Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pengantar ilmu hukum internasional, kita akan menemukan betapa


pntingnya pengakuan dalam hukum internasional dalam hubungan antar
Negara sebagai mana diakui oleh semua sarana hukum internasional, dalam
hukum internasional pengakuan sangatlah berpengaruh terhadap
perkembangan sejarah hukum internasional.

Pembahasan mengenai pengakuan dalam hukum internasional ini semoga


dapat bermanfaat, karena tetap merupakan suau masalah aktual yang
menyagkut berbagai bidang hubungan antar Negara, karena masyarakat
internasional merupakan masyarakat yang dinamis berubah dari waktu ke
waktu. Perubahan-perubahan inilah yang menyebabkan masyarakat
internasional diahadapkan dua pilihan mengakui atau tidak mengakui. Oleh
sebab itulah tanpa mendapatkan pengakuan Negara tersebut akan mengalami
kesulitan dalam melakukan hubunan antar Negara.

Negara merupakan salah satu subyek dari hukum internasional yang


sifatnya dinamis. Identitas dan jumlah negara dalam masyarakat internasional
tidak selalu tetap, melainkan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Negara-
negara lama lenyap atau bergabung dengan negara lain untuk kemudian
membentuk sebuah negara baru, atau terpecah menjadi beberapa negara baru,
dan juga ada wilayah yang berusaha memerdekakan diri dan menamakannya
suatu bangsa.

Namun untuk dapat menjadi suatu negara, dibutuhkan pengakuan dari


negara lain, apakah suatu negara menyetujui negara yang baru muncul
tersebut. Sebab, eksistensi suatu negara juga berkenaan dengan
kemampuannya menyelenggarakan hubungan internasional, meskipun
kepastian batas wilayah belum ditentukan. Pada akhirnya, masalah pengakuan
mau tidak mau harus dihadapi oleh negara-negara, terutama apabila hubungan

1|Hukum Internasional
diplomatik dengan negara atau pemerintah yang diakui itu dianggap perlu
untuk dipertahankan. Oleh karena itu penulis berupaya untuk menjelaskan
lebih lanjut mengenai pengakuan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian pengakuan secara umum ?
2. Bagaimana pengakuan de facto dan de juro ?
3. Bagaimana akibat hukum dari pengakuan ?
4. Bagaimana pengakuan terhadap insurgent dan belligerent ?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian pengakuan secara umum .
2. Mengerti pengakuan de facto dan de jure.
3. Mengerti akibat hukum dari sebuah pengakuan .
4. Mengetahui terhadap insurgent dan belligerent .

2|Hukum Internasional
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengakuan secara umum

Sebagaimana dikatakan oleh pakar Hukum Internasional Amerika Serikat,


MOORE, maka pengakuan berguna untuk menjamin bahwa suatu Negara baru
dapat menduduki tempatnya yang wajar sebagai suatu organisme politik yang
merdeka dan berdaulat ditengah keluarga bangsa-bangsa sehingga ia dapat
mengadakan berbagai hubungan dengan negara-negara lain secara aman dan
sempurna, tanpa khawatir kedudukanya sebagai kesatuan politik itu akan
diganggu oleh negara-negara yang telah ada.1

Sementara itu pengakuan ialah perbuatan politik dimana suatu Negara


menunjukan kesediaannya untuk mengakui suatu situasi fakta dan menerima
akibat hukum dari pengakuan tersebut.2 Kemudian dalam praktek Negara
modern pengakuan bukan sekedar mengetahui (cognition),3 atau lebih
daripada suatu pernyataan mengetahui bahwa suatu negara atau pemerintah
memenuhi syarat untuk diakui. Hal ini dibuktikan dengan fakta, antara lain
bahwa mungkin saja terjadi penundaan sebelum suatu Negara atau pemerintah
diakui, meskipun status Negara atau pemerintah itu tidak diperlukan lagi.
Tujuan praktis pengakuan ialah diawalinya hubungan resmi dengan Negara-
negara lain yang mengakui. Sekali pengakuan itu diberikan, maka tindakan itu
berarti menghilangkan kemungkinan negara yang mengakui untuk
mempersoalkan kembali syarat-syarat untuk diakuinya negara atau pemerintah
terkait. Sebagai tambahan tentang bentuk pengakuan tadi, masih terdapat
pengakuan terhadap suatu Negara seperti, pemberontak, organisasi

