Anda di halaman 1dari 17

Hukum Pidana Internasional

Prof. Eddy

 Hukum pidana internasional berada di persimpangan jalan antara hukum pidana dan hukum
internasional. Pada sisi vertikal hukum pidana, dan horizontal hukum internasional. Hukum
pidana internasional memiliki sifat dan karakteristik tersendiri yang tidak sama dengan hukum
pidana dan juga tidak identik dengan hukum internasional.
 M. Sherif Bassiouni: hukum pidana internasional adalah aspek-aspek pidana dari hukum
internasional dan aspek-aspek internasional dari hukum pidana.
o Pengertian ini meliputi baik hukum pidana internasional materiil maupun hukum
pidana internasional formil
o Aspek-aspek pidana dari hukum internasional = hukum pidana internasional
materiil/substantif = kejahatan-kejahatan internasional.
o Aspek-aspek internasional dari hukum pidana = hukum pidana internasional formil =
penegakan hukum pidana internasional (international criminal law enforcement)
 Penegakan hukum pidana internasional secara garis besar dibagi menjadi 4:
1. Direct enforcement system (penegakan hukum pidana internasional secara
langsung). Dibagi menjadi 2:
 Bersifat permanen  International Criminal Court (ICC)
 Bersifat adhoc. Ada 4:
 Pengadilan nuremberg
 Pengadilan tokyo
 ICTY
 ICTR
2. Indirect enforcement system (penegakan hukum pidana internasional secara tidak
langsung): menggunakan pengadilan nasional.
3. Hybrid model: model campuran yang menerapkan instrumen hukum internasional
dan instrumen hukum nasional
4. Regional model. Contoh: mahkamah eropa, mahkamah amerika, mahkamah afrika 
sistem wilayah.

Sejarah Perkembangan Hukum Pidana Internasional

 Kaisar Justianus  Romawi Abad 16 M  Menurut Cicero dan St. Agustine, perang harus
didasarkan pada just cause (sebab yang adil)
 Pasca perang salib, Piracy dianggap merusak hubungan perdagangan antar bangsa.
o Kejahatan antar perang dan piracy (bajak laut) dianggap kejahatan internasional
tertua
o Pulau Saparua: tempat rempah-rempah terbesar di dunia.
o Rempah-rempah di Pulau Saparua merupakan pulau tempat tukar guling antara
Belanda dan Inggris  New York ditukar dengan Pulau Saparua.
o Pulau Rum ditukar dengan Manhattan
 Fransisco de vittoria, 1480-1546  Ancaman perang dan peperangan tidak dapat dibenarkan
dengan alasan perbedaan agama, perluasan kerajaan, dan kemenangan yang bersifat pribadi
 definisi agresi, batas-batas yang dibolehkan dalam self defense, pembatasan penggunaan
senjata.
o Tujuan imperialisme kuno (gold glory gospel  emas, kejayaan, menyebar agama).
Ada 1 tujuan yang dirahasiakan.
o Teori heliosentris dianggap bertentangan dengan ajaran gereja sehingga dihukum
mati
o Perjanjian saragosa antara portugis dan spanyol untuk membuktikan apakah betul
bumi itu bulat.
o Ada penandatanganan perjanjian: Portugis berhak atas wilayah nusantara, spanyol
berhak atas wilayah filipina. Portugis berada di wilayah malaka (nusantara), spanyol
berada di wilayah filipina.
o Perintah rahasia Paus terhadap Portugis dan Spanyol untuk membalas dendam
kekalahan tentara nasrani terhadap wilayah yang sudah diduduki oleh islam 
menurut Fransisco de vittoria, perang tidak dapat dibenarkan oleh perbedaan agama.
o Agama mulai dipolitisasi oleh Constantio, menyatakan agama resmi imperial romawi
adalah nasrani.
o Fransisco de vittoria dianggap sebagai orang yang melahirkan dasar-dasar hukum
pidana internasional dengan just cause dari Cicero dan St. Agustine.
 Abad 16-18 pakar-pakar hukum seperti Alberto Gentuh, Fransisco Suarez, Samuel Pufendorf,
dan Emerich de vattel  mencari dan membahas dasar-dasar perang.
 Hugo de Groot, 1625  De Jurre Belli As Pascis Libri Tres (Dasar-dasar Hukum Perang) 
pelaksanaan perang secara tidak benar layak untuk dituntut. Pelaksanaan perang secara
melawan hukum bertanggung jawab atas akibat-akibat yang terjadi dan sepatutnya diketahui.
Pada kalimat terakhir disebutkan “Jenderal – prajurit yang dapat mencegah kejadian atau
kerugian dapat dipertanggungjawabkan”  crime by commission.
 Pasal 277 Diktat Versailles tidak dipatuhi oleh Jerman karena Jerman harus memberikan
kekuasaan terhadap wilayah yang dikuasai
 1920 upaya pembentukan mahkamah pidana internasional
 LBB 1927 menetapkan a war of aggression sebagai international cirme
 Pasca perang Dunia II  Lauterpacht dan Hans Kelsen mendesak pembentukan mahkamah
pidana internasional
 Nuremberg Trial 1946  Nazi Jerman
 Tokyo Trial 1948
o Nuremberg dan Tokyo Trial merupakan landasan paling kokoh dan fundamental
dalam hk pidana internasional.

Hubungan Hukum Pidana Internasional dengan Hukum Pidana Nasional

 Tidak terlepas dari hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Berkaitan
dengan teori monisme dan dualisme
 Teori monisme: hukum nasional dan internasional adalah satu kesatuan dari sistem hukum.
Hukum internasional mengikat individu secara kolektif yang membentuk negara, sedangkan
hukum nasional mengikat individu secara perorangan.
 Teori dualisme: antara hukum pidana internasional dan nasional adalah 2 hal yang berbeda.
Perbedaan itu dari segi sumber hukum dan dari segi subjek hukum.
o Dari segi sumber hukum, dalam hukum pidana internasional dasar dari perjanjian
antar negara adalah asas pacta sunt servanda. Sedangkan sumber hukum nasional
adalah state sovereignty (kedaulatan negara, peraturan perundang-undangan).
o Dari segi subjek hukum, subjek hk internasional adalah negara. Sedangkan subjek hk
nasional adalah individu.
Monisme vs Dualisme Dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional

 Hukum pidana internasional sangat dipengaruhi oleh hukum pidana. Subjek hukum
internasional hanyalah individu, yang tidak sesuai dengan paham monisme hk pidana inter.
Hukum internasional mengikat individu secara kolektif. Padahal hukum pidana internasional
mengikat individu secara perorangan.
 Paham dualisme mengatakan subjek hk internasional hanyalah negara, padahal subjek hk
pidana internasional hanyalah individu karena pertanggungjawaban yang dikenal dalam hk
pidana adalah pertanggungjawaban individu. Sehingga sangat mempengaruhi karakteristik hk
pidana internasional.

