Anda di halaman 1dari 5

TUGAS I

HUBUNGAN PUSAT DAN


DAERAH

DI SUSUN
OLEH

NAMA : WANDA ORLANDO SAPUTRA

NIM : 042364939

UPBJJ : 14/ PADANG

UNIVERSITAS TERBUKA
A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Lahirnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah pasca reformasi
1998 dimaksudkan untuk merubah paradigma Pemerintahan Daerah yang bercorak sentralistik
menjadi pemerintahan yang bercorak desentralisasi. Undang-Undang No. 22 tahun 1999
tersebut juga merupakan peletak batu pertama azas otonomi daerah untuk pelaksanaan
Pemerintahan Daerah. Akan tetapi kerena masih mengandung beberapa kelemahan dan perlu
disesuaikan dengan pelaksanaan ide pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan juga karena
adanya perubahan UUD 1945, maka undang-undang itu direvisi dengan Undang-Undang No.
32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No. 32 tahun 2004)
sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 tahun 1999.

Dengan berlakunya UU No. 32 tahun 2004, maka pelaksanaan pemerintahan di Daerah


dilaksanakan dengan cara desentralisasi, sehingga Pemerintah Daerah mempunyai
kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka mensejahterakan
masyarakat di daerahnya. Perubahan ini tidak hanya di bidang Pemerintahan Daerah, tetapi
juga di bidang pertanahan, sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Secara konseptual UU No. 32 tahun 2004 sebagai pengganti dari UU No. 22 tahun 1999
mencita-citakan otonomi yang seluas-luasnya, sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945.
Namun cita-cita tersebut, belum didukung “political will” pemerintah. Hal ini tergambar
melalui peraturan perundang-undangan yang dibuat tumpang tindih, sebagaimana terlihat
dalam pembagian/pelimpahan urusan di bidang pertanahan, hal ini bila terjadi terus menerus,
dapat dipastikan jalannya otonomi akan semakin lambat, ketergantungan Daerah pada
Pemerintah Pusat akan tidak terhindari, sehingga Daerah akan terus-menerus tak ubahnya
seperti “Ayam ras”. Padahal Pemerintah Daerah seharus menjadi “ayam kampung”, yakni
mencari makan dan minum sendiri untuk memenuhi tuntutan kehidupannya. Sehingga
kreativitas daerah untuk membangun kepastian hukum dan keadilan menuju kemakmuran
dapat terwujud.

Perubahan pola penyelenggaraan pemerintahan, dengan ekspresi desentralisasi, sesungguhnya


telah mulai diatur Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 yang menyebutkan “pertanahan adalah
kewenangan pemerintahan kabupaten/kota”. Namun dalam perkembangannya terjadi
perubahan fundamental, sebagaimana terlihat pada Pasal 13 dan Pasal 14 UU No. 32 tahun
2004 vana menvatakan: baik nemerintah nrovinsi maunun pemerintah Kabupaten/kota hanya
memiliki kewenangan di bidang pelayanan pertanahan sebagai urusan wajib. Pasal tersebut
kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 Tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan. Pasal 2 ayat (4) menyebutkan adanya 31 (tiga puluh satu)
urusan wajib yang diserahkan kepada Daerah, salah satu diantaranya adalah urusan
pertanahan.

Pendelegasian wewenang melalui corak desentralisasi dari Pemerintah Pusat kepada


Pemerintah Daerah dalam bidang pertanahan, paling tidak telah memberikan hembusan angin
segar kepada Pemerintah Daerah untuk membuat kebijakan sendiri di bidang pertanahan.
Berdasarkan iklim desentralisasi tersebut, beberapa Kabupaten/Kota di Indonesia mendirikan
dinas pertanahan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) setempat. Di antaranya: Kabupaten
Madiun, Kota Surabaya dan Kabupaten Pati Jawa Tengah.

Namun jika dikaitkan dengan kenyataan yang terjadi dewasa ini, masih kentalnya ekspresi
sentralisasi melalui penyelenggaraan dekonsentrasi dan medebewind (pembantuan) di bidang
pertanahan. Padahal sejarah mencatat urusan tanah melalui corak sentralisasi termasuk salah
satu kewenangan pemerintah yang paling banyak menimbulkan konflik dan sengketa, baik di
pedesaan lebih-lebih lagi di daerah perkotaan. “Secara historis dapat dikatakan puncak
sengketa pertanahan sebenarnya telah terjadi sejak diberlakukannya Undang-Undang Agraria
Kolonial 1870 yang dikenal sebagai Agrarische Wet. Di mana sumber utama konflik dan
sengketa pertanahan adalah ketidakharmonisan, ketidakselarasan atau ketimpangan dalam
srtuktur kepemilikan dan penguasaan tanah. Akibatnya terjadi anomaly dan terjadi krisis
dualisme kebijaksanaan).

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini, yaitu: Sejauh manakah pendelegasian kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah di bidang pertanahan?

A. PEMBAHASAN

Pelimpahan wewenang oleh pemerintah kepada pejabatnya di daerah untuk menjalankan roda
pemerintahan disebut dengan dekonsentrasi. Hal ini berarti dekonsentrasi tersebut wewenang
untuk mengurus persoalan yang terjadi di Daerah dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah.

