Anda di halaman 1dari 17

PENGAKUAN DALAM HUKUM INTERNASIONAL

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Internasional

Oleh Kelompok V :
Muhammad Abizar 2013020017
Wegestin Lagus 2013020005
Asnaldi Al Hakim 2013020032
Ermawita 2013020013
Yona Agustia 2113020042

Dosen Pengampu :
Desri Yanri, S. H., M. H

PRODI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1444 H / 2023 M
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji beserta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami mampu menyelesaikan
Makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini berisikan tentang penjelasan "Pengakuan Dalam Hukum Internasional". Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.

Padang, 11 Mei 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang . ...................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................... 2

C. Tujuan dan Manfaat Pembelajaran ........................................... 2

BAB II : PEMBAHASAN

A. Lahirnya Suatu Negara .......................................................... 3

B. Pengakuan Negara ................................................................. 4

C. Bentuk-Bentuk Pengakuan Negara ........................................ 7

BAB III : PENUTUP

1. Kesimpulan ......................................................................... 13

2. Saran .................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Masyarakat internasional merupakan masyarakat yang dinamis
berubah dari waktu ke waktu ada negara yang dikuasai negara lain dan ada
pula negara baru yang lahir. Demikian pula pemerintah lama terguling,
pemerintah baru lahir. Lahirnya negara atau pemerintah tersebut ada yang
melalui cara-cara damai, ada pula yang melalui cara-cara kekerasan.
Perubahan-perubahan ini menyebabkan anggota masyarakat internasional
lainnya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu mau menyetujui atau
menolaknya. Tanpa mendapatkan pengakuan ini negara tersebut akan
mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan negara lainnya.
Negara yang belum mendapatkan pengakuan dapat memberi kesan dalam
negara lain bahwa negara tersebut tidak mampu menjalankan kewajiban-
kewajiban intemasional. Dari praktek negara-negara tidak ada
keseragaman dan tidak menunjukkan adanya aturan-aturan hukum dalam
masalah pengakuan ini. Namun dengan diakuinya suatu negara pemerintah
baru, konsekuensi yang ditimbulkannya dapat berupa konsekuensi politis
tertentu dan konsekuensi yuridis antara negara yang diakui dengan Negara
yang mengakui.
Penolakan pemberian pengakuan oleh Amerika Serikat kepada
Uni-Soviet selama 16 tahun lamanya misalnya semenjak revolusi Oktober
1917 di Rusia telah sangat mempengaruhi keadaan dunia pada masa
tersebut, sebagaimana halnya penolakan pemberian pengakuan oleh
Amerika Serikat kepada pemerintah Republik Rakyat Tiongkok semenjak
berkuasanya rezim itu di Tiongkok mulai akhir tahun 1949, sangat banyak
mempengaruhi keadaan politik di dunia umumnya, di Asia khususnya.
Pengakuan terhadap suatu Pemerintahan atau Negara secara
Internasional merupakan salah satu hal yang vital. Persoalan yang timbul
adalah apakah suatu pemerintahan atau Negara baru memerlukan adanya

1
2

suatu pengakuan internasional, sehingga dari sudut hukum internasional


dapat dianggap mampu melakukan hubungan internasional dengan negara-
negara lain.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan
masalahnya adalah :
1. Awal Lahirnya Suatu Negara
2. Pengakuan Negara
3. Bentuk-Bentuk Pengakuan Negara