SOAL UJIAN

Hubungan Hukum Pidana Internasional dengan Hukum Pidana Nasional!!!

 Hubungannya adalah hubungan yang bersifat komplementer antara satu dengan yang lain dan
memiliki arti penting dalam rangka penegakan hukum pidana itu sendiri. Hal ini jelas terlihat
banyaknya asas dalam hukum pidana nasional diadopsi sebagai asas-asas dalam hukum
pidana internasional. Dalam ketentuan KUHP di semua negara, khususnya berkaitan dengan
asas berlakunya hukum pidana menurut tempat, tidak hanya meliputi teritorial negara
tersebut tetapi juga meliputi tempat-tempat tertentu yang dianggap perluasan teritorial,
kendatipun berada di wilayah negara lain.
 Demikian pula sebaliknya, tindakan-tindakan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan
internasional oleh hukum pidana internasional kemudian diadopsi ke dalam ketentuan-
ketentuan dalam hukum pidana nasional dengan tujuan agar kejahatan tersebut tidak terjadi
di negaranya.

Mengapa Hukum Pidana Internasional dikatakan berada di persimpangan jalan antara hukum
pidana dan hukum internasional?!! Karena hukum pidana internasional memiliki sifat dan
karakteristik tersendiri sehingga hukum pidana internasional tidak sama dengan hukum pidana dan
juga tidak identik dengan hukum internasional

Penegakan Hukum Pidana Internasional Melalui Mekanisme Peradilan Domestik

Mbak Tata

 Kejahatan HAM dapat diadili dengan dua cara yaitu melalui pengadilan pidana internasional
atau pengadilan ad hoc internasional. Bisa juga melalui pengadilan domestik

Dasar Hukum Penegakan Hukum Pidana Internasional Melalui Peradilan Domestik

 Kewajiban erga omnes terhadap kejahatan jus cogens.


 Kejahatan jus cogens didasarkan pada 3 kriteria yaitu kejahatan yang melanggar:
o Perdamaian dan keamanan dunia
o Nilai kemanusiaan
o Komunitas internasional (kepentingan bersama)
 Berdasarkan kriteria tsb, maka kejahatan jus cogens ada 4:
o Kejahatan genosida
o Kejahatan terhadap kemanusiaan
o Kejahatan perang
o Kejahatan agresi
 Kejahatan jus cogens: larangan yang mutlak bagi negara untuk tidak melakukan kejahatan tsb.
Apabila ada salah satu negara melakukan kejahatan tsb, maka tidak bisa dibenarkan
berdasarkan hk internasional.
 Status jus cogens melahirkan kewajiban erga omnes.
o Erga omnes bukan suatu kewajiban yang lahir dari perjanjian, hukum kebiasaan, tapi
lahir dari kepentingan bersama diantara negara dalam komunitas internasional.
o Arti kewajiban erga omnes yaitu setiap negara wajib untuk memastikan bahwa pelaku
kejahatan internasional tidak diberikan impunitas  tidak ada seorangpun yang lepas
dari pertanggungjawaban pidana.
 Imunitas: kekebalan hk yg sah diberikan kepada seseorang
 Impunitas: seseorang lolos dari pertanggungjawaban pidana.
o Setiap negara wajib mengadili pelaku kejahatan internasional.
 Kewajiban erga omnes secara konkrit melahirkan asas aut dedere aut judicare (kewajiban
mengadili/mengekstradisi pelaku kejahatan internasional)  to extradite or to prosecute
o Geneva Convention: apabila negara ybs tidak mengadili pelaku kejahatan, maka harus
mengekstradisi pelaku tsb ke negara lain yang bisa.
o Diantara kewajiban mengadili dan mengekstradisi, yang lebih didahulukan adalah
kewajiban mengadili.
o Negara wajib mengadili pelaku kejahatan internasional. Tapi apabila tidak mampu
atau tidak beritikad baik, maka harus mengekstradisi pelaku tsb ke negara lain.
 Larangan absolut thd kejahatan internasional, supaya larangan bisa dipertahankan maka lahir
kewajiban erga omnes.
 Asas universal (universal jurisdiction) bersifat sbg asas suplementer (asas pelengkap) karena
bertujuan untuk mempermudah negara melaksankaan kewajibannya untuk mengadili atau
mengekstradisi pelaku kejahatan internasional.
o Asas teritorial: subjektif dan objektif teritorial. Subjektif terdiri dari pasif dan aktif.
o Asas nasionalitas: bagaimana punya hubungan dengan kejahatan tsb (pelaku atau
korban merupakan WN itu)
Dalam asas teritorial dan nasionalitas negara yang mengadili selalu berhubungan
dengan kejahatan yagn sedang diadili.
o Asas universal: diantara negara yang mengadili dan kejahatan yang sedang diadili
tidak harus ada hubunganya. Asas universal mempertimbangkan sifat dari kejahatan
itu sendiri, bukan siapa yang melakukan, siapa yang kena dampak, dimana kejahatan
berdampak, tapi melihat sifat dari kejahatan. Asas universal hanya berlaku bagi
kejahatan jus cogens.
o Tidak berlaku bagi kejahatan umum, tapi pada kejahatan jus cogens.
o Contoh negara yang menerapkan asas universal: Jerman, Swedia, dan Belanda
 Negara asia tidak ada yang menerapkan karena mementingkan kedaulatan
negara  tidak mau ikut campur ursan negara lain.
 Negara eropa  mementingkan HAM.
o Kasus Haisam Omar Sakhanrh  ISIS di Suria. Jerman dan Swedia merupakan 2 negara
yang paling banyak menerima refugee dari Suria. Dari refugee yang diterima,
dilakukan wawancara dan hasil wawancara digunakan sebagai alat bukti formal.
Haisam omar berhasil diidentifikasi setelah melakukan wawancara dengan refugee.
Beberapa dari mereka memberikan testify, salah satu pejabat tinggi ISIS adalah
Haisam Omar yang bertugas mengawasi military.
 Asas universal merupakan hak bagi negara untuk mengadili, tapi enforcement (penegakan)
harus bergantung dari negara asalnya. Kalau negara asal tidak mau bekerjasama, maka akan
sulit diimplementasikan.

Kasus yang Menerapkan Asas Universal

Eichmann

 Adolf Eichmann, merupakan pejabat tinggi NAZI yang diadili oleh Pengadilan Jerusalem atas
perannya dalam memastikan transportasi dari daerah Polandia. Tuduhannya ada genocide,
kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang. Eichmann melakukan perlawanan thd yurisdiksi
pengadilan Jerusalem. Ada 2 perlawanan:
o Pengadilan jerusalem tidak memiliki jurisdiksi teritorial  kejahatan bukan terjadi di
wilayah tsb.
o Pengadilan jerusalem tidak memiliki jurisdiksi temporal  kejahatan yang dituduhkan
terjadi sebelum negara israel terbentuk
 Pengadilan Jerusalem memberikan respon  menerapkan asas universal yang berarti asas
teritorial maupun temporarl tidak relevan. Pada akhirnya, Eichmann dijatuhkan pidana mati.

