Anda di halaman 1dari 15

Pengakuan dalam Hukum Internasional

Disusun oleh:

Muhammad Fathan Zahran Dika 010002000557

Yashinta Kosmanto - 01002000327

Magdalena Yossi Dian Madani 010002000126

Karin Marcheni 010002000295

Joshua Bendry Nalle 0100200109

Dosen Pengampu:

Ayu Nrangwesti, S.H., M.H.

Universitas Trisakti

Fakultas Hukum

2022
2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2
BAB I 3
PENDAHULUAN 3
Latar Belakang 3
Rumusan Masalah 4
Tujuan Pembahasan 4
BAB II 5
PEMBAHASAN 5
Definisi Pengakuan Negara dan Perbedaannya dengan Pengakuan Pemerintahan 5
Teori Konstitutif dan Teori Deklaratif 6
Pengakuan de facto dan Pengakuan de jure 7
Pengakuan Kolektif, Pengakuan Terpisah, Pengakuan Mutlak, Pengakuan Bersyarat 9
BAB III 13
PENUTUP 13
SIMPULAN 13
DAFTAR PUSTAKA 14
3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengan kemampuan memahami dan mendalami hukum internasional, maka
dapat mengenal dan mengetahui beragam peran penting lembaga-lembaga yang
bergerak dalam bidang pengakuan internasional dan berkaitan dengan hubungan
nasional suatu bangsa yang mana telah dikuasai oleh seluruh cara dan atau praktek
hukum internasional (Arsil, 2018).
Oppenheim memberikan pendapatnya bahwa pengakuan yang didapatkan oleh
suatu negara baru merupakan suatu penjelasan kemahiran yang dimiliki oleh negara
tersebut. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa negara-negara yang belum
mendapatkan pengakuan dapat memberikan kesan terhadap negara lainnya bahwa
negara tersebut belum mampu dan tidak dapat melaksanakan kewajiban internasional
(Sujadmiko, 2015). Dengan demikian, sudah sangat jelas bahwa didalam pemberian
pengakuan terhadap suatu negara ini hanyalah didasari atau berlandaskan pada
dorongan politik dan bukan pada dorongan hukum. Dengan adanya atau terjadinya
pengukuhan dan pengakuan negara atau pemerintahan baru dapat mengakibatkan
munculnya akibat yang berupa konsekuensi politik dan konsekuensi yuridis tertentu
antara negara bersangkutan yang dipercayai dan negara yang memercayai (Hadju,
2019).
Dalam hal pemberian pengakuan kepada negara lain tersebut, pertama-tama
negara harus dapat bertanggung jawab atas negara-negara lain, lalu pemerintah yang
ada di negara baru tersebut harus memperoleh kekuasaannya yang didasari melalui
konstitusional (Hadju, 2019). Berawal dari fakta ini, banyak pasar internasional yang
memberikan pendapat terkait dengan pengakuan ini sebagai suatu tindakan politik
negara untuk mengenali negara lain yang baru mendapatkan pengakuan pembentukan
suatu negara dimata dunia (Pujilestari, 2018).
Pengakuan itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu hal yang berguna untuk
menjamin bahwa suatu negara yang baru dapat menempati serta menduduki
tempatnya yang sesuai dan wajar sebagai suatu organisme politik yang merdeka dan
berdaulat ditengah keluarga bangsa-bangsa yang lain, sehingga ia dapat mengadakan
dan menghadiri berbagai hubungan dengan negara-negara lain seperti hubungan
4

kerjasama secara aman serta tanpa khawatir dengan kedudukannya sebagai suatu
kesatuan politik itu akan terganggu dan atau diganggu oleh negara-negara berdaulat
yang lain yang sudah ada atau yang sudah diakui terlebih dahulu sebagaimana seperti
yang dikatakan oleh pakar Hukum Internasional Amerika Serikat, MOORE (Widagdo,
Wahyudi, Setyorini, & Basuki, 2008).1

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pengakuan dalam pembentukan suatu negara
berdasarkan hukum internasional?
2. Bagaimana akibat yang ditimbulkan dari adanya pengakuan?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan dilakukan penelitian ini
adalah :
1. Untuk mengetahui proses pengakuan dalam pembentukan suatu negara
berdasarkan hukum internasional.
2. Untuk mengetahui akibat yang ditimbulkan dari adanya pengakuan.