C. Tujuan Dan Manfaat Pembelajaran


1. Tujuan Pembelajaran
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai, dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
A. Untuk mengetahui Awal Lahirnya Sebuah Negara
B. Untuk mengetahui Konsep Pengakuan Negara
C. Untuk mengetahui Apa Saja Bentuk-Bentuk Pengakuan
Negara
2. Manfaat Pembelajaran
Nilai guna yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
a. Bagi penulis dan Pembaca, maka akan menambah
pemahaman yang lebih mendalam melalui studi Hukum
Internasional, Terlebih Setentang Pembahasan Dalam
Makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lahirnya Suatu Negara
Masyarakat internasional merupakan masyarakat yang dinamis. Dimana ia
berubah dari waktu ke waktu. Ada negara yang baru lahir maupun negara yang takluk
dan dikuasai negara lain. Pemerintah yang baru lahir, pemerintah yang lama terguling.
Lahirnya pemerintah/atau negara tersebut ada yang melalui cara-cara kekerasan ada
pula yang melalui jalan damai. Perubahan - perubahan yang terjadi terhadap negara
seperti itu membuat anggota masyarakat internasional dihadapkan kepada dua pilihan.
Pilihan tersebut adalah menolak atau menerima.
Lahirnya sebuah negara baru tidak lepas dari pengamatan masyarakat
internasional, karena kelahiran sebuah negara baru mau tidak mau harus berhubungan
dengan negara lain. Sebuah negara tidak dapat lahir begitu saja, negara tersebut harus
memenuhi syarat - syarat yang telah ada sejak lama dalam Hukum Internasional yang
diakui oleh pergaulan internasional. Syarat tersebut antara lain : harus ada rakyat (a
permanent population), harus ada wilayah (a defined territory), harus ada
pemerintahan (a government), mempunyai kapasitas untuk berhubungan dengan
negara lain (a capacity to enter into relations with other states), dan syarat ± syarat
lainnya.
Mengenai harus adanya wilayah, suatu negara karena keadaan tertentu dapat
tetap diakui sebagai negara, meskipun negara tersebut tidak memiliki wilayah tetap.
Contohnya adalah Palestina, setelah sebagian wilayah negeri ini diambil Israel praktis
negeri ini tidak mempunyai wilayah sama sekali. Namun demikian negara-negara lain
masih menganggapnya sebagai negara, menerima kantor perwakilan Palestina di
negaranya, atau ikut serta dalam konfrensi-konfrensi atau perjanjian internasional.
Unsur atau syarat mengenai harus ada pemerintahan seperti diatas akan ada
pertanyaan pertama mengenai kapankah suatu pemerintah menjadi sebuah negara.
Jawaban atas pertanyaan tersebut dalam kasus negara Finlandia yang lahirpada tahun
1917.
Pada mulanya, Finlandia adalah bagian dari kerajaan Rusia hingga pecahnya
revolusi Rusia. Pada waktu pemerintah Rusia mengeluarkan manifesto poilitik yang
memberikan hak kepada rakyatnya untuk menentukan nasibnya sendiri, Diet ,
perlemen Finlandia, menyatakan kemerdekaannya pada 4 desember 1917. Proklamasi
ini tidak ditentang pemerintah Soviet, namun didalam negeri Finlandia sendiri
3
4

terdapat kelompok oposisi, termasuk sekelompok angkatan daratnya, kelompok ini


tetap menyokong pemerintah Soviet dan meolak keras pemerintah Finlandia sebagai
negara yang lepas dari Rusia. Karena keadaan ini terdapat pertumpahan darah tak
terhindarkan (Adolf, 1993).
Namun demikian pemerintah Finlandia tetap bertahan dengan dukungan dari
angkatan darat Uni Soviet. Komisi Ahli Hukum Internasional (the International
Committee of Jurists) yang menangani masalah ini menyatakan bahwa pemerintah
Findlandia menjadi suatu negara bukan pada waktu organisasi politik menjadi stabil
di wilayahnya. Pemerintah Finlandia menjadi suatu negara pada waktu perang atau
konflik di negara itu telah berakhir (setelah pasukan lain mundur dari Finlandia)
(Adolf, 1993).
Lahirnya sebuah negara baru di dunia ini, sebenarnya tidak lepas dari
pengamatan PBB. Sesudah tahun 1945 terdapat banyak negara-negara baru setelah
membebaskan diri dari kekuasaan kolonial, selama waktu tersebut 140 negara baru
telah lahir dan semuanya menjadi anggota PBB.
Syarat - syarat negara yang dapat diakui oleh PBB hanya bahwa negara baru
tersebut harus cinta damai (peace loving), menerima kewajiban yang terdapat di
dalam piagam, mampu dan bersedia melaksanakan kewajiban dan ditetapkan oleh
Majelis Umum atas rekomendasi Dewan Keamanan PBB.
Peran - peran PBB dalam pembentukan sebuahnegara baru dapat dilihat dalam
beberapa cara, antara lain : Sistem Perwalian Internasional, Misi Perdamaian PBB
(Peace Keeping Operations), Pengawasan Pemilihan Umum (Electoral Assistan-ce),
Pengawasan Administrasi Pemerintahan (An Interim Administrator).