Belgium v. Senegal

 Diadili Mahkamah Internasional


 Dilatarbelakangi kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Hissene Habre
o Habre banyak melakukan penyiksaan terhadap oposisi politiknya (ditahan secara
tidak sah dan disiksa) selama masa pemerintahannya di negara Chad.
o Pada akhir tahun 1990, Habre melarikan diri ke Senegal.
 Senegal merupakan negara anggota dari Convention against Torture.
o Beradasrkan konvensi, setiap negara anggota wajib mengadili/mengekstradisi pelaku
kejahatan thd penyiksaan. Tapi sejak habre melarikan diri ke Senegal, tidak pernah
melakukan upaya mengadili Habre. Korban yang ada di negara Chad mengadukan ke
Belgia. Minta tolong Habre bisa diekstradisi ke Belgia supaya bisa diadili.
o Senegal menolak permohonan ekstradisi tsb dg alasan bahwa tidak punya yurisdiksi
atas Habre karena kejahatan dilakukan di negara Chad, bukan Senegal sehingga tidak
punya kewenangan untuk menjawab kewenangan ekstradisi.
o Belgia mengajukan gugatan terhadap senegal di Mahkamah internasional  belgia
menuduh senegal telah gagal dalam kewajibannya untuk mengadili atau
mengekstradisi Habre
o Menggunakan pasal 6 convention against torture (suatu negara menerima informasi
kejahatan penyiksaan, maka harusnya melakukan penyidikan). Pasal 7, negara harus
mengadili apabila informasi tsb relevan. Kalau tidak bisa maka harus ekstradisi
o Negara tidak cukup hanya mengkriminalisasi suatu perbuatan, tapi juga harus
melakukan penyidikan. Senegal melakukan perlawanan bahwa hukum nasional
senegal tidak bisa berlaku ekstrateritorial & kejahatan
o Berdasarkan vienna convention on the law on treaties, kewajiban berdasarkan CaT
harus dipenuhi, despite hukum nasional Senegal kurang memenuhi. Senegal
seharusnya mengamandemen hukum nasionalnya agar bisa mengadili Habre dan
meminta bantuan negara Chad.
Batas Asas Universal

 Asas universal cenderung menyebabkan:


o In absentia: menyebabkan seseorang kehilangan haknya membela dirinya sendiri
sementara negara wajib menjunjung tinggi HAM. Dianggap merupakan pelanggaran
terhadap hukum
o Delokalisasi proses peradilan negara
 Esensi dari yurisdiksi supaya negara yang terdampak dari kejahatan, bisa
mengenforce keadilan (memiliki hak utama mengadili supaya mereka yang
bisa merasakan keadilan). Tapi dengan adanya asas ini, maka negara
manapun bisa mengadili, tidak harus negara yang terkena dampak. Jadi
negara yang terkena dampak malah jadi tidak bisa mengadili
o Forum shopping: contoh kasus Belgia v. Senegal korban beserta keluarga korban
setelah tahu negara chad tidak bsia mengadili habre, minta tolong ke senegal. Setelah
senegal tidak bisa mengadili, malah minta tolong ke Belgia.
o Kendala pengumpulan bukti, contohnya kasus Sharon.
 Oleh karena itu, untuk meminimalisir dampak negatif asas universal, dibatasi berdasarkan
asas komplementer atau subsider.
o Asas universal hanya berlaku jika negara asalnya tidak mampu atau tidak beritikad
baik untuk mengadili.
o Contoh: ada kasus genosida yang terjadi di Indonesia. Tiba2 belgia mengirimkan
permohonan ekstradisi ke indonesia untuk pelaku genosida. Apabila indonesia sampai
permohonan ekstradisi itu masuk tidak pernah melakukan upaya mengadili, maka
baru belgia bisa menerapkan asas universal. Tapi kalau indonesia sedang dalam
proses mengadili, maka belgia tidak bisa menggunakan asas universal.
o Kasus Donald Rumsfeld (menteri pertahanan AS jaman George Bush). Ketika diajukan
tuntutan ke pengadilan oleh jaksa jerman, tiba-tiba AS melakukan penyidikan
terhadap Rumsfeld, sehingga jaksa Jerman mencabut dakwaan karena sebenarnya AS
mampu mengadili sendiri. Walaupun pada akhirnya, Rumsfeld tidak pernah diadili.

Peran DK PBB

 Berdasarkan Bab 7 piagam PBB, DK memiliki kewajiban untuk menjaga perdamaian dan
keamanan dunia. Salah satunya dengan cara memastikan bahwa pelaku kejahatan
internasional dapat diadili.
o Resolusi 827 tanggal 25 Mei 1993 yang membentuk International Criminal Tribunal
for the Former Yugoslavia
o Resolusi 995 tanggal 8 November 1994 yang membentuk International Criminal
Tribunal for Rwanda
 DK menyatakan karena ada kejahatan di Rwanda dan menyebabkan political
disability didaerah Afrika, maka dibentuk pengadilan ICTR
 ICTY dan ICTR merupakan pengadilan adhoc yang dibentuk oleh DK.
o Resolusi DK PBB yang memaksa penangkapan paksa Charles Taylor
 Charles Tylor merupakan presiden di negara serylion dan dituduh
menyebabkan kejahatan perang. Awalnya kabur ke negara chad yang disana
presidennya adalah temannya. Tapi akhirnya dengan resolusi PBB yang
memaksa penangkapan charles, akhirnya negara chad mau menyerahkan dan
bisa diadili.
 Charles Taylor diadili oleh special court of serylion  pengadilan hybrid.
Hybrid merupakan pengadilan yang dibentuk berdasarkan kerjasama antara
nasional dengan DK PBB  gabungan mekanisme peradilan yang dibentuk
oleh hk nasional maupun hk internasionalnya. Bentuk kerjasama misalnya
bisa dalam bentuk human resources, kejahatan yang diadili oleh
pengadilannya.
 Resolusi DK bisa memberikan sanksi. Resolusi bisa memberikan kekuatan
mengikat, apabila tidak ditaati bisa diberikan sanksi yang diatur dalam pasal
41 PBB. Misal: embargo ekonomi.
o Resolusi DK PBB yang memaksa Sudan untuk mengekstradisi tersangka percobaan
pembunah terhadap Presiden Etiopia.

