MAKALAH
Oleh Kelompok V :
Muhammad Abizar 2013020017
Wegestin Lagus 2013020005
Asnaldi Al Hakim 2013020032
Ermawita 2013020013
Yona Agustia 2113020042
Dosen Pengampu :
Desri Yanri, S. H., M. H
Alhamdulillah. Puji beserta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami mampu menyelesaikan
Makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini berisikan tentang penjelasan "Pengakuan Dalam Hukum Internasional". Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : PEMBAHASAN
1. Kesimpulan ......................................................................... 13
2. Saran .................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan
masalahnya adalah :
1. Awal Lahirnya Suatu Negara
2. Pengakuan Negara
3. Bentuk-Bentuk Pengakuan Negara
B. Pengakuan Negara
Pengakuan merupakan suatu perbuatan politik negara untuk mengakui situasi
berupa fakta serta menerima akibat hukum dari pengakuan yang dilakukan (Mauna,
2000). Modern ini, negara – negara yang memberikan pengakuan bukan hanya
sekedaar mengetahui atau cognition bahwa suatu negara itu berhak merdeka tetapi
juga memenuhi syarat dalam hal dokumen, kebijakan, kondisi negara, serta akibat
hukum yang ada (Mauna, 2000). Selain itu, ketika suatu negara mengakui
kemerdekaan negara baru berarti dikemudian hari ia sudah menghilangkan
kemungkinan mempersoalkan dari syarat dan hal suatu negara untuk diakui.
5
dalam globalisasi dan modernisasi yang semakin gencar, tentulah setiap negara tidak
bisa hidup sendiri dan terisolasi tanpa mengadakan hubungan bilateral dan
internasional dengan negara lainnya (Sompotan, 2017). Namun, sebelum suatu negara
yang baru mendeklarasikan kemerdekannya mengadakan hubungan dengan negara
lain, perlu adanya pengakuan dengan berbagai persyaratan seperti kemampuan
mengadakan hubungan dan komunikasi yang lengkap dan sempurna dalam segala
bidang dengan negara lain, baik itu secara ekonomi, politis, sosial budaya, ilmu
pengetahuan dan teknologi (Thontowi & Iskandar, 2006). Namun, pengakuan sendiri
dalam hukum internasional bukanlah persoalan yang sederhana sebab melibatkan
langsung politik dan hukum dua atau lebih hubungan suatu negara. Dalam suatu
persoalan pengakuan, unsur hukum dan politik sulit untuk dipisakan secara gambling
sebab baik pemberian maupu penolakan pengakuan suatu negara seringkali
dipengaruhi dari unsur politik, yang berakibat mempunyai ikatan hukum.
Kesulitan lainnya berasal dari fakta bahwasannya hukum internasional tidak
mewajibkan suatu negara untuk mengakui kemerdekaan dan pemerintah negara lain.
Tidak ada keharusan untuk mengakui seperti juga tidak ada kewajiban untuk tidak
mengakui (Thontowi & Iskandar, 2006). Hingga saat ini ada golongan dari pakar
hukum internasional yang memiliki perbedaan pendapat mengenai pengakuan suatu
negara (Tasrif, 1966).
Teori lain pengakuan negara adalah Declatoir Theory, teori ini memberikan
pendapat bahwa apabila semua unsur kenegaraan (ada wilayah, rakyat, pemerintahan
yang berdaulat, memiliki kemamapuan dalam melakukan hubungan dengan Negara
lain) (Brierly, 1955), telah dipenuhi oleh masyarakat politik maka dengan sendirinya
ia telah merupakan sebuah Negara dan harus diperlakukan secara demikian oleh
negara-negara lainya.