B. Pengakuan Negara
Pengakuan merupakan suatu perbuatan politik negara untuk mengakui situasi
berupa fakta serta menerima akibat hukum dari pengakuan yang dilakukan (Mauna,
2000). Modern ini, negara – negara yang memberikan pengakuan bukan hanya
sekedaar mengetahui atau cognition bahwa suatu negara itu berhak merdeka tetapi
juga memenuhi syarat dalam hal dokumen, kebijakan, kondisi negara, serta akibat
hukum yang ada (Mauna, 2000). Selain itu, ketika suatu negara mengakui
kemerdekaan negara baru berarti dikemudian hari ia sudah menghilangkan
kemungkinan mempersoalkan dari syarat dan hal suatu negara untuk diakui.
5

Pengakuan adalah hal yang sangat krusial dalam kehidupan politik


internasional suatu negara sebab dapat menjamin bahwa negara baru tersebut
menduduki tempatnya yang sesuai sebagai organisme politik yang independen,
berdaulat, dan merdeka. Dengan pengakuan itu pula negara baru tersebut mampu
mengadakan berbagai hubungan bilateral dan internasional baik dengan negara-negara
maupun organisasi dunia (Widagdo, Wahyudi, Setyorini, & Basuki, 2008).
Dalam literatur hukum Internasional maupun hukum tata Negara, ditemukan
dua teori terkenal yaitu Teori Konstitutif dan Teori Deklaratif. Teori konstitutif
melihat bahwa suatu negara dianggap lahir kembali sebagai suatu negara baru apabila
telah diberi pengakuan oleh negara lain, artinya sebuah negara belum dianggap ada
sebagai negara baru apabila belum ada pengakuan dari negara lain. Pengakuan seperti
itu memiliki kekuatan konstitutif (Shawn, 1986). Brownlie mengatakan “Constitutivist
doctrine creates a great many difficulties” Yang memiliki arti bahwa pendukung teori
konstitutif hanya menciptakan banyak kesulitan apabila teori tersebut diterapkan.
Bahkan teori tersebut semakin tidak populer ketika Pasal 3 Deklarasi Montevideo
tahun 1933 tentang Hak-Hak dan Kewajiban Negara menjelaskan bahwa keberadan
politik suatu Negara bebas dari pengakuan oleh Negara-negara lain. Prof. Lauterpacht
seorang pendukung utama teori ini berpendapat bahwa “A state is, and becomes, an
international person through recognition only and exclusively”, selanjutnya
ditegaskan pula bahwa “Statehood alone does not imply membership of the family of
nations. Recognition is a quas judicial duty and not an act of arbitrary discreation or
a political concession” (Linderfalk, 2007).
Menurut teori deklaratif, negara tidak menciptakan suatu Negara. Hal ini
disebabkan lahirnya suatu Negara merupakan suatu fakta murni yang sudah
memenuhi klasifikasi negara menurut stabdar internasional dan dalam hal ini
pengakuan hanya penerimaan fakta tersebut. Teori ini juga berpendapat bahwa suatu
Negara begitu lahir akan langsung menjadi anggota masyarakat internasional dan
pengakuan hanya merupakan pengukuhan dari kelahiran tersebut (Sompotan, 2017).
Sehingga pengakuan bukan merupakan syarat bagi kelahiran suatu Negara terlepas
dari ada atau tidaknya Negara yang mengakui. Dengan begitu, Negara yang baru lahir
tersebut sudah menikmati hak dan melaksanakan kewajibannya menurut hukum
internasional, seperti Negara-negara lainya.
Pakar hukum internasional sepakat bahwa pengakuan merupakan hal yang
paling penting dalam hubungan internasional. Ditambah fakta bahwa dunia sedang
6

