Anda di halaman 1dari 4

Uraikanlah dimensi-dimensi internasional pada kejahatan phising yang dilakukan David!

Phising (password harvesting fishing) adalah tindakan penipuan yang menggunakan email palsu atau
situs web palsu yang bertujuan untuk mengelabui pengguna email sehingga pelaku bisa mendapatkan
data pengguna email tersebut berupa PIN,nomor rekening,nomor kartu kredit dan data pribadi lainnya.
Informasi data phising yang diperoleh bisa langsung dimanfaatkan untuk menipu korban. Atau, bisa juga
dijual ke pihak lain untuk melakukan tindakan tidak bertanggung jawab seperti penyalahgunaan akun.
Aksi cyber crime ini memang berbahaya.

Secara Internasional,aturan hukum mengenai kejahatan phising secara khusus belum diatur.Secara
umum,beberapa organinsasi internasional mengatur tentang kejahatan siber (cybercrime) yang mana
dikaitkan dengan perbuatan penyalahgunaan data pribadi.

Menurut hukum internasional, negara memiliki batas-batas tertentu dalam menerapkan yurisdiksi untuk
kasus yang melibatkan kepentingan negara lain. Salah satu batas tersebut dalam bentuk kewajiban
setiap negara untuk menghindari kesulitan negara lain dalam upaya menerapkan yurisdiksi. Hukum
Indonesia yang mengatur cybercrime adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik ( UU ITE), bagian mengatur yurisdiksi yang bagian ke-2 mencakup dasar
teritorial subjektif bagi setiap orang melakukan cybercrime dan dikualifikasi berbahaya di Indonesia .
Namun, dalam prakteknya, hal ini sulit untuk dilakukan jika kejahatan dilakukan dari luar Indonesia
karena belum tentu setiap negara akan menyampaikan, meskipun UU ITE telah mengikuti ketentuan
substantif dalam Konvensi tentang cybercrime,kecuali Indonesia ikut meratifikasi Konvensi cybercrime.
Keuntungan Indonesia meratifikasi, Indonesia dapat menjalin kerjasama dengan peserta dalam hal kasus
cybercrime yang merugikan Indonesia terutama jika pelaku melakukan cybercrime di luar wilayah
Indonesia, posisi Indonesia dapat mengajukan ekstradisi terhadap pelaku akan menjadi lebih kuat.

Meskipun Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sudah mengikuti ketentuan dalam
Convention on Cybercrime secara substantif, namun ada baiknya Indonesia ikut meratifikasi Convention
on Cybercrime. Keuntungan dari meratifikasi konvensi ini adalah Indonesia bisa menjalin kerja sama
dengan peserta apabila terjadi kasus cybercrime yang merugikan Indonesia terutama jika si pelaku
melakukan cybercrime tersebut di luar wilayah Indonesia, posisi Indonesia dalam mengajukan
permohonan untuk mengekstradisi pelaku akan menjadi lebih kuat. Keuntungan lain adalah Indonesia
dapat menjalin kerjasama di bidang teknologi informasi agar Indonesia tidak ketinggalan dalam
penanganan kasus cybercrime. Harus ada perubahan peraturan perundang-undangan (amandemen)
yang memungkinkan dilakukannya transfer of proceedings di Indonesia, salah satunya adalah dengan
mengamandemen Undang-Undang Tentang Bantuan Timbal Balik (Mutual Legal Assistance) terutama
pasal 4 yang memberikan pembatasan bagi dilakukannya transfer of proceedings di Indonesia. Setelah
pengamandemenan UU tersebut pemerintah bisa mulai membahas prosedur transfer of proceedings di
Indonesia.
Andi Hamzah, 2000, Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Sinar Grafika, Jakarta

Andrew D. Murray,2007. The Regulation in Cyberspace :Control in the Online Environment, Routelage&
Cavendish.

Bert-JaapKoops, Cybercrime Legislation in Netherlands, Netherland Comparative Law


AssociationConvention on Transfer of Proceedings Explanatory Report, Poin 16Crime”, The National
Cybercrime Training Partnership, Introduction.

2. Jelaskan mengapa munculya piracy menjadi salah satu tonggak sejarah perkembangan hukum pidana
internasional!

Pembajakan merupakan kejahatan yang dilakukan dengan cara kekerasan, maka yang dilakukan
seharusnya bukan lagi negosiasi ataupun dialog atau bahkan dengan menggunakan uang tebusan.

Upaya-upaya yang telah disebutkan ini, pada dasarnya tidak akan menyelesaikan persoalan secara
menyeluruh karena tidak memberikan efek jera sedikitpun terhadap para perompak itu. Bahkan yang
terjadi sebaliknya, dengan adanya uang tebusan justru akan semakin membuat para perompak itu
berjaya dan akan mengulangi perbuatan mereka lagi. Hingga diperlukan usaha yang lebih komprehensif
untuk menyelesaikan masalah pembajakan ini, salah satunya yaitu dengan menggunakan otoritas
Mahkamah Pidana Internasional.

