Anda di halaman 1dari 13

TUGAS PRAKTIK DIPLOMASI

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN CREDENTIAL LETTER


DUTA BESAR INDONESIA UNTUK BRASIL MENURUT KONVENSI WINA
1961 TENTANG DIPLOMATIK

OLEH :
E. RAIHAN RAMADHILLAH
E1A012155
KELAS : A

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS NEGERI JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Akibat globalisasi dewasa ini, banyak negara-negara yang tak bisa mengelak dari
pergaulan internasional, tak terkecuali mobilisasi masyarakat dunia yang tak mengenal batas
yuridiksi. Disatu sisi, setiap negara berusaha melindungi kepentingan nasionalnya meski harus
merampas hak bangsa/negara lain dengan bungkus legitimasi hukum internasional, baik itu hak
berdaulat, menentukan nasib sendiri atau terlebih menyangkut masalah ekonomi.
Abad ke-19, dengan filsafatnya yang berorientasi bisnis, menekankan pentingnya kontrak
sebagai dasar hukum bagi perjanjian (teori perstujuan/ theory of consent ) yang bisa mengikat
negara-negara merdeka. Disatu sisi, tidak ada kewajiban negara-bangsa untuk melakukan/tidak
melakukan persetujuan/kontrak, dan karenanya, mereka hanya bisa diikat oleh persetujuan
mereka sendiri.1. Tidak ada otoritas yang secara teoritis atau praktis mampu membuat
aturan(hukum) yang berlaku efeketif bagi negara-bangsa secara koheren dan komperhensif
dalam pergaulan di era globalisasi.
Sebuah aliran hukum yang mendasarkan pada daya deduksi akal pikiran manusia sebagai
ikhtiar penemuan hukum. Olehkarena bertitik tolak dari nalar manusia maka memiliki relevansi
universal2 melintasi batas-batas yuridiksi.
Mengkaji penundaan presiden Dilma menerima Credential Letter Dubes Indonesia tentu
kurang lengkap tanpa melihat latar belakang dan suasana politik masing-masing negara.
Ketegangan diplomatik antara Indonesia dan Brasil tak bisa lepas dari motif politik yang
diemban masing-masing pemimpin negara tersebut dalam mengangkat komoditas politik prokontra hukum mati yang dibungkus dengan retorika hukum tentang cara bagaimana
mengetengahkan sudut pandang konsepsi hukuman mati menurut hukum internasional
sebagaimana yang diagendakan pemerintah brasil, dan disisi lain, berbenturan dengan konsep
kedaulatan dan konsep theory of consent yang diretorikakan oleh pemerintah Indonesia.
.
1.1. Ketegangan Hubungan Bilateral Indonesia-Brasil
Beberapa waktu lalu, hubungan bilateral Indonesia dan Brasil yang telah lama dan saling
menguntungkan tersebut memanas karena intervensi Pemerintah Brasil terhadap law
1 Malcom N. Shaw QC, Hukum Internasional, Penerjemah; Derta Sri Widowatie,
Imam Baiqhi, dan M.Khozin, Nusa Media, bandung, 2013, hal 7.
2 Ibid., hal 13.