dalam globalisasi dan modernisasi yang semakin gencar, tentulah setiap negara tidak
bisa hidup sendiri dan terisolasi tanpa mengadakan hubungan bilateral dan
internasional dengan negara lainnya (Sompotan, 2017). Namun, sebelum suatu negara
yang baru mendeklarasikan kemerdekannya mengadakan hubungan dengan negara
lain, perlu adanya pengakuan dengan berbagai persyaratan seperti kemampuan
mengadakan hubungan dan komunikasi yang lengkap dan sempurna dalam segala
bidang dengan negara lain, baik itu secara ekonomi, politis, sosial budaya, ilmu
pengetahuan dan teknologi (Thontowi & Iskandar, 2006). Namun, pengakuan sendiri
dalam hukum internasional bukanlah persoalan yang sederhana sebab melibatkan
langsung politik dan hukum dua atau lebih hubungan suatu negara. Dalam suatu
persoalan pengakuan, unsur hukum dan politik sulit untuk dipisakan secara gambling
sebab baik pemberian maupu penolakan pengakuan suatu negara seringkali
dipengaruhi dari unsur politik, yang berakibat mempunyai ikatan hukum.
Kesulitan lainnya berasal dari fakta bahwasannya hukum internasional tidak
mewajibkan suatu negara untuk mengakui kemerdekaan dan pemerintah negara lain.
Tidak ada keharusan untuk mengakui seperti juga tidak ada kewajiban untuk tidak
mengakui (Thontowi & Iskandar, 2006). Hingga saat ini ada golongan dari pakar
hukum internasional yang memiliki perbedaan pendapat mengenai pengakuan suatu
negara (Tasrif, 1966).
Teori lain pengakuan negara adalah Declatoir Theory, teori ini memberikan
pendapat bahwa apabila semua unsur kenegaraan (ada wilayah, rakyat, pemerintahan
yang berdaulat, memiliki kemamapuan dalam melakukan hubungan dengan Negara
lain) (Brierly, 1955), telah dipenuhi oleh masyarakat politik maka dengan sendirinya
ia telah merupakan sebuah Negara dan harus diperlakukan secara demikian oleh
negara-negara lainya.
Kemudian Constitutive Theory. Teori ini berpendapat bahwa meskipun unsur
kenegaraan tersebut telah terpenuhi oleh suatu masyarakat politik, tetapi tidak
langsung secara otomatis menjadi negara yang berada diantara masyarakat
internasional. Perlu ada pernyataan pengakuan dari negara – negara lain serta
memenuhi persyaratan berdirinya suatu negara (Syahmin, 1992), barulah ia dapat
disebut sebagai negara yang sudah diakui. Namun tidaklah ia secara otomatis dia
dapat diterima sebagai Negara ditengah-tengah masyarakat internasional. Terlebih
dahulu harus ada pernyataan dari Negara-negara lain, bahwa masyarakat politik telah
7

memenuhi persyaratan sebagai Negara. Kemudian barulah ia dapat menikmati haknya


sebagai Negara baru.
Kriteria yang lazim digunakan suatu negara untuk mengakui negara lain antara
lain: 1) keyakinan adanya stabilitas di negara tersebut; 2) dukungan umum dari
masyarakat atau penduduk; dan 3) kesanggupan dan kemauan untuk melaksanakan
kewajibankewajiban Internasional (MacDougal & Reisman, 1981). Masih berkaitan
dengan kriteria pengakuan, Ivan Sheare berpendapat bahwa pengakuan yang akan
diberikan oleh suatu negara kepada masyarakat politik dihadapkan pada kegalauan
yang disebabkan oleh dua alasan. Pengakuan sebenarnya lebih berkaitan dengan suatu
kebijakan daripada persoalan hukum itu sendiri, yang mana dapat dilihat dari praktek
suatu negara. Dalam memberikan suatu pengakuan, kebijakan negara selalu
mendasarkan dan menjaganya pada kepentingan-kepentingan negara yang
bersangkutan. Terdapat pertimbangan politis dalam memberikan suatu pengakuan
seperti halnya terkait persoalan perdagangan dimana persoalan perdangan tersebut
sangat berpengaruh dalam proses pengakuan. Dan terdapat kecenderungan
bahwasanya dalam kebijakan negara yang memberikan suatu pengakuan tidak lain
hanyalah sebuah kedok bagi keputusan politik yang dalam prosesnya selalu
didasarkan pada prinsip-prinsip hukum (Thontowi, & Iskandar, 2006).