1
Libella, Salsabila, Putri, Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional,
“Journal of Judicial Review”, Vol. 22, No. 2, 2020, 165-174, hal. 166-167.
5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Pengakuan Negara dan Perbedaannya dengan Pengakuan


Pemerintahan
Pengakuan negara adalah pengakuan bahwa suatu kesatuan yang lahir, diakui
telah memenuhi persyaratan yang ditentukan hukum internasional sebagai negara
sehingga diakui pula sebagai pribadi dalam hukum dan masyarakat internasional.2
Pengakuan negara mengakibatkan pula pengakuan terhadap pemerintah negara yang
diakui dan berisikan kesediaan negara yang mengakui untuk mengadakan hubungan
dengan pemerintah yang baru itu.
Pengakuan pemerintah ialah suatu pernyataan dari suatu negara, bahwa negara
tersebut telah siap dan bersedia mengadakan hubungan dengan pemerintahan yang
baru diakui sebagai organ yang bertindak untuk dan atas nama negaranya. Pengakuan
pemerintah ini penting, karena suatu negara tidak mungkin mengadakan hubungan
resmi dengan negara lain yang tidak mengakui pemerintahannya. Akan tetapi, secara
logika pengakuan terhadap suatu negara juga berarti pengakuan terhadap pemerintah
negaranya.3
Perbedaan di antara Pengakuan Negara dan Pengakuan Pemerintah, yaitu
Pengakuan terhadap suatu negara sekali diberikan tidak dapat ditarik kembali,
sedangkan pengakuan terhadap suatu pemerintah dapat dicabut sewaktu-waktu. Bila
suatu pengakuan ditolak atau dicabut setelah terbentuknya suatu pemerintah baru,
maka negara yang menolak atau mencabut pengakuan tersebut tidak lagi mempunyai
hubungan resmi dengan negara tersebut. Bila suatu pengakuan ditolak atau dicabut,
maka personalitas internasional negara tersebut tidak berubah karena perubahan suatu
pemerintah tidak mempengaruhi personalitas internasional suatu negara.4

2
Fachri, Yuli. Pengakuan Dalam Hukum Internasional. Jurnal Antar Bangsa Vol. 2 No. 2 Juli 2003.
3
Noor, S.M. 2012. Pengakuan Pemerintah Baru.
<https://www.negarahukum.com/pengakuan-pemerintah-baru.html>, diakses tanggal 5 Juni 2022
4
Noor, S. M. 2012. Perbedaan Antara Pengakuan Negara dan Pemerintah.
<https://www.negarahukum.com/perbedaan-antara-pengakuan-negara-dan-pemerintah.html>, diakses tanggal 5
Juni 2022
6

