PERENCANAAN KOTA
DI SUSUN
OLEH
UNIVERSITAS TERBUKA
KATA PENGANTAR
kebudayaan dan kehidupan lokalnya.. Oleh karenanya, dirasa perlu melakukan harmonisasi
antara konsep yang tertuang dalam RTRW dan apa yang diinginkan masyarakat Desa Gili
indah agar tidak terjadi bias dan kesenjangan antara pemerintah daerah KLU dan masyarakat
Gili Indah. Harmonisasi ini sejatinya dapat menjadi jembatan bagi sustainahle development,
baik Desa Gili Indah maupun KLU.
Rumusan Masalah
Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten
Lombok Utara 2015-2020 terdapat beberapa rumusan isu yang menjadi perhatian utama
dalam pembangunan KLU, yaitu:
A. Tingginya angka kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan sosial
B. Tingginya angka buta aksara dan putus sekolah
C. Kesenjangan pembangunan di pelosok terpencil
D. Lemahnya penegakan hukum dan rendahnya kualitas layanan publik
E. Menurunnya kualitas lingkungan hidup dan
F. Kurangnya ketersediaan daya dukung kapasitas infrastruktur dasar.
Mengacu pada beberapa isu strategis tersebut, maka strategi pembangunan Pemerintah
Daerah Kabupaten Lombok Utara diarahkan pada pengembangan kebijakan untuk
meningkatkan posisi Lombok Utara yang diukur dengan berbagai indikator seperti indeks
pembangunan manusia (IPM) dan serta memperhatikan konsep pembangunan berkelanjutan.
Untuk itu, seluruh kebijakan dan program pembangunan yang akan dilakukan
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui permasalahan pembangunan pariwisata di KLU.
2. Untuk informasi strategi yang cocok bagi pengembangan pariwisata di daerah Gili
Matra.
3. Sebagai bahan pertimbangan penilaian pada tugas 1 mata kuliah perencanaan
perkotaan.
Manfaat
1. Manfaat bagi akademis, sebagai perbandingan terhadap penelitian sebelumnya.
2. Manfaat praktis, sebagai bahan informasi bagi masyarakat dalam upaya pengelolaan
pariwisata yang maju dan berkelanjutan.
3. Manfaat untuk pemerintah, sehagai referensi dalam menyusun kehijakan
penoelolaan
sumher daya pesisir pantai yang modern dan ramah lingkungan.
BAB II
TINJAUAN LITERATUR
terawat dan tertata haik, hal ini dapat semakin mendatangkan wisatawan Sahon, Perdana,
Goropit, & Pierre (2018). Istilah infrastruktur herhuhungan dengan istilah prasarana, sarana
dan utilitas Maryati (2014) dimana dalam SNI 03-1733-2004 prasarana atau utilitas dihagi
menjadi prasarana/utilitas jaringan jalan, prasarana/utilitas, jaringan drainase,
prasarana/utilitas, jaringan air hersih, prasarana jaringan air limhah, prasarana/utilitas
jaringan persampahan, prasarana/utilitas jaringan listrik prasarana/utilitas jaringan telepon,
prasarana/utilitas jaringan transportasi lokal.
Menurut Musenaf (1995) infrastruktur yang termasuk dalam komponen suatu
kawasan wisata meliputi prasarana jalan, listrik, air hersih dan telekomunikasi, pendapat lain
juga dikatakan oleh Familoni (2006) hahwa infrastruktur utilitas puhlik adalah tenaga listrik,
telekomunikasi, suplai air
bersih, sanitasi dan saluran pemhuangan gas. Termasuk juga prasarana umum
seperti jalan, kanal, irigasi, drainase, jalan kereta,api, angkutan dan lainnya. Salah satu
kategori komponen pariwisata yaitu infrastruktur yang meliputi jaringan air hersih, ar limhah,
gas, listrik dan telepon, drainase, jalan raya, rel kereta api, handara, stasiun kereta api,
terminal, resort, hotel, motel, restoran, pusat perhelanjaan, tempat-tempat hihuran, museum,
pertokoan dan infrastruktur lainnya. Dampak positif dari pengemhangan pariwisata meliputi;
(1) memperluas lapangan kerja; (2) hertamhahnya kesempatan herusaha; (3) meningkatkan
pendapatan; (4) terpeliharanya kehudayaan setempat; (5) dikenalnya kehudayaan setempat
oleh wisatawan.
