Anda di halaman 1dari 8

TUGAS PERTEMUAN KE 5-6

1. Konsep Dasar Pengakuan


2. Macam dan teori pengakuan dalam hukum internasional
3. Menganalisis dampak bagi Negara dan rakyat Indonesia akibat Indonesia tidak
mengakui Israel dan Taiwan

HUKUM DAN PERADILAN INTERNASIONAL

OLEH:

-RISKI PUTRA (19052075)

Dosen Pengampu: Prof.Dr. Azwar Ananda, MA Irwan, S.IP.,M.Sc

JURUSAN ILMU SOSIAL POLITIK

PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022
1. Konsep dasar Pengakuan
Pengakuan diplomatik dalam hukum internasional adalah sebuah tindakan politik
unilateral dengan konsekuensi hukum domestik dan internasional, dimana sebuah negara
mengakui tindakan atau status dari negara atau pemerintahan lainnya dalam kekuasaan
dari sebuah negara (juga disebut negara yang diakui). Pengakuan dapat bersifat de facto
atai de jure. Pengakuan dapat menjadi sebuah deklarasi yang berdampak pada
pemerintahan yang diakui, atau sebuah tindakan pengakuan seperti memasukkan sebuah
traktat dengan negara lainnya. Sebuah persetujuan oleh sebuah negara di Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap keanggotaan dari negara lainnya adalah sebuah
pengakuan implisit dari negara tersebut dengan memberikan suara kepada negara
tersebut, sebagai negara-negara yang menjadi anggota PBB.

Tindakan tak mengakui dari sebuah negara biasanya tak berdampak pada pengakuan
negara itu sendiri. Contohnya, penolakan internasional dari pendudukan sejumlah
teritorial oleh sebuah negara yang diakui tak dapat mengimplikasikan non-pengakuan
dari negara itu sendiri, tetapi penolakan dari perubahan pemerintah dalam arti ilegal.

2. Macam dan teori pengakuan dalam hukum internasional

Berdasarkan bentuknya pengakuan dapat dibedakan menjadi;


a. Pengakuan de jure, Pengakuan de facto, Pengakuan kolektif, Pengakuan bersyarat,
Pengakuan,sementara, Pengakuan ad hoc, Pengakuan prematur, dan Pengakuan kuasi.
Sedangkan dari segi cara pemberiannya, maka pengakuan dapat dibedakan menjadi;
Pengakuan tergesa-gesa dan Pengakuan diam-diam. Pengakuan de jure adalah bentuk
yang tertinggi yang diberikan dengan perhitungan bahwa negara atau pemerintah baru
itu secara formal telah memenuhi persyaratan yang ditentukan hukum internasional
untuk ikut serta secara efektif dalam masyarakat internasional. Pengakuan de jure
tidak dapat ditarik kembali, kecuali dengan hilangnya syarat negara atau pemerintah
itu, sehingga dalam hal ini pengakuan itu hilang dengan sendirinya bersama
hilangnya negara atau pemerintah baru. Pengakuan de facto diberikan dengan
penilaian bahwa negara ataupemerintah baru itu secara faktual telah memenuhi syarat
sebagai negara atau pemerintah. Pengakuan de facto merupakan pengakuan faktual,
sehingga sering diberikan meski negara atau pemerintah baru itu belum stabil.
Pengakuan ini adalah awal dari pengakuan de jure, yaitu sebelum pengakuan de jure
diberikan. Biasanya

b. Pengakuan kolektif diberikan secara bersama sejumlah negara dalam bentuk


keputusan internasional (international decision) melalui organisasi internasional
ataupun tidak. Keputusan ini dapat berupa konfrensi multilateral atau perjanjian
internasional multilateral.
c. Pengakuan bersyarat diberikan dengan syarat tertentu yang harus dipenuhi
oleh negara yang diakui. Persyaratan ini biasa bersifat obyektif yang menyangkut
kondisis faktual negara yang diakui. Namun bisa juga subjektif yaitu
konsensikonsensi politik-ekonomi, atau perlakuan istimewa negara yang diakui
terhadap negara yang mengakui. Setelah pengakuan ini diberikan, tidak dapat
dibatalkan walaupun terjadi pelanggaran syarat yang ditentukan.
Jika muncul negara baru, atau dalam suatu negara muncul dua pemerintah
yang bersaing, yang kesemuanya melalui proses inkonstitusional, maka negara ketiga
yang mempunyai kepentingan biasanya memberikan pengakuan sementara.
Pengakuan ini didasarkan pada penguasaan administrasi pihak yang diakui. Biasanya
pengakuan sementara ini ditujukan pada pengakuan pemerintah baru.
d. Pengakuan ad hoc timbul karena posisi suatu pemerintah atau negara baru
tidak memperoleh pengakuan de facto atau de jure. Pengakuan ini tercermin dari
adanya semacam korespondensi atau negosiasi yang mengarah pada satu persetujuan
khusus. Pengakuan ini diberikan hanya untuk tujuan yang sangat khusus yang tidak
berdampak hukum.
e. Pengakuan prematur merupakan pengakuan yang diberikan kepada negara
baru. Sebelum terpenuhinya syarat yang telah ditetapkan oleh hukum internasional.
Pengakuan prematur ini dapat dianggap interfensi bila negara atau pemerintah lama
masih bertahan dan ada harapan menguasai kembali seluruh wilayah negara atau
kekuasaan pemerintah negara tersebut dari kaum pemberontak.
3. Menganalisis dampak bagi Negara dan rakyat Indonesia akibat Indonesia tidak mengakui
Israel dan Taiwan

Meskipun beberapa negara Islam telah membuka hubungan diplomatiknya dengan Israel,
hingga hari ini Indonesia masih berposisi pada sikapnya untuk membela Palestina dan
tidak mengakui Israel sebagai negara yang berdaulat. Mengutip pendapat Guru Besar
Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, setidaknya terdapat
tiga alasan mengapa Indonesia Indonesia tidak mungkin membuka hubungan diplomatik
dengan Israel, yaitu konstitusi, situasi domestik, dan komitmen politik Presiden.
Merujuk pada Pembukaan UU Dasar Tahun 1945, Indonesia menolak segala bentuk
penjajahan sebagaimana dilakukan Israel terhadap Palestina. Masyarakat Indonesia juga
masih mempunyai empati dan solidaritas yang tinggi terhadap nasib Palestina. Terakhir,
Presiden Jokowi menunjukan komitmennya terhadap kemerdekaan Palestina. Meskipun
Indonesia tidak secara resmi berhubungan dengan Israel, data statistik perdagangan PBB
atau UN Comtrade mencatat bahwa kedua negara telah melakukan transaksi dagang sejak
1990. Rekor transaksi terbesar kedua negara adalah USD 214,1 juta pada tahun 2020,
dengan 73,6 adalah ekspor Indonesia ke Israel Ekspor Indonesia didominasi oleh
komoditas seperti minyak sawit, minyak kakao, dan mentega. Sementara itu, Impor
Israel ke Indonesia berupa mesin cetak, sirkuit elektronik, dan komponen pesawat
terbang. Lantas, kenapa Indonesia memilih situasi seperti ini, membiarkan hubungan
diplomatik yang beku sedangkan hubungan bisnis semakin hangat? Pada dasarnya,
kebijakan luar negeri atau foreign policy suatu negara didasarkan pada desain national
interest atau kepentingan nasional suatu negara, termasuk Indonesia. Dalam konteks
hubungan internasional, para aktor negara cenderung akan menggunakan pilihan rasional
(rational choice) untuk mencapai kepentingan mereka. Stephen Waltz menjelaskan bahwa
para aktor akan berusaha untuk mengambil suatu pilihan yang akan membawa hasil
maksimal bagi mereka.Dengan kata lain, rasionalisasi dalam hubungan diplomatik adalah
kepentingan nasional setiap negara.Melihat situasi seperti ini, apakah benar bahwa
kepentingan Indonesia hanya sebatas kemerdekaan Palestina dan melewatkan kesempatan
besar untuk bekerjasama dengan Israel?
Kenapa Israel?Jika melihat isi atau tujuan dari dibukanya hubungan bilateral dengan
Israel oleh beberapa negara teluk sebagaimana tertuang dalam the Abraham Accord,
beberapa negara tersebut mempunyai alasan yang cukup variatif tentang alasan
bekerjasama dengan Israel. Pertama adalah negara UEA. Dikutip dari perjanjian antara
UEA dan Israel, kedua negara menyepakati kerjasama dalam bidang investasi,
pendidikan, pariwisata, sains, dan teknologi. Lainnya, bagi negara Bahrain Israel dapat
menjadi ‘pelindung’ bagi mereka Bahrain ‘membeli’ jaminan perlindungan dari Israel
dan AS untuk melindungi negara mereka dari konfrontasi Iran. Menyusul UEA dan
Bahrain, Sudan memilih untuk bersahabat dengan Israel. Sebagaimana diketahui
sebelumnya, Sudan merupakan salah satu negara yang pada awalnya menentang keras
adanya negara Israel. Sudan juga pernah menjadi tuan rumah Liga Arab, di mana dalam
forum tersebut mereka bersumpah untuk tidak akan pernah berdamai dengan Israel.
Lain kata, realitas politik dan krisis ekonomi yang terjadi di Sudan memaksa mereka
‘berdamai’ dengan Israel. Hal ini lakukan untuk membuka pintu bantuan dari AS kepada
mereka. Bagi Maroko, kepentingan mereka dalam normalisasi dengan Israel adalah untuk
mendapatkan pengakuan dari AS atas teritori Sahara Barat yang masih diperebutkan
dengan Aljazair. Melihat keputusan Indonesia untuk tidak melakukan hubungan
diplomatik akan tetapi dengan mesranya melakukan aktivitas dagang dengan Israel
cenderung memberi kesan bahwa Indonesia sebagai negara yang tidak konsisten.
Bukan hal baru, relasi ini juga terjadi pada hubungan antara Indonesia dan Taiwan.
Meskipun Indonesia belum mengakui Taiwan sebagai negara (karena mengadopsi
Kebijakan Satu Tiongkok), keduanya sudah melakukan hubungan dagang dengan
dibukanya kamar dagang di kedua negara. Jika dikaitkan dengan konsep rational choice,
apakah situasi ini adalah hal yang paling memungkingkan dan rasional bagi Indonesia.
Apakah hubungan diplomatik harus dibedakan dengan hubungan bisnis/dagang?

Sampai kapan Indonesia akan terus melakukan unconventional diplomacy dengan Israel?
Apakah relasi ini akan tetap memberikan keuntungan bagi Indonesia, atau sebaliknya
justru akan menjadi bom waktu bagi Indonesia?
Adanya hubungan diplomatik Indonesia-Israel akan memudahkan Indonesia untuk lebih
aktif mendorong kemerdekaan Palestina. Relasi ekonomi kedua negara yang erat akan
mendorong adanya dialog-dialog tentang perdamaian Palestina dan stabilitas kawasan.
Selain itu, Indonesia dapat menggunakan relasi baiknya dengan AS untuk dapat
mengimbangi pengaruh China di Indonesia dan Kawasan LCS. Akan tetapi, keputusan ini
juga bukanlah tanpa resiko. Indonesia akan menghadapi tantangan internasional dan
gejolak politik domestik yang akan berdampak pada keamanan dan stabilitas nasional.
Risiko Hubungan Indonesia-Israel terhadap Situasi Politik Nasional
Pembukaan hubungan diplomatik Indonesia-Israel tidak hanya memberikan keuntungan
tetapi juga berpotensi memunculkan kegaduhan politik dan ancaman keamanan baik di
dalam dan luar negeri. Dalam konteks politik internasional, jika nantinya Indonesia
melakukan normalisasi dengan Israel, nasib Indonesia sebagai negara muslim terbesar
akan dipertaruhkan. Kepepimpinan Indonesia di beberapa organisasi internasional seperti
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN)
akan menjadi sasaran kritik. Indonesia akan dicap sebagai pengkhianat di antara negara-
negara muslim. Lebih pelik lagi, adanya relasi Indonesia-Israel berpotensi menimbulkan
instabilitas politik nasional. Banyak faktor mempengaruhi hal ini, mulai dari resistensi
masyarakat Indonesia hingga ancaman dari luar negeri. Sebagai negara dengan mayoritas
muslim, pengakuan Indonesia terhadap Israel akan melahirkan banyak penolakan dari
masyarakat Indonesia, terutama umat Islam. Tidak hanya melanggar konstitusi, perjanjian
tersebut akan melukai perasaan umat Islam dan seluruh masyarakat Indonesia.
Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia masih mempunyai solidaritas dan empati yang
tinggi terhadap bangsa Palestina dan penolakan mereka terhadap negara Israel.
Resistensi ini akan berdampak buruk bagi situasi politik nasional. Terlebih lagi,
elektabilitas presiden Joko Widodo sebagai pemimpin negara yang pro-Islam akan
tercoreng. Situasi ini juga akan melahirkan gejolak penolakan dari luar negeri. Di
kawasan, hubungan Indonesia dengan Malaysia dan Brunei Darussalam akan terusik.
Lainnya, resistensi juga berpotensi akan lahir membangkitkan sel-sel tidur kelompok
teroris di Indonesia. Normalisasi hubungan Indonesia-Israel akan menjadi legitimasi
aktivitas-aktivitas teror mereka.
Menjadi akhir dari tulisan ini, penulis menyampaikan bahwa perlu adanya kajian intensif
tentang pembacaan ulang potensi hubungan diplomatik Indonesia-Israel. Dalam hal ini,
pemerintah Indonesia penting untuk memberikan rasionalisasi kepada publik tentang
alasan penolakan/ penerimaan terhadap adanya kerjasama Indonesia dan Israel.
Penulis melihat bahwa perlu ada paradigma baru dalam melihat relasi antara hubungan
Indonesia-Israel dan komitmen mendukung kemerdekaan bangsa Palestina. Paradigma
baru adalah cara pandang yang tidak lagi menjadikan kebencian atas suatu ras/agama
tertentu sebagai legitmasi untuk membatasi hak dan akses masyarakat Indonesia lainnya.
Pemerintah Indonesia juga harus melindungi hak masyarakat Indonesia yang secara
kultur mempunyai kedekatan dengan Israel. Cara pandang ini dapat hadir dengan forum-
forum diskusi, penelitian, dan public hearing tentang topik. Pada saat yang sama, aktor
politik nasional juga tidak lagi menjadikan isu Israel-Palestina sebagai komoditas politik
elektoral. Hal ini dikarenakan justru akan menimbulkan social cleavage yang tak kunjung
usai. Lebih lanjut lagi, keterbukaan informasi tentang situasi dan dinamika politik global
juga perlu untuk memberikan informasi yang utuh tentang topik ini. Dengan ini,
masyarakat luas akan secara langsung dapat menilai mana hal yang baik dan tidak bagi
bangsa Indonesia. Hal ini bertujuan untuk membuka kesempatan masyarakat luas untuk
terlibat aktif dalam pembangunan internasional

Daftar Pustaka:
Echols, John dan Sadily, Hasan M., Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta,
1990.
Frankel, J., Hubungan Internasional, Dra. Laila H. Hasyim (penyadur), ANS
sungguh Bersaudara, Jakarta, 1980.
Gilpin, Robert., The Political Economy of International Relation, Princeton
University Press, New Jersey, 1987.
Kusumaatmadja, Mochtar., Prof. Dr. SH.LLM, Pengantar Hukum Internasional, Bina
Cipta, Bandung, 1978.

Anda mungkin juga menyukai