B. Teori Konstitutif dan Teori Deklaratif


Pengakuan terhadap suatu negara di dalam teorinya terbagi atas dua teori
yakni teori konstitutif dan deklaratif. Teori konstitutif sendiri diartikan sebagai adanya
pengakuan dari negara lain. Hal ini berarti bahwa suatu negara dapat diakui
keberadaannya apabila telah mendapat pengakuan dari negara lain. Pada praktiknya,
di tahun 1947 tepatnya pada tanggal 7 Juli dimana Paus Pius IX sebagai Kepala
Negara Vatikan sekaligus pemegang takta suci mengakui Indonesia sebagai suatu
negaraa. Di tahun yang sama, Mesir juga telah mengakui Indonesia lebih awal sebagai
suatu negara, disusul pula oleh negara-negara lainnya seperti Suriah, Lebanon, Arab
Saudi, Yaman, dan juga India. Di sisi lain, terdapat teori deklaratif yang di definisikan
berdasarkan Pasal 1 Konvensi Montevideo Tahun 1993 dimana terdiri dari empat
syarat yakni:
1) Penduduk yang tetap
Penduduk yang tetap diartikan sebagai orang-orang yang berdomisili
secara tetap dalam suatu wilayah teritori untuk jangka waktu yang lama atau
populasi yang tetap (permanent population). Penduduk di suatu negara dapat
terbagi menjadi dua yakni warga negara, yaitu orang-orang yang secara sah
menurut hukum negara tersebut merupakan warga negara dan bukan warga negara
yang secara hukum negara tersebut tidak diakui menjadi warga negara suatu
negara (WNA).
2) Wilayah yang pasti
Wilayah merupakan unsur mutlak bagi lahirnya suatu negara. wilayah
merupakan landasan material atau landasan fisik negara tersebut. Luas wilayah
negara tersebut ditentukan oleh perbatasan antarnegara. Hal ini mengindikasikan
bahwa di dalam batas-batas negara tersebut negara menjalankan yurisdiksi
teritorial atas orang, benda, dan lainnya yang berada di wilayah terkecuali hal-hal
yang dibebaskan dari yurisdiksi tersebut. wilayah terdiri atas daratan yakni daerah
di permukaan bumi beserta kandungan dibawahnya yang tidak terbatas, wilayah
lautan yang dalam hal ini laut memiliki batas yakni laut teritorial dengan lebar 12
mil laut diukur dari pulau terluar kepulauan suatu negara pada saat air surut, zona
bersebelahan yaitu wilayah yang lebarnya 12 mil dari laut teritorial suatu negara,
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yaitu wilayah laut yang lebarnya 200 mil ke laut
bebas, landas kotinen yang merupakan daratan di bawah permukaan laut di luar
laut teritorial dengan kedalaman 200 mil laut, dan landas benua yakni wilayah laut
7

suatu negara yang lebarnya lebih dari 200 mil laut. Terakhir, batas suatu negara
ditandai dengan adanya wilayah udara yang ditentukan melalui perjanjian
internasional. Ketentuan wilayah udara di Indonesia diatur di dalam UU No. 20
Tahun 1982 dimana dinyatakan bahwa batas wilayah kedaulatan dirgantara yang
termasuk di dalam orbit geostasioner adalah setinggi 35.761 km. Berdasarkan
Konvensi Paris Tahun 1949, negara berhak mengeksplorasi dan mengeksploitasi
di wilayah udara yang menjadi teritorialnya.
3) Pemerintahan
Pemerintah diartikan dalam dua hal yakni pemerintahan dalam arti luas
maupun sempit. Pemerintah dalam arti luas berarti keseluruhan alat perlengkapan
negar ayagn memegang kekuasan yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di sisi
lain, pemerintah dalam arti sempit yakni seluruh alat perlengkapan negara yang
melaksanakan fungsi pemerintahan saja yaitu lembaga eksekutif. Karena itu,
pemerintahan yang berdaulat adalah pemerintahan yang berkuasa atas seluruh
wilayahnya dan segenap rakyatnya yang merupakan syarat mutlak berdirinya
suatu negara. Kekuasaan ini disebut sebagai kedaulatan.
4) Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain
Kemampuan ini dimiliki oleh suatu negara untuk memiliki
hubungan-hubungan yuridis dengan negara lainnya. Sebagai contoh adanya
hubungan bilateral maupun multilateral antar negara serta dibuatnya perjanjian
internasional.
Tanggal 9 Agustus 1965 Singapura resmi memerdekakan diri dari
Malaysia setelah hampir dua tahun bergabung di dalamnya. Sejak saat itu
Singapura berdiri sendiri menjadi suatu negara yang merdeka dan berdaulat. Hal
ini ditandai dengan adanya kurang lebih 1,5 juta penduduk dengan wilayah
membentang dari lepas ujung selatan Semenanjung Malaya sejauh 137 km di
utara katulistiwa dengan luas 728, 6 km2, memiliki pemerintahan yang berdaulat
dengan sistem republik parlementer, dan mampu melakukan hubungan diplomatik
dengan negara-negara lainnya. Dengan itu, Singapura sejak berdiri telah
memenuhi seluruh persyaratan yang ada bagi berdirinya suatu negara.