METODE PENELITIAN
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Data sekunder atau tangan kedua
yaitu data yang diperoleh dari pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek
penelitiannya. Data ini biasanya berupa data dokumentasi atau data laporan yang sebelumnya
telah tersedia (Azwar, 2007). Dalam penelitian ini mengambil data dari buku, dokumentasi,
laporan, artikel serta informasi lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
RPJPD, RPJMD dan RGPD yang merupakan dokumen perencanaan untuk periode 1
(satu) tahun memuat kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan
langsung perangkat daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi
masyarakat, serta memuat visi, misi, tujuan dan strategi sesuai dengan tugas dan fungsi Dinas
PUPR Provinsi NTB yang disusun dengan berpedoman pada Renstra Perangkat Daerah,
RPJMD dan bersifat indikatif. Geografis Kawasan Gili Matra
Gili Matra sangat terkenal dengan nama Taman Wisata Laut/perairan Gili Matra. Gili
Matra telah dimulai sejak tahun 1993. Pada awalnya ditetapkan sebagai Gawasan Taman
Perairan Gili Matra oleh Gementrian Lingkungan Hidup saat itu. Gawasan Gili Matra
mempunyai luas 2.954 Ha terdiri dari daratan seluas 665 Ha dan selebihnya perairan laut.
Taman Wisata Perairan Gili Matra sebelumnya ditetapkan berdasarkan SG. Menhut No.
85/Gpts-II/1993, Seluas 2.954 Ha. Selanjutnya, pada Tahun 2001, Gawasan taman wisata
alam Pulau Gili ayer/Air, Gili Meno dan gili Trawangan seluas 2.954 hektar tersebut,
ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam perairan berdasarkan Geputusan Menteri
Gehutanan No. 99/Gpts-II/2001.
Berdasarkan berita acara serah terima Gawasan Suaka Alam dan Gawasan Pelestarian
Alam dari Departemen Gehutanan kepada Departemen Gelautan dan Perikanan Nomor: BA.
01/Menhut- IV/2009 - BA. 108/MEN.GPIII/2009. Gawasan Gili Matra selanjutnya dikelola
oleh Departemen Gelautan dan Perikanan. Nomenklatur Gawasan berubah menjadi Taman
Wisata Perairan (TWP) Pulau Gili Ayer/Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan, selanjutnya
disebut Gili Matra. Mengacu pada Geputusan Menteri Gelautan dan Perikanan No.
Gep.67/MEN/2009 kawasan ini ditetapkan dengan Gawasan Gonservasi Perairan Nasional
Pulau Gili Ayer, Gili Meno dan Gili Trawangan (Matra) di Provinsi Nusa Tenggara
Barat.TWP pulau Gili Meno, Air dan Trawangan (Gili Matra) dengan luas 2.954 hektar, yang
meliputi luas daratan Gili Air ± 175 ha dengan keliling pulau ±5 km, Gili Meno ±150 ha
dengan keliling pulau ±4 km dan Gili Trawangan ±340 ha dengan keliling pulau ±7,5 km dan
selebihnya merupakan perairan laut.
