Anda di halaman 1dari 8

PENGAKUAN DALAM HUKUM

INTERNASIONAL
Dosen Pengampu: Dr. Fadli Andi Natsif, S.H.,M.H

Disusun Oleh Kelompok 2

Lutfiah Syariah (10400121002)


Khanza Putri Hakeem (10400121005)
Saifullah (10400121007)
A. Arla Irada Putri Oddang (10400121009)
Nursyaidah (10400121032)

Jurusan Ilmu Hukum

Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Tahun Pelajaran 2022/2023


A. Pengertian Pengakuan
Sebagaimana dijelaskan pada kelompok sebelumnya yaitu mengenai Subjek Hukum
Internasional, Negara merupakan Subjek hukum internasional yang utama, asli dan
terpenting. Untuk diakuinya sebuah entitas bangsa sebagai negara, maka harus mememuhi
unsur-unsur tertentu, salah satunya adalah Pengakuan (recognition). Pengakuan dalam
hukum internasional mempunyai porsi yang penting, karena pengakuan merupakan salah
satu unsur ketika suatu bangsa suatu entitas dapat atau tidak memenuhi unsur sebagai
negara (subjek hukum internasional yang menyandang hak dan kewajiban internasional).
Hal ini secara eksplisit diatur dalam Konvensi montevidio 1933, untuk mememuhi entitas
sebuah negara, maka harus memenuhi kualifikasi.

Pengakuan hanya dianggap hanya bersifat pernyataan dari negara-negara lain dan tidak
mempengaruhi status kedudukan negara baru tersebut ditengah-tengah masyarakat
internasional.

Pengakuan dapat dinyatakan secara terang-terangan ataupun secara diam-diam,


Pengakuan dalam hukum internasional tidak hanya terkait dengan penerapan kriteria-
kriteria hukum. Oleh karena itu. Dalam penerapannya justru pertimbangan politiklah yang
sangat menentukan.

B. Fungsi Pengakuan
Secara umum gambaran tentang fungsi pengakuan dapat difahami melalui definisinya
bahwa:
“… fungsi pengakuan adalah untuk menjamin suatu negara baru dapat menduduki tempat
yang wajar sebagai suatu organisme politik yang merdeka dan berdaulat ditengah-tengah
keluarga bangsa-bangsa sehingga secara aman dan sempurna dapat mengadakan
hubungan dengan negara-negara lain, tanpa mengkhawatirkan bahwa kedudukannya
sebagai kesatuan politik itu akan diganggu oleh negaranegara yang telah ada”.

Menurut J.B. Moore makna pengakuan adalah sebagai suatu jaminan yang diberikan
kepada suatu negara baru bahwa negara tersebut diterima sebagai anggota masyarakat
internasional (Adolf, 1993). Dari definisi di atas maka dapat diartikan fungsi pengakuan
ini yaitu, untuk memberikan tempat yang sepantasnya kepada suatu negara atau
pemerintah baru sebagai anggota masyarakat internasional.

Dalam literatur – literatur hukum pun terdapat pendapat yang menyatakan bahwa
pengakuan ini adalah sebagai suatu keharusan atau sebagai suatu kewajiban hukum. Hal
ini berawal dari doktrin Luterpacht dan Chen yang menyatakan bahwa pengakuan ini
merupakan suatu keharusan agar suatu negara dapat lahir.

Pengakuan pada dasarnya memiliki dua fungsi, yaitu:

a) Fungsi politik yang diperoleh dari pengakuan adalah negara yang telah diakui itu
diterima sebagai pribadi internasional dalam interaksinya dengan negara yang
memberi pengakuan sehingga kedudukan dan tindakan-tindakannya diakui memiliki
konsekwensi politik yang tegas.

b) Fungsi hukum yang diperoleh melalui pengakuan adalah negara yang diakui secara
formal telah sah menggunakan atribut-atribut kenegaraannya dalam interaksinya
2
dengan negara-negara lain terutama negara-negara yang telah mengakuinya.
Disamping itu negara atau pemerintah baru yang telah diakui itu berpengaruh terhadap
hukum domestik negara yang mengakui.

