Anda di halaman 1dari 21

A.

Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Pidana Internasional


sebagai Disiplin Hukum.
Bertolak belakang dari pertumbuhan dan perkembangan tindak
pidana internasional dan kebutuhan pengaturan, hukum pidana
internasional sebagai disiplin ilmu mulai naik ke permukaan.
Pertumbuhan dan perkembangan hukum pidana internasional
sebagai disiplin ilmu ini berasal dari dua sumber hukum
internasional, yakni: 1. Hukum kebiasaan internasional (custom); dan
2. Perjanjian-perjanjian internasional (treaties).1 Berikut beberapa
bukti relevan yang telah dicari oleh Schwarzenberger mengenai
keberadaan hukum pidana internasional yang didasarkan atas kedua
sumber hukum di atas, yaitu:
1. Hukum Kebiasaan Internasional.2
Bukti-buktinya berupa putusan-putusan Mahkamah
Internasional dan praktik negara Inggris terkait masalah
yurisdiksi kriminal, khususnya di laut. Namun dalam semua
putusan Mahkamah ini, tidak ada satu ketetapan yang
menentukan bahwa suatu negara telah melakukan kejahatan
(international crimes). Salah satunya adalah putusan Mahkamah
Internasional dalam kasus Corfu Channel (1949), putusan ini
pokoknya menetapkan bahwa pemerintah Albania ‘bertanggung
jawab atas kesalahannya’ yang tidak berupaya sama sekali untuk
mencegah kapal-kapal Inggris agar tidak melewati ranjau di
bawah laut Albania, kesalahannya ini mengakibatkan
meninggalnya banyak awak kapal serta rusaknya kapal-kapal
milik Inggris (merupakan International Tort, mengandung aspek
keperdataan bukan kejahatan); dan
2. Perjanjian-Perjanjian Internasional
Scharzenberger mengajukan beberapa bukti dari praktik
perjanjian internasional yang dapat menunjukan perkembangan
kelahiran hukum pidana internasional, yakni:
1
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Cet. Ke-6, Bandung: Refika
Aditama, 2019, hlm. 8
2
Ibid., hlm. 9
a. Perjanjian mengenai Piracy (pembajakan di laut).3
Schwarzenberger mengajukan beberapa perjanjian mengenai
Piracy, yakni: a. Jay Treaty (1794) antara Kerajaan Inggris dan
Amerika Serikat; b. Deklarasi Wina (1815); dan c. Nyon
Agreement (1937). Tiga perjanjian ini merupakan bukti bahwa
masyarakat internasional sudah menyadari dan mengakui
adanya tindakan perorangan atau negara yang dapat
dipandang sebagai kejahatan internasional meskipun tidak
terdapat satu ketentuan pun yang menegaskan pelaku
tindakan piracy sebagai subjek hukum pidana internasional
maupun pertanggung jawaban pidana (merupakan
pertanggung jawaban perdata atau tort liability). Selanjutnya,
piracy ditentukan telah mempertemukan dan membuktikan
relevansi dan interelasi antara hukum pidana nasional dan
hukum internasional;

b. Yurisdiksi Kriminal dari Badan-Badan Internasional.4


Keberadaan badan-badan internasional ini ditunjukkan oleh
putusan dari Komisi Internasional terkait kasus mengenai
sungai Rhein dan Elbe, Gabungan Pengadilan Mesir dan
Tamgier di Afrika sampai tahun 1949, dan Liga Bangsa-
Bangsa dengan Pasal 16 Piagam LBB, bahwa pelanggaran
terhadapnya adalah tindakan perang terhadap negara anggota
lain meskipun tidak ditentukan sebagai kejahatan
internasional;

c. Konvensi menetang Terorisme.5


Tepatnya adalah Konvensi tentang Pencegahan dan
Penghukuman terhadap Terorisme (1937) yang menentukan
kewajiban-kewajiban negara peserta untuk menetapkan tindak
pidana terorisme sebagai suatu tindakan yang memiliki
3
Ibid., hlm. 9-10
4
Ibid., hlm. 10
5
Ibid., hlm. 11
karakter internasional. Selanjutnya terorisme ditentukan
sebagai kejahatan yang berdimensi internasional atau
transnasional; dan
d. Hukum Internasional di Dalam Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-Bangsa.6
Dalam kerangka kerja ini, pelanggaran terhadap sumber
hukum internasional dapat berupa pelanggaran dalam bentuk
international crimes atau international torts (international
delinquencies). Pokok dari International Crimes ini seperti
kejaharan biasanya, yaitu: perbuatan, kesalahan, pertanggung
jaawaban dan pemidanaan.