1
Setyo Widagdo, Masalah-Masalah Hukum Internasional Publik, Bayu Media Publishing,
Malang 2008, hal.220

2
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, Alumni, Bandung 2000, hal 60.
3
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta 2004, hal
177

3|Hukum Internasional
pembebasan bangsa, pengakuan atas wilayah, traktat baru dan lain-lain. ada
juga pengakuan yang diberikan secara terang-erangan dan secara diam-diam,
4
dan terakhir adalah pengakuan secara de jure dan de facto.

B. Pengakuan de facto dan de jure

Pengakuan de facto adalah pengakuan yang dI berikan Kepada suatu


pemerintahan yang belum lagi sah secara konstitusi Pemerintah yang lahir
melalui suatu revolusi misalnya masih dianut sebagai pemerintah de facto
walaupun kekuasaan pemerintahterdn sudah efektif di seluruh wilayah
nasional Pemerintah yang diakui secara de jure adalah pemerintahan yang
telah memenuhi tiga ciri sebagai berkut a. Efektivitas kekuasaan yang diakui
di seluruh wilayah negara b. Regularitas berasal dari pemilihan umum atau
telah disahkan oleh konstitusi c. Eksklusivitas hanya pemerintah itu sendiri
yang mempunya ingan kekuasaan dan tak ada pemerintal ian tandin Dalam
prakteknya sering negara-negara mengakuide facto terlebh dahulu, kemudian
baru menyusul pengakuan de jure. Inggris, Itali dan Swiss misalnya mengakui
Uni Soviet secara de facto dulu, den membuka hubungan dagang, baru
kemudian dikuti dengan pengakuan de jure. Pada umumnya Indonesia juga
diakui secara de facto dula oleh sejumlah negara waktu revolusi fisk 1945-
1949 dan baru sesudah pemulihan kedaulatan diberi penyakuari de jure.
Amerka Senka: pada tahun 1946 mengakui Indonesia secara de facto terlebih
dahulu dan baru kenudian de jure. Mengenai pengakuan ini, Mešir mempunyai
tempat tersendiri sabagai negara pertama yangmengakui kemtrdekaan
Indonesia secara de facto pada tanggal 23 Maret 194 dan kemudián secara de
jure tanggal 18 Nopember pada tahun yang sama be sama Syria, Lebanon,
Saudi Arabia, Yordania dan Yaman dalam kerangka Liga Arab. Sebagai
kesimpulan dari pengakuan negara dan pemerintahan ini dapatlah dinyatakan
bahwa pengakuan terhadap suatu negara juga berarti pengakuan terhadao
pemerintahan negara tersebut, karena pemerintah itu merupakan satu-satunya
organ yang mempunyai wewenang untuk bertindak atas nama negara.

4
John O’Brien, International law, Cavendish, London 2001, hal 170

4|Hukum Internasional
Pengakuan negara sekai diberikan akan tetap ada walaupun bentuk negara
mengalami perubaha dan meskipun pemerintahannya sering berganti.
Revolusi-revolusi adalah persoalan interm suatu negara dan hukum
intemasional hanya ikut campur apabila terjadi pelanggaran terhadap
perjanjian-perjanjan Internasional atau pelanggaran dari hak-hak yang telah
diperoleh negara ketiga. Itu adalah prinsip kontunuitas suatu negara.5

C. Akibat hukum dari pengakuan

Pengakuan menimbulkan akibat-akibat atau konsekuensi hukum yang


menyangkut hak-hak, kekuasaan-kekuasaan dan privilege-privelege dari
negara atau pemerintah yang diakui baik menurut hukum internasional
maupun menurut hukum nasional negara yang memberikan Pengakuan.
Adapun masalah yang harus diperhatikan apabila masalah pengakuan timbul
karena pengujian, meskipun sifatnya insindental, oleh pengadilan- pengadilan
Nasional, dengan persoalan-persoalan pembuktian dan penafsiran. Dalam hal
ini penting dipertimbangkan batas-batas antara hukum internasional dan
hukum nasional. Pengakuan memberikan kepada negara atau pemeritah yang
diakui suatu status baik menurut hukum internasional maupun hukum
nasional.6