C. Jenis-Jenis Pengakuan
Berdasarkan bentuknya pengakuan dapat dibedakan menjadi 8, antara lain:
a) Pengakuan de jure

Pengakuan de jure adalah bentuk yang tertinggi yang diberikan dengan


perhitungan bahwa negara atau pemerintah baru itu secara formal telah memenuhi
persyaratan yang ditentukan hukum internasional untuk ikut serta secara efektif
dalam masyarakat internasional. Pengakuan de jure tidak dapat ditarik kembali,
kecuali dengan hilangnya syarat negara atau pemerintah itu, sehingga dalam hal ini
pengakuan itu hilang dengan sendirinya bersama hilangnya negara atau pemerintah
baru.
b) Pengakuan de facto
Dalam konteks pengakuan sebuah negara pengakuan yang diberikan negara satu
ke negara lainnya menjadi komponen utama dalam pergaulan internasional sebagai
sesama anggota masyarakat internasional. Jenis pertama dari cara pemberian
pengakuan adalah pengakuan de facto, dari segi bahasa de facto berarti pada
kenyataannya (berasal dari bahasa latin). Pengakuan negara de facto berarti
pengakuan yang diberikan oleh negara lain kepada negara lainnya yang telah
memenuhi semua unsur terbentuknya negara. Berdasarkan sifat yang dimilikinya,
terdapat dua jenis pengakuan de facto, yaitu yang bersifat tetap dan sementara,
dengan penjelasan sebagai berikut:
- Pengakuan de facto bersifat tetap, Yaitu pengakuan dari negara lain yang dapat
menjadikan adanya hubungan bilateral di bidang ekonomi sedangkan untuk
tingkat diplomatik belum bisa dilaksanakan. Pengakuan in diberikan atas dasar
kenyataan bahwa negara yang hendak diakui telah memiliki ketiga unsur
konstitutif terbentuknya suatu negara, yaitu rakyat, wilayah, dan pemerintah
yang berdaulat.
Contohnya yaitu: Negara dalam hal ini adalah Pengakuan yang diberikan
negara Mesir pada bulan Juni tahun 1947 kepada Indonesia
- Pengakuan de facto bersifat sementara, Yaitu pengakuan dari negara lain
dilakukan dengan tidak melihat apakah nantinya negara tersebut akan bertahan
lama atau tidak. Ketika negara tersebut gugur, maka pengakuan dari negara
tersebut dapat ditarik kembali.
Contoh praktik negara dalam pemberian pengakuan defacto sementara yaitu,
ketika negara Amerika Serikat mengakui adanya negara Vietnam Selatan yang
memiliki paham kapitalis pada tahun 1955.
c) Pengakuan kolektif
Pengakuan kolektif diberikan secara bersama sejumlah negara dalam bentuk
keputusan internasional (international decision) melalui organisasi internasional
ataupun tidak. Keputusan ini dapat berupa konfrensi multilateral atau perjanjian
internasional multilateral. Pengakuan kolektif juga dibagi menjadi dua bentuk
3
pengakuan yaitu pengakuan dalam bentuk deklarasi bersama oleh sekelompok
negara dan pengakuan yang diberikan melalui penerimaan suatu negara baru untuk
menjadi peserta atau pihak ke dalam suatu perjanjian multilateral.
d) Pengakuan bersyarat
Menurut Hall, pengakuan ini ada dua macam, yakni pertama, pengakuan dengan
syarat– syarat yang harus dipenuhi sebelum pengakuan diberikan. Kedua,
pengakuan dengan syarat– syarat yang harus dilakukan kemudian sesudah
pengakuan diberikan. Dalam hal yang pertama, pengakuan tidak perlu dilakukan
apabila syarat – syarat yang telah disetujui tidak dilakukan atau dilaksanakan. Dalam
hal yang kedua, tidak dipenuhinya syarat – syarat pengakuan yang telah disetujui
untuk dilaksanakan maka hal ini member alasan kepada negara yang memberikan
pengakuan untuk melaksanakan penataan syarat – syarat tersebut melalui pemutusan
hubungan diplomatik atau bahkan dengan mengadakan intervensi.