Bukti-bukti di atas telah mendorong tumbuhnya hukum pidana


internasional sebagai cabang ilmu hukum, tetapi awal perhatian dan
perkembangan progresif akan keberadaan hukum pidana
internasional adalah setelah diadakannya proses peradilan para
penjahat Perang Dunia II, yaitu ther Nuremberg Trial (1946) dan
diikuti oleh the Tokyo Trial (1948). Banyak kritik diberikan, salah
satunya terkait dengan masalah yurisdiksi dari Nuremberg Trial. Hal
ini diatasi dengan adanya pengakuan resmi dari Majelis Umum PBB
melalui Resolusi tanggal 11 Desember 1946. Sebelumnya terhadap
dikesampingkannya asas legalitas, Pengadilan berpendapat bahwa
semua tertuduh sudah seharusnya mengetahui bahwa tindakan
mereka melawan hukum dan merupakan penyimpangan terhadap
hukum internasional. Mengenai kejahatan yang menjadi yurisdiksi
pengadilan ini adalah kejahatan terhadap perdamaian (crimes against
peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity).7

Keberadaan proses peradilan ini menentukan banyak dampak, salah


satunya adalah pertanggung jawaban individu secara pidana dalam

6
Ibid., hlm. 11
7
Ibid., hlm. 11-12
tingkat internasional. Uraian terkait ini ditunjukan oleh Pendapat
Pengadilan Nuremberg mengenai penuntutan dan penjatuhan pidana
terhadap perorangan, yaitu sebagai berikut:8
“crimes against international law are commited by men, not by
abstract entities, and only by punishing individuals who commit such
crimes can the provisions of international law be enforced”.

Setelahnya, bentuk kejahatan pun berkembang dari unsur kejahatan


terhadap kemanusiaan, yaitu “..persecutions on racial or religious
grounds..” menjadi apa yang dikenal dengan Genosida dan berikutnya
secara tegas diatur tersendiri dalam Convention on the Prevention and
Punishment of the Crime of Genocide 1948.9 Selain bukti-bukti yang
bersifat praktis ini, banyak juga penyebutan pengertian istilah
International Criminal Law dalam berbagai textbook internasional.
Salah satunya adalah textbook yang berjudul International Criminal
Law oleh Mueller and Weise (1950). Rekam jejak yang terdirikan atas
berbagai bukti di atas ini menunjukkan bahwa embrio hukum pidana
internasional sebagai disiplin ilmu sudah terbentuk jauh sebelum
pembentukan PBB.10

Mengenai hukum pidana internasional sebagai disiplin ilmu, hukum


pidana internasional memiliki dan telah memenuhi empat unsur,
yaitu sebagai berikut beserta dengan penjelasannya:
1. Asas hukum pidana internasional11
a. Asas-asas hukum yang bersumber pada hukum internasional
Asas ini terbagi lagi ke dalam dua jenis, yaitu:
1) Asas umum, maksudnya adalah asas pacta sunt servada;
dan 2) Asas khusus, yaitu: asas au dedere au punere dan asas
au dedere au judicare. Kedua asas ini bersifat saling
melengkapi satu sama lain/complementary.
8
Ibid.
9
Muljono, “Kejahatan Genosida Dalam Persfektif Hukum Pidana Internasional”, Jurnal Gema
Keadilan, Vol. 7, Ed. III, 2020, hlm. 121
10
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Op.cit., hlm. 13
11
Ibid., hlm. 14
Asas au dedere au punere (Hugo Grotius) berarti bahwa
terhadap pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana
oleh negara tempat Locus delicti terjadi dalam batas territorial
negara tersebut atau diserahkan atau diekstradisikan kepada
negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili
pelaku tersebut.

Asas au dedere au judicare (Bassiouni) berarti bahwa setiap


negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku
tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk
melakukan kerja sama dengan negara lain di dalam
menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili pelaku
tindak pidana.

b. Asas-asas hukum yang bersumber pada hukum pidana


nasional
Asas hukum yang dimaksud adalah asas legalitas, asas
territorial, asas nasionalitas pasif dan aktif, asas universal,
asas non-retroaktif serta asas ne bis in idem atau non-bis in
idem. Menurut Romli Atmasasmita, asas terpenting dan sering
menjadi sumber konflik yurisdiksi kriminal antara negara
dalam praktik adalah asas territorial dan asas perlindungan.

2. Kaidah-kaidah hukum pidana internasional12


Kaidah-kaidah hukum yang dimaksud adalah konvensi-konvensi
internasional tentang kejahatan internasional dan perjanjian-
perjanjian internasional serta ketentuan-ketentuan lain mengenai
kejahatan internasional.