Secara geografis TWP pulau Gili Matra terletak pada 8° 20° - 8° 23° LS dan 116°00°
- 116° 08° BT. Sedangkan secara administratif pemerintahan, kawasan ini terletak di desa Gili
Indah kecamatan Pemenang kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Gawasan ini sejak tanggal 15 Maret 2001 sampai dengan tanggal 4 Maret 2009 berada di
bawah pengelolaan Balai GSDA NTB departemen Gehutanan sesuai dengan Surat Geputusan
Menteri Gehutanan Nomor : 99/Gpts-II/2001. Selanjutnya sejak tanggal 4 Maret 2009 sesuai
dengan berita acara serah terima kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam dari
Departemen Gehutanan kepada Departemen Gelautan dan Perikanan Nomor: BA.01/Menhut-
IV/2009 dan Nomor BA.108/MEN.GP/III/2009. Selanjutnya berdasarkan Geputusan Menteri
Nomor 67/MEN/2009 tentang Penetapan Gawasan Gonservasi Perairan Nasional Pulau Gili
Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 3
September 2009, pengelolaan TWP dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Gelautan, Pesisir dan
Pulau-pulau Gecil (KP3K) yang menuoaskan UPT Balai Kawasan Konservasi Perairan
Nasional (BKKPN) Kupano sebaoai Unit Pelaksana Teknis yang bertanggung-jawab di
lapangan.
Batas-batas Taman Wisata Perairan Pulau Gili Matra adalah sebagai berikut :
a) Utara : berbatasan dengan laut Jawa.
b) Selatan : berbatasan dengan selat Lombok.
c) Barat : berbatasan dengan laut Jawa.
d) Timur : berbatasan dengan Tanjung Sire.
Kepulauan Gili Matra dalam payung hukum perundangan telah ditetapkan sebagai taman
wisata perairan / laut yang mendapatkan prioritas nasional. Pemanfaatan taman wisata laut
juga sebagai Unique Selling Point utama dalam pengembanagn destinasi wisata Kepulauan
Gili Matra. Pengembangan pariwisata di Gili Matra bertujuan untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat dan memperlebar manfaat jejaring ekonomi dalam bidang kepariwisataan.
Tentunya pengembangan pariwisata di destinasi kepulauan Gili Matra tidak terlepas dari
pengaruh negatif dan positif terhadap masyarakat dan lingkungan. Eksistensi budaya,
lingkungan TWP, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat merupakan bagian dari
pengembangan pariwisata berbasis destination unique selling point. Pengembangan
pariwisata dilandasi oleh kearifan lokal tercermin dalam perilaku masyarakat dan wisatawan
dalam memperhatikan lingkungan. Saputra & Myer (2019), Saputra (2018) menjelaskan hasil
investigasi konservasi terhadap terumbu karang dalam 5 bulan terakhir mengalami perubahan
yang bervariasi, perkembangan populasi ikan beserta jenisnya serta penyebarannya di
kawasan TWP Gili Matra. Hal lain juga di investigasi yaitu perubahan pemanfaatan lahan.
Program proteksi dan berkelanjutan dilakukan setiap hari jumat pagi dengan seluruh member
penyelam dan masyarakat melakukan pembersihan laut dan pantai dari sampah plastik yang
mencemari kawasan Taman Wisata Perairan Gili Matra. Masyarakat dan wisatawan di
edukasi untuk terlibat melakukan proteksi terhadap laut sebagai daya Tarik utamanya.
Program juga melibatkan lintas stakeholder dan dive company melalui Gili Shark
Conservation dan Gili Eco trust dalam edukasi konservasi. Sektor pariwisata di Kabupaten
Lombok Utara (KLU) sendiri merupakan salah satu sektor yang strategis dan potensial untuk
dikelola, dikembangkan dan dipasarkan. Dalam penelitian ini kita akan berfokus pada
Kawasan Wisata Gili Matra merupakan Kawasan wisata favorit yang mempunyai daya tarik
tersendiri dengan suasana dan pemandangannya yang masih asri. Kawasan wisata Gili Matra
terdiri dari tiga pulau yaitu Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili air. Gili Matra memiliki daya
tarik dan potensi dalam peningkatan pendapatan daerah yang menjadi salah satu andalan
Pemerintah Kabupaten Lombok Utara. Menurut Kepala Bagian Humas Sekretaris daerah
KLU, Mujadid Muhas, pariwisata merupakan sektor andalan untuk mendatangkan PAD GLU.