Persyaratan ini biasa bersifat obyektif yang menyangkut kondisi faktual negara
yang diakui. Namun bisa juga subjektif yaitu konsensikonsensi politik-ekonomi,
atau perlakuan istimewa negara yang diakui terhadap negara yang mengakui.
Setelah pengakuan ini diberikan, tidak dapat dibatalkan walaupun terjadi
pelanggaran syarat yang ditentukan.
Pengakuan bersyarat ini tidak berakibat hukum apapun juga, hal ini disebabkan
karena pengakuan yang demikian merupakan tindakan sepihak saja, dan
dilatarbelakangi oleh maksud – maksud politik.
e) Pengakuan ad hoc
Pengakuan ad hoc timbul karena posisi suatu pemerintah atau negara baru tidak
memperoleh pengakuan de facto atau de jure. Pengakuan ini tercermin dari adanya
semacam korespondensi atau negosiasi yang mengarah pada satu persetujuan
khusus. Pengakuan ini diberikan hanya untuk tujuan yang sangat khusus yang tidak
berdampak hukum.
f) Pengakuan prematur
Pengakuan prematur merupakan pengakuan yang diberikan kepada negara baru.
Sebelum terpenuhinya syarat yang telah ditetapkan oleh hukum internasional.
Pengakuan prematur ini dapat dianggap interfensi bila negara atau pemerintah lama
masih bertahan dan ada harapan menguasai kembali seluruh wilayah negara atau
kekuasaan pemerintah negara tersebut dari kaum pemberontak.

D. Cara Pemberian Pengakuan dan Penarikan Kembali Pengakuan Negara


Pengakuan dapat diberikan secara terang-terangan dan secara diam-diam. Pengakuan
Terang-terangan diberikan dengan pernyataan resmi. Pernyataan resmi tersebut dapat
berbentuk nota diplomatik,pesan pribadi dari Kepala Negara atau menteri luar
negeri,pernyataan parlemen atau perjanjian internasional.

Ada pun penjelasan mengenai cara pemberian pengakuan, yaitu :

4
1) Secara tegas (expressed recognition)

Pengakuan secara tegas maksudnya, pengakuan itu diberikan secara tegas melalui suatu
pernyataan resmi (yang berupa Nota Diplomatik, note verbale, pesan pribadi kepalanegara
atau menteri luar negeri, pernyataan Parlemen, atau dengan Traktat.

2) Secara diam-diam atau secara tidak tegas (implied recognition).


Pernyataan diam-diam terjadi karena adanya hubungan antara negara yang
mengakui dengan organisasi kekuasaan yang diakui yang menunjukan kemauan
negara yang mengakui untuk mengadakan hubungan resmi dengan organisasi
kekuasaan yang diakui. Pengakuan diam-diam tersebut dibenarkan oleh hukum
internasional karena pengakuan dianggap masalah kemauan.Kemauan dapat
dinyatakan dengan terang-terangan atau diam-diam. Dengan kata lain yang penting
ada kemauan,bukan caranya.
Pengakuan diam-diam dapat disimpulkan dari hubungan antara pihak yang
mengakui dengan yang diakui. Pengakuan “De facto” diam-diam dapat disimpulkan
antara lain adanya hubungan dengan penguasa pemberontak. Pengakuan “De jure”
diam-diam antara lain dapat disimpulkan dari adanya penandatanganan resmi
perjanjian internasional bilateral dan dimulainya hubungan diplomatik.
Pengakuan secara diam-diam atau tidak tegas maksudnya adalah bahwa adanya
pengakuan itu dapat disimpulkan dari tindakantindakan yang dilakukan oleh suatu
negara (yang mengakui) terhadap negara baru atau pemerintah baru. Beberapa
tindakan atau peristiwa yang dapat dianggap sebagai pemberian pengakuan secara
diam-diam adalah :
- Pembukaan hubungan kerjasama di bidang perdagangan (dengan negara yang
diakui secara diam-diam itu), contohnya: pemerintah Indonesia membuka
hubungan dagang dengan Taiwan
- Kunjungan resmi seorang kepala negara (ke negara yang diakui secara diam-diam
itu)
- Pembuatan persetujuan dan/atau perundingan (dengan negara yang diakui secara diam-
diam).

