-sama menguntungkan para pihak, sehingga menciptakan
harmoni antara pengelola dengan masyarakat lokal (Martin dan Winarno, 2009). Pendekatan
SSM ini sangat cocok untuk diterapkan pada konteks pengelolaan taman nasional dan tahura,
dimana pengelola memang mencurahkan semua perhatian terhadap kawasan hutannya.
B. Hutan Hak (Private Property)
Secara garis hutan hak dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu hutan tanaman
industri (HTI) dan hutan rakyat. Hutan tanaman industri memperoleh hak pengusahaan lahan
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 11
melalui prosedur tertentu yang disahkan oleh pemerintah, sedangkan hutan rakyat berada
pada lahan milik dengan hak lazim. Perbedaan umum lain antara HTI dan hutan rakyat
adalah skala usaha. HTI berada pada lahan luas dan padat modal, sementara hutan rakyat
menempati areal kurang lebih 1-2 hektar dan diusahakan rumah tangga. Perbedaan mendasar
ini berimplikasi pada perbedaan kinerja pengelolaan, pilihan komoditas, peran sosial dan
wilayah perkembangan. Sebagai ilustrasi, HTI berkembang pada zona dataran rendah saja,
sementara hutan rakyat banyak dijumpai di area dataran tinggi.
Sebagai unit usaha padat modal, adalah wajar jika hutan tanaman industri memegang
prinsip efisiensi dalam usahanya. HTI dikelola dan diusahakan oleh badan usaha yang
mengejar profit dan keberlanjutan usaha. Karenanya, semua aktivitas HTI dilakukan untuk
kepentingan usaha atau untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentukan pemerintah.
Cara pandang dan prinsip usaha seperti ini merupakan batasan gerak pembangunan HTI pola
kemitraan yang telah dicanangkan Kementerian Kehutanan sejak tahun 2006 yang lalu. Pola
kemitraan antara masyarakat pemilik lahan dengan badan usaha HTI sangat bermanfaat bagi
masyarakat yang tidak memiliki modal usaha (Martin, 2004). Pola ini mampu mengubah
lahan-lahan terlantar milik masyarakat menjadi hamparan vegetasi HTI. Namun, tanpa
intervensi pemerintah peluang ini sulit tercipta, karena badan usaha HTI lebih berkonsentrasi
membangun areal konsesinya yang lebih ekonomis.
Dalam kasus pengembangan social forestry yang dikembangkan PT. Musi Hutan
Persada, yakni pola Membangun Hutan Bersama Masyarakat (MHBM) dan Mengelola Hutan
Rakyat (MHR), ternyata lebih merupakan respon atas konflik yang terjadi dengan masyarakat
(Martin, 2005). Meskipun terbukti memiliki kelayakan ekonomi untuk diusahakan dan
bermanfaat positif terhadap hubungan dengan masyarakat (Martin dan Fitriyanti, 2006),
namun pola MHBM dan MHR saat ini kurang mengalami kemajuan berarti. Industri pulp
yang terintegrasi dengan HTI dalam satu holding company menyebabkan harga jual kayu
Acacia mangium kurang memuaskan masyarakat peserta kemitraan (Martin, 2008b).
Sehingga, masyarakat lebih tertarik untuk terlibat dalam usahatani karet atau sawit yang
dianggap jauh lebih menguntungkan. Pada situasi ini, cukup beralasan jika masyarakat lokal
menilai HTI kurang dapat memberikan nilai kesejahteraan secara langsung kepada mereka.