SOAL UJIAN

 Bagaimana Kasus Eichmann dan Kasus Belgium v. Senegal berkontribusi terhadap


pemahaman asas universal? Liat putusan ICJ tentang obligation.
Prinsip tanggungjawab negara, yaitu tanggungjawab negara untuk mengadili pelaku
kejahatan internasional, apabila negara sudah menerapkan convention against torture, maka
negara wajib akan konsekuensi untuk mengadili pelaku kejahatan internasional
 Apa hubungan asas universal dengan asas komplementer? Dan berikan contohnya

Sumber Hukum Pidana Internasional

Pasal 21 Statuta Roma: merupakan sumber hukum ICC yang bersifat hirarki  hukum utama

1. Law of ICC: Mengatur ICC sbg organisasi internasional dan mengatur ICC sbg pengadilan. ICC
adalah organisasi internasional yang berfungsi sebagai judicial organ
Termasuk:
a. Statuta roma: statuta roma berfungsi sebagai KUHP ICC (kejahatan ICC, alasan
penghapus pidana, alasan pembenar, alasan pemaaf)
b. Elements of crime: unsur2 delik. Dalam statuta roma pasal 5-8 mengatur kejahatan
yang bisa diadili ICC. Elements of crime menjabarkan unsur2 delik dari kejahatan yang
sudah diatur
c. Rules of procedure & evidence: rules of procedure seperti KUHAP ICC. Mengatur
prosedur hakim, proses pembuktian.
2. Perjanjian dan Aturan Hukum Internasional  hanya perjanjian internasional yang relevan.
Misal: Perjanjian internasional yang mengatur tentang HAM: convention against genocide,
against torture, geneva convention.
Perjanjian dalam konteks statuta roma ada 2 macam:
a. Statuta pengadilan: isinya seperti KUHP. Mengatur kejahatan apa saja yang dapat
diadili, pertanggugnjawaban pidana, yurisdiksi (alasan pembenar, pemaaf) dalam
artian berlaku bagi individu yang melakukan kejahatan internasional
b. Suppression convention: perjanjian yang ditujukan kepada negara, isinya merupakan
kewajiban terhadap negara. Misal: kewajiban untuk mencegah terjadinya keahatan
internasional, kewajiban memberikan reparasi bagi korban kejahatan itnernasional,
dsb. Mengarah pada batasan terhadap perilaku negara  negara tidak boleh
melakukan kejahatan internasional, tapi harus menanggulangi kejahatan (State
Responsibility)
Apa yang terjadi apabila suatu negara melanggar perjanjiannya, maka negara menjadi
liable.
Kasus: Serbia dan Bosnia. Genosida  ICT. Serbia melakukan negligance (pembiaran)
tahu ada kejahatan internasional tapi tidak melakukan apa-apa. Digugat ke ICC dan
dinyatakan bersalah karena tidak melakukan apa-apa.
Kebiasaan:
a. State practice: suatu tindakan yang dilakukan atas dasar kesopanan. Merupakan
courtesy
b. Opinio juris: kepercayaan bahwa suatu praktek negara adalah lawful, harus dilakukan
dan dia benar.
Dalam konteks hukum pidana itnernasional, seseorang bisa diadili berdasarkan hukum
kebiasaan yang mengesampingkan hukum tertulis. nulum crimen sine jure, seseorang bisa
diadili berdasarkan hukum kebiasaan dan bukan hukum tertulis. dalam hk pidana
internasional, hukum tertulis terbentuk berdasarkan hukum kebiasaan. Sebelum ada rome
statute, statuta pngadilan lainnya yang ada adalah hukum kebiasaan, banyak yang dari state
practice.
Contoh: furundzija  dituduh telah melakukan penyiksaan sebagai salah satu bentuk
kejahatan perang. Dalam ICTY, penyiksaan tidak diatur sebagai kejahatan perang. Tapi
menurut hakim ICTR termasuk kebiasaan dalam kejahatan perang. Maka menjadi tetap diadili.
Kejahatan perang adalah pelanggaran paling berat terhadap konvensi jenewa termasuk
hukum kebiasaan perang.
3. Prinsip/asas hukum.
Dapat mempunyai 2 fungsi, yaitu berfungsi sebagai metode penafsiran dan untuk mengisi
kekosongan hukum.
 Hukum pidana internasional merupakan intersection hukum pidana dan hukum
internasional.
 Asas-asas hukum banyak yang diambil dari hukum nasional. Tapi bukan berarti semua
asas hukum nasional bisa diterapkan dalam ICC.
Ada kriterianya, yaitu:
i. Suatu asas itu harus diakui oleh berbagai macam sistem negara (di negara
anglo saxon, eropa kontinental, islam law)  asas bersifat universal.
ii. Asas harus sesuai dengan tujuan peradilan pidana internasional. Yaitu tujuan
untuk mencapai keadilan, melindungi human dignity
iii. Suatu asas harus berlaku bagi seluruh kelompok masyarakat, termasuk
kelompok minoritas.
iv. Suatu asas harus beralasan dan mempertimbangkan HAM/kemanusiaan.
 Suatu asas hukum internasional memiliki 3 kemungkinan:
o Tidak berlaku sama sekali
Contoh: kadaluarsa  hak jaksa untuk menuntut. Dalam hukum pidana
internasional tidak ada namanya kadaluarsa, karena tidak sesuai dengan
prinsip hukum pidana internasional untuk menciptakan keadilan. Kadaluarsa
bertolak belakang dengan prinsip erga omnes.
o Berlaku tapi secara parsial karena mengalami penyimpangan.
Contoh:
 Asas legalitas. Aturannya tidak boleh menerapkan analogi. Tapi
dalam konsep hk pidana internasional, analogi diperbolehkan dalam
konteks menafsirkan “. inhumane acts”  termasuk kejahatan yang
diatur dalam Pasal 7 Statuta Roma huruf h. yang dimaksud adalah
kejahatan pidana yang mirip dengan huruf a-j, tapi ada elemen yang
membedakan.
Kasus  Brima. Diadili oleh Special Court of Serilion (SCSL). Jaksa
membuat dakwaan berdasarkan pemerkosaan (Rape), tapi menurut
hakim SCSL, perbuatan bukan termasuk pemerkosaan tapi other
inhumane acts. Karena brima tidak hanya melakukan pemerkosaan,
tapi juga menculik, memperkosa, dikawinkan, dan dipaksa untuk
berperan menjadi istri (perbuatan pidana mirip dengan
pemerkosaan, tapi ada unsur-unsur lain yang membedakan). Dalam
kasus ini analogi diterapkan.
Batas: analogi tidak boleh membuat aturan/kejahatan baru. Analogi
hanya boleh diterapkan sebagai metode penafsiran.
 Asas Non-Retroaktif (hukum tidak boleh berlaku surut): berdasarkan
statuta roma, ICC tidak boleh mengadili kejahatan internasional
sebelum statuta roma berlaku yaitu tanggal 1 Juli 2002.
Penyimpangan diatur dalam Pasal 12 (3) Declaration on the
Acceptance of ICC Jurisdiction. Konsekuensi hukum: negara ybs hanya
menerima jurisdiksi ICC untuk kasus tertentu.
Misal: terjadi kejahatan genosida di indonesia. Presiden bingung,
ingin membawa kejahatan ke ICC tapi juga tidak ingin menjadi negara
anggota tetap ICC. Kemudian presiden membuat Declaration
berdasarkan pasal 12 (3). ICC diberikan kewenangan mengadili
kejahatan pada tanggal sekian sampai sekian. Setelah selesai, ICC
tidak punya kewenangan mengadili lagi  yurisdiksi ICC hanya
berlaku sementara. Hal ini merupakan penyimpangan asas non
retroaktif.
 Asas nebis in idem. Penyimpangannya yaitu asas ini tidak berlaku jka
terindikasi adanya shame trial (ada proses peradilan, tapi hanya
untuk formalitas).
Misal: ada pelaku genosida yang merupakan pejabat tinggi negara,
tapi negara ybs tidak ada itikad baik mengadili. Jadi tidak ingin ICC
untuk mengadili, kemudian mengadili sendiri di pengadilan nasional,
akhirnya hanya diberikan pidana ringan  bukan bermaksud
mengadili pelaku tapi hanya untuk formalitas. Hal ini merupakan
salah satu indikasi adanya shame trial.
o Berlaku secara keseluruhan.
Contoh: asas actus reus dan mens rea  unsur-unsur delik selalu terbagi dua.
 Prinsip atau asas hukum juga bisa digunakan untuk mengkriminalisasi pelaku.
Contoh: kasus Furundzija dituduh melakukan pemerkosaan. Jaksa menggunakan
pasal pemerkosaan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Padahal dalam
kejahatan terhadap kemanusiaan harusnya kejahatan konvensional, tapi yang
dilakukan Furundzija bukan konvensional. Berdasarkan asas human diginity, jadi bisa
diadili karena menurut asas tsb semua kejahatan pemerkosaan itu tidak
diperbolehkan.
Asas ini bersifat menafsirkan bukan creating a new law.
4. Jurisprudensi: tidak mengikuti asas stare decisis. Tidak ada kewajiban bagi hakim ICC
mengikuti putusan2 sebelumnya.
 Stare dicisis: merupakan asas yang berlaku di negara anglo saxon, hakim harus patuh
terhadpa yurisprudensi hakim sebelumnya (Ada konsistensi penerapan hukum).
 Dalam Nuremberg trial, jurisprudensi berfungsi sebagai hukum utama karena pada
masa itu belum ada hukum pidana internasional  digunakan asas legalitas dan
commander respobsibility. Nuremberg yang pertama kali menemukan asas
commander responsibility (pertanggungjawaban atasan).
 Dalam hukum pidana internasional, pidana nya lebih berat yang merencanakan
daripada yang melaksanakan. Yang melaksanakan biasanya prajurit bawahan, yang
melaksanakan adalah atasan (prajurit tinggi), sehingga pidana nya yang lebih berat
adalah yang merencanakan.
 Irrelevance of office: ketidakrelevanan hk nasional saat dibawa ke hk internasional.
Menurut hakim Nuremberg, apabila ada seseorang yang diadili atas kejahatan
genosida, tapi orang tsb meng argue, negara tsb tidak mengkriminalisasi kejahatan
genosida. Menurut hakim, hukum nasional tidak relvan ketika dibawa ke hukum
pidana internasional.