Penarikan Kembali Pengakuan

Terdapat ketentuan umum dalam hal pengakuan bahwa Pengakuan “De Jure” sekali diberikan
tidak dapat ditarik kembali.Pengakuan itu tidak dapat ditarik kembali meskipun penetapannya
berdasarkan pada pertimbangan politik.

Pengakuan dimaksudkan untuk membuka diadakannya hubungan antara negara yang mengakui
dan organisasi kekuasaan yang diakui.namun penghentian hubungan antar negara itu tidak
dilakukan dengan penarikan kembali pengakuan yang telah diberikan.Penghentian hubungan
antar negara itu dapat dilakukan dengan pemutusan hubungan diplomatik.

5
Pengakuan “De Facto” dapat dihentikan sesuai dengan keadaan organisasi kekuasaan yang diberi
pengakuan.Penghentian itu terjadi karena menyusulnya pemberian pengakuan “De Jure” kepada
organisasi kekuasaan yang telah diberi pengakuan “De Facto” . Penghentian itu juga terjadi
karena perubahan keadaan organisasi kekuasaan yang diberi pengakuan,misalnya : Kalahnya
“belligerent” yang telah diakui.

E. Pengakuan Terhadap Negara

Pengakuan negara adalah pengakuan bahwa suatu kesatuan yang lahir, diakui telah
memenuhi persyaratn yang ditentukan hukum internasional sebagai negara sehingga diakui pula
sebagai pribadi dalam hukum dan masyarakat internasional. Bila munculnya negara baru sebagai
hasil proses dekolonisasi damai, maka pengakuan tidak akan menimbulkan masalah. Tapi kalau
negara baru itu hasil pemberontakan, revolusi atau gerakan kemerdekaan, pemberian pengakuan
dapat berakibat memburuknya hubungan dengan negara induk, sebab negara induk akan merasa
tersinggung dan bahkan menganggap sebagai intervensi.

Pada dasarnya ada dua teori mengenai hakikat pengakuan. Teori konstitutif berpendapat
bahwa tindakan pengakuan oleh negara lainlah yang menciptakan sebuah negara baru sehingga
memberinya kepribadian hukum, bukan proses aktual yang dilakukan dalam mencapai
kemerdekaan. Dengan demikian, negara baru terbentuk dalam masyarakat internasional sebagai
subjek hukum internasional berdasarkan kesediaan dan persetujuan negara-negara yang sudah
ada. Kelemahan pendekatan ini adalah bahwa 'negara' yang belum diakui mungkin tidak
terbebani kewajiban yang dikenakan oleh hukum internasional dan karenanya bisa bebas dari
batasan tertentu seperti, misalnya, larangan agresi.

Bagi teori konstitutif, persoalan utamanya adalah bahwa secara fundamental sebuah 'negara'
yang tidak diakui tidak dapat memiliki hak atau kewajiban dalam hukum internasional. Sikap sebaliknya
diambil oleh pendekatan deklaratoris yang menekankan situasi faktual dan mengecilkan kekuatan
negara-negara untuk menghasilkan kepribadian hukum. Praktek yang sesungguhnya mengarah menuju
posisi tengah di antara keduapersepsi tersebut. Tindakan pengakuan oleh satu negara atas yang lainnya
menunjukkan bahwa yang tersebut pertara menganggap yang kedua telah memenuhi persyaratan dasar
hukum internasional terkait pembentukan negara. Tentu saja, pengakuanini bersifat sangat politis dan
dalam beberapa kasus diberikan karena alasan politikmurni. Sudut pandang ini ditegaskan oleh wakil
Amerika di Dewan Keamanan selama diskusi tentang Timur Tengah bulan Mei 1948. la mengatakan
bahwa: “ akan sangat tidak layak bagi kita untuk menerima bahwa negara manapun di muka bumi bisa
mempertanyakan kedaulatan Amerika Serikat dalam upayanya melaksanakan tindakan yang amat politis
berupa pengakuan atas status de facto sebuah negara.