C. Pengakuan de facto dan Pengakuan de jure


Suwardi Tasrif (1987) menyatakan bahwa pengakuan adalah untuk menjamin
negara baru dalam menduduki tempat yang wajar sebagai organisme politik yang
8

merdeka dan berdaulat di tengah-tengah keluarga bangsa-bangsa, sehingga secara


aman dan sempurna dapat mengadakan hubungan dengan negara-negara lainnya,
tanpa mengkhawartikan bahwa kedudukannya sebagai kesatuan politik itu akan
diganggu oleh negara-negara yang telah ada.
Pengakuan de facto adalah bentuk pengakuan suatu negara terhadap negara
lain yang sudah memenuhi syarat-syarat sebagai suatu negara, seperti adanya wilayah,
rakyat, dan pemerintahan. Sementara de jure adalah pengakuan yang dinyatakan
secara resmi oleh negara lain berdasarkan hukum internasional tentang keberadaan
negara baru.5 Pada pengakuan de facto biasanya terjadi pada pergantian pemerintahan
secara konstitusional, sampai negara yang bersangkutan mempunyai keyakinan bahwa
pemerintahan baru telah dapat diakui secara de jure. Dalam bukunya Suwardi Tasrif
yang mengutip dari Thomas Jefferson6, dijelaskan bahwa pemerintahan baru sebelum
diakui menjadi de facto harus memenuhi beberapa syarat:
a. Apakah pemerintah baru benar-benar secara efektif menguasai organ-organ
pemerintah dalam negaranya
b. Apakah bagian terbesar dari rakyat di dalam negara tersebut menerima pemerintah
baru itu.
Jika pergantian pemerintahan inkonstitusional dan ada keadaan yang terbukti
dapat terus memerintah negara, pengakuan de facto yang diberikan terhadap suatu
negara dapat diberikan menjadi pengakuan de jure.
Pada pengakuan de facto contohnya adalah Negara Indonesia yang telah
merdeka melalui proklamasi Soekarno pada 17 Agustus 1945 diakui kemerdekaannya
oleh Mesir pada 22 Maret 1946. Dukungan Mesir terhadap Indonesia disampaikan
oleh Muhammad Abdul Mu'im, Konsul Jenderal Mesir yang datang ke Yogyakarta
pada 13 hingga 16 Maret 1947. Sedangkan de jure contohnya adalah Secara de jure,
Indonesia merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945, setelah UUD 1945 disahkan,
presiden dan wakil presiden dipilih, serta dilantiknya lembaga legislatif (KNIP).
Mesir baru mengakui kedaulatan negara RI secara de jure pada 10 Juni 1947, dengan
menunjuk HM Rasjidi sebagai kuasa usaha RI, serta membuka Kedutaan Besar di
Kairo.

5
Adryamarthanino, V, Apa Perbedaan Antara Pengakuan de facto Dan de jure?ˆ,
<https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/14/100000279/apa-perbedaan-antara-pengakuan-de-facto-dan-de-
jure-> diakses tanggal 5 Juni 2022.
6
Suwardi Tasrif. Hukum Internasional tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktik. Bandung: CV Abardin.
1987.
9