Kemudian Constitutive Theory. Teori ini berpendapat bahwa meskipun unsur
kenegaraan tersebut telah terpenuhi oleh suatu masyarakat politik, tetapi tidak
langsung secara otomatis menjadi negara yang berada diantara masyarakat
internasional. Perlu ada pernyataan pengakuan dari negara – negara lain serta
memenuhi persyaratan berdirinya suatu negara (Syahmin, 1992), barulah ia dapat
disebut sebagai negara yang sudah diakui. Namun tidaklah ia secara otomatis dia
dapat diterima sebagai Negara ditengah-tengah masyarakat internasional. Terlebih
dahulu harus ada pernyataan dari Negara-negara lain, bahwa masyarakat politik telah
7
4. Pengakuan Terpisah
Pengakuan terpisah ini digunakan apabila pengakuan itu diberikan
kepada suatu negara baru, namun tidak kepada pemerintahnya, atau sebaliknya
pengakuan diberikan kepada suatu pemerintah yang baru yang berkuasa, tetapi
pengakuan tidak diberikan kepada negaranya (Tasrif, 1966).
10
5. Pengakuan Mutlak
Suatu pengakuan yang telah diberikan kepada suatu negara baru tidak
dapat ditarik kembali. Institut Hukum Internasional dalam suatu Resolusi yang
disahkannya pada 1936 menyatakan bahwa pengakuan de jure suatu negara
tidak dapat ditarik kembali (Tasrif, 1966). Moore menyatakan bahwa
pengakuan sebagai suatu asas umum bersifat mutlak dan tidak dapat ditarik
kembali (absolute and irrevocable) (Tasrif, 1966). Hal ini dapat dikatakan
sebagai konsekuensi dari pengakuan de jure. Namun pengakuan secara de
facto yang telah diberikan, dalam keadaan tertentu pengakuan ini dapat ditarik
kembali (Malcolm, 1986). Penyebab hal ini karena biasanya pengakuan de
facto diberikan kepada negara, sebagai hasil dari penilaiannya yang bersifat
temporer atau sementara dan hati± hati terhadap lahirnya suatu negara baru.
Hal seperti ini dilakukan untuk mengahadapi suatu situasi dimana pemerintah
yang diakui secara de facto tersebut kehilangan kekuasaan, karena hal ini
maka alasan untuk memberikan pengakuan menjadi hilang. Oleh karena itu
pengakuan yang telah diberikan dapat ditarik kembali bagi negara yang
memberi pengakuan (Adolf, 1993).
Pada waktu pertama kali Indonesia menyatakan kemerdekaanya,
Belanda tidak mengakuinya, tetapi ketika Indonesia berhasil mempertahankan
ke erdekaan setelah dilalui oleh aksi ± aksi militer, Belanda tidak langsung
memberikan pengakuan de jure, tetapi hanya pengakuan de facto. Tindakan ini
dilakukan karena Belanda masih berharap situasi di dalam negeri Indonesia
dapat berubah dan Belanda dapat kembali berkuasa. Dalam praktek hukum
internasional, penarikan suatu pengakuan jarang terjadi atau ditemui, namun
hal ini mempunyai kemungkinan untuk terjadi. Tahun 1936 Inggris mengakui
secara de facto penaklukan Italia atas Ethiopia dan kemudian diikuti
pengakuan de jure di tahun 1938, namun Inggris menarik pengakuannya ini di
tahun 1940 menyusul terjadinya pergolakan senjata di negeri Ethiopia yang
diduduki itu (Malcolm, 1986).
6. Pengakuan Bersyarat
Suatu pengakuan yang diberikan kepada suatu negara baru yang
disertai dengan syarat ± syarat tertentu untuk dilaksanakan oleh negara baru
tersebut sebagai imbangan pengakuan (Tasrif, 1966).
11
A. Kesimpulan
Sebagai pribadi internasional yang membutuhkan hubungan dengan negara
lain atau subyek hukum internasional yang lain, negara baru tersebut membutuhkan
pengakuan dari negara lainnya agar dapat melakukan hubungan yang akan melahirkan
hak - hak dan kewajiban - kewajiban internasional yang harus dilaksanakan dalam
tatanan pergaulan internasional.
Hendaknya dibedakan pula antara negara sebagai pribadi internasional dalam
melaksanakan hak - hak dan kewajiban - kewajiban internasionalnya pada hal yang
lain. Suatu negara baru dapat dikatakan memiliki pribadi internasional atau sebagai
negara baru memang tidak membutuhkan pengakuan dari negara - negara lain sesuai
dengan pandangan teori Deklaratif.
13
14
DAFTAR PUSTAKA