3. Proses instrumen penegakkan hukum pidana internasional13

12
Ibid.
13
Ibid., hlm. 15
Poin ini meliputi ketentuan-ketentuan hukum internasional
mengenai prosedur penegakan hukum pidana internasional dan
institusi penegak hukumnya. Prosedur penegakan hukum pidana
internasional terbagi ke dalam dua cara, yakni:
a. Direct enforcement system: Penegakan hukum pidana
internasional secara langsung memilki dua tujuan, yaitu: 1)
untuk melaksanakan pembentukan suatu Mahkamah Pidana
Internasional; dan 2) suatu upaya untuk mengajukan tuntutan
dan peradilan terhadap pelaku tindak pidana internasional
melalui Mahkamah Pidana Internasional.
b. Indirect enforcement system: Penegakan hukum pidana
internasional secara tidak langsung adalah suatu upaya
mengajukan tuntutan dan peradilan terhadap para pelaku
tindak pidana internasional melalui undang-undang nasional.
Dapat dilakukan melalui kerja sama internasional, seperti
ekstradisi, mutual legal assistance treaty atau judicial
assistance treaty antar dua negara atau lebih.

4. Objek hukum pidana internasional14


Objek hukum pidana internasional adalah tindak pidana
internasional atau kejahatan internasional yang telah diatur
dalam konvensi-konvensi internasional.

B. Pengertian, Ruang Lingkup dan Tujuan Hukum Pidana


Internasional.
Rolling membedakan pengertian atau definisi antara hukum pidana
nasional dan hukum pidana internasional serta hukum pidana
supranasional, yaitu sebagai berikut:
1. Hukum pidana nasional menurut Rolling adalah hukum pidana
yang berkembang di dalam kerangka orde peraturan perundang-
undangan nasional dan dilandaskan pada sumber hukum
nasional;

14
Ibid.
2. Hukum pidana internasional adalah hukum yang menentukan
hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap
kejahatan-kejahatan yang nyata telah dilakukan bilamana
terdapat unsur-unsur internasional di dalamnya; dan
3. Hukum pidana supranasional adalah hukum pidana dan
masyarakat yang lebih luas besar terdiri dari negara dan rakyat
berarti standar hukum pidana yang telah berkembang di dalam
kumpulan masyarakat tersebut.

Lalu menurut Antonio Cassese, hukum pidana internasional adalah


aturan-aturan internasional yang dibuat untuk
melarang/menghukum kejahatan internasional sekaligus mewajibkan
negara-negara untuk menuntut dan menghukum setidaknya sebagian
dari kejahatan-kejahatan tersebut.

Selain Rolling dan Antonio C., Bassiouni juga mengemukakan definisi


dari hukum pidana internasional, bahwa definisi ini menunjukkan
arti dan peranan serta relevansi dua cabang ilmu hukum (hukum
pidana nasional dan hukum internasional). Menurut Bassiouni,
hukum pidana internasional adalah suatu hasil pertemuan pemikiran
dua disiplin hukum yang telah muncul dan berkembang secara
berbeda serta saling melengkapi dan mengisi. 15 “Dua disiplim ilmu”
yang dia maksud adalah aspek-aspek hukum pidana dari hukum
internasional dan aspek-aspek internasional dari hukum pidana.

Aspek hukum pidana dari hukum internasional yang disebut


Bassiouni adalah “komponen substantif” hukum pidana
internasional, yaitu kejahatan internasional atau tindak pidana
internasional, yang memiliki arti sebagai tingkah laku atau tindakan
yang dilakukan oleh perorangan sebagai pribadi atau dalam kapasitas
sebagai perwakilan atau kolektif/kelompok yang melanggar

15
Ibid., hlm. 27
ketentuan-ketentuan internasional dan dapat diancam dengan
pidana.16

Sedangkan mengenai aspek internasional di dalam hukum pidana


internasional, Basiiouni menentukannya sebagai aspek-aspek sistem
hukum internasional dan sistem hukum nasional yang mengatur
kerja sama internasional di dalam masalah-masalah kejahatan yang
melibatkan perorangan, yang melanggar hukum pidana dari negara-
negara tertentu, hal ini ditentukan sebagai “komponen prosedural”
yakni metode aplikasi hukum pidana internasional. 17 Urain mengenai
definisinya dapat digambarkan dalam table di bawah, yaitu sebagai
berikut:18
International Criminal Law Components
Subtantive Procedure
The criminal law aspect of The international aspect of the
international national criminal law:
1. Pasal 11 UUD 1945;
International Conventions (TDC) 2. UU No. 1 Tahun 1979 tentan
Ekstradisi;
International Crimes (ICC Rules) 3. Mutual Legal Assistance in
criminal matters dengan negara
lain;
4. KUHAP (Pasal 86);
5. UU Ratifikasi, seperti
Konvensi anti Penyiksaan dan
Konvensi anti diskriminasi.