D. Pengakuan Kolektif, Pengakuan Terpisah, Pengakuan Mutlak, Pengakuan


Bersyarat
● Pengakuan Secara Kolektif
Pengakuan suatu negara dalam kategori ini dapat berupa dua bentuk.
Bentuk yang pertama adalah deklarasi bersama oleh sekelompok negara.
Contohnya adalah pengakuan negara - negara Eropa secara kolektif/bersama-sama
pada tahun 1992 terhadap ketiga negara yang berasal dari pecahan Yugoslavia
yakni Bosnia dan Herzegovina , Kroasia, dan Slovenia (Mauna, 2003). Bentuk
kedua yaitu pengakuan yang diberikan melalui penerimaan suatu negara baru
untuk menjadi bagian/peserta ke dalam suatu perjanjian multilateral. Contohnya
seperti perjanjian damai. Pengakuan kolektif ini dalam kaitannya dengan
pengakuan negara baru mempunyai peranan sebagai bukti pengakuan terhadap
adanya negara baru.
Pengakuan kolektif berkaitan dengan masuknya suatu negara ke dalam
suatu organisasi internasional terkadang menimbulkan masalah yang cukup
penting bagi negara yang bersangkutan. Penyebab hal ini adalah karena masuknya
negara tersebut ke dalam pengakuan terhadapnya bukan diberikan oleh organisasi
internasional melainkan oleh para anggotanya. Pengakuan kepada negara baru
diberikan oleh sekelompok negara yang bergabung dalam organisasi tersebut.
Sudah tentu dengan diberikannya pengakuan kolektif ini akan mempunyai
dampak yang cukup berpengaruh terhadap hubungan negara baru tersebut dengan
negara - negara anggota organisasi internasional tersebut.7
● Pengakuan Secara Terpisah
Pengakuan terpisah ini juga dapat diberikan kepada suatu negara baru.
Kata “terpisah” ini digunakan apabila pengakuan itu diberikan kepada suatu
negara baru, namun tidak kepada pemerintahnya, atau sebaliknya pengakuan
diberikan kepada suatu pemerintah yang baru yang berkuasa, tetapi pengakuan
tidak diberikan kepada negaranya (Tasrif, 1966).8
● Pengakuan Secara Mutlak

7
Effendi Masyhur. A, Andri. 2011. Prinsip Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Baru Ditinjau dari Hukum
Internasional. Lex Jurnalica Vol. 8 No 3, 217-218
8
Effendi Masyhur. A, Andri. 2011. Prinsip Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Baru Ditinjau dari Hukum
Internasional. Lex Jurnalica Vol. 8 No 3, 219
10

Suatu pengakuan yang telah diberikan kepada suatu negara baru tidak
dapat ditarik kembali. Institut Hukum Internasional dalam suatu Resolusi yang
disahkannya pada 1936 menyatakan bahwa pengakuan de jure suatu negara tidak
dapat ditarik kembali (Tasrif, 1966). Moore menyatakan bahwa pengakuan
sebagai suatu asas umum bersifat mutlak dan tidak dapat ditarik kembali (absolute
and irrevocable) (Tasrif, 1966). Hal ini dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari
pengakuan de jure. Namun pengakuan secara de facto yang telah diberikan, dalam
keadaan tertentu pengakuan ini dapat ditarik kembali (Malcolm, 1986). Penyebab
hal ini karena biasanya pengakuan de facto diberikan kepada negara, sebagai hasil
dari penilaiannya yang bersifat temporer atau sementara dan hati-hati terhadap
lahirnya suatu negara baru. Hal seperti ini dilakukan untuk menghadapi suatu
situasi dimana pemerintah yang diakui secara de facto tersebut kehilangan
kekuasaan, karena hal ini maka alasan untuk memberikan pengakuan menjadi
hilang. Oleh karena itu pengakuan yang telah diberikan dapat ditarik kembali bagi
negara yang memberi pengakuan (Adolf, 1993).
Pada waktu pertama kali Indonesia menyatakan kemerdekaanya, Belanda
tidak mengakuinya, tetapi ketika Indonesia berhasil mempertahankan
kemerdekaan setelah dilalui oleh aksi-aksi militer, Belanda tidak langsung
memberikan pengakuan de jure, tetapi hanya pengakuan de facto. Tindakan ini
dilakukan karena Belanda masih berharap situasi di dalam negeri Indonesia dapat
berubah dan Belanda dapat kembali berkuasa.
Dalam praktek hukum internasional, penarikan suatu pengakuan jarang
terjadi atau ditemui, namun hal ini mempunyai kemungkinan untuk terjadi. Tahun
1936 Inggris mengakui secara de facto penaklukan Italia atas Ethiopia dan
kemudian diikuti pengakuan de jure di tahun 1938, namun Inggris menarik
pengakuannya ini di tahun 1940 menyusul terjadinya pergolakan senjata di negeri
Ethiopia yang diduduki itu (Malcolm, 1986).9
● Pengakuan Bersyarat
Suatu pengakuan yang diberikan kepada suatu negara baru yang disertai
dengan syarat-syarat tertentu untuk dilaksanakan oleh negara baru tersebut
sebagai imbangan pengakuan (Tasrif, 1966).