Sebenarnya, hukum kebiasaan internasional tidak memberikan definisi yang disepakati untuk apa yang
disebut sebagai tindakan yang merupakan kejahatan internasional pembajakan (Garmon, 2003: 260).
Namun, saat ini ada dua perjanjian internasional, yang setidaknya dari sebagian isinya mengatur
tindakan pembajakan dalam negeri. Perjanjian tersebut pertama adalah Konvensi Hukum Laut
Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) sebuah
perjanjian dengan 160 negara yang secara khusus mendefinisikan pembajakan (Hamid, 2011: 317).

Yang kedua adalah konvensi untuk Pemberantasan Tindakan Melawan Hukum Terhadap Keselamatan
Navigasi Maritim (Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime
Navigation/Konvensi SUA) – yang telah disepakati oleh 156 negara dan dirancang guna menanggapi
insiden Achille Lauro ketika teroris Palestina membajak sebuah kapal pesiar Italia, Konvensi SUA meliputi
pembajakan kapal yang bermotif politik (Jan, 2008: 274).

Sementara itu Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang dibentuk pada 2002 sebagai sebuah
pengadilan permanen untuk menuntut individual untuk genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan
kejahatan perang, sebagaimana didefinisikan oleh beberapa persetujuan internasional terutama Rome
Statute of the International Criminal Court. Mahkamah Pidana Internasional dirancang untuk membantu
sistem yudisial nasional yang telah ada, namun pengadilan ini dapat melaksanakan yurisdiksinya bila
pengadilan negara tidak mau atau tidak mampu untuk menginvestigasi atau menuntut kejahatan seperti
di atas dan menjadi “pengadilan dan upaya terakhir”, meninggalkan kewajiban utama untuk
menjalankan yurisdiksi terhadap kriminal tertuduh kepada negara individual (Schabas, 2011: 69-146).
Alasan untuk memasukkan pembajakan dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, secara teori
sebenarnya, pembajakan akan termasuk ke dalam dalam mandat Mahkamah Pidana Internasional, yang
memberikan yurisdiksi atas kejahatan serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional.
Pembajakan adalah kejahatan serius dan merupakan kejahatan klasik hukum kebiasaan internasional
dan kejahatan asli yurisdiksi universal (Schabas, 2011: 86). Kenyataannya adalah bahwa pembajakan
modern melibatkan banyak kekerasan dan tindakan kejam seperti pembunuhan, penculikan dan
penyanderaan yang sama- kejahatan yang digunakan untuk melakukan genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan dan perang dimana saat ini memiliki yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (Schabas,
2011: 99-146).

United Nation Convention on the law of the Sea 1982 (UNCLOS)

Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation 1988 (SUA)

Jan, Muhammad Naqib Ishan, 2008, Principles of Public International Law: a Modern Approach,
Malaysia, IIUM Press.

3. Berdasarkan kasus di atas analisalah unsur-unsur kejahatan internasional menurut M Cherif


Bassiouni!

1). Unsur internasional, yang termasuk ke dalam unsur ini adalah:

a). Ancaman secara langsung atas perdamaian dan keamanan di dunia (direct threat to world Peace and
Security);

b). Ancaman secara tidak langsung atas perdamaian dan keamanan di dunia (indirect threat to world
Peace and Security);

c). Menggoyahkan perasaan kemanusiaan shoking to the conscience of Humanity).

2). Unsur transnasional, yang termasuk kedalam unsur ini adalah:

a) Tindakan yang memiliki dampak terhadap lebih dari satu negara (conduct affecting more than one
state);

b) Tindakan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara dari lebih satu negara
(conduct including or affecting citizens of more than one state);

c) Sarana dan prasarana serta metoda-metoda yang dipergunakan melampaui batas-batas teritorial
suatu negara (Means and methods transcend national boundaries).

3). Unsur kebutuhan (necessity), yang termasuk kedalam unsur ini adalah kebutuhan akan kerjasama
antar negara-negara untuk melakukan penanggulangan (cooperation of states necessary to enforce).
Adolf, Huala. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional. Bandung: Keni Media, 2011.

Atmasasmita, Romli. Masalah Pengaturan terorisme dan Perspektif Indonesia. Jakarta: Perum
Percetakan Negara RI, 2002

___________. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung: PT. Refika Aditama, 2000.Parthiana, I
Wayan. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju, 1990.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia

Statute of International Criminal Court 1998

Anda mungkin juga menyukai