Selanjutnya ada Edward M. Wide yang menentukan bahwa pengertian


hukum pidana internasional itu terbagi ke dalam tiga topik, yakni:

16
Ibid.
17
Ibid., hlm. 27-28
18
Lihat Tabel II dalam Romli Atmasasmita, “Pengantar Hukum Pidana Internasional”, Cet. Ke-6,
Bandung: Refika Aditama, 2019, hlm. 28
1. Mengenai kekuasaan mengadili dari pengadilan negara tertentu
terhadap kasus-kasus yang melibatkan unsur-unsur asing.
Termasuk kepada pengertian ini adalah masalah-masalah terkait
yuridiksi kriminal, pengakuan putusan-putusan pengadilan asing
dan bentuk-bentuk kerja sama dalam penanggulangan
kejahatan.19 Dari Bassiouni terkait dengan unsur asing ini ada
tiga kriteria untuk menetapkan lingkup pengertian unsur asing,
yaitu sebagai berikut:20 a. tindakan yang memiliki dampak atas
lebih dari satu negara; atau b. menyangkut lebih dari satu
kewarganegaraan; atau penggunaan sarana dan prasarana yang
melampai batas-batas satu negara atau lebih dari satu negara.

2. Mengenai prinsip-prinsip hukum publik internasional yang


menetapkan kewajiban pada negara-negara yang yang dituangkan
di dalam hukum pidana nasional atau di dalam hukum acara
pidana nasional. Kewajiban-kewajiban internasional yang
dimaksud ini ada dua, yakni: a. kewajiban untuk menghormati
hak-hak asasi seseorang tersangka; atau b. kewajiban untuk
menuntut dan memidana pelaku-pelaku tindak pidana
internasional.21

3. Mengenai arti sesungguhnya dan keutuhan pengertian hukum


pidana internasional termasuk instrumen-instrumen yang
mendukung penegakan hukum pidana internasional.22 Dewasa
ini, penegakan hukum pidana internasional secara langsung
dilakukan oleh International International Court (ICC), beserta
dengan Hakim dan Penuntut Umumnya.

Untuk ruang lingkupnya, hukum pidana internasional meliputi empat


obejk studi, yaitu sebagai berikut:

19
Ibid., hlm. 29
20
Ibid., hlm. 30
21
Ibid., hlm. 29
22
Ibid.
1. Tindak pidana internasional sejarah perkembangan, konsepsi, dan
konvensi-konvensi internasional yang berkaitan erat dengan
tindak pidana internasional;
2. Masalah yurisdiksi kriminal atas tindak pidana internasional;
3. Prosedur penegakan hukum pidana internasional termasuk
masalah perkembangan kerja sama bilateral dan multilateral di
dalam mencegah dan memberantas tindak pidana internasional;
dan
4. Instrumen penegakan hukum pidana internasional.

Mengenai tujuannya, hukum pidana internasional ditujukan untuk


melindugi “peace, security and the well-being of the world” atau
kedamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia. Perdamaian dunia
dan keamanan internasional adalah dua nilai dari komunitas
internasional yang menjadi dasar dari hukum pidana internasional
yang sekaligus menjadi tujuan utama dari Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Kedamaian tidak dibatasi pada tidak adanya konflik militer
antar negara, tetapi kondisi di suatu negara tertentu. Maka dari itu,
perdamaian dunia ini dapat diasumsikan telah terancam apabila di
suatu negara telah terjadi pelanggaran HAM berat. Kesejahteraan
dunia ditentukan sebagai objek perlindungan yang terpisah dari
kedamaian dan keamanan, karenanya alokasi dari kebutuhan akan
hidup yang sejahtera dimasukkan sebagai pedoman tambahan untuk
penerapan dan interpretasi Statuta ICC.23

C. Kejahatan Internasional dan Transnasional dalam Era Globalisasi.


1. Kejahatan Internasional
International crimes atau kejahatan internasional perlu dibedakan
dengan International Delinquencies, Bahwa international delinquencies
bukanlah merupakan suatu kejahatan, karena negara yang dianggap
delinkuen tidak dapat dihukum dan sekalipun pertanggunjawaban

23
Gerhard Werle, Principles of International Criminal Law, TMC Asser Press, 2005, hlm. 28
dapat dipaksakan hanyalah sebatas untuk memperbaiki tindakan
yang tidak benar.24

Terkait dengan kejahatan internasional, Bassiouni mengemukakan


bahwa tindak pidana internasional adalah setiap tindakan yang
ditetapkan dalam konvensi-konvensi multilateral dan diikuti oleh
sejumlah tertentu negara-negara peserta sekalipun di dalamnya
terkandung salah satu dari kesepuluh karakteristik pidana (penal
characteristic of international crimes). Sepuluh karakteristik pidana ini
terdiri atas:25
a. Pengakuan secara ekplisit tindakan-tindakan yang dipandang
sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional;
b. Pengakuan secara implisit sifat-sifat pidana dari tindakan-
tindakan tertentu dengan menetapkan suatu kewajiban untuk
menghukum, mencegah, menuntut, menjatuhi hukuman atau
pidananya;
c. Kriminalisasi atas tindakan-tindakan tertentu;
d. Kewajiban atau hak untuk menuntut;
e. Kewajiban atau hak untuk memidana tindakan tertentu;
f. Kewajiban atau hak mengekstradisi;
g. Kewajiban atau hak untuk bekerja sama di dalam penuntutan,
pemidanaan, termasuk bantuan judisial di dalam proses
pemidanaan;
h. Penetapan suatu dasar yurisdiksi kriminal;
i. Referensi pembentukan suatu pengadilan pidana internasional;
dan
j. Penghapusan alasan-alasan perintah atasan.