PAD berupa pajak dan retribusi dari sektor pariwisata, menyumbang 60% pendapatan pajak
dan retribusi di GLU. Dari total tersebut, 80% berasal dari aktivitas yang ada di tiga pulau
Gili Matra, seperti pajak hotel dan restoran, serta berbagai retribusi
lain (dalam Nursyamsyi, 2018). Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pariwisata terus
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Realisasi pendapatan pajak dan
retribusi dari Gili Matra selalu melampaui target setiap tahunnya. Peningkatan jumlah
wisatawan dan pendapatan pajak yang diperoleh akan secara langsung akan menambah
Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD memiliki peran penting dalam rangka pembiayaan
pembangunan di daerah. Berdasarkan pada potensi yang dimiliki masing-masing daerah,
peningkatan dalam penerimaan PAD ini akan dapat meningkatkan kemampuan keuangan
daerah. Peningkatan jumlah wisatawan yang diikuti oleh peningkatan pendapatan pajak dan
PAD GLU bukan hal yang tiba-tiba terjadi. Namun sebagai respon dari serangkaian langkah-
langkah strategis yang dilakukan oleh pemerintah daerah GLU dan para pengelola kawasan
wisata Gili Matra serta masyarakat untuk menarik wisatawan untuk berkunjung. Hal inilah
yang melatarbelakangi peneliti tertarik untuk meneliti pengembangan infrastrukturisasi Gili
Matra dalam meningkatkan PAD Gabupaten Lombok Utara. Mengenai jumlah wisatawan
yang datang ke kawasan Gili dimana Wisatawan asing yang masuk ke Lombok utara hingga
Juni 2019 sekitar 60 persen dari jumlah total 233.759 orang atau sekitar 147.255 orang.
Namun pada 2019 dan 2020 ada penurunan PAD GLU pada sektor pariwisata karena adanya
bencana gempa bumi dan pandemi covid 19 yang membuat geliat kedatangan turis
mancanegara maupun lokal. Bahkan di tahun 2020 grafik kedatangan turis dalam maupun
luar kian merosot tajam. Dan berimbas pada lesunya perekonomian dan macetnya
pembangunan infrastruktur pada bidang pariwisata di kawasan pariwisata Gili Matra
Gabupaten Lombok Utara.
Problematika dan pendegatan permasalahan
Gendala yang ditemukan pada pembangunan infrastruktur di Gili Matra antara lain harga
tanah yang tinggi. Harga tanah yang tinggi hingga mencapai 2,5 Milyar Rupiah per Are,
menyulitkan pemerintah dalam usaha pembebasan lahan untuk pembangunan fasilitas umum.
Namun tantangan itu dapat diatasi dengan cara kerjasama dengan pihak swasta dan
masyarakat untuk membantu pemerintah dalam pengadaan lahan. Biaya angkut material
bangunan yang mahal, juga menjadi kendala dalam pembangunan infrastruktur di Gili Matra.
Pemerintah mensiasati nya dengan memanfaatkan Boat sampah milik pemerintah untuk
mengangkut bahan bangunan dari Pulau Lombok ke Gili sehingga biaya pengangkutan bisa
ditekan. Gomunikasi dengan masyarakat yang tidak sejalan dengan program pemerintah
memang pernah terjadi seperti pembangunan jalan di Gili Trawanoan. Penoousuran lahan
bisnis dan kios masyarakat menjadi pemicu ketegangan masyarakat dengan pemerintah pada
saat pembangunan jalan baru di Gili Trawanoan tersebut. Namun setelah dilakukan
komunikasi secara intensif akhirnya masyarakat berbalik mendukung program pemerintah
untuk merevitalisasi jalan raya tersebut. Namun warga dan pelaku bisnis diperkenankan
membuka "lapak" secara Knockdown. Ada pula infrastruktur yang belum diserahterimakan
pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Utara seperti IPAL. Sehingga
menyulitkan dalam operasional dan pemeliharaan fasilitas pengolahan air tersebut.
Ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan yaitu:
1. Pendekatan pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainahle turism approach)
yaitu, area wisata ditetapkan berdasarkan kesesuaian perairan dan daya dukung kawasan.
Wisatawan murni hanya melakukan aktivitas berwisata saja selama ada di pulau, fasilitas
tempat tinggal, makan dan hiburan lainnya dilakukan pada maindland. Pembangunan
infrastruktur pendukung ekowisata yang di bangun pada kawasan pesisir dan pulau kecil
secara tidak langsung dapat memberikan pengaruh terhadap lingkungan dan ekosistem pesisir
dan laut. Proses berkelanjutan ini, mengintegrasikan aspek ekologi dan sosial budaya
masyarakat lokal. Aktivitas wisata bahari yang dilakukan oleh wisatawan dapat disesuaikan
dengan minat masing-masing seperti; snorkeling, diving, tracking, mangrove, rekreasi pantai
pada lokasi yang sesuai dan kemampuan daya dukung kawasan secara alami kedua pulau
dapat menerima aktivitas tersebut. Sikap kesadaran wisatawan maupun masyarakat dengan
sendirinya akan terbentuk jika konsep wisata bahari ini secara bertahap dan dijadikan
kesepakatan bersama.,
2. Pendekatan pemberdayaan masyarakat (community empowerment approach) yakni,
masyarakat kawasan Gili Matra ditempatkan sebagai subjek untuk mengelola potensi wisata
bahari di pulau, dengan menyesuaikan pada karakter sosial, budaya dan ekonomi di wilayah
tersebut. Pendekatan ini perlu dilakukan, karena masyarakat lokal di kawasan pulau adalah
pihak yang paling memahami kondisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Keterlibatan
masyarakat provinsi NTB sejak awal untuk menghasilkan kesesuaian program dengan
menampung aspirasi yang berkembang sesuai kebutuhan serta menjamin komitmen
masyarakat sehingga menumbuhkan rasa memiliki yang kuat. (Marasabessi, et al, 2018).
3. Pendekatan ekowisata (ecotourism approach) yakni, bentuk pengelolaan suatu
kawasan yang masih alami dengan beragam potensi untuk dijadikan destinasi wisata
berdasarkan prinsip pelestarian sumber daya alam dan ekosistem dalam kawasan tersebut,
dan budaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal di sekitar kawasan
mampu membuka akses jejaring ekonomi,sosial dan budaya untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal di sekitar kawasan (Marasabessi, et al, 2018)
Konsep Dan Teori Ekowisata pada kawasan Gili Matra KLU
Ekowisata merupakan konsep baru dalam ranah kepariwisataan yang memiliki penekanan
pada kelestarian lingkungan. Konsep ekowisata merupakan paradigma baru tentang kegiatan
pariwisata yang pro terhadap lingkungan dengan berbagai kegiatan partisipasi wisatawan dan
masyarakat lokal yang meliputi usaha konservasi dan penyelamatan lingkungan. Ekowisata
terlahir dari konsep sebelumnya yang lebih di kenal dengan pariwisata alternatif. Dengan kata
lain ekowisata adalah konsep baru turunan dari konsep pariwisata alternatif tentang
pariwisata masa kini. Direktorat Jenderal pengendalian kerusakan keanekaragaman hayati
dan badan pengendalian dampak lingkungan (2001), menjelaskan ekowisata adalah
ecological tourism, yaitu pengembangan pariwisata yang bertanggung jawab di daerah yang
masih alami yang dikelola untuk menikmati dan menghargai alam dengan melibatkan unsur
pendidikan dan keterlibatan aktif sosial masyarakat setempat. Sedangkan Damanik dan
Weber (2006, h.38) mendefinisikan ekowisata dari tiga perspektif yakni sebagai: (1) produk,
merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumber daya alam. (2) pasar, merupakan semua
perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan dan (3) pendekatan
pengembangan, merupakan metode pemanfaatan sumber daya pariwisata yang bertanggung-
jawab terhadap kesejahteraan dan pelestarian lingkungan.