Dalam hukum nasional, kemampuan negara atau negara atau pemerintah


yang diakui dapat ditinjau dari aspek negatif, yaitu dengan mengemukakan
ketidakmampuan kesatuan politik yang disebut negara yang belum diakui.
Ketidak mampuan utama dari negara atau pemerintah itu menurut J.G. Starke,
ialah sebagai berikut :7

1. Kesatuan Politik (baik berupa negara ataupun pemerintah) itu tidak dapat
dibawa kedepan pengadilan negara yang tidak mengakuinya. Asas ini termuat
dalam diktum keputusan Pengadilan Tinggi New York, dalam perkara

5
Anthony R. Mauna, skripsi. Pombukaan Hubungan Diplomatk Indonesia Mesir tahun 1947
Latar Beakang dan Frospek. Unhareltas Nasicnal, FISIP, 1997,hlm 95

6
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta 2004, hal
192
7
Fred Isjwara, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung 1972, hal 76-77

5|Hukum Internasional
”Russian Socialist Federal Soviet Republic Vs Cibrario”. Tindakan kesatuan
politik yang tidak diakui itu pada umumnya tidak menimbulkan akibat-akibat
yang lazim diberikan menurut komitas (kehormatan)

2. Wakil dari negara yang belum diakui tidak dapat menuntut imunitas dalam
perkara hukum.

3. Harta milik negara yang tidak diakui dapat dimiliki oleh wakil rezim yang
ditumbangkan.

Dalam Hukum Internasional, kesatuan politik (negara atau pemerintah)


yang diakui, menjadi anggota penuh dari masyarakat internasional. Dengan
kata lain negara atau pemerintah baru itu dapat menjadi subjek hukum
internasional, setelah diakui oleh negara lain. Oleh karena itu antara lain ia
dapat mengadakan hubungan diplomatik dengan negara yang mengakuinya,
dapat menutup atau menandatangani perjanjian internasional dan sebagainya.
Dengan demikian Sejak adanya pengakuan dari negara-negara lain, negara atau
pemerintah baru yang bersangkutan diwajibkan memenuhi kewajiban
internasionalnya. Dalam sebagian besar kasus mengenai lahirnya negara baru,
pengakuan adalah sebagai kebijaksanaan politik negara-negara yang mengakui
negara tersebut dan dapat mempunyai akibat :8

a. Pengakuan adalah suatu kebijaksanaan individual dan dalam hal ini negara-
negara bebas untuk mengakui suatu negara tanpa harus memperhatikan sikap
negara-negara lain.

b. Pengakuan adalah suatu discretionary act yaitu suatu negara mengakui


negara lain kalau dianggapnya perlu, sebagai contoh;

1) Spanyol baru mengakui Peru setelah 75 tahun negara tersebut


memproklamasikan kemerdekaanya.

2) Belanda baru mengakui Belgia pada tahun 1838 setelah negara tersebut
merdeka pada tahun 1831
8
Budiyanto, “Analisis Kewajiban Negara Untuk Mengakui dan Diakui dalam Konteks Pengakuan
Negara dalam Hukum Internasional” Jurnal Universitas Negeri Semarang 2017, Hlm 10

6|Hukum Internasional
3) Amerika Serikat mengakui Israel hanya beberapa jam setelah negara
tersebut lahir tanggal 14 Mei 1948

4) Amerika Serikat mengakui RRC sete;lah 30 tahun terbentuknya negara


tersebut.

Perlu kiranya dicatat bahwa pengakuan negara hanya dilakukan satu kali.
Perubahan bentuk suatu negara tidak akan mengubah statusnya sebagai
negara. Perancis misalnya yang dari tahun 1791 sampai tahun 1875beberapa
kali berubah, dari kerajaan, republik, kekaisaran, kembali ke kerajaan dan
republik dengan pembentukan Republik III pada tahun 1875, Republik IV
tahun 1941, dan semenjak tahun 1958 Republik V tetap merupakan negara
Perancis dengan hak-hak dan kewajiban yang sama sebagai subjek hukum
internasional dan yang tidak memerlukan lagi pengakuan sebagai negara.