enforcement hukum Indonesia. Sebelumnya, pihak Brasil juga telah memprotes keras eksekusi
mati terpidana mati terpidana narkoba dari Brasil, Marco Archer Cardoso Moreira (53 Tahun)3
yang terdaftar dalam gelombang pertama eksekusi mati pada 18 Januari 2015 silam terkait
kejahatan narkoba dibawah rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo. Bahkan, pemerintah
Brasil merespon terhadap kebijakan hukum yang diambil oleh pemerintah Indonesia dengan
menarik pulang Duta Besarnya, Paulo Alberto da Siveira Soares 4 sebagai bentuk protes terhadap
kebijakan hukum Indonesia. Presiden Dilma Rousseff beranggapan hukuman mati menyalahi
aturan Amnesti Internasional, dan tidak sepantasnya hukuman mati dijadikan sebuah hukuman
disebuah negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
1.2. Penolakan Toto Riyanto sebagai Duta Besar Indonesia oleh Pemerintah Brazil
Penolakan Toto Riyanto sebagai Duta Besar Indonesia untuk Brasil oleh Presiden Dilma
Rousseff terjadi sesaat menjelang penyerahan Credential Letter di Istana Kepresidenan Brasil
(Palacio do Planalto) pada 20 Februari 2015 pukul 09.00 pagi waktu setempat telah memantik
ketegangan dua negara yang telah menjalin kerjasama sejak 55 tahun silam. Sebagai Duta Besar,
Toto Riyanto merupakan representasi atas nama Bangsa Indonesia dengan membawa Credential
Letter yang dibawa oleh Dubes Toto Riyanto dengan menyandang tanda tangan langsung oleh
Presiden Indonesia yang merupakan representasi Bangsa Indonesia yang berdaulat. Sebagaimana
penuturan Toto Riyanto5, latar belakang belakang penolakan tersebut diprediksi kuat karena
akumulasi sakit hati pemerintah Brasil terkait putusan Presiden Jokowi menolak permohonan
grasi yang dilakukan oleh Dilma Roussef bagi warga negaranya yang akan menjalani vonis
hukuman mati6 terkait kasus kepemilikan psikotropika, yaitu Rodrigo Gularte.
Presiden Dilma Ro usseff berdalih penyerahan surat kepercayaan dari Presiden Indonesia
tersebut akan ditinjau dan diputuskan lebih lanjut menunggu perkembangan nasib warga
negaranya yang akan dieksekusi mati di Indonesia. Perlakuan pemerintah Brasil ini memicu
ketersinggungan Pemerintah Indonesia.
3
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/01/150117_indonesia_brasil_e
ksekusi, diunduh pada tanggal 27 September 2015
4 http://demo.analisadaily.com/terkini/news/menu-berasil-resmi-tarik-dubesbelanda-belum/99707/2015/01/18, diunduh pada tanggal 27 September 2015
5 http://news.okezone.com/read/2015/02/23/18/1109537/kronologis-penolakandubes-ri-di-istana-presiden-brasil, diunduh pada tanggal 27 September 2015.
6 http://demo.analisadaily.com/terkini/news/menlu-brasil-resmi-tarik-dubes-belandabelum,/99707/2015/01/18, diunduh pada tanggal 27 September 2015.

Terkait dengan insiden itu, Presiden Jokowi pun telah bertindak tegas dengan memanggil
pulang Duta Besar Toto Riyanto melalui kanal Kementrian Luar Negeri Indonesia dibawah
Menlu Retno Marsudi. Lebih jauh lagi, tindakan ini telah ditindak lanjuti oleh Kemenlu dengan
pengiriman nota protes diplomatik keras kepada pemerintah Brasil7. Tak cukup sampai disitu,
Legislatif pun membuka wacana untuk mengkaji ulang pembelian alat utama sistem persenjataan
(alutsista) dari Brasil sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Brasil.

2. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat diatas serta agar subtansi topik yang dibahas dalam penyusunan makalah
ini tidak melebar/bias, maka dirumuskanlah batasan kajian sebagai berikut;
1. Bagaimanakah ketentuan Konvensi Wina 1961 tentang Diplomat menyangkut perihal
penolakan seorang duta besar (persona non grata) oleh negara penerima ?
2. Apakah secara empiris yang melatar belakangi penolakan seorang diplomat Negara
pengirim oleh negara penerima sudah sesuai ketentuan yuridis ?
3. Metode Penulisan
Pendekatan yang dipakai dalam penyusunan makalah ini adalah yuridis normative dan SosioEmpiris. Yuridis-Normatif dalam arti yang menjadi alat analisa adalah ketentuan-ketentuan legal
hukum dan teori hukum doktrinal oleh para pakar yang telah diakui keilmuanya oleh para pakar
hukum saat ini. Sedangkan Sosio-Yuridis adalah Metode yang dikembangkan dalam pengkajian
data dalam penulisan makalah ini menggunakan cara deduktif. Dalam arti, cara memahami
permasalahan yang ada dengan cara mengkaji data-data yang didapat agar memperoleh
pemahaman dan kesimpulan yang obyektif dan komperhensif.
4. Tujuan Penulisan
Meski dalam hubungan interpendensi ini sudah ada instrument-instrumen internasional
hukum yang telah mengatur tentang tata cara hubungan antar negara, tapi dalam prakteknya,
kaidah-kaidah yang telah ditetapkan bersama tersebut kadang tidak mampu mengawal aktifitas
lalu-lintas hubungan negara karena tidak adanya organ yudikatif dalam struktur hukum
internasional. Bahkan seringkali hukum-hukum yang telah disepakati tersebut kalah oleh
kepentingan negara-negara kuat dalam implementasinya