Menurut Bassiouni, penetapan 22 jenis kejahatan internasional


disebabkan oleh beberapa pertimbangan sebagai dasar penetapan,
yaitu:26 a. Konvensi internasional; b. Pengakuan berdasarkan hukum
24
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Op.cit., hlm. 35
25
Ibid., hlm. 37-38
26
Ibid., hlm. 43-44
kebiasaan internasional; c. Pengakuan berdasarkan prinsip-prinsip
umum hukum internasional; dan d. Larangan oleh perjanjian-
perjanjian internasional.

Selanjutnya, Edward M Wise meyebutkan kejahatan internasional


sebagai crimes against international law membaginya ke dalam dua
macam, yaitu:
a. Offences of international concern (hukum internasional
mewajibkan semua negara untuk menuntut dan menghukum
kejahata-kejahatan dimaksud dengan hukum nasionalnya); dan
b. Crimes under international law (perbuatan-perbuatan yang
dinyatakan sebagai kejahatan menurut hukum internasional dan
karenanya dimintai pertanggung jawaban secara individual).
Istilah crimes under international law ini ditemukan dalam
Gerhard Werle (2005) yang menentukannya sebagai berikut:27

“crimes under international law are all crimes that involve direct
individual criminal responsibility under international law.”

Artinya, kejahatan menurut hukum internasional adalah semua


kejahatan yang melibatkan tanggung jawab pidana individu langsung
menurut hukum internasional. Kejahatan yang dimaksud adalah
kejahatan perang (war crimes), crimes against humanity (kejahatan
terhadap kemanusiaan), genocide (genosida) dan the crimes of
aggression. Kejahatan-kejahatan ini ditentukan sebagai core crimes
atau the most serious crimes of concern to the international community
as a whole, merupakan yurisdiksi dari ICC sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 5 Statuta Roma.28

Ditegaskan kembali, kejahatan narkotika atau terorisme bukanlah


kejahatan menurut hukum internasional ini (terbatas pada Pasal 5

27
Ibid., hlm. 25
28
Ibid., hlm. 26
Statuta Roma). Bahkan dalam upaya untuk memperluas yurisdiksi
ICC yang dibatasi pada empat kejahatan, kejahatan terorisme ini
gagal mendapatkan suara suara mayoritas saat konferensi Roma.
Satu-satunya cara agar terorisme dapat masuk sebagai yuridiksi ICC
adalah ketika terorisme memenuhi prasyarat-prasyarat dari
kejahatan internasional inti atau international core crimes seperti
cirmes againts humanity atau war crimes, sehingga sifatnya dependan
atau bergantung terhadap keadaan-keadaan yang ada secara
kasuistis.29

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Internasional


Menurut perkembangan dan asal usul tindak pidana internasional,
eksistensi tindak pidana internasional dapat dibedakan menjadi:30
a. Tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan yang
berkembang di dalam praktik hukum internasional, seperti
tindak pidana pembajakan, kejahatan perang, dan tindak
pidana perbudakan.
b. Tindak pidana internasional yang berasal dari konvensi-
konvensi internasional, baik tindak pidana internasional yang
ditetapkan dalam satu konvensi internasional aja (subject of a
single convention) dan tindak pidana internasional yang
ditetapkan oleh banya konvensi (subject of a multiple
conventions).
c. Tindak pidana yang lahir dari sejarah perkembangan konvensi
mengenai hak asasi manusia. Hal ini ditentukan sebagai efek
dari Perang Dunia II yang memakan banyak korban dari pihak
masyarakat sipil (non-combatant) dan lain sebagainya. Setelah
perang dunia kedua, Mahkamah Internasional (international
military tribunal di Nuremberg) dilakukan dengan dasar Piagam
London yang menetukan beberapa kejahatan sebagai

29
Ibid., hlm. 27
30
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Op.cit., hlm. 40-41
yurisdiksinya, yaitu crimes againts peace, war crimes dan
crimes againts humanity.