Secara konseptual Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2003) menekankan pada tiga
prinsip dasar pengembangan ekowisata, berikut:
A. Prinsip konservasi, yaitu pengembangan ekowisata harus mampu memelihara,
melindungi, dan berkontribusi untuk memperbaiki sumber daya alam.
B. Prinsip partisipasi masyarakat yaitu pengembangan harus didasarkan atas
musyawarah masyarakat setempat serta peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan
keragaman tradisi yang dianut masyarakat sekitar kawasan.
C. Prinsip ekonomi yaitu pengembangan ekowisata harus mampu memberikan manfaat
bagi masyarakat setempat dan menjadi penggerak pembangunan.
Dalam konteks Ekowisata, maka sumber daya alam harus dipandang sebagai aset terbesar
yang memiliki nilai, baik secara ekonomi maupun ekologi, sehingga kegiatankegiatan yang
dihasilkan akan bersifat non eksploitatif. Pendekatan yang kemudian muncul dan harus
digunakan oleh pengembang adalah yang bersifat simbiotik, dimana para pelaku wisatawan
berinteraksi positif dengan kawasan yang dikelolanya dan bukan bersifat parasit dan
eksploratif. Pengembangan sumber daya alam yang non-ekstraktif, non-konsumtif dan
berkelanjutan perlu diprioritaskan dan dalam bidang Pariwisata pengembangan seperti
Ekowisata harus menjadi pilihan utama. Lebih lanjut wood (2002) memherikan hatasan-
hatasan tentang Prinsip-prinsip Ekowisata yano meliputi;
1. Meminimalisir dampak negatif terhadap alam dan budaya yang dapat merusak tujuan.
2. Mendidik pelancong tentang pentingnya konservasi.
3. Tekankan pentingnya bisnis yang bertanggung jawab, yang bekerja secara kooperatif
dengan otoritas lokal dan orang-orang untuk memenuhi kehutuhan lokal dan
memberikan manfaat konservasi.
4. Pendapatan langsung ke konservasi dan pengelolaan kawasan alami dan dilindungi.
5. Menekankan perlunya zonasi pariwisata regional dan untuk rencana pengelolaan
pengunjung yang dirancang baik untuk kawasan atau kawasan alami yang
dijadwalkan menjadi destinasi ramah lingkungan. Menekankan penggunaan studi
garis dasar lingkungan dan sosial, serta program pemantauan jangka panjang, untuk
menilai dan meminimalkan dampak.
6. Berusaha keras untuk memaksimalkan manfaat ekonomi bagi negara tuan rumah,
bisnis lokal dan masyarakat, khususnya orang-orang yang tinggal di dan berdekatan
dengan kawasan alami dan dilindungi.
7. Berusaha memastikan bahwa pengembangan pariwisata tidak melebihi batas sosial
dan lingkungan dari perubahan yang dapat diterima sebagaimana ditentukan oleh para
peneliti bekerja sama dengan penduduk setempat.
8. Bergantung pada infrastruktur yang telah dikembangkan selaras dengan lingkungan,
meminimalkan penggunaan bahan bakar fosil, melestarikan tanaman dan satwa liar
setempat, dan menyatu dengan lingkungan alam dan budaya.
SARAN
Dasar 1945 dinyatakan bahwa tujuan Pembangunan Nasional Bangsa Indonesia adalah
melindungi seoenap banosa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia (Muthalib
dkk, 2016). Daerah tertinggal memiliki potensi sumberdaya yang besar, akan tetapi belum
dimanfaatkan secara optimal sehingga masih mempunyai ketergantungan yang kuat dengan
daerah luar (Santoso dan Putri, 2012). Penetapan daerah tertinggal berdasarkan enam kriteria
utama yaitu ekonomi, sumber daya manusia, infrastruktur, kapasitas keuangan daerah,
aksesibilitas dan karakteristik daerah. Hal inilah yang mendasari diperlukannya upaya
pembangunan daerah tertinggal yang terencana dan sistematis agar kesenjangan antara daerah
tertinggal dan non tertinggal dapat semakin dikurangi.