Pasal 21 Statuta Roma mengakui International Standard of Human Rights

 Apabila terjadi penyimpangan terhadap suatu asas, harus tetap melindungi hak terdakwa.
 Antara crime control dan due process harus seimbang
 Segala proses ICC harus sesuai dengan HAM.

Asas-asas Hukum Pidana Internasional

Mas Akbar

Asas Hukum

 Bellefroid: pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat


 Van Elkema Hommnes: Asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang
konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi
hukum yang berlaku.
 Sudikno mertokusumo: asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit
melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari pedoman
yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang sistem hukum yang terjelma dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif
 Asas bersifat abstrak dan bukan merupakan norma yang konkrit. Sebagian besar asas tidak
diatur. Contoh: asas Lex Specialis derogat Legi Generali tidak diatur.
 Bagaimana jika dalam hk pidana? Seorang bapak memukul anaknya, memenuhi UU KDRT, UU
perlindungan anak, mana yang berlaku? Terdapat perbarengan atau tidak? ada perbarengan,
ketika ada peraturan umum bertemu peraturan lebih khusus, maka peraturan khusus yang
berlaku. Asas lex specialis dalam hukum pidana diatur dalam norma (bersifat idealis)  dalam
Pasal 63 (1) dan 63 (2)
 Asas pertanggungjawaban pidana  tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam KUHP tidak diatur.
Merupakan asas abstrak bukan norma konkrit.
 Mengapa dalam hukum pidana sebagian besar asas tertulis? karena dalam hukum pidana asas
utama adalah asas legalitas. Dengan asas legalitas memberikan pengaruh kepada asas-asas
lain menjadi lebih rinci.
 Hukum internasional lahir dari kebiasaan. Kemudian dibuat perjanjian atas dasar kebiasaan
yang dilakukan.
 Asas lebih pada international custom dimana lebih kepada abstrak dan bukan norma.
 Dalam statuta roma, hanya yang tertulis yang bisa menjadi asas. Tapi kalau membicarakan
hukum pidana internasional garis besar, itu tidak.

Asas Hukum Pidana Internasional

Secara garis besar, bersumber dari:

1. Bersumber dari Hukum Internasional


a. Asas hukum pidana internasional umum
i. Pacta sunt servanda: perjanjian internasional mengikat setiap negara pihak.
Contoh: statuta roma dibuat tahun 98. Belum berlaku tahun 98 karena harus
entry into force. Menurut vienna convention 1969, kalau membuat perjanjian
harus ada minimal ratifikasi (minimal adoption). Dalam statuta roma ada
minimal ratifikasi 60. Tahun 2002 baru mulai berlaku kepada semua negara
yang meratifikasi karena baru 60 negara terpenuhi pada tahun itu. Indonesia
tidak meratifikasi statuta roma. Sampai saat ini sudah diratifikasi 120 negara.
Apabila terjadi kejahatan antara tahun 98-2002, statuta roma tidak boleh
diterapkan karena hanya mengikat negara yang meratifikasi dan telah entry
into force.
Di indonesia, cara meratifikasi konvensi internasional kalau berpengaruh
secara umum harus dengan UU.
ii. Good faith: itikad baik.
iii. Civitas Maxima: yang menurut masyarakat internasional dianggap sbg hk
tertinggi bagi masyarakat internasional. Hal tsb wajib bagi masyarakat
internasional. Misal: genocide, crime against humanity. Sekalipun indo tidak
ratifikasi statuta roma, harus dianggap tidak setuju terhadap kejahatan2 tsb.
iv. Reciprocity: timbal balik/resiprokal. Jika negara ingin diperlakukan suatu hal
oleh negara lain, maka negara itu harus memberlakukan sama ke negara tsb.
Berlaku untuk semua konsep hukum.
Contoh: ekstradisi. Bom bali  australia minta penegakan hukum tegas
terhadap teroris. Kemudian indonesia melaksanakan. Maka, kalau ada WNI di
australi juga terkena teroris, maka australia juga harus menindak tegas pelaku
disana.
b. Asas hukum pidana internasional khusus
i. aut dedere aut punere: pengadilan yang berwenang mengadili kejahatan
internasional adalah negara dimana tempat kejahatan itu terjadi (locus
delicti). Kalau dalam KUHP merujuk pada asas teritorial.
Merujuk pada hukum internasional berdasarkan prinsip kedaulatan. Kalau
kejahatan terjadi di negara X, maka biarkan negara X yang mengadili
kejahatan tsb.
ii. Aut dedere aut judicare: setiap negara berwenang mengadili kejahatan
internasional. Dalam hk pidana indonesia, merujuk pada asas universal
(perluasan terakhir dari asas teritorial). Indonesia berwenang mengadili
kejahatan yang menurut masyarakat internasional dianggap sebagai
kejahatan internasional.
iii. Par in parem non hebet imperium: berkaitan dengan imunitas kepala negara.
2. Bersumber dari hukum pidana nasional
a. Asas legalitas
b. Asas teritorial
c. Asas nebis in idem

Aspek pidana dalam hk internasional: korupsi diatur dalam konvensi internasional.

Aspek internasional dalam hk pidana: misalnya berkaitan dg hk acara. Ada orang indonesia melakukan
pembunuhan di malaysia terhadap WN Inggris. Terdapat unsur internasional dalam pidana tsb
walaupun yg dipakai adalah hk nasional.

Asas Legalitas

 Lahir untuk melindungi warga negara


 Tujuan hukum pidana menurut aliranklasik: melindungi anggota masyarakat dari tindakan
yang sewenang-wenang
 Asas legalitas lahir pertama kali dari trias politica (montesquieu). Hukum hanya boleh dibuat
oleh legislatif, direview oleh yudikatif, dan dieksekusi oleh eksekutif.
 Dirumuskan pertama kali dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen
 Pengaturan tsb kemudian dijewantahkan dalam berbagai KUHP di berbagai negara.
o Pasal 4 Code Penal Perancis
o Pasal 1 WvS Belanda
o Pasal 1 ayat (1) KUHP
 Pengaturan asas legalitas dalam code penal perancis lebih komprehensif daripada hk pidana
indonesia (KUHP)
 Asas legalitas dalam RUU Hk Pidana sudah lebih kompleks daripada KUHP saat ini.
 Ada 3:
o Tiada pidana tanpa peraturan
o Tiada pidana tanpa kesalahan
o Tiada delik tanpa pidana
 Dalam statuta roma diatur 4 konsep (syarat-syarat asas legalitas):
o Nullum crimen, noela poena sine lege praevial (lex praevia): hukum tidak boleh
berlaku surut. Tidak boleh previously enforced.
 Perbuatan dan ancaman pidananya harus ditentukan terlebih dahulu
sebelum pidananya dilakukan.
o Nullum crimen, noela poena sine lege scripta (lex scripta): harus tertulis.
 Harus ditentukan dan dimasukan dalam peraturan perundang-undangan.
 Menjadi sulit dalam menentukan internasional custom apakah bisa menjadi
hk pidana internasional.
o Nulum crimen, noela poena sine lege certa (lex certa): harus jelas dan tegas (certain)
 Bagaimana dengan international custom? Harus didefinisikan.
o Nullum crimen, noela poena sine lege stricta (lex stricta): tegas.

Pengaturan di lingkup Indonesia

 Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945: non derogable rights (tidak dapat dikurangi
sebagaimana apapun)  pengaturan asas-asas legalitas tercantum dalam kelompok ini
o Ada 7 hak, salah satunya adalah hak tidak dituntut dengan hk yang berlaku surut.
o Ada ketentuan lex praevia dalam pasal ini.
 Pasal 1 ayat 1 KUHP
 Pasal 1 ayat 2 KUHP: pengecualian asas legalitas. Ada kemungkinan berlaku surut jika dan
hanya jika peraturan yang baru lebih ringan dari peraturan yang sebelumnya 
penyimpangan dalam KUHP
 Beberapa Putusan MK
o No. 13/PUU-I/2003, 22 Juli 2004  UU 16 Tahun 2003. MK setuju bahwa tidak boleh
pidana berlaku surut.
o No. 69/PUU-II/2004, 14 Februari 2005  Pasal 68 UU 30 Tahun 2002. Dikatakan
melanggar asas retroaktif. KPK bisa menyidik dan mengadili kasus korupsi sebelum
adanya KPK.
o No. 65/PUU-II/2004, 3 Maret 2005  UU 26 Tahun 2000. MK mengatakan
konstitusional berdasarkan UU pengadilan ham. Berkaca pada tokyo trial, nuremberg
trial, dsb.
 UU Pengadilan HAM: Sampai saat ini UU yang masih diberlakukan surut adalah UU pengadilan
HAM  pengecualian asas legalitas
 Diluar KUHP, pengecualian asas legalitas:
o Pelanggaran berat HAM dimungkinkan ada pidana khusus.
o Terorisme (dalam UU terorisme). Megawati mengeluarkan Perpu 1/2002 tapi tidak
berlaku surut. Kemudian, dibuat perpu 2/2002, yang memberlakukan surut perpu
1/2002.
o Perpu 1/2002 menjadi UU 15/2003 dan Perpu 1/2002 menjadi UU 16/2003. Terorisme
sudah tidak berlaku surut karena sudah dibatalkan putusan MK

Lingkup Internasional

 Article 11 Universal Declaration of Human Right: soft adoption di Indonesia dalam UU HAM.
o Tidak ada orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan tindak pidana
yang dinyatakan sebagai kejahatan menurut nasional atau international law.
o Seseorang hanya bisa dinyatakan melakukan tindak pidana apabila sudah diatur
dalam national atau international law
 Article 15 ICCPR: sudah diatur tentang asas legalitas.
 Bisa tidak mendakwa seseorang menggunakan konvensi internasional? KPK mendakwa Luthfi
dengan UICIC. Boleh saja, tapi tidak ada ancaman pidananya. Dalam asas legalitas harus ada
perbuatan dan ancaman pidananya.
o Kalau konvensi ratifikasi maka sudah berlaku. Ada juga yang berpendapat, perlu ada
peraturan pelaksanaan (implementing).

