6
Ibid., hlm. 11
7
Ibid., hlm. 11-12
tingkat internasional. Uraian terkait ini ditunjukan oleh Pendapat
Pengadilan Nuremberg mengenai penuntutan dan penjatuhan pidana
terhadap perorangan, yaitu sebagai berikut:8
“crimes against international law are commited by men, not by
abstract entities, and only by punishing individuals who commit such
crimes can the provisions of international law be enforced”.
12
Ibid.
13
Ibid., hlm. 15
Poin ini meliputi ketentuan-ketentuan hukum internasional
mengenai prosedur penegakan hukum pidana internasional dan
institusi penegak hukumnya. Prosedur penegakan hukum pidana
internasional terbagi ke dalam dua cara, yakni:
a. Direct enforcement system: Penegakan hukum pidana
internasional secara langsung memilki dua tujuan, yaitu: 1)
untuk melaksanakan pembentukan suatu Mahkamah Pidana
Internasional; dan 2) suatu upaya untuk mengajukan tuntutan
dan peradilan terhadap pelaku tindak pidana internasional
melalui Mahkamah Pidana Internasional.
b. Indirect enforcement system: Penegakan hukum pidana
internasional secara tidak langsung adalah suatu upaya
mengajukan tuntutan dan peradilan terhadap para pelaku
tindak pidana internasional melalui undang-undang nasional.
Dapat dilakukan melalui kerja sama internasional, seperti
ekstradisi, mutual legal assistance treaty atau judicial
assistance treaty antar dua negara atau lebih.
14
Ibid.
2. Hukum pidana internasional adalah hukum yang menentukan
hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap
kejahatan-kejahatan yang nyata telah dilakukan bilamana
terdapat unsur-unsur internasional di dalamnya; dan
3. Hukum pidana supranasional adalah hukum pidana dan
masyarakat yang lebih luas besar terdiri dari negara dan rakyat
berarti standar hukum pidana yang telah berkembang di dalam
kumpulan masyarakat tersebut.
15
Ibid., hlm. 27
ketentuan-ketentuan internasional dan dapat diancam dengan
pidana.16
16
Ibid.
17
Ibid., hlm. 27-28
18
Lihat Tabel II dalam Romli Atmasasmita, “Pengantar Hukum Pidana Internasional”, Cet. Ke-6,
Bandung: Refika Aditama, 2019, hlm. 28
1. Mengenai kekuasaan mengadili dari pengadilan negara tertentu
terhadap kasus-kasus yang melibatkan unsur-unsur asing.
Termasuk kepada pengertian ini adalah masalah-masalah terkait
yuridiksi kriminal, pengakuan putusan-putusan pengadilan asing
dan bentuk-bentuk kerja sama dalam penanggulangan
kejahatan.19 Dari Bassiouni terkait dengan unsur asing ini ada
tiga kriteria untuk menetapkan lingkup pengertian unsur asing,
yaitu sebagai berikut:20 a. tindakan yang memiliki dampak atas
lebih dari satu negara; atau b. menyangkut lebih dari satu
kewarganegaraan; atau penggunaan sarana dan prasarana yang
melampai batas-batas satu negara atau lebih dari satu negara.
19
Ibid., hlm. 29
20
Ibid., hlm. 30
21
Ibid., hlm. 29
22
Ibid.
1. Tindak pidana internasional sejarah perkembangan, konsepsi, dan
konvensi-konvensi internasional yang berkaitan erat dengan
tindak pidana internasional;
2. Masalah yurisdiksi kriminal atas tindak pidana internasional;
3. Prosedur penegakan hukum pidana internasional termasuk
masalah perkembangan kerja sama bilateral dan multilateral di
dalam mencegah dan memberantas tindak pidana internasional;
dan
4. Instrumen penegakan hukum pidana internasional.
23
Gerhard Werle, Principles of International Criminal Law, TMC Asser Press, 2005, hlm. 28
dapat dipaksakan hanyalah sebatas untuk memperbaiki tindakan
yang tidak benar.24
“crimes under international law are all crimes that involve direct
individual criminal responsibility under international law.”