Selanjutnya Edward M Wise menentukan kejahatan internasional


yang wajib ditindak oleh suatu negara, ia mengklasifikasikannya
kepada 3 jenis yang didasarkan pada degree of official involvement in
the conduct constituting crime yaitu:31
a. Violations of international norms directed towards restraining the
conduct of state officials acting under color of law (Pelanggaran
norma-norma internasional yang diarahkan untuk membenahi
perilaku pejabat negara untuk bertindak sesuai dengan
hukum). Misalnya, kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan
terhadap kemanusiaan, genosida, apartheid dan penyiksaan.
Dalam kejahatan seperti ini umumnya selalu ada
penyalahgunaan kekuasaan, sehingga terjadinya monopoli
kekerasan yang diperintahkan oleh pejabat negara atau pejabat
quasi-state. Oleh karena itu, tidak mutlak berupa tindakan
negara atau konflik bersenjata.
b. Crimes associated with terrorist activities (kejahatan yang terkait
dengan kegiatan teroris). Misalnya, piracy, hostage taking dan
aircraft hijacking serta sabotage.
c. Acts of private individuals that have been subjected to treaty
prohibition (tindakan individu yang melanggar ketentuan dalam
suatu perjanjian). Seperti terlibat dalam lalu lintas perdagangan
transnasional terkait dengan komoditas ilegal, yaitu narkotik,
spesies terancam punah, pornografi dan lain sebagainya
termasuk perdagangan orang. Selain itu, karena seorang
individu telah terlibat dalam upaya yang merusak kepentingan
bersama dari banyak negara seperti, overfishing, polusi di laut,
penyelahgunaan pos, pemalsuan uang dan lain sebagainya.

31
Edward M Wise dan Ellen S. Podgor, International Criminal Law: Cases and Materials, Lexis
Publishing, 2000, hlm. 497-498
3. Elemen atau Kriteria Tindak Pidana Internasional32
a. Unsur Internasional
1) Direct threat to the world peace and security (ancaman
secara langsung atas perdamaian dan keamanan di dunia);
2) Indirect threat to the wolrd peace and security (ancaman
secara tidak langsung atas perdamaian dan keamanan di
dunia);
3) Shocking to conscience humanity (menggoyahkan perasaan
kemanusiaan).
b. Unsur Transnasional
1) Conduct affecting more than one state (tindakan yang
memiliki dampak terhadap lebih dari satu negara);
2) Conduct including or affecting citizens of more than one state
(tindakan yang melibatkan atau memberikan dampak
terhadap warga negara lebih dari satu negara); dan
3) Means and methods transcend national boundaries (sarana
dan prasarana serta metoda-metoda yang dipergunakan
melampaui batas-batas territorial suatu negara).
c. Unsur Necessity atau kebutuhan
 Cooperation of states necessary to enforce (kebutuhan akan
kerja sama antar negara-negara untuk melakukan
penanggulangan).

4. Kejahatan Transnasional
I Wayan Parthiana menggunakan istilah kejahatan transnasional
untuk menunjukkan adanya kejahatan nasional yang mengandung
aspek transnasional atau lintas batas wilayah negara satu dengan
yang lainnya terkait dengan tempat terjadi, akibat-akibat yang
ditimbulkan ataupun tujuan kejahatan itu sendiri. 33 Terkait dengan
32
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Op.cit., hlm. 47
33
Shinta Agustina, “Perdagangan Perempuan Dan Anak Sebagai Kejahatan Transnasional:
Permasalahan dan Penanggulangannnya di Indonesia”, Jurnal Hukum Projusticia, Vol. 26, No.
elemen tindak pidana internasional di atas, kejahatan internasional
adalah kejahatan yang memenuhi unsur transnasional dan unsur
necessity.

Pada tahun 1997, Deklarasi ASEAN yang diadakan di Manila, Filipina


sepakat menggolongkan kejahatan transnasional menjadi pencucian
uang, terorisme, perdagangan gelap narkotika, penyelundupan
senjata, penyelundupan manusia dan pembajakan.34

Pada tahun 2000, upaya internasional terhadap hadirnya kejahatan


transnasional terorganisir diwujudkan dalam Konvensi PBB Melawan
Kejahatan Terorganisir Transnasional (CATOC) dan dua Protokol
Tambahan diadopsi pada akhir tahun 2000, sementara satu lagi
tentang senjata api diadopsi pada tanggal 31 Mei 2001. 35 CATOC
menentukan empat pelanggaran yang berbeda, yaitu: a. partisipasi
dalam kelompok kriminal terorganisir; b. pencucian uang; c. korupsi;
dan d. obstruction of justice atau menghalangi keadilan serta “serious
crime” (bersifat transnasional dan melibatkan kelompok kriminal
terorganisir).