Prinsip-prinsip Umum Hukum Pidana dalam Statuta Roma

Art 22 Nullum Crimen Sine Lege

 Ayatl 1: Hanya yurisdiksi pidana yang dapat diadili oleh ICC yang diatur dalam statuta roma
 ICC hanya bisa mengadili perkara yang diatur sebagai yurisdiksi statuta roma.
 Yurisdiksi statuta roma hampir sama dengan yurisdiksi pengadilan HAM.
o Yurisdiksi pengadilan HAM 26/2000:
 Genosida
 Kejahatan terhadap kemanusiaan
o Yurisdiksi statuta roma:
 Genosida
 Kejahatan terhadap kemanusiaan
 Kejahatan perang
 Agresi
 Terorism ketika belum diatur dalam statuta roma, maka bukan yurisdiksi ICC. Walaupun
kejahatan kemanusiaan dilakukan dalam bentuk terorism, tapi tidak bisa masuk ICC kalau
tidak dilakukan secara sistematis.
 Ayat 2: Harus dikonstruksikan secara tegas dan tidak boleh dilakukan dengan analogi (lex
stricta). Bila terdapat ambiguitas dalam penafsiran, maka penafsirannya harus yang paling
meringankan bagi orang yang didakwa, dituntut, atau dipidana (“more favourable clause”)
o KUHP tidak mengatur terkait tidak boleh dilakukan analogi, hanya mengatur terkait
legalitas.
o Berbeda dengan pasal 22 ayat (2) yang mengatur secara tegas terkait analogi. Dalam
RUU KUHP sudah diatur terkait analogi
o Contoh: kejahatan kemanusiaan dapat dilakukan pembunuhan secara meluas dan
sistematis. Apakah itu pembunuhan berencana atau biasa? Dalam penafsiran,
pembunuhan berencana lebih meringankan karena lebih sulit dibuktikan oleh
penuntut umum.
 Ayat 3: asas legalitas pasal 22 tidak berlaku untuk semua TP internasional. Berlaku hanya
untuk pidana internasional yang ada dalam statuta roma saja.
o Kalau berlaku untuk semuanya akan sangat berat untuk melakukan pemidanaan
terhadap TP internasional lainnya.
 Pasal 22 menekankan bahwa asas legalitas hanya berlaku pada hukum pidana internasional
yang diatur dalam statuta roma. Tidak mempengaruhi semua TP internasional lainnya.
 Art 23 Nulla poena sine lege
o Konvensi inter against corruption sudah diratifikasi indo dengan UU 7/2006. Bisa tidak
konvensi internasional digunakan sebagai dakwaan alternatif di indo? Tidak bisa
karena tidak ada sanksi pidana, butuh implementing legislation sebagai sanksi
pidananya.
o Pasal 23 mengatur terkait ancaman pidana. Tidak boleh menggunakan hk nasional
apapun.
o Hanya dapat dipidana berdasar aturan statuta roma.
o Perbedaan mendasar dengan UU pengadilan HAM: di UU pengadilan ham ada pidana
mati, di statuta roma tidak ada hukuman pidana mati.
o Statuta roma merupakan statuta pertama yang mencakup aturan pidana.
o Kalau meratifikasi statuta roma, tidak perlu implementing legislation karena sudah
lengkap mencantumkan ancaman pidana
 Pasal 24 ayat (1): berlaku bukan ketika statuta roma disahkan tetapi ketika statuta roma
memiliki entry into force (tahun 2002 ketika sudah terpenuhi ratifikasi oleh 60 negara).
 Pasal 24 ayat (2): ada dalam pasal 1 ayat 2 kuhp. Ketika terdapat perubahan aturan, berlaku
yang paling meringankan. In the event of a change in the law appblicable, maka digunakan
aturan yang paling meringankan.
 Pengaturan asas legalitas berlaku kuat adlam konsep statuta roma

Legalitas Dalam Peradilan Adhoc

 Nuremberg Trial  Holocaust  Crimes against peace, war crimes, and crimes against
humanity
o Bila kalah perang, negara diadili di negaranya sendiri untuk menunjukan bahwa ia
kalah perang
o Saat itu belum ada konvensi itnernasional yg dapat menjerat crimes against peace
(kejahatan perang)
o Ketika jerman kalah, baru dibuat nuremberg charter  berlaku surut. Pembelaan dari
jerman adalah victory justice (keadilan untuk para pemenang perang karena
sebenarnya berlaku surut tidak boleh)
o Menuntut dengan melanggar asas legalitas adalah tidak adil, tapi tidak menghukum
pelanggar ham itu lebih tidak adil  tetap menghukum para pelanggar ham meskipun
melanggar asas legalitas
 Court of Tokyo  prinsip nullum crimen sine lege bukanlah prinsip keadilan, melainkan
kebijakan negara untuk melindungi masyarakat dari ketidakadilan.
o Jepang kalah, diadili di jepang. Kemudian dibuat Tokyo charter yang berlaku surut,
sama seperti nuremberg charter
o Ketika terdapat pelanggaran yang tidak melindungi masyarakat, maka boleh asas
legalitas dilanggar selama melindungi masyarakat itu sendiri.
 ICTY  resolusi DK PBB Th 1993  mengadili semua kejahatan sejak 1991
o Ada 4 tujuan: untuk mengadili pelanggar hukum internasional, memberikan keadilan
bagi korban, mencegah kejahatan lainnya, untuk mengembalikan kedamaian
o Dianggap sah2 saja karena untuk melindungi masyarakat
 ICTR.
o 3 yurisdiksi:
 Rationae materiae: Kejahatan thd kemanusiaan dan genosida
 Rationae temporis: Hanya yg terjadi th 94
 Rationae person: pelaku tentara ruanda dan tentara lain yang terlibat dalam
kejahatan ruanda.
 UU pengadilan ham menggabungkan statuta roma dan konsep peradilan adhoc. Dapat
membuat peradilan ad hoc untuk melanggar asas legalitas dengan merujuk pada ICTR dan
ICTY. Dalam sejarah, baru hanya melakukan penyimpangan untuk kasus timur leste saja.

Kesimpulan

 Asas legalitas hanya berlaku ketat pada statuta roma. Tidak berlaku ketat pada hukum pidana
nasional lainnya.
 Machteld Boot: asas legalitas pada hukum pidana nasional dan internasional tidak dapat
dipersamakan. Tidak semua hukum pidana internasional dikodifikasikan.
 Berkaitan dengan gross violence of human rights, dapat berlaku surut.
 Tidak bisa dipersamakan konsep pidana internasional dan pidana nasional.