9
Effendi Masyhur. A, Andri. 2011. Prinsip Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Baru Ditinjau dari Hukum
Internasional. Lex Jurnalica Vol. 8 No 3, 219
11

Menurut Hall, pengakuan ini ada dua macam, yakni pertama, pengakuan
dengan syarat– syarat yang harus dipenuhi sebelum pengakuan diberikan. Kedua,
pengakuan dengan syarat-syarat yang harus dilakukan kemudian sesudah
pengakuan diberikan. Dalam hal yang pertama, pengakuan tidak perlu dilakukan
apabila syarat-syarat yang telah disetujui tidak dilakukan atau dilaksanakan.
Dalam hal yang kedua, tidak dipenuhinya syarat-syarat pengakuan yang telah
disetujui untuk dilaksanakan maka hal ini memberi alasan kepada negara yang
memberikan pengakuan untuk melaksanakan penataan syarat-syarat tersebut
melalui pemutusan hubungan diplomatik atau bahkan dengan mengadakan
intervensi. Pengakuan bersyarat ini diberikan sebagai pengikat dan sebagai suatu
cara tekanan politik kepada suatu negara baru. Contoh dari pengakuan ini adalah,
ditandatanganinya perjanjian Litvinov tahun 1933, perjanjian ini berisi pengakuan
Amerika Serikat terhadap pemerintah Soviet. Dalam perjanjian tersebut
disyaratkan agar Uni Soviet membayar seluruh tuntutan keuangan Amerika
Serikat dan bahwa Uni Soviet tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang dapat
mengganggu keamanan dalam negeri Amerika Serikat (Adolf, 1993).
Pada tahun 1878 Bulgaria, Montenegro, Serbia, dan Rumania diakui oleh
sekelompok negara-negara Eropa dengan syarat bahwa negara-negara ini tidak
akan melarang warga negaranya menganut agamanya. Contoh lain adalah
pengakuan Amerika Serikat dan Inggris terhadap Pemerintahan sementara
Cekoslovakia dan Polandia, dimana dalam pengakuan tersebut tercantum
didalamnya persyaratan agar kedua negara ini mengadakan pemilihan umum yang
bebas sesudah pendudukan yang dilakukan Jerman atas kedua negara ini berakhir
(Adolf, 1993).
Sehubungan dengan persyaratan-persyaratan ini pula, Mahkamah Agung
Amerika Serikat, dalam kasus U.S vs pink mengatakan bahwa recognition is not
always absolute, it is sometimes conditional. Pengakuan bersyarat ini tidak
berakibat hukum apapun juga, hal ini disebabkan karena pengakuan yang
demikian merupakan tindakan sepihak saja, dan dilatarbelakangi oleh maksud –
maksud politik (Adolf, 1993). Dalam hukum internasional dikenal dua macam
bentuk pemerintah baru, yaitu pengakuan pemerintah de jure dan de facto.10

10
Effendi Masyhur. A, Andri. 2011. Prinsip Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Baru Ditinjau dari Hukum
Internasional. Lex Jurnalica Vol. 8 No 3, 219-220
12
13

BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN
Negara-negara yang memberikan pengakuan bukan hanya sekedar mengetahui
atau cognition bahwa suatu negara itu berhak merdeka, tetapi juga memenuhi syarat
dalam