Adapun ,menurut teori deklaratif, menggunakan pendekatan yang berlawanan dan lebih
sesuai dengan kenyataan praktis. Teori ini berpendapat bahwa pengakuan hanyalah penerimaan
oleh negara-negara atas situasi yang sudah ada. Sebuah negara baru akan memperoleh kapasitas
dalam hukum internasional bukan berdasarkan persetujuan dari negara lain melainkan
berdasarkan situasi faktual tertentu. Ia terbentuk secara legal ole usahanya sendiri dan tidak
harus menunggu prosedur pengakuan oleh negara-negara lainnya. Doktrin ini bersumber dari
pemikiran positivis tradisional tentang supremasi negara dan sekaligus kelemahan atau
ketiadaan pedoman sentral dalam masyarakat internasional.
6
Ada beragam cara terjadinya pengakuan dan itu bisa berlaku dalam lebih dari satu jenis
situasi. Itu bukan ide tunggal yang tetap melainkan sebuah kategori yang menghimpun sejumlah
faktor. Faktanya ada berlainan entitas yang bisa diakui, mulai dari negara baru, pemerintahan
baru, hak yang dimiliki oleh kelompok perlawanan tertentu dan perubahan teritorial. Bukan
hanya ada beragam objek proses pengakuan, melainkan pengakuannya itu sendiri bisa de facto
atau de jure dan bisa muncul dengan berbagai cara. Pengakuan (recognition) adalah proses aktif
dan harus dibedakan dari kognisi atau pengenalan (cognition), atau sekadar keberadaan
pengetahuan, misalnya, bahwa entitas dimaksud memenuhi persyaratan dasar hukum
internasional untuk kenegaraan. Pengakuan mengandung kognisi mengenai fakta yang
dipersyaratkan dan sekaligus kehendak bahwa, di pihak negara yang mengakui, a bersedia
memberlakukan konsekuensi hukum yang menyertai pengakuan itu. Misalnya, aturan
kekebalan pemegang kedaulatan dan diplomatik harus diterap- kan berkaitan dengan para
utusan dari entitas yang akan diakui itu.

Adapun konsekuensi pengakuan negara hanya terbatas pada negara yang diakui dan negara
yang mengakui konsekuensi tersebut antara lain:
a. Pengakuan personalitas hukum internasional penuh negara baru.
b. Hubungan kedua negara bersangkutan dilakukan atas dasar kesamaan.
c. Negara baru diakui memiliki kedaulatan dalam wilayahnya, serta mempunyai kapasitas
memberikan nasionalitas dan perlindungan politik.
d. Negara baru bertanggung jawab atas semu tindakanya berdasarkan hukum internasional.

F. Pengakuan Terhadap Pemerintah

Pengakuan pemerintah baru adalah pernyataan dari suatu negara yang mengakui bahwa
pemerintah yang baru terbentuk disatu negara tertentu itu adalah pemerintah yang mempunyai
kekuasaan administratif untuk mewakili negaranya secara sah. Pengakuan ini menjadi sangat
penting dalam hal pergantian pemerintah secara inskonstitusional, sementara dalam pergantian
pemerintah secara konstitusional pengakuan hanya bersifat formalitas saja.

Pengakuan pemerintah baru sangat berbeda dari pengakuan negara baru. Mengenai
kenegaraan, situasi faktualnya akan diuji menurut kriteria yang sudah umum diterima.
Pertimbangan yang berbeda berlaku bilamana yang berubah adalah pemerintahnya. Pengakuan
hanya akan benar-benar relevan bilamana perubahan pemerintahan berlangsung inkonstitusional.
Selain itu, pengakuan pemerintah sebagai sebuah kategori cenderung mengecilkan fakta bahwa
kapasitas atau status persis entitas yang diakui demikian bisa ditengarai dengan berbagai cara.
Pengakuannya bisa jadi bagi pemerintah atau administrasi de facto atau bagi pemerintah atau
administrasi yang memegang kendali efektif hanya atas sebagian wilayah negara bersangkutan.
Pengakuan me wwjudkan penerimaan situasi tertentu oleh negara yang mengakui baik dari segi
kriteria faktual yang relevan dan dari segi akibat hukum konsekuensialnya, sehingga, misalnya,
pengakuan sebuah entitas sebagai pemerintah sebuah negara bukan hanya menyiratkan bahwa
pemerintah ini dianggap telah memenuhi kondisi yang diperlukan, melainkan juga bahwa negara
yang mengakui akan berurusan dengan pemerintah tersebut sebagai otoritas pemerintah negara
menerima konsekuensi hukum yang lazim dari status tersebut dari segi hak- hak istimewa dan
kekebalan dalam tatanan hukum domestik. Pertimbangan politik biasanya memainkan peran bear
7
dalam keputusan apakah pengakuan akan diberikan atau tidak. Bagaimanapun juga, telah muncul
kriteria tertentu agar mencakup pengakuan atas perubahan ilegal dalam pemerintahan.
Pengakuan pemerintah baru sangat berbeda dari pengakuan negara baru. Mengenai
kenegaraan, situasi faktualnya akan diuji menurut kriteria yang sudah umum diterima.
Pertimbangan yang berbeda berlaku bilamana yang berubah adalah pemerintahnya. Pengakuan
hanya akan benar-benar relevan bilamana perubahan pemerintahan berlangsung inkonstitusional.
Selain itu, pengakuan pemerintah sebagai sebuah kategori cenderung mengecilkan fakta bahwa
kapasitas atau status persis entitas yang diakui demikian bisa ditengarai dengan berbagai cara.
Pengakuannya bisa jadi bagi pemerintah atau administrasi de facto atau bagi pemerintah atau
administrasi yang memegang kendali efektif hanya atas sebagian wilayah negara bersangkutan.
Pengakuan me wwjudkan penerimaan situasi tertentu oleh negara yang mengakui baik dari segi
kriteria faktual yang relevan dan dari segi akibat hukum konsekuensialnya, sehingga, misalnya,
pengakuan sebuah entitas sebagai pemerintah sebuah negara bukan hanya menyiratkan bahwa
pemerintah ini dianggap telah memenuhi kondisi yang diperlukan, melainkan juga bahwa negara
yang mengakui akan berurusan dengan pemerintah tersebut sebagai otoritas pemerintah negara
menerima konsekuensi hukum yang lazim dari status tersebut dari segi hak- hak istimewa dan
kekebalan dalam tatanan hukum domestik. Pertimbangan politik biasanya memainkan peran bear
dalam keputusan apakah pengakuan akan diberikan atau tidak. Bagaimanapun juga, telah muncul
kriteria tertentu agar mencakup pengakuan atas perubahan ilegal dalam pemerintahan.
Adapun beberapa teori mengenai pengakuan pemerintah baru adalah sebagai berikut:

1. Teori Legitimasi (Oppenheim), Menurut teori ini pengakuan hanya suatu


formalitas/kesopanan dalam hubungan internasional. Dengan demikian, tidak memiliki
kekuatan konstitutif. Pemerintah baru tidaklah memerlukan pengakuan khusus dari
Negara lain untuk menyatakan keabsahannya sebagai wakil Negara yang sah.

2. Teori Defactoisme (Thomas Jefferson), Melihat banyaknya kudeta yang terjadi di Negara
Amerika Latin, Afrika, dan Asia Jefferson mencoba memberikan penilaian yang obyektif
Kriteria pemerintah yang lahir secara konstitusional.

3. Teori Legitimasi Konstitutif (Tobar), Menurut Tobar, ketika terjadi prgantian pemerintah
secara konstitusional sebaiknya pengakuan diberikan setelah pemerintah baru mendapat
legitimasi konstitusional dalam hukum nasional negara setempat

4. Teori Stimson, Menurut Tobar, pengakuan tidak perlu diberikan terhadap pemerintah
baru yang lahir dari kudeta. Teori ini bermaksud untuk mecegah terjadinya instabilitas
mengingat adakalnya pemerintah yang berkuasa adalah pemerintah yang otoriter dan
membuat rakyat menderita.

Anda mungkin juga menyukai