Asas Teritorial

 Pasal 2 UU KUHP
 Pengecualian:
o Par in parem in hebet in perium: kepala negara. Duta besar dan konsul serta diplomat,
petugas lembaga internasional hanya bisa diadili di Indonesia.
o Pengecualian dalam statuta roma: Pasal 27 (1)  statuta roma berlaku kepada semua
orang tanpa ada perbedaan apapun, terutama berbasis pada kapasitas official jabatan
tertentu. Tidak dapat dibeda2kan. Dapat menjerat bahkan presidennya, sehingga
banyak negara yang tidak meratifikasi. Kalau sudah ratifikasi, tidak dapat dibeda2kan
setiap orang, semuanya tetap dapat dijerat.

Perluasan Asas Teritorial

1. Perluasan teknis subjektif & objektif


Contoh: perbuatan tsb dilakukan di indo berakhir di malaysia. Secara subjektif indo
berwenang mengadili karena kejahatan terjadi di malaysia. Tapi malaysia jg berwenang
mengadili karena berakhir di indo
2. Perluasan berdasarkan kewarganegaraan aktif & pasif
Contoh: Orang indo membunuh orang malaysia di singapore. Negara mana yang berwenang
mengadili? Singapore berdasarkan asas teritorial. Indonesia berwenang kalo pake asas
nasionalitas aktif. Malay berwenang kalo pake nasionalitas pasif.
Yang paling tinggi adalah asas teritorial. Kalo indo mau mengadili, harus req ke singapore
untuk ekstradisi pelaku ke indo.
Kasus bom bali  indo mengadili, sebenarnya australia juga berhak mengadili. Tapi australia
tidak mau mengadili karena tidak punya pidana mati. Menyerahkan pada indo untuk
mengadili pelaku.
3. Perluasan berdasarkan prinsip proteksi: berdasarkan kepentignan nasional. Berhak diadili di
negara apapun asal punya kepentingan nasional.
4. Perluasan berdasarkan prinsip universal: setiap negara berwenang untuk mengadili.
Dalam konsep statuta roma, tidak sepenuhnya semuanya bisa digunakan.

Double criminality principle berlaku  berlaku dimana semua negara tersebut diatur sebagai tindak
pidana, maka prinsip ini bisa berlaku. Contoh: di belanda ganja sah kalau untuk rekreasi. Kemudian ke
indo menggunakan ganja, apakah dapat dipidana? Tidak, berlaku prinsip double criminallity.

Art 12 Jurisdiction Statuta Roma

 Asas teritorial paling tinggi konsepnya.


 Ayat (1): Walaupun suatu negara tidak meratifikasi statuta roma, tapi kalau pergi ke negara
yang merupakan yurisdiksi ICC, maka ICC berwenang untuk mengadili pelaku tersebut.
o Contoh: WN C (neg C tidak ratifikasi ICC), melakukan pembunuhan di neg A. bisa diadili
ICC karena berada di neg A yang meratifikasi ICC.
o Ketika sudah ratifikasi, dimanapun WN neg tsb melakukan TP, maka bisa diproses.
 Pasal 12 ayat (2):
o Di negara F ada kapal negara B. kemudian F menyerang B. walaupun F meratifikasi,
tapi tetap ICC yang berwenagn mengadili karena masih berada dalam yurisdiksi ICC.
 Statuta roma menggunakan prinsip perluasan konsep nasional aktif.
o Misal: negara E mau invasi negara D. sekalipun D bukan pihak ICC, tapi karena E
merupakan negara ICC, maka siapapun dari negara E berwenang diadili ICC sekalipun
melakukan kejahatan bukan di negara ICC.
o Tidak menggunakan prinsip nasional pasif.
 Contoh: ketika C (bukan ICC) ingin menyerang neg D (bukan ICC). Di neg D ada
rumah dimana WN B (B itu negara ICC) tinggal dan diserang sehingga mati.
ICC tidak bisa mengadili sekalipun ada WN B yang terbunuh karena sejak awal
menyerang tidak ada tujuan membunuh B
 Acceptance  Request ICC.
o Kalau misal suatu negara merasa negaranya terlalu kecil, kemudian meminta negara
yang yurisdiksi ICC lain untuk mengadili, maka bisa dilakukan selama ada penerimaan.

Ne Bis in Idem

 Pasal 76 KUHP: seseorang tidak dapat diproses pada suatu peradilan apda perkara yang sama
 Didasarkan pada 2 konsep:
o Nemo debet bis vexari
o Nihil in lege intolerabillius et quam eandem rem diverso jure censeri
 Reasons:
o Res judicata in criminal
o HAM: setiap perkara harus ada kejelasan. Melindungi agar seseorang tidak diadili
berulang2.
o Kepastian hukum: supaya seseorang bisa lega
 Dalam hukum indonesia, nebis in idem tidak ada pengecualiannya.
 Dalam statuta roma, nebis in idem ada pengecualiannya.

Art 20 Ne bis in Idem

Pengaturan dalam 3 pasal. ICC berbeda dengan pengadilan lain, dimana ada pengadilan lagi di tingkat
nasional (pengadilan ham indo) dan regional (european court of human rights, pengadilan ham afrika)

1. Pengadilan tidak boleh mengadili sesuatu yang sudah diadili pengadilan (the court)
 Berbicara ICC
 Kalau ICC sudah mengadili, maka ICC tidak boleh mengadili kembali.
2. Berkaitan dengan pengadilan lain (another court, baik regional, nasional, maupun lokal).
 Kalau ICC sudah mengadili, another court (pengadilan lainnya) tidak boleh mengadili
lagi
3. Siapapun yng sudah diadili di pengadilan lain, tidak boleh diadili di ICC.
 Pengecualian: walaupun pengadilan HAM indo boleh mengadili, ICC tetep boleh
mengadili. Asal terpenuhi 2 syarat:
i. Tujuan pengadilan tersebut saat mengadili adalah untuk shielding the persons
(melindungi orang yang didakwa). Contoh: pengadilan HAM indo mau
melindungi panglima jend TNI untuk bebas. Maka ICC bisa mengadili.
Apabila another court tsb terkesan untuk membebaskan, melindungi maka
bisa ICC mengadili.
ii. Pengadilan dianggap not independent/not impartial. Dalam ICC harus menilai
terlebih dahulu, melindungi atau dianggap not independent. Jaksa harus bisa
membuktikan pengadilan melakukan hal tsb. Jika dibuktikan, dalam konsep
ICC disebut sbg “unable” (tidak mampu)
 Ketika dianggap unable, maka berlaku ICC  dianggap unable karena ada konflik
interest dengan pelaku. Sehingga ICC boleh mengadili walaupun sudah dibebaskan.

Anda mungkin juga menyukai