D. pengakuan terhadap insurgent dan belligerent

Aturan hukum internasional menetapkan tahap pemberontakan


dibedakan dalam dua tahap, yaitu:
1. insurgent (insurgency) dan tahap
2. belligerent (belligerency).

Pada prinsipnya insurgent merupakan kualifikasi pemberontakan


dalam suatu negara namun secara de facto belum mencapai tingkat
keteraturan sebagai organisasi yang terpadu dalam melakukan perlawanan.
Dalam hal ini, kedudukan pemberontak belum dapat diakui sebagai pribadi
internasional yang menyandang hak dan kewajiban menurut hukum
internasional.

Kualifikasinya sebagai insurgent, pemberontak atau gerakan separatis


secara de jure internasional dilihat sebagai gerakan yang bertujuan
mencapai keberhasilan melalui penggunaan senjata. Diartikan bahwa,
kualifikasi insurgent belum dapat disebut sebagai perang saudara (civil
war) dalam hukum internasional.

7|Hukum Internasional
Apabila pemberontakan insurgent semakin memperlihatkan
perkembangan yang signifikan, meliputi wilayah yang semakin luas dan
menunjukkan kecenderungan pengorganisasian semakin teratur serta telah
menduduki beberapa wilayah dalam satu negara secara efektif, maka hal
ini menunjukkan pemberontak telah berkuasa secara de facto atas
beberapa wilayah. Menurut hukum internasional tahapan tersebut
mengindikasikan keadaan pemberontakan telah mencapai tahap
belligerent.
Setiap pemberontak (insurgent) tidak dapat disebut sebagai
belligerent karena untuk dapat diakui sebagai belligerent sebagai subjek
hukum internasional harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana berikut:
1. Pemberontakan telah terorganisasi dalam satu kekuasaan
yang benar-benar bertanggungjawab atas tindakan
bawahannya dan memiliki organisasi pemerintahan nya
sendiri;
2. Pemberontak mempunyai kontrol efektif secara de facto
dalam penguasaan atas beberapa wilayah;
3. Pemberontak menaati hukum dan kebiasaan perang (seperti
melindungi penduduk sipil dan membedakan diri dari
penduduk sipil) serta memiliki seragam dengan tanda-tanda
khusus sebagai peralatan militer yang cukup.

Insurgent merupakan awal mula pembentukan belligerent, namun


setiap pemberontak (insurgent) tidak dapat disebut sebagai belligerent
apabila belum memenuhi ketentuan-ketentuan belligerent.
Di wilayah di mana terjadi tindakan pemberontakan, pemerintah
negara yang berdaulat masih memiliki semua hak dan kewajiban sebagai
penguasa yang sah. Sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor
2131 (XX) yang dikeluarkan tahun 1965, dalam hubungannya maka setiap
upaya negara asing atau negara lain yang membantu kaum pemberontak,
dianggap merupakan tindakan intervensi, dan karenanya merupakan

8|Hukum Internasional
pelanggaran hukum internasional.
Apabila tahap pemberontakan yang terdapat di dalam suatu negara
telah mencapai tahap belligerent, memungkinkan adanya negara lain yang
mengakui kedudukan pemberontak. Pemberontakan yang telah dianggap
memiliki kapasitas untuk memunculkan konflik, menjadikan beberapa
negara mengakui keeksistensiannya, didasarkan pada munculnya
pemberontak sebagai dasar mereka untuk berdiri sendiri seiring dengan
kehendak sendiri.
Namun dalam pengertian lain, apabila suatu negara memberikan
pengakuan terhadap pemberontak sebagai belligerent, sementara
pemberontak tersebut sebenarnya tidak memenuhi persyaratan, maka
pengakuan negara asing tersebut dapat dianggap sebagai campur tangan
terhadap suatu negara yang sedang menangani pemberontakan di dalam
wilayahnya, dan hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran hukum
internasional.