Hutan rakyat di Sumatera Bagian Selatan mengalami kemajuan cukup pesat dalam
beberapa tahun terakhir. Bermula dari strategi tradisional masyarakat lokal di beberapa
daerah dalam penyediaan kayu pertukangan secara mandiri (Martin et al., 2003b; Martin dan
Balle Gale, 2009), hingga berkembang menjadi portofolio investasi oleh para pemilik lahan
di daerah-daerah yang sebelumnya tidak dikenal sebagai sumber kayu hutan tanaman (Martin
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 12
dan Premono, 2010). Introduksi jenis-jenis lokal, seperti bambang lanang (Michelia
champaca) dan kayu bawang (Protium javanicum) terhadap masyarakat yang tidak memiliki
budaya menanam pohon dapat dilakukan dengan mudah jika melalui proses pendekatan
sosial, melalui metode komparasi kinerja usahatani kelompok masyarakat yang memiliki
kedekatan suku, intensitas atensi orang luar terhadap praktik baru masyarakat dan
diadaptasikan dengan budaya usahatani setempat (Waluyo et al., 2010). Proses ini dilakukan
sebagai hasil pembelajaran kasus jati rakyat di Sumatera.
Gencarnya promosi dan berkembangnya usaha pembibitan menjadi kunci
keberhasilan terjadinya booming penanaman jati di Sumatera pada awal dekade tahun 2000an
(Martin dan Winarno, 2007). Jati sebenarnya telah ditanam secara tradisional oleh sebagian
masyarakat keturunan Jawa yang tinggal di Provinsi Lampung. Mereka menanamnya sebagai
tanaman pagar atau sela tanaman pokok kakao (Theobroma cacao), kelapa (Cocos nucifera),
dan singkong (Manihot utilissima). Meskipun tidak signifikan, tanaman jati rakyat ini mampu
memberikan tambahan nilai ekonomi unit usahatani (Premono et al., 2008). Harga jual dan
pemintaan kayu jati cenderung meningkat dan membaik dalam beberapa tahun terakhir (Ulya
et al., 2007), sebagai dampak menurunnya pasokan jati dari Perhutani. Karenanya, minat
masyarakat di Provinsi Lampung untuk mempertahankan budidaya jati tidak menurun.
Situasi yang berbeda terjadi pada kasus penanaman jati di luar Provinsi Lampung,
terutama oleh penanam bukan keturunan orang Jawa. Mereka menanam jati setelah
mendengar promosi. Sesuai promosi, jati ditanam secara monokultur. Namun, tanaman jati
muda tidak mendapat perlakuan perawatan yang memadai. Masyarakat belum memiliki
budaya merawat dan memelihara pohon. Akibatnya, jati hanya menunjukkan kinerja
pertumbuhan yang mengesankan sampai tahun kedua setelah penanaman, setelah itu tumbuh
lambat, bengkok dan patah pucuk. Promosi jati hanya dilakukan dan berkepentingan untuk
proses penanaman, namun tidak berlanjut pada fase pemeliharaan. Kesalahan-kesalahan ini
merupakan disinsentif pengembangan jati di Sumatera (Martin, 2007c) dan layak menjadi
pelajaran usaha budidaya komoditas hutan rakyat lainnya. Dalam kasus ini, pemerintah
belum hadir untuk memberi tahu masyarakat daerah-daerah mana sajakah yang sebenarnya
tidak memiliki kesesuaian tapak dan budaya bagi usaha budidaya jati.
Berbeda dengan jati dan jabon (Anthocephalus cadamba) yang berkembang sebagai
hasil dari promosi, bambang lanang dapat menyebar ke luar habitat tradisional di Kabupaten
Lahat dan Empat Lawang melalui sistem sosial di masyarakat. Perdagangan bibit bambang
lanang yang diinisiasi dan dilakukan sendiri oleh masyarakat berhasil memindahkan jenis
penghasil kayu pertukangan ini ke daerah-daerah yang memiliki kemiripan karakteristik
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 13
tapak dan sosial budaya masyarakatnya dengan daerah asal, yaitu Muara Enim, Musi Rawas,
Baturaja dan OKU Selatan. Masyarakat membeli bibit, menanam, dan melakukan
pemeliharaan minimal terhadap bambang lanang setelah mereka mendengar, melihat, dan
memanfaatkan hasil kayu yang dapat diperoleh oleh penanamnya. Hutan yang mereka
bangun sendiri diyakini mampu menyumbangkan kesejahteraan bagi diri dan anak-anaknya
kelak.