7 http://republika.co.id/berita/nasional/umum/15/02/24/nk98af-dubes-toto-riyantoceritakan-kronologi-penolakan-brasil, dunduh pada tanggal 27 September 2015.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Diplomatik


Konvensi-konvensi atau perjanjian internasional merupakan sumber utama hokum
internasional. Konvensi-konvensi itu dapat berbentuk bilateral bila yang menjadi pihak hanya
dua Negara dan multilateral bila yang menjadi pihak lebih dari dua Negara. Kadang-kadang
suatu konvensi disebut regional bila yang menjadi pihak hanya Negara-negara dari suatu
kawasan. Konvensi multilateral dapat bersifat universal bila menyangkut seluruh dunia.8
Pada dasarnya, Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik merupakan dasar
hukum bagi Bangsa-Bangsa/Negara-Negara berperilaku dalam melakukan kerjasama. Konvensi
pada hakikatnya merupakan perjanjian internasional yang melibatkan banyak Negara sebagai
pihak, oleh karena itu konvensi memiliki karakter multilateral. Selain itu konvensi juga bias
dilakukan oleh dua Negara saja sebagai pihak dalam perjanjian yang lazim dikeal kerjasama
bilateral.
Hukum diplomatik merupakan bagian dari hukum Internasional, karena keberlakuannya
yang melintasi batas yuridiksi nasional9. Sedangkan Eileen Denza mengemukakan bahwa hukum
diplomatik adalah berbagai komentar atas Konvensi Wina yang menyangkut hubungan
diplomatik10. Sedangkan Jan Osmanczyk mengatakan hukum diplomatik merupakan cabang dari
hukum kebiasaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma
hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk bentuk
organisasional dan dinas diplomatik11. Pengertian hukum diplomatik pada hakikatnya merupakan
ketentuan/prinsip-prinsip internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang
dilakukan atas dasar prinsip persetujuan bersama secara timbal balik (reciprocity principle)12.

8 Prof. Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian, Peran, dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global), Alumni, Bandung, 2013, hal 9.
9 Prof. Dr. Widodo, Hukum Diplomatik Pada Era Globalisasi, LBJ, Surabaya, 2009, hal
11.
10 Ibid.
11 Syahmin, AK., Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Analisis, rajawali Pers, Jakarta,
2008, hal 8.

Secara subtantif, hakikat hukum diplomatik adalah seluruh ketentuan dan prinsip-prinsip
hukum internasional yang khusus mengatur hubungan diplomatik antar negara 13yang mana kerja
sama tersebut diselenggarakan berdasar kesepakatan bersama/kedua belah pihak. Sebagaimana
dikatakan Shaw dalam bukunya bahwa tidak ada kewjiban mengenai hubungan diplomatik, dan
hubungan ini ada karena asas saling menyetujui (principle of mutualconsent)14 dan asas timbal
balik (reciprocity). Jika satu negara tidak ingin masuk kedalam hubungan diplomatik, secara
hukum ia tidak bisa dipaksa melakukannya15.

2. Asas-Asas Hukum Diplomatik


Asas bisa diartikan dasar, manurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 16 yaitu
sesuatu yg menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, Sedang menurut Sunaryati
Hartono, pengertian asas adalah kebenaran dasar (basic truth) yang memberi arah pada
penyusunan kaidah-kaidah hukum yang lebih konkret sehingga seluruh kaidah yang
terdapat pada suatu bidang hukum menjadi kesatuan yang tetap dan utuh 17. Asas-asas
hukum diplomatik tersebut merupakan asas-asas yang telah berkembang dizaman
Imperium Romawi. Misalnya asas itikad baik (bonafides), persetujuan antar
negara/bangsa harus dihormati (pacta sun servanda), timbal balik (contractus
bilateralis), kesepakatan bersama (mutual consent), berdasar pada prinsip keadilan (et
alquo et bono), hak-hak istimewa (privalegium), asas adanya kesepakatan bersama

12 Ibid, hal 11.


13 Syahmin, Ak., Hukum Diplomatik; Suatu Pengantar, Amico, Bandung, 1988, hal
14.
14 Konvensi Wina 1961 tentang hubungan Diplomatik, Artikel 2.
15 Malcom N. Shaw QC, Hukum Internasional, Penerjemah; Derta Sri Widowatie,
Imam Baiqhi, dan M.Khozin, Nusa Media, bandung, 2013, hal 726.
16 http://kbbi.web.id/asas, diunduh pada tanggal 27 September 2015.
17 Sunaryati hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alimni,
bandung, 1991, hal 6.