Konvensi dalam Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa suatu tindak


pidana dikategorikan sebagai tindak pidana transnasional yang
terorganisasi jika tindak pidana tersebut dilakukan: a. di lebih dari
satu negara; b. di suatu negara, tetapi persiapan, perencanaan,
pengarahan atau pengendalian atas kejahatan tersebut dilakukan di
wilayah negara lain; c. di suatu wilayah negara, tetapi melibatkan
suatu kelompok pelaku tindak pidana yang terorganisasi yang
melakukan tindak pidana di lebih dari satu wilayah negara; atau d. di

1, 2006, hlm. 50
34
ASEAN Declaration on Transnational Crime, Manila, Filipina, 1997 dalam Simela Victor
Muhamad, “Kejahatan Transnasional Penyelundupan Narkoba Dari Malaysia Ke Indonesia:
Kasus Di Provinsi Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat”, Politica, Vol. 6, No. 1, 2015, hlm. 45
35
Ilias Bantekas dan Susan Nash, International Criminal Law, Cavendish Publishing, 2003, hlm.
50
suatu wilayah negara, tetapi akibat yang ditimbulkan atas tindak
pidana tersebut dirasakan di negara lain.36

Mengenai protokol, ada 3 protokol tambahan yang ditentukan sebagai


pelengkap dan dibawahi CATOC. Merujuk pada pasal 37 ayat (2),
suatu negara perlu meratifikasi CATOC terlebih dahulu sebelum
menjadi negara pigak terkait protokol manapun. 3 protokol tambahan
yang dimaksud ialah sebagai berikut:
a. Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and
Air.
b. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in
Persons, Especially Women and Children.
c. Protocol againts the Illicit Manufacturing of and Trafficking in
Firearms, Their Parts and Components and Ammunition.

D. Masalah Yurisdiksi dalam Hukum Pidana Internasional.


Yurisdiksi adalah aspek dari kedaulatan negara, sebuah kewenangan
negara berdasarkan hukum internasional untuk membuat,
menerapkan dan menegakan aturan hukum nasio nal terhadap
orang, objek atau suatu peristiwa.37 Yurisdiksi yang dimiliki oleh
negara yang berdaulat terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Jurisdiction to Prescribe atau prescriptive jurisdiction
Merupakan kewenangan negara untuk membuat ketentuan
hukum (termasuk hukum pidana nasional) terhadap orang,
benda, peristiwa, maupun perbuatan di wilayah teritotialnya
2. Jurisdiction to Enforce
Merupakan kewenangan negara untuk menegakan atau
memaksakan berlakunya ketentuan hukum nasionalnya, seperti
mengambil tindakan koersif untuk memastikan kepatuhan atau
menghukum pelanggaran.

36
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak
Pidana Transnasional Yang Terorganisasi).
37
Douglas Gulfoyle, International Criminal Law, Oxford University Press, 2016, hlm. 30
3. Jurisdiction to adjudicate
Merupakan kewenangan pengadilan negara untuk mengadili dan
memberikan putusan terhadap suatu kasus.

Perbedaan yang dianggap paling penting untuk dikenali adalah


antara jurisdiction to prescribe dan jurisdiction to enforce, tentang
kapan suatu negara dapat menetapkan aturan yang mengatur suatu
perilaku dan kapan untuk dapat menegakkan aturan tersebut.
Semua sistem hukum sampai batas tertentu pun dapat menetapkan
atau prescribe suatu perilaku yang terjadi di luar batas teritorial
sebagai bagian yurisdiksinya. Tetapi, negara yang merasa punya
yurisdiksi ini umumnya tidak akan menegakan aturan hukum
mereka dalam batas territorial negara lain tanpa persetujuan yang
berwenang. Oleh karena itu, jurisdiction to prescribe atau yurisdiksi
preskriptif ini diperbolehkan dalam berbagai keadaan sedangkan
jurisdiction to enforce yang bersifat ekstrateritorial itu dilarang, seperti
melakukan penahanan dan penangkapan oleh polisi nasional di luar
negeri tanpa persetujuan atas dasar jurisdiction to prescribe.38

Selanjutnya, yurisdiksi ini perlu dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu


yurisdiksi sipil atau perdata dan yurisdiksi kriminal. Khusus
mengenai yurisdiksi kriminal, tidak ada hierarki bagi bentuk-bentuk
yurisdiksi karena tiap yurisdiksinya memberikan hak yang sama
untuk dapat menuntut suatu kasus dan suatu negara tidak dapat
menuntut negara lain untuk menghentikan atau menunda proses
peradilan atas dasar yurisdiksi yang lebih kuat, berbeda dengan
yurisdiksi dalam hukum perdata internasional yang menentukan
prioritas atau ada yurisdiksi suatu negara yang lebih berwenang
untuk menangani suatu kasus seperti pada bidang hukum kontrak
yang didasarkan pada choice of laws.39