Beragam strategi diterapkan masyarakat ini agar dapat memasukkan bambang lanang
sebagai komoditas usahataninya (Martin dan Premono, 2010). Bambang lanang diposisikan
sebagai tanaman pilihan ketiga atau keempat dari keseluruhan komoditas usahatani (Martin
dan Nurlia, 2010). Karenanya, pola agroforestry adalah cara yang paling sesuai dalam
pengembangan bambang lanang di masyarakat. Pada kasus ini, pemerintah dapat berperan di
awal dan di akhir sistem budidaya, yaitu penyediaan bibit unggul bermutu dan memastikan
kayu hasil panen dapat diperdagangkan secara mudah sebagaimana perdagangan hasil panen
komoditas lainnya.
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 14
hutan. Pada saat itu, kesejahteraan dari hutan tidak lagi hanya dipandang dari sisi finansial
dan ekonomi semata, tetapi dari kenyamanan kehidupan yang ditawarkan hutan sebagai peran
ekologisnya. Forest for better life.
V. PENUTUP
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 15
3. Semua rekan sejawat, baik staf fungsional maupun struktural di BPK Palembang maupun
institusi penelitian lain lingkup Badan Litbang Kehutanan dan yang terkait atas
kerjasamanya selama ini.
4. Para mahasiswa di STIPER SRIWIGAMA dan Universitas Muhammadiyah Palembang,
penyuluh dan staf dinas kehutanan di daerah, atas masukan dan kritik selama proses
belajar-mengajar.
5. Masyarakat tempatan penelitian yang telah bersama-sama mengamati, merencanakan,
melaksanakan aksi dan mengevaluasi dampak kegiatan penelitian.
6. Kedua orang tua dan saudara-saudara yang sangat mendukung pilihan profesi ini.
7. Keluarga tercinta, isteri dan anak-anak, atas kesabaran dan pengertiannya.
Akhir kata kami ucapkan Alhamdulillahirobbilalamin kepada Allah yang maha kuasa
atas perkenanNya kami bisa menyampaikan presentasi ini karya ilmiah tanpa halangan
berarti. Kepada seluruh hadirin kami mohon maaf sebesar-besarnya jika terdapat tulisan,
ucapan dan tindakan kami yang kurang berkenan. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Bromley, D.W. 1992. The commons, property, and common property regimes. Di dalam
Bromley D.W. et al., editor. Making the Commons Work. ICS Press, San Francisco.
CGIAR. 2010. A strategy and results framework for the CGIAR. Diunduh tanggal 17
Oktober 2011 dari www.cgiar.org/changemanagement /pdf/cgiar_srf_june7_2010.pdf.
Chapman J. 2004. System Failure: Why governments must learn to think differently. Demos,
London.
Martin, E. dan A.P. Yuna, 2011. Nilai manfaat budidaya aren bagi masyarakat sekitar Bukit
Barisan Sumatera. Prosiding Seminar Hasil Penelitian “Introduksi Jenis pohon
potensial pada lahan usaha masyarakat”, Lubuk Linggau Juli 2011. (Dalam proses
penerbitan).
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 16
Martin, E. dan A. Nurlia, 2010. Karakteristik sosial ekonomi penyebaran Bambang lanang
(michelia champaca) di Sumatera Selatan. Prosiding Sintesa Hasil-Hasil penelitian
Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan Tahun 2011.
Martin, E., dan B. Winarno, 2010. Peran para pihak dalam pemanfaatan lahan gambut; Studi
kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan
Kehutanan, Vol. 1.
Martin, E. dan B.T. Premono, 2010. Hutan tanaman kayu pertukangan adalah portofolio :
Pelajaran dari keswadayaan penyebarluasan bambang lanang di masyarakat. Prosiding
Seminar Nasional ”Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktivitas dan
Kelestarian Hutan”, Bogor 29 November 2010.
Martin, E., 2010. Model dinamik pengelolaan secara kolaboratif KHDTK Benakat. Info
Hutan, Vol. VII No. 3.
Martin, E. dan B. Winarno, 2009. Managing conflicts over state forestland through soft
systems methodology: the case of Benakat Research Forest, South Sumatra. Poster
session, World Congress of Agroforestry, Nairobi Kenya, 23-28 August, 2009.