Setidaknya beberapa hal yang mesti dilakukan dalam meningkatkan kualitas bidang
pariwisata di KLU yang tentunya bukan hanya menjadi PR besar Pemerintah Kabupaten
tetapi juga Pemerintah Provinsi berkenaan dengan konsep Ekowisata seperti yang dijelaskan
pada materi di atas. Diantaranya menurut I Made Murdana (2019) adalah
• Daya dukung (carrying capacity) menjadi perhatian dan menjadi masukan dalam
penentuan prinsip pengembangan di Kawasan Gili Matra.
• Proteksi terhadap ketahanan kelembagaan adat sebagai community/local destination
management organization (DMO), akan memberikan penciri dan ketahanan local
genius masyarakat dalam pengembangan kawasan.
• Penelitian-penelitian kaitannya dengan aspek community base tourism (CBT), aspek
sosial ekonomi dan lingkungan agar didukung dan ditingkatkan, guna mengetahui dan
mengevaluasi pariwisata sebagai leadingsector pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Gustiawan, Iwan. 2016.Perencanaan Kota.Universitas terbuka!;Tangerang selatan
Azwar, Saifuddin. 2007. Metode Penelitian. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Diskominfo Gabupaten Lombok Utara.2019. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Kabupaten Lombok Utara 2015-2020.( Diakses 25 April 2021, 11.30)
Gatot Yulianti. Achmad Fahrudin, Nellyana Gusmaningsih. Analisis Permintaan Rekreasi dan
Strategi Pengembangan Wisata Bahari 01 Gili Trawangan Kabupaten Lombok Utara Provinsi
Nusa Tenggara Barat. 2007.( Diakses 25 April 2021, 10.45)
Dinas PUPR Provinsi NTB. 2020. Rencana Kerja Tahun 2020 . ( Diakses 25 April 2021,
11.30)
Imam Wisnu Taqwin, Afifuddin, Ghoiron. Pengembangan Infrastruktur Gili Matra Dalam
Meningkatkan PAD. Jurnal Respon Publik volume 13, No. 4, Tahun 2019, Hal 47-52
(Diakses 25 April 2021, 11.30)
Gementerian Gelautan dan Perikanan RI. Basis data kawasan Konservasi .2019. (Diakses 25
April 2021, 11.30)
Widyarini. 2019. Jurnal Destinasi Pariwisata. (diakses pada tanggal 25 April 2021, 20.37)
Direktorat Jenderal Cipta Garya Balai Prasarana Permukiman Wilayah Nusa Tenggara Barat,
Koordinasi Percepatan Kegiatan Infrastruktur Di Kabupaten Lombok Utara. ( Diakses 25
April 2021, 11.30) Nila Sylvi Ratnadila. Perencanaan Skenario untuk Pembangunan Desa
Tertinggal: Sebuah Telaah
Kritis.Jurnal Penyuluhan Perikanan dan Gelautan Volume 12(2) Agustus 2018 Hal. 111-
128 ( Diakses 25 April 2021, 11.30)..
Muthalib, AA dkk. 2016. Analisis Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa.
Diakses 25 April 2021, 11.30)
Damanik, Janianton dan Weber, Helmut F. (2006). Perencanaan Ekowisata. Yogyakarta;
PUSBAR UGM & ANDI YOGYAGARTA. (Diakses 25 April 2021, 11.30)
I Made Murdana. 2019. Pendekatan Unique POINTSelling (UPS) dalam ReformulasiStrategi
Pemasaran Pulau Gili Trawangan Pasca Gempa. (Diakses 25 April 2021, 11.30)
Nursyamsyi.2018. Pariwisata Gili Sumbang 45 Persen PAD Lombok Utara
.https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/06/11/pa5nf6370-pariwisatagili-
sumbang-45-persen-pad-lombok-utara. (diakses pada tanggal 26 April 2021, 12.30)
UU no 32 tahun 2004 pasal 157 tentang sumber sumber pendapatan asli daerah.