C. Bentuk-Bentuk Pengakuan Negara


1. Pengakuan secara Kolektif
Pengakuan suatu negara dalam kategori ini dapat berupa dua bentuk.
Bentuk yang pertama adalah deklarasi bersama oleh sekelompok negara.
Contohnya adalah pengakuan negara - negara Eropa secara koletif/bersama -
sama pada tahun 1992 terhadap ketiga negara yang berasal dari pecahan
Yugoslavia yakni Bosnia dan Herzegovina , Kroasia, dan Slovenia (Mauna,
2003).
Bentuk kedua yaitu pengakuan yang diberikan melalui penerimaan
suatu negara baru untuk menjadi bagian/peserta ke dalam suatu perjanjian
multilateral. Contohnya seperti perjanjian damai. Pengakuan kolektif ini dalam
kaitannya dengan pengakuan negara baru mempunyai peranan sebagai bukti
pengakuan terhadap adanya negara baru.
8

Pengakuan kolektif berkaitan dengan masuknya suatu negara ke dalam


suatu organisasi internasional terkadang menimbulkan masalah yang cukup
penting bagi negara yang bersangkutan. Penyebab hal ini adalah karena
masuknya negara tersebut ke dalam pengakuan terhadapnya bukan diberikan
oleh organisasi internasional melainkan oleh para anggotanya.
Pengakuan kepada negara baru diberikan oleh sekelompok negara yang
bergabung dalam organisasi tersebut. Sudah tentu dengan diberikannya
pengakuan kolektif ini akan mempunyai dampak yang cukup berpengaruh
terhadap hubungan negara baru tersebut dengan negara - negara anggota
organisasi internasionall tersebut.

2. Pengakuan secara Terang - terangan dan Individual


Pengakuan seperti ini berasal dari pemerintah atau badan yang
berwenang di bidang hubungan luar negeri, ada beberapa cara seperti :
a. Nota Diplomatik, Suatu Pernyataan atau Telegram.
Pada umumnya suatu negara mengakui negara lain secara
individual yang hanya melibatkan negara itu saja. Pengakuan
individual ini mempunyai arti diplomatik tersendiri bila diberikan oleh
suatu negara kepada negara bekas jajahannya atau kepada negara yang
sebelumnya bagian dari negara yang memberikan pengakuan (Mauna,
2003). Misal pernyataan negara Republik Indonesia terhadap
kemerdekaan Timor Leste dimana sebelumnya Timor Leste adalah
salah satu bagian dari NKRI.

b. Suatu Perjanjian Internasional, beberapa contohnya adalah :


1. Pengakuan Prancis terhadap Laos tanggal 19 Juli 1949 dan
Kamboja 18 November 1949.
2. Pengakuan Jepang terhadap Korea tanggal 8 September 1951
melalui pasal 12 Peace Treaty.
3. Pengakuan timbal ± balik Italia ± Vatikan melalui pasal 26 Treaty
of Latran 14 Februari 1929 (Mauna,2003:68-69).
9