Martin, E. dan F. Balle Galle, 2009. Motivasi dan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga
penanam pohon penghasil kayu pertukangan : Kasus tradisi menanam kayu bawang
(Disoxylum molliscimum BL) oleh masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu.
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, Vol. 6 No. 2.
Martin, E., B.T. Premono, A.P. Yuna, 2009a. Mekanisne Tata Kelola Hutan Lindung di
Kabupaten Pemekaran. Laporan Hasil Penelitian. (Tidak dipublikasikan).
Martin, E., 2008a. Pengaturan hak-hak penguasaan atas hutan penelitian. Info Sosial dan
Ekonomi Kehutanan Vol. 8 No. 1.
Martin, E., 2008b. Evaluasi kinerja ekonomi Hutan Tanaman Industri Pulp pola kemitraan.
Info Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 8 No. 2.
Martin, E., 2007a. Perspektif modal sosial dalam upaya revitalisasi sektor kehutanan di
daerah. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian “Optimalisasi Peran Iptek dalam
Mendukung Revitalisasi Kehutanan”, Pangkalan Balai, 21 Agustus 2007.
Martin, E., 2007b. Konflik dan berpikir sistemik: Energi transformasi sosial dalam
pengelolaan sumberdaya hutan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian “Optimalisasi
Peran Iptek dalam Mendukung Revitalisasi Kehutanan”, Pangkalan Balai, 21 Agustus
2007.
Martin, E., 2007c. Insentif pembudidayaan jati rakyat di Sumatera. Prosiding Seminar Potensi
dan Tantangan Pembudidayaan Jati di Sumatera, Palembang, 30 November 2007.
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 17
Martin, E. dan B. Winarno, 2007. Potensi dan Hambatan Pengembangan Hutan Jati Rakyat.
Prosiding Seminar Potensi dan Tantangan Pembudidayaan Jati di Sumatera,
Palembang, 30 November 2007.
Martin, E., 2006a. Upaya menahan laju kerusakan dan mempercepat gerak rehabilitasi hutan
di Indonesia. Prosiding Seminar Peran IPTEK dalam Mendukung Pembangunan Hutan
Tanaman dan Kesejahteraan Masyarakat, Kayu Agung, 7 Desember 2006.
Martin, E., 2006b. Arah dan Peran Kebijakan Perhutanan Sosial Pasca Reformasi: Perbedaan
antara Konsepsi Pemikiran dan Realitas Lapangan. Prosiding Seminar Peran IPTEK
dalam Mendukung Pembangunan Hutan Tanaman dan Kesejahteraan Masyarakat,
Kayu Agung, 7 Desember 2006.
Martin, E., dan H. Fitriyanti, 2006. Kelayakan ekonomi dan manfaat sosial program
perhutanan sosial pada Hutan Tanaman Industri. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman,
Vol. 3 No. 2.
Martin, E. dan B. Winarno, 2005. Performansi pengelolaan kawasan hutan berbasis social
forestry di Provinsi Jambi. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian “Optimalisasi
Peran IPTEK dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan”, Jambi,
22 Desember 2005.
Martin, E. dan F. Balle Galle, 2005. Manfaat perencanaan partisipatif dalam pengembangan
wilayah sosial forestry. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman,
Baturaja, 7 Desember 2005.
Martin, E., 2005. Pengembangan hutan tanaman Acacia mangium berbasis social forestry.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium, Bogor, 6 November 2005.
Martin, E., 2004. Hutan rakyat pola kemitraan: Alternatif ekspansi hutan tanaman pada lahan
milik. Prosiding Seminar Pembangunan Hutan Tanaman. Bogor, 6 Oktober 2004. Pusat
Litbang Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Martin, E., S. Islam, T.R. Saepuloh, 2004. Pengaruh Endomikoriza dan media semai terhadap
pertumbuhan pulai, bungur, mangium dan sungkai di persemaian. Jurnal Penelitian
Hutan Tanaman, Vol 1 No.3.