38
Ibid.
39
Ibid., hlm. 31
Yurisdiksi preskriptif menitik beratkan pada adanya “tautan” antara
kejahatan dengan negara yang menetapkan (prescribing). Berkaitan,
ada yang disebut dengan pendekatan “principles of jurisdiction” atau
prinsip yurisdiksi yang pada dasarnya menentukan beberapa tautan
antara kejahatan dan negara,40 yaitu sebagai berikut:

1. Yurisdiksi Teritorial41
Suatu negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku, baik
warga negara atau warga negara asing yang melakukan tindak
pidana di dalam batas teritorialnya. Tetapi, bagaimana jika satu
tindak pidana ini dilakukan di lebih dari satu teritorial. Menurut
wilayah tempat terjadinya tindak pidana, yurisdiksi teritorial
terbagi ke dalam dua jenis, yaitu teori subjektif dan teori objektif.
Prinsip territorial subjektif berarti bahwa suatu negara yang
memiliki yurisdiksi adalah negara tempat dimulainya tindak
pidana meski tindak pidana ini selesai di negara lain. Sedangkan
prinsip territorial objektif menentukan bahwa negara yang
memiliki yurisdiksi adalah negara tempat dimana tindak pidana
terjadi dan berakibat atau diselesaikan.

Selain itu ada Yurisdiksi Ekstrateritorial yang berarti kewenangan


negara untuk menerapkan yurisdiksi di luar wilayah teritorialnya:
flag principle atau prinsip bendera negara kapal dan prinsip
pesawat negara terdaftar sebagai perluasan prinsip territorial.

2. Yurisdiksi Personal42
Yurisdiksi ini bergantung kepada kualitas seseorang yang terlibat
dalam suatu tindak pidana internasional di negara lain, baik
memiliki kualitas sebagai pelaku ataupun korban. Mengenai
kualitas seseorang ini, yurisdiksi ini memiliki dua prinsip, yaitu:
a. Prinsip Nasionalitas Aktif
40
Ibid.
41
Ibid., hlm. 32
42
Ibid., hlm. 32-33
Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili para pelaku
tindak pidana internasional yang terjadi di luar negeri karena
para pelaku ini merupakan warga negaranya.
b. Prinsip Nasionalitas Pasif
Negara memiliki yurisdiksi terhadap kasus karena warga
negaranya telah menjadi korban dari terjadinya tindak
pidana di luar negeri.

Disebutkan bahwa prinsip teritorial dan prinsip nasionalitas


adalah bentuk yuridiksi preskriptif paling intuitif karena suatu
negara memiliki keharusan untuk mengaplikasikan atau
menegakan hukumnya kepada peristiwa yang terjadi di dalam
teritorialnya ataupun yang terjadi karena warga negaranya
meski berada di territorial asing.43

3. Yurisdiksi Kepentingan/Perlindungan
Kewenangan negara untuk menerapkan yurisdiksi terhadap
perbuatan di luar wilayah negara karena telah berdampak atau
mengancam kepentingan negara (states's s’vereignty, security,
integrity or other important government function).

4. Yurisdiksi Universal
Kewenangan negara untuk menerapkan yurisdiksinya tanpa
melihat wilayah atau kewarganegaraan pelaku maupun korban.
Tetapi menggunakan kejahatannya sebagai ukuran, yaitu: a.
Piracy (hijacking); b. slavery; c. war crimes; d. crimes against
humanity; e. genocide; f. torture; dan g. crimes against peace.

Daftar Pustaka

43
Ibid., hlm. 31
Dokumen Buku:
Douglas Gulfoyle. 2016. International Criminal Law, Oxford University Press.
Edward M Wise dan Ellen S. Podgor. 2000. International Criminal Law:
Cases and Materials, Lexis Publishing.
Gerhard Werle. 2005. Principles of International Criminal Law, TMC Asser
Press.
Ilias Bantekas dan Susan Nash. 2003. International Criminal Law,
Cavendish Publishing.
Romli Atmasasmita. 2019. Pengantar Hukum Pidana Internasional, Cet. Ke-
6, Bandung: Refika Aditama.

Dokumen Lain:
Muljono. 2020. “Kejahatan Genosida Dalam Persfektif Hukum Pidana
Internasional”, Jurnal Gema Keadilan, Vol. 7, Ed. III.
Shinta Agustina. 2006. “Perdagangan Perempuan Dan Anak Sebagai
Kejahatan Transnasional: Permasalahan dan Penanggulangannnya di
Indonesia”, Jurnal Hukum Projusticia, Vol. 26, No. 1.
Simela Victor Muhamad. 2015. “Kejahatan Transnasional Penyelundupan
Narkoba Dari Malaysia Ke Indonesia: Kasus Di Provinsi Kepulauan
Riau dan Kalimantan Barat”, Politica, Vol. 6, No. 1.

Dokumen Hukum:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional
Yang Terorganisasi).

Anda mungkin juga menyukai