Gerakan taliban sebagai contoh insurgent, yaitu gerakan nasionalis


Islam Sunni pendukung Pashtun yang secara efektif menguasai hampir
seluruh wilayah Afganistan sejak tahun 1996 sampai tahun 2001.
Kelompok taliban dibentuk pada tahun 1994 mendapat dukungan dari
Amerika Serikat dan Pakistan. Dewan Keamanan PBB mengecam
tindakan kelompok Taliban dikarenakan kejahatannya terhadap warga
negara Iran dan Afganistan, dimana Taliban melakukan berbagai aksi
pelanggaran HAM di Afganistan.
Kelompok tersebut mendapatkan pengakuan dari tiga negara yaitu
Uni Emirat Arab, Pakistan, dan Arab Saudi, serta pemerintah Republik
Chechnya Ichkeria yang tidak diakui dunia.
Sementara contoh belligerent adalah Palestine Liberation (PLO)
adalah sebuah organisasi Palestina yang didirikan pada tahun 1964, dan
memiliki tujuan utama untuk menyuarakan aspirasi rakyat Palestina dalam
jumlah besar yang hidup di tenda-tenda pengungsi di Libanon.
Sejak tahun 1967 tujuan utama dari PLO adalah dalam rangka
menghancurkan negara Israel, yang ksemudian ditegaskan pada piagam

9|Hukum Internasional
PLO yang diselenggarakan di Kairo pada tanggal 10 Juli-17 Juli 1968
pada peremuan Dewan Nasional Palestina, yang tertuang dalam Pasal 9
Piagam PLO.
PLO telah mendapat pengakuan dari dunia internasional dengan
mendapatkan status peninjau di Sidang Umum PBB pada tahun 1974.
Dengan pengakuan terhadap Palestina, maka diberikan terhadapnya hak-
hak dan privilese tambahan, termasuk hak untuk ikut serta dalam
perdebatan umum yang diadakandalam setiap sesi Sidang Umum, hak
untuk menjawab, hak untuk mensponsori resolusi khususnya terkait
masalah Palestina dan Timur Tengah, sehingga PLO menjadi belligerent
yang diakui keberadaannya.
Keberadaan pemberontak dalam perangkat hukum internasional
terdapat dalam Konvensi Wina 1969 yaitu perjanjian yang turut
merumuskan atau mengkodifikasikan hukum-hukum kebiasaan
internasional dalam bidang kesepakatan maupun perjanjian. Konvensi
Wina 1969 mengatur pengembangan secara progresif hukum internasional
tentang perjanjian dan turut mengakui eksistensi hukum kebiasaan
internasional tentang perjanjian, khususnya persoalan-persoalan yang
belum diatur sebelumnya dalam Konvensi Wina.
Konvensi Wina 1969 diterima dan diakui oleh dunia internasional
sebagai norma-norma yang tidak bisa dikurangi atau dibatalkan dengan
alasan apapun juga meskipun negara dalam keadaan perang. Hal ini sesuai
dengan pengertian jus Cogens terdapat dalam Bagian V Konvensi Wina
paa rumusan Pasal 53 dinyatakan sebagai berikut:
“.....a premptory norm of general international law is norm
accepted and recognized by the international community of states as whole
as norm from modified only by a subsequent norm of general international
law having the same character” (sebagai suatu norma yang diterima dan
diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan,sebagai norma
yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar
hukum internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama).