Martin, E., B. Winarno, A. Silalahi, 2003a. Studi aktifitas perladangan masyarakat di Hutan
Penelitian Benakat sebagai potensi pengembangan social forestry. Buletin Hutan
Tanaman, Vol. 1 No. 1.
Martin, E., M. Ulfa, A. Silalahi, B. Winarno., 2003b. Agroforestry tradisional sebagai basis
pengembangan hutan tanaman rakyat: Kasus di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.
Prosiding Temu Lapang dan Ekspose Hasil-Hasil Penelitian UPT Badan Litbang
Kehutanan Wilayah Sumatera, 2003.
Martin, E., 2002. Optimalisasi pemanfaatan lahan hutan melalui peningkatan peran serta
masyarakat. Laporan Ekspose Hasil Penelitian dan Sosialisasi Program Balai Penelitian
dan Pengembangan Hutan Tanaman Palembang tahun 2002.
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 18
Martin, E., 2001a. Pengaruh Penggarukan tanah dan jamur mikoriza VA terhadap
pertumbuhan awal sengon (Paraserianthes falcataria (L.) NIELSEN) pada lahan pasca
tambang batubara. Buletin Teknologi Reboisasi, Vol 11 No.1.
Martin, E., 2001b. Otonomi daerah dan kelestarian lingkungan hidup. Kolom opini Harian
Umum Sumatera Ekspress, 1 Maret 2001.
Mather, A.S., J. Fairbairn, C.L. Needle, 1999. The course and drivers of the forest transition:
the case of France. Journal of Rural Studies, Vol. 5 No. 1, pp: 65-90.
Mingers J. 2000. An idea ahead of its time: The history and development of soft systems
methodology. Systemic Practice and Action Research, Vol 13 (6): 733 – 751.
Peluso, N.L. 1992. Rich Forest, Poor People. Resource Control and Resistance in Java.
University California Press, Berkeley.
Premono, B.T., N.A. Ulya, E. Martin, 2008. Kajian ekonomi pengolahan jati di Kabupaten
Lampung Timur. Info Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 7 No. 4.
Rudel, T., Coomes, O., Moran, E., Acgard, F., Angelsen, A., Xu, J. and Lambin, E. 2005.
Forest transitions: Towards a global understanding of land use change. Global
Environmental Change 15: 23-31.
Rudel, T.K., L. Schneider, M. Uriarte, 2010. Forest transitions: An introduction. Land Use
Policy, 27 (2010): 95-97.
Schlager, E. dan E. Ostrom. 1992. Property rights regimes and natural resources: a conceptual
analysis. Land Economics, 68: 249-262.
Simon, H., 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management):
teori dan aplikasi pada hutan jati di Jawa. Bigraf Publishing, Yogyakarta.
Suhendang, E. 2004. Kemelut dalam Pengurusan Hutan; Sejarah Panjang Kesenjangan antara
Konsepsi Pemikiran dan Kenyataan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
Ulfa, M., E. Martin, N.A. Ulya, H. Siahaan, 2003. Sifat-sifat tanah pada berbagai umur
tegakan hutan rakyat kayu bawang (Protium javanicum Burm. F) di Karang Tinggi,
Bengkulu Utara. Jurnal Tanah dan Air (Soil and Water Journal) Vol. 4 No. 2.
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 19
Ulfa, M., E.A. Waluyo, E. Martin, 2009. Pengaruh inokulasi fungi Mikoriza Arbuskula
Glomus clorum, Glomus etunicatum dan Gigaspora sp. terhadap pertumbuhan semai
mahoni dan seru. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, Vol. 6 No.5.
Ulya, N.A., B.T. Premono, E. Martin, 2007. Kajian Pemasaran Kayu Jati Rakyat di
Kabupaten Lampung Timur.
Waluyo, E.A., N.A. Ulya, E. Martin, 2010. Perencanaan Sosial dalam rangka Pengembangan
Hutan Rakyat di Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Vol.
VII No.3.
Disampaikan dalam rangka Presentasi Karya Tulis Ilmiah Calon Peneliti Madya Page 20