27
Ibid., hlm. 25
28
Ibid., hlm. 26
Statuta Roma). Bahkan dalam upaya untuk memperluas yurisdiksi
ICC yang dibatasi pada empat kejahatan, kejahatan terorisme ini
gagal mendapatkan suara suara mayoritas saat konferensi Roma.
Satu-satunya cara agar terorisme dapat masuk sebagai yuridiksi ICC
adalah ketika terorisme memenuhi prasyarat-prasyarat dari
kejahatan internasional inti atau international core crimes seperti
cirmes againts humanity atau war crimes, sehingga sifatnya dependan
atau bergantung terhadap keadaan-keadaan yang ada secara
kasuistis.29
29
Ibid., hlm. 27
30
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Op.cit., hlm. 40-41
yurisdiksinya, yaitu crimes againts peace, war crimes dan
crimes againts humanity.
31
Edward M Wise dan Ellen S. Podgor, International Criminal Law: Cases and Materials, Lexis
Publishing, 2000, hlm. 497-498
3. Elemen atau Kriteria Tindak Pidana Internasional32
a. Unsur Internasional
1) Direct threat to the world peace and security (ancaman
secara langsung atas perdamaian dan keamanan di dunia);
2) Indirect threat to the wolrd peace and security (ancaman
secara tidak langsung atas perdamaian dan keamanan di
dunia);
3) Shocking to conscience humanity (menggoyahkan perasaan
kemanusiaan).
b. Unsur Transnasional
1) Conduct affecting more than one state (tindakan yang
memiliki dampak terhadap lebih dari satu negara);
2) Conduct including or affecting citizens of more than one state
(tindakan yang melibatkan atau memberikan dampak
terhadap warga negara lebih dari satu negara); dan
3) Means and methods transcend national boundaries (sarana
dan prasarana serta metoda-metoda yang dipergunakan
melampaui batas-batas territorial suatu negara).
c. Unsur Necessity atau kebutuhan
Cooperation of states necessary to enforce (kebutuhan akan
kerja sama antar negara-negara untuk melakukan
penanggulangan).
4. Kejahatan Transnasional
I Wayan Parthiana menggunakan istilah kejahatan transnasional
untuk menunjukkan adanya kejahatan nasional yang mengandung
aspek transnasional atau lintas batas wilayah negara satu dengan
yang lainnya terkait dengan tempat terjadi, akibat-akibat yang
ditimbulkan ataupun tujuan kejahatan itu sendiri. 33 Terkait dengan
32
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Op.cit., hlm. 47
33
Shinta Agustina, “Perdagangan Perempuan Dan Anak Sebagai Kejahatan Transnasional:
Permasalahan dan Penanggulangannnya di Indonesia”, Jurnal Hukum Projusticia, Vol. 26, No.
elemen tindak pidana internasional di atas, kejahatan internasional
adalah kejahatan yang memenuhi unsur transnasional dan unsur
necessity.
1, 2006, hlm. 50
34
ASEAN Declaration on Transnational Crime, Manila, Filipina, 1997 dalam Simela Victor
Muhamad, “Kejahatan Transnasional Penyelundupan Narkoba Dari Malaysia Ke Indonesia:
Kasus Di Provinsi Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat”, Politica, Vol. 6, No. 1, 2015, hlm. 45
35
Ilias Bantekas dan Susan Nash, International Criminal Law, Cavendish Publishing, 2003, hlm.
50
suatu wilayah negara, tetapi akibat yang ditimbulkan atas tindak
pidana tersebut dirasakan di negara lain.36
36
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak
Pidana Transnasional Yang Terorganisasi).
37
Douglas Gulfoyle, International Criminal Law, Oxford University Press, 2016, hlm. 30
3. Jurisdiction to adjudicate
Merupakan kewenangan pengadilan negara untuk mengadili dan
memberikan putusan terhadap suatu kasus.
38
Ibid.