Jus cogens merupakan aturan-aturan dasar hukum internasional

10 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l
umum yang dapat ditafsirkan sebagai public policy dalam pengertian
hukum nasional. Pemberontak sendiri merupakan gejolak yang terjadi
dalam sebuah negara yang penanganan nya diatur secara nasional. Lord
McNair menggunakan Jus Cogens sebagai ketentuan-ketentuan hukum
kebiasaan internasional yang berada dalam suatu kategori hukum yang
lebih tinggi dan ketentuan-ketentuan mana yang tidak dapat
dikesampingkan atau diubah oleh negara-negara yang membuat perjanjian.
Selanjutnya diberi ketentuan yang telah diterima baik secara tegas dan
aturan yang lebih penting untuk melindungi kepentingan masyarakat
umum internasional, seperti ketentuan-ketentuan mengenai perang agresi,
hukum mengenai genocide (larangan untuk membunuh massal),
ketentuan-ketentuan mengenai perbudakan, pembajakan, tindakan-
tindakan yang tergolong dalam ranah kriminal terhadap kemanusiaan, juga
mengenai ketentuan prinsip untuk menentukan nasib sendiri juga
mengenai hak-hak asasi manusia.
Dengan kata lain, norma-norma dalam instrumen internasional
yang masuk dalam kategori Jus Cogens, yaitu kejahatan kemanusiaan,
kejahatan perang, genocida, dan piracy atau piracies.
Selanjutnya premptory norm mewakili prinsip yang paling dasar
dari hukum humaniter dalam keadaan berperang. Premptory norm sebagai
bagian dari hukum internasional, juga mengikat individu, selain negara,
termasuk kaum pemberontak, sehingga implikasinya pemberontak juga
merupakan bagian subjek dari Konvensi Wina 1969.9

9
Bima Ari Putri Wijata, “Insurgency and Belligerency”, pustaka orbit Semarang, 2013, hal 12

11 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan.
1. pengakuan ialah perbuatan politik dimana suatu Negara menunjukan
kesediaannya untuk mengakui suatu situasi fakta dan menerima akibat
hukum dari pengakuan tersebut. maka pengakuan berguna untuk
menjamin bahwa suatu Negara baru dapat menduduki tempatnya yang
wajar sebagai suatu organisme politik yang merdeka dan berdaulat
ditengah keluarga bangsa-bangsa sehingga ia dapat mengadakan
berbagai hubungan dengan negara-negara lain secara aman dan
sempurna, tanpa khawatir kedudukanya sebagai kesatuan politik itu
akan diganggu oleh negara-negara yang telah ada
2. gak paham isinya terlalu banyak thypoh
3. Pengakuan menimbulkan akibat-akibat atau konsekuensi hukum yang
menyangkut hak-hak, kekuasaan-kekuasaan dan privilege-privelege
dari negara atau pemerintah yang diakui baik menurut hukum
internasional maupun menurut hukum nasional negara yang
memberikan Pengakuan. Dengan demikian Sejak adanya pengakuan
dari negara-negara lain, negara atau pemerintah baru yang
bersangkutan diwajibkan memenuhi kewajiban internasionalnya.

4. insurgent merupakan kualifikasi pemberontakan dalam suatu negara


namun secara de facto belum mencapai tingkat keteraturan sebagai
organisasi yang terpadu dalam melakukan perlawanan. Dalam hal ini,
kedudukan pemberontak belum dapat diakui sebagai pribadi
internasional yang menyandang hak dan kewajiban menurut hukum
internasional. Sedangkan pemberontakan belligerent adalah bentuk
pemberontakan insurgent yang semakin tersetruktural dan wilayah
nya semakin luas juga telah mendapat pengakuan secara dejure dari
dunia international

12 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l
B. Saran .
Demikian lah yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih ada kekurangan dan
kelemahan, karena terbatas pengetahuan . Kami selaku penulis makalah ini
banyak berharap para pembaca yang budiman sekiranya memberikan saran
dan keritik yang membangun kepada kami selaku penulis makalah ini demi
kesempurnaannya makalah ini . Semoga makalah ini berguna bagi penulis
pada khususnya juga para pembacayang budiman pada umumnya.

13 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l
DAFTAR PUSTAKA

Bima Ari Putri Wijata, “Insurgency and Belligerency”, pustaka orbit Semarang,
2013.

Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Alumni, Bandung 2000.

Budiyanto, “Analisis Kewajiban Negara Untuk Mengakui dan Diakui dalam


Konteks Pengakuan Negara dalam Hukum Internasional” Jurnal Universitas
Negeri Semarang, 2017. Di akses pada tanggal 4 mei 2019.

Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 6 No. 1 Januari-April 2012. Di akses
pada tanggal 4 mei 2019.

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika,


Jakarta 2004.

John O’Brien, International law, Cavendish, London 2001.

14 | H u k u m I n t e r n a s i o n a l

Anda mungkin juga menyukai