Perubahan konsep administrasi pemerintahan yang lebih memberdayakan partisipasi lokal


menyebabkan terjadinya pola pergeseran kekuasaan pemerintahan. Istilah tersebut juga telah
memperoleh materi muatannya dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal yang
mcnaatur tcntana nemerintahan daerah nrovinsi. daerah kabunaten. dan kota mcnaatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam
UUD 1945 tersebut disebutkan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat.
Dalam konteks pertanahan, ketentuan ini setidaknya menimbulkan ketidakjelasan apabila kita
kaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan sandaran
UUPA Pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut ditentukan bahwa bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Dalam pasal tersebut tidak disebutkan tentang kemungkinan
penyerahan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kepada pemerintah
daerah, tetapi justeru harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya
kemakmuran rakyat.

Mengacu pada hal di atas berdasarkan kewenangan-kewenangan yang terdapat dalam hukum
tanah nasional (UUPA), ternyata bahwa pembentukan hukum tanah nasional maupun
pelaksanaannya menurut sifat dan pada asasnya merupakan kewenangan pemerintah pusat.

Dalam rangka otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pelimpahan
kewenangan dalam otonomi adalah mengenai bidang pemerintahan. Walaupun ketentuan Pasal
11 ayat (2) undang-undang tersebut mencakup kewenangan dibidang pertanahan, tidak berarti
mencakup kewenangan di bidang hukum tanah nasional. Oleh karena itu, pertanahan sebagai
salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota dalam Pasal 11,
tidak harus dicerna bahwa wewenang bidang tersebut secara utuh berada di kabupaten/kota.
Wewenang yang berada di kabupaten/kota mengenai pertanahan sebatas yang bersifat
lokalitas, dan tidak bersifat nasional.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kewenangan pemerintah di bidang pertanahan, baik
pemerintah pusat maupun daerah. Sebagaimana terdapat dalam Keputusan Presiden (Kepres)
No. 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dalam Pasal 1 dan 2,
berikut ini akan dipaparkan perinciannya:

A. Kewenangan Pemerintah Pusat di Bidang Pertanahan

Adapun yang menjadi kewenangan dari Pemerintah Pusat dalam bidang pertanahan,
sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 Kepres No. 34 tahun 2003 meliputi:
1. Penyusunan basis data tanah-tanah asset Negara/Pemerintah/ Pemerintah Daerah di
seluruh Indonesia;
2. Penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan dan pendaftaran tanah dan
penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan, yang dihubungkan dalam e-
aovernment. e-commerce. dan e-oavmen:

Surat Keputusan pemberian Izin Lokasi ditandatangani oleh Bupati/Walikota atau, untuk
Daerah khusus ibukota Jakarta, oleh Gubernur Kepala Daerah setelah diadakan rapat
koordinasi antar instansi terkait, yang dipimpin oleh Bupati/Walikota, khusus ibukota Jakarta,
oleh pejabat yang ditunjuk secara tetap olehnya.
Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi tersebut menunjukkan
ekspresi desentralisasi, dimana izin lokasi adalah kewenangan Bupati/Walikota, namun khusus
untuk Ibukota Jakarta kewenangan Gubernur. Namun ironisnya PP 38 Tahun 2007 tentang
pembagian urusan pemerintah, dimana pemerintah pusat juga diberikan kewenangan
penerbitan izin lokasi.

Dalam Perspektif otonomi dengan ekspresi desentralisasi, pemberian izin lokasi oleh
pemerintah pusat dapat dikategorikan “terlalu berlebihan, mencampuri urusan rumah tangga
daerah, tidak memandirikan daerah”. Yang lebih fatal dari itu semua menyebabkan konflik dan
sengketa lahan semakin berpotensi”. Idealnya tugas pemerintah pusat khusus untuk hal- hal
yang bersifat vital dan strategis saja, seperti: pembuatan kebijakan, standar, norma, yang
memberikan aturan main dalam hubungan subyek hukum dengan tanah.

Era otonomi daerah adalah peluang bagi pembaharuan agraria, karena melalui otonomi daerah
yang nyata dan bertanggung jawab pemerintah daerah dapat mengatur dan mengurus rumah
tangganya secara lebih leluasa sesuai dengan keinginan daerah masing-masing. Namun tetap
dalam kerangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. PENUTUP

Pada dasarnya Kewenangan Pemerintah dalam bidang urusan tanah merupakan urusan wajib
Pemerintah Daerah. Namun pada kenyataannya mencermati realitas yang terjadi dalam
konteks otonomi daerah, Pemerintah Pusat masih terkesan setengah-setengah dalam
mendelegasikan kewenangan yang berkaitan dengan masalah pertanahan tersebut. Hal ini
dapat dilihat dari adanya kecendrungan atau dominasi kewenangan yang digariskan peraturan
perundang-undangan kepada Pemerintah Pusat dalam masalah pertananhan. Kenyataan
tersebut tentu akan berimplikasi kepada tidak tercapainya cita-cita reformasi khususnya dalam
hal kemandirian daerah dalam mengatur dan mengurus permasalahan yang terjadi di daerah.

Anda mungkin juga menyukai