3. Pengakuan secara Diam - Diam


Pengakuan ini terjadi jika suatu negara mengadakan hubungan dengan
pemerintah atau negara baru dengan mengirimkan seorang wakil diplomatik,
mengadakan pembicaraan dengan pejabat resmi atau kepala negara setempat.
Namun dalam keadaan ini harus ada indikasi atau tindakan nyata untuk
mengakui pemerintah atau negara yang baru. Seperti yang terjadi pada
hubungan Amerika Serikat dan Cina. Walaupun Amerika Serikat secara resmi
tidak mengakui RRC, tetapi semenjak tahun 1955 negara tersebut telah
mengadakan perundingan ± perundingan tingkat duta besar di Jenewa,
Warsawa, Prancis, dan yang diikuti dengan pembukaan kantor ± kantor
penghubung di kedua negar akhir Mei 1973 (Mauna, 2003).
Dapatlah dikatakan bahwa perundingan ± perundingan dan pembukaan
kantor penghubung tersebut ditambah dengan kunjungan resmi Presiden
Nixon ke Peking tahun 1971 merupakan pengakuan secara timbal±balik secara
diam±diam walaupun tidak adanya pengakuan secara resmi. Dalam hubungan
internasional, hubungan antar dua negara atau perundingan±perundingan
tingkat duta besar tidak mungkin dapat terjadi jika antara negara satu dengan
yang lain tidak saling mengakui keberadaan masing ± masing walaupun secara
diam ± diam. Kunjungan PM Israel Shimon Peres ke Maroko tanggal 21 Juli
1986 dan pembicaraan ± pembicaraan yang dilakukannya dengan Raja Hasan
II untuk mencari penyelesaian Timur Tengah dapatlah dianggap sebagai
pengakuan se-cara diam ± diam antara kedua negara (Mauna, 2003). Contoh
lainnya adalah Vatikan yang sering mengadakan hubungan dengan Israel pada
tingkat duta besar walaupun kedua negara ini tidak mem-punyai hubungan
diplomatik, dan pada akhirnya Vatikan secara resmi mengakui Israel pada
tanggal 30 Desember 1993.

4. Pengakuan Terpisah
Pengakuan terpisah ini digunakan apabila pengakuan itu diberikan
kepada suatu negara baru, namun tidak kepada pemerintahnya, atau sebaliknya
pengakuan diberikan kepada suatu pemerintah yang baru yang berkuasa, tetapi
pengakuan tidak diberikan kepada negaranya (Tasrif, 1966).
10

5. Pengakuan Mutlak
Suatu pengakuan yang telah diberikan kepada suatu negara baru tidak
dapat ditarik kembali. Institut Hukum Internasional dalam suatu Resolusi yang
disahkannya pada 1936 menyatakan bahwa pengakuan de jure suatu negara
tidak dapat ditarik kembali (Tasrif, 1966). Moore menyatakan bahwa
pengakuan sebagai suatu asas umum bersifat mutlak dan tidak dapat ditarik
kembali (absolute and irrevocable) (Tasrif, 1966). Hal ini dapat dikatakan
sebagai konsekuensi dari pengakuan de jure. Namun pengakuan secara de
facto yang telah diberikan, dalam keadaan tertentu pengakuan ini dapat ditarik
kembali (Malcolm, 1986). Penyebab hal ini karena biasanya pengakuan de
facto diberikan kepada negara, sebagai hasil dari penilaiannya yang bersifat
temporer atau sementara dan hati± hati terhadap lahirnya suatu negara baru.
Hal seperti ini dilakukan untuk mengahadapi suatu situasi dimana pemerintah
yang diakui secara de facto tersebut kehilangan kekuasaan, karena hal ini
maka alasan untuk memberikan pengakuan menjadi hilang. Oleh karena itu
pengakuan yang telah diberikan dapat ditarik kembali bagi negara yang
memberi pengakuan (Adolf, 1993).
Pada waktu pertama kali Indonesia menyatakan kemerdekaanya,
Belanda tidak mengakuinya, tetapi ketika Indonesia berhasil mempertahankan
ke erdekaan setelah dilalui oleh aksi ± aksi militer, Belanda tidak langsung
memberikan pengakuan de jure, tetapi hanya pengakuan de facto. Tindakan ini
dilakukan karena Belanda masih berharap situasi di dalam negeri Indonesia
dapat berubah dan Belanda dapat kembali berkuasa. Dalam praktek hukum
internasional, penarikan suatu pengakuan jarang terjadi atau ditemui, namun
hal ini mempunyai kemungkinan untuk terjadi. Tahun 1936 Inggris mengakui
secara de facto penaklukan Italia atas Ethiopia dan kemudian diikuti
pengakuan de jure di tahun 1938, namun Inggris menarik pengakuannya ini di
tahun 1940 menyusul terjadinya pergolakan senjata di negeri Ethiopia yang
diduduki itu (Malcolm, 1986).