39
Ibid., hlm. 31
Yurisdiksi preskriptif menitik beratkan pada adanya “tautan” antara
kejahatan dengan negara yang menetapkan (prescribing). Berkaitan,
ada yang disebut dengan pendekatan “principles of jurisdiction” atau
prinsip yurisdiksi yang pada dasarnya menentukan beberapa tautan
antara kejahatan dan negara,40 yaitu sebagai berikut:
1. Yurisdiksi Teritorial41
Suatu negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku, baik
warga negara atau warga negara asing yang melakukan tindak
pidana di dalam batas teritorialnya. Tetapi, bagaimana jika satu
tindak pidana ini dilakukan di lebih dari satu teritorial. Menurut
wilayah tempat terjadinya tindak pidana, yurisdiksi teritorial
terbagi ke dalam dua jenis, yaitu teori subjektif dan teori objektif.
Prinsip territorial subjektif berarti bahwa suatu negara yang
memiliki yurisdiksi adalah negara tempat dimulainya tindak
pidana meski tindak pidana ini selesai di negara lain. Sedangkan
prinsip territorial objektif menentukan bahwa negara yang
memiliki yurisdiksi adalah negara tempat dimana tindak pidana
terjadi dan berakibat atau diselesaikan.
2. Yurisdiksi Personal42
Yurisdiksi ini bergantung kepada kualitas seseorang yang terlibat
dalam suatu tindak pidana internasional di negara lain, baik
memiliki kualitas sebagai pelaku ataupun korban. Mengenai
kualitas seseorang ini, yurisdiksi ini memiliki dua prinsip, yaitu:
a. Prinsip Nasionalitas Aktif
40
Ibid.
41
Ibid., hlm. 32
42
Ibid., hlm. 32-33
Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili para pelaku
tindak pidana internasional yang terjadi di luar negeri karena
para pelaku ini merupakan warga negaranya.
b. Prinsip Nasionalitas Pasif
Negara memiliki yurisdiksi terhadap kasus karena warga
negaranya telah menjadi korban dari terjadinya tindak
pidana di luar negeri.
3. Yurisdiksi Kepentingan/Perlindungan
Kewenangan negara untuk menerapkan yurisdiksi terhadap
perbuatan di luar wilayah negara karena telah berdampak atau
mengancam kepentingan negara (states's s’vereignty, security,
integrity or other important government function).
4. Yurisdiksi Universal
Kewenangan negara untuk menerapkan yurisdiksinya tanpa
melihat wilayah atau kewarganegaraan pelaku maupun korban.
Tetapi menggunakan kejahatannya sebagai ukuran, yaitu: a.
Piracy (hijacking); b. slavery; c. war crimes; d. crimes against
humanity; e. genocide; f. torture; dan g. crimes against peace.
Daftar Pustaka
43
Ibid., hlm. 31
Dokumen Buku:
Douglas Gulfoyle. 2016. International Criminal Law, Oxford University Press.
Edward M Wise dan Ellen S. Podgor. 2000. International Criminal Law:
Cases and Materials, Lexis Publishing.
Gerhard Werle. 2005. Principles of International Criminal Law, TMC Asser
Press.
Ilias Bantekas dan Susan Nash. 2003. International Criminal Law,
Cavendish Publishing.
Romli Atmasasmita. 2019. Pengantar Hukum Pidana Internasional, Cet. Ke-
6, Bandung: Refika Aditama.
Dokumen Lain:
Muljono. 2020. “Kejahatan Genosida Dalam Persfektif Hukum Pidana
Internasional”, Jurnal Gema Keadilan, Vol. 7, Ed. III.
Shinta Agustina. 2006. “Perdagangan Perempuan Dan Anak Sebagai
Kejahatan Transnasional: Permasalahan dan Penanggulangannnya di
Indonesia”, Jurnal Hukum Projusticia, Vol. 26, No. 1.
Simela Victor Muhamad. 2015. “Kejahatan Transnasional Penyelundupan
Narkoba Dari Malaysia Ke Indonesia: Kasus Di Provinsi Kepulauan
Riau dan Kalimantan Barat”, Politica, Vol. 6, No. 1.
Dokumen Hukum:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional
Yang Terorganisasi).