(mutual consent), dan kekebalan hukum (immunitet ). Menurut Masyur Effendi,


setidaknya ada 7 asas hukum diplomatik, yaitu sebgai berikut:18
a) Asas persamaan, persaudaraan, dan perdamaian. Sebagaimana tersirat dalam pembukaan
Konvensi Wina 1961.
b) Asas penghormatan atas perbedaan negara, hal ini tersirat dalam naskah Konvensi Wina
1961 Alenia II.
c) Asas penghormatan atas wakil-wakil negara karena berdasarkan titik tolak sebagai
kedaulatan negara masing-masing, sebagaimana uraian alenia IV naskah pembukaan
Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik.
d) Asas penghormatan terhadap adat dan kebiasaan internasional, sebagaimana penegasan
Pasal 2 Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler.
e) Asas kehendak bersama, sebagaimana penegasan Pasal 2 Konvensi Wina 1963 tentang
Konsuler.
f) Asas tidak dapat diganggu gugat (inviolability) perwakilan-perwakilan masing-masing
negara. Tersirat dalam ketentuan Pasal 22 (1) Konvensi Wina 1961.
g) Asas kepercayaan, sebagaiman diatur dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1961 Tahun1961.
Sedangkan asas-asas yang pernah digunakan oleh Mahkamah Internasional adalah Good
Faith, Estopel, Res Judicata, Circumtancial Evidence, Equality, Pacta Sun Servanda,
dan Effectifities

3. Orang Yang Tidak Disukai (Persona Non Grata)


Jika suatu negara telah membuat persetujuan kerja sama pembukaan hubungan
diplomatik dengan negara lain atas dasar asas timbal balik (principle of
reciprocity) dan asas saling menyutujui (principle of mutual consent ), maka langkah
berikutnya oleh kedua Negara tersebut adalah menyusun formasi anggota korps
kediplomatikan yang akan ditugaskan dinegara penerima atas dasar asas yang wajar dan
pantas (principle of reasonable andnormal)19. Pada dasarnya pengangkatan anggota staf
diplomatik oleh negara pengirim pada umumnya tidak memerlukan persetujuan dari
18 Masyur Effendi, Hukum Diplomatik Internasional: Hubungan Politik Bebas aktif
Asas Hukum Diplomatik dalam Era Ketergantungan Antar Bangsa, usaha Nasional,
Surabaya, 1993, hal 133.
19 Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo, HukumDiplomatik; Teori dan Kasus, Alumni,
Bandung, 2005. Hal 108.

negara penerima, karena negara pengirim secara bebas mengangkatnya dan cukup hanya
memberitahukan kepada Kementerian Luar Negeri Penerima melalui nota Diplomatik20.
Berbeda dengan pengangkatan seorang Duta Besar yang perlu persetujuan (agreement )
dari negara penerima terlebih dahulu.
Pernyataan persona non grata disini dalam hubungan diplomatik menjadi bahan
perdebatan yang panjang dan menarik. Meski ketentuan Artikel 9 Konvensi Wina 1961
telah mengatur hal ini bahwa negara penerima tidak berkewajiban member keawjiban
untuk menjelaskan penolakannya. Tapi, setiap terjadi pernyataan persona non grata,
Negara pengirim meminta penjelasan kepada negara penerima atas penolakan tersebut.
Tindakan persona non grata ini lazimnya dilakukan terhadap diplomat yang
terbukti melakukan kegiatan spionase, melindungi agen-agen rahasia asing dan
membiarkan mereka menggunakan melakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan
fasilitas diplomatik, melindungi orang-orang yang dikenakan hukuman, mencampuri
urusan domestik Negara penerima, melakukan penyelundupan, atau membuat
pernyataan-pernyataan yang merugikan negara setempat21

2.1.

Persona Non Grata dalam Perspektif Yuridis


Dalam ketentuan Artikel demi Artikel dalam Konvensi Wina 1961 tentang
Diplomatik yang terdiri dari 53 Artikel tersebut, secara garis besar dapat dikelompokan
dalam beberapa kategori sebagai berikut22:

a) Mengatur ketentuan terkait pribadi diplomat tersebut, baik martabat atau keselamatan
pribadinya.diantaranya yaitu; kebebasan bergerak (Artikel 26),
b) Mengatur ketentuan tentang kekebalan fasilitas diplomatik;
c) Mengatur ketentuan mengenai kebebasan alat-alat/fasilitas komunikasi, baik itu
menyangkut kantong/tas/paket diplomatik, penggunaan fasilitas komunikasi.
Diantaranya yaitu; kebebasan komunikasi (Pasal 27) Sebagaimana rumusan Pasal 4 (1)
Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik yang dinyatakan sebagai berikut;
The sending State must make certain that the agrment of the receiving State has been
given for the person it proposes to accredit as head of the mission to that State. ( Negara
20 Ibid, hal 108-109.
21 Syahmin, Ak., op.cit., hal 66.
22 Analisa penulis terhadap Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik.

pengirim harus memastikan bahwa persetujuan negara penerima telah diberikan bagi
pengusulan orang tersebut sebagai kepala misi untuk negara tersebut).
Melihat kontekstual diatas, ada 3 hal yang ditekankan dalam pengiriman diplomat;
1. adanya kepastian persetujuan calon diplomat dari negara penerima
2. negara penerima dapat sewaktu-waktu menyatakan seorang diplomat dari negara
pengirim adalah persona non grata, bahkan sebelum diplomat tersebut sampai di
negara akreditasi23;
3. negara penerima (The Receiving State) tidak berkewajiban memberi alasan penolakan
persetujuan kepada negara pengirim (Artikel 4 Ayat 2).
Disamping itu, dalam Artikel 9 ditegaskan lagi Ayat 1
The receiving State may at any time and without having to explain its decision, notify the
sending State that the head of the mission or any member of the diplomatic staff of the
mission is persona non grata or that any other member of the staff of the mission is not
acceptable. In any such case, the sending State shall, as appropriate, either recall the
person concerned or terminate his functions with the mission. A person may be declared
non grata or not acceptable before arriving in the territory of the receiving State. (Negara
penerima dapat sewaktu-waktu dan tanpa harus menjelaskan keputusannya,
memberitahukan negara pengirim bahwa kepala misi atau anggota staf diplomatik dari
misi adalah orang tidak disukai atau adanya salah satu anggota dari staf misi tidak dapat
diterima. Dalam tiap kasus tersebut, Negara pengirim, seyogyanya, baik menimbang
orang tersebut atau membatalkan tugasnya dari misi tersebut. Seseorang dapat dinyatakan
tidak disukai atau tidak dapat diterima sebelum tiba di wila yah Negara penerima).
Ayat 2;
If the sending State refuses or fails within a reasonable period to carry out its obligations
under paragraph 1 of this article, the receiving State may refuse to recognize the person
concerned as a member of the mission. (Jika negara pengirim menolak atau gagal dalam
jangka waktu yang wajar untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan ayat 1 pasal ini,
negara penerima dapat menolak untuk mengakui orang bersangkutan sebagai anggota
misi tersebut).
Menyimak ketentuan diatas, ada beberapa poin pemahaman yang dapat ditarik
yaitu;
a) seorang calon diplomat harus mendapatkan persetujuan negara akreditasi,
23 Syahmin, Ak., op.cit., hal 65.

b) kewajiban segera bagi negara pengirim untuk menarik diplomat tersebut


pulang atau membatalkan tugas tersebut (melepaskan kekebalanya dan
keistimewaannya) dalam batas waktu kewajaran.24

2.2. Fakta Empiris Yang Melatarbelakangi Pernyataan Persona Non Grata Oleh Negara
Penerima dalam Praktek Hubungan Bilateral
Disamping kajian secara yuridis, tentunya kita tak bisa menutup mata pada fakta empirik
yang melatarbelakangi pernyataan persona non grata negara penerima terhadap agen diplomat
asing agar kita bisa mendapat pemahaman komparatif-diametrikal mengenai ketentuan yuridis
(das sollen) dan fakta empiris (das sein). Menurut analisa penulis, ada dua faktor yang melatar
belakanginya;
1. murni ketidaksukaan terhadap duta besar tersebut. Ini sebagaimana yang terjadi ketika
pemerintah Australia menolak agreement calon Dubes Indonesia, yaitu Letjen H.B.L
Mantiri.
2. kondisi faktor politis yang melingkupi hubungan dua negara tersebut. Contoh kasus ini
adalah penolakan bersifat politis terhadap Toto Riyanto oleh pemerintah Brasil terkait
eksekusi mati warga negaranya oleh pemerintah Indonesia. Sikap ketidaksukaan
pemerintah Brasil tersebut bukan kepada pribadi calon Duta Besar yang dipresentasikan
Pemerintah Indonesia. Melainkan sikap ketidaksukaan pemerintah Brasil terhadap
kebijakan hukum Indonesia terkait pelaksaan eksekusi hukuman mati yang mana 2 warga
negara Brasil menjadi terhukum.

24
http://www.academia.edu/12780483/ANALISA_YURIDIS_TERHADAP_PENOLAKAN_CRE
DENTIAL_LETTER_DUTA_BESAR_INDONESIA_UNTUK_BRASIL_MENURUT_KONVENSI_W
INA_TAHUN_1961 diunduh pada tanggal 27 September 2015

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Aturan hukum internasional harus dibedakan dengan dari apa yang disebut
sebagai tata krama (comity) internasional, karena ketentuan kesopanan tidak memiliki
sifat mengikat. Sedang hukum internasional bersifat legal, baik dari sudut isi maupun
bentuk. Sementara konsep moralitas internasional cabang dari etika. Meskipun dalam
segi-segi tertentu memiliki nilai-nilai kesamaan dan tidak berarti bahwa hukum
internasional dapat dipisahkan darinya. Meski menyakitkan, perlakuan Tidak Etis
Pemerintah Brasil Kepada Duta Besar Indonesia secara legal tak menyalahi ketentuan
Konvensi Wina 1961 dan tentu saja sikap yang harus diambil masing-masing pemerintah
bukanlah langkah hukum, melainkan pertimbangan kebijakan matang terkait kepentingan
ekonomi dan aliansi politis sebagai dua negara berkembang dalam forum internasional,
dan kepentingan-kepentingan lainnya

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Shaw, Malcom N., Hukum Internasional, Penerjemah; Derta Sri Widowatie, Imam Baiqhi, dan
M.Khozin, Nusa Media, bandung, 2013.
Mauna, Boer, Hukum Internasional (Pengertian, Peran, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global), Alumni, Bandung, 2013.
Widodo, Hukum Diplomatik Pada Era Globalisasi, LBJ, Surabaya, 2009.
AK, Syahmin., Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Analisis, rajawali Pers, Jakarta, 2008.
AK, Syahmin., Hukum Diplomatik; Suatu Pengantar, Armico, Bandung, 1988.
Konvensi Wina 1961 tentang hubungan Diplomatik, Artikel 2.
Hartono, Sunaryati., Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alimni, bandung,
1991.
Effendi, Masyur., Hukum Diplomatik Internasional: Hubungan Politik Bebas aktif Asas Hukum
Diplomatik dalam Era Ketergantungan Antar Bangsa, usaha Nasional, Surabaya, 1993.
Suryokusumo, Sumaryo., Hukum Diplomatik; Teori dan Kasus, Alumni, Bandung, 2005.

Lain-lain
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/01/150117_indonesia_brasil_eksekusi,
diunduh pada tanggal 27 September 2015
http://demo.analisadaily.com/terkini/news/menu-berasil-resmi-tarik-dubes-belandabelum/99707/2015/01/18, diunduh pada tanggal 27 September 2015
http://news.okezone.com/read/2015/02/23/18/1109537/kronologis-penolakan-dubes-ri-diistana-presiden-brasil, diunduh pada tanggal 27 September 2015.
http://demo.analisadaily.com/terkini/news/menlu-brasil-resmi-tarik-dubes-belandabelum,/99707/2015/01/18, diunduh pada tanggal 27 September 2015.
http://republika.co.id/berita/nasional/umum/15/02/24/nk98af-dubes-toto-riyanto-ceritakankronologi-penolakan-brasil, dunduh pada tanggal 27 September 2015.
http://kbbi.web.id/asas, diunduh pada tanggal 27 September 2015.
http://www.academia.edu/12780483/ANALISA_YURIDIS_TERHADAP_PENOLAKAN_CREDENTIAL
_LETTER_DUTA_BESAR_INDONESIA_UNTUK_BRASIL_MENURUT_KONVENSI_WINA_TAHUN_1961
diunduh pada tanggal 27 September 2015

Anda mungkin juga menyukai