6. Pengakuan Bersyarat
Suatu pengakuan yang diberikan kepada suatu negara baru yang
disertai dengan syarat ± syarat tertentu untuk dilaksanakan oleh negara baru
tersebut sebagai imbangan pengakuan (Tasrif, 1966).
11

Menurut Hall, pengakuan ini ada dua macam, yakni pertama,


pengakuan dengan syarat± syarat yang harus dipenuhi sebelum pengakuan
diberikan. Kedua, pengakuan dengan syarat± syarat yang harus dilakukan
kemudian sesudah pengakuan diberikan. Dalam hal yang pertama, pengakuan
tidak perlu dilakukan apabila syarat ± syarat yang telah disetujui tidak
dilakukan atau dilaksanakan. Dalam hal yang kedua, tidak dipenuhinya syarat
± syarat pengakuan yang telah disetujui untuk dilaksanakan maka hal ini
member alasan kepada negara yang memberikan pengakuan untuk
melaksanakan penataan syarat ± syarat tersebut melalui pemutusan hubungan
diplomatik atau bahkan dengan mengadakan intervensi.
Pengakuan bersyarat ini diberikan sebagai pengikat dan sebagai suatu
cara tekanan politik kepada suatu negara baru. Contoh dari pengakuan ini
adalah, ditandatanganinya perjanjian Litvinov tahun 1933, perjanjian ini berisi
pengakuan Amerika Serikat terhadap pemerintah Soviet. Dalam perjanjian
tersebut diisyaratkan agar Uni Soviet membayar seluruh tuntutan keuangan
Amerika Serikat dan bahwa Uni Soviet tidak akan melakukan tindakan ±
tindakan yang dapat mengganggu keamanan dalam negeri Amerika Serikat
(Adolf, 1993).
Pada tahun 1878 Bulgaria, Montenegro, Serbia, dan Rumania diakui
oleh sekelompok negara± negara Eropa dengan syarat bahwa negara± negara
ini tidak akan melarang warga negaranya menganut agamanya. Contoh lain
adalah pengakuan Amerika Serikat dan Inggris terhadap Pemerintahan
sementara Cekoslovakia dan Polandia, dimana dalam pengakuan tersebut
tercantum didalamnya persyaratan agar kedua negara ini mengadakan
pemilihan umum yang bebas sesudah pendudukan yang dilakukan Jerman atas
kedua negara ini berakhir (Adolf, 1993). Sehubungan dengan persyaratan±
persyaratan ini pula, Mahkamah Agung Amerika Serikat, dalam kasus U.S vs
pink mengatakan bahwa recognition is not always absolute, it is sometimes
conditional. Pengakuan bersyarat ini tidak berakibat hukum apapun juga, hal
ini disebabkan karena pengakuan yang demikian merupakan tindakan sepihak
saja, dan dilatarbelakangi oleh maksud ± maksud politik (Adolf, 1993).
Dalam hukum internasional dikenal dua macam bentuk pemerintah baru,
yaitu pengakuan pemerintah de jure dan de facto.
12

Pengakuan Pemerintah Baru


Pengakuan pemerintah baru ini adalah hal yang kerapkali muncul.
Pemerintah dalam suatu negara akan dan pasti berganti ± ganti. Perubahan
seperti ini sebetulnya tidak memerlukan pengakuan dari negara± negara lain.
Jika dibutuhkan pengakuan diberikan hanya sebatas tindakan formalitas saja
dan biasanya dilakukan secara diam ±diam.
Keadaan seperti ini terjadi khususnya manakala penggantian
pemerintah tersebut dilakukan menurut cara ± cara konstitusional, yaitu cara
±cara yang sah dan terjadi secara normal sesuai dengan kehidupan politik
negara yang bersangkutan. Baik itu dilakukan dengan pemilihan umum,
penggantian sementara kepala negara karena yang bersangkutan meninggal.
Contohnya adalah, ketika Soekarno digantikan kedudukannya oleh Soeharto,
masalah pengakuan ini tidak lahir karenanya (Adolf, 1993).
Yang menjadi permasalahan adalah ketika dalam penggantian
pemerintahan suatu negara terjadi karena cara ±cara yang tidak konstitusional.
Contoh, pemerintah yang berkuasa mendapatkan kekuasaanya melalui kudeta
(FRXS_G¶HWDW), pemberontakan atau penggulingan pemerintah yang sah
melalui cara ± cara yang tidak sah. Contohnya, Rezim Tinoco di Kosta Rica
yang berkuasa antara tahun 1917 ± 1919 tidak diakui oleh negara ±negara
sekutu yang sebagian besar disebabkan karena Amerika Serikat tidak
menyetujui rezim tersebut (Adolf, 1993). Dalam praktek pengakuan terhadap
negara dan pemerintah memang biasanya berjalan bersamaan. Ketika
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tahun 1945, negara lain seperti
India dan Mesir mengakui Indonesia dimana didalamnya pengakuan ini
mencakup pengakuan terhadap negara dan pemerintah.
Namun karena ada pemisahan pengakuan terpisah, maka pemberian
atau penolakan pemberian pengakuan terhadap pemerintah baru tidak ada
hubungannya dengan pengakuan negara. Oleh karena itu pula, jika suatu
negara menolak pengakuan suatu pemerintah baru yang berkuasa didalam
suatu negara, hal ini tidak mengakibatkan negara tersebut kehilangan statusnya
sebagai subjek hukum internasional (Adolf, 1993).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagai pribadi internasional yang membutuhkan hubungan dengan negara
lain atau subyek hukum internasional yang lain, negara baru tersebut membutuhkan
pengakuan dari negara lainnya agar dapat melakukan hubungan yang akan melahirkan
hak - hak dan kewajiban - kewajiban internasional yang harus dilaksanakan dalam
tatanan pergaulan internasional.
Hendaknya dibedakan pula antara negara sebagai pribadi internasional dalam
melaksanakan hak - hak dan kewajiban - kewajiban internasionalnya pada hal yang
lain. Suatu negara baru dapat dikatakan memiliki pribadi internasional atau sebagai
negara baru memang tidak membutuhkan pengakuan dari negara - negara lain sesuai
dengan pandangan teori Deklaratif.

B. Kritik dan Saran


Demikianlah makalah yang dapat kami buat, semoga makalah ini menjadi
salah satu bahan untuk menambah pengetahuan kita mengenai mempercayai dukun
semoga bermanfaat. Dan kami juga mengharapkan sumbangsih kritik dan saran yang
bersifat membangun guna penyusun makalah berikutnya akan lebih baik lagi.

13
14

DAFTAR PUSTAKA

Mochtar Kusuma Atmadja, “Pengantar Hukum Internasional”_ Binacipta, Bandung, 1989.


S.Tasrif, “Pengakuan dalam Teori dan Praktik”_Media Raya, Jakarta, 1966.
Pujilestari, Y. (2018). Peranan Pengakuan dalam Hukum Internasional: Teori Lahirnya Suatu
Negara dan Ruang Lingkup Pengakuan. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 5(2), 167-
178.
Sujadmiko, B. (2015). Pengakuan Negara Baru Ditinjau Dari Perspektif Hukum Internasional
(Studi terhadap kemerdekaan Kosovo). FIAT JUSTISIA: Jurnal Ilmu Hukum, 6(1).
Syahmin, A. K. (1992). Hukum Internasional Publik: Dalam Kerangka Studi Analitis.
Bandung: Binacipta.
Tiung, L. K., & Hasim, M. S. (2015). Peranan akhbar Cina dalam artikulasi isu-isu sejarah
dan pembentukan negara-bangsa. Jurnal Komunikasi: Malaysian Journal of Communication,
31(1).
Widagdo, S., Wahyudi, S., Setyorini, Y., & Basuki, I. (2008). Masalah-Masalah Hukum
Internasional Publik, Malang: Bayu Media Publishing.

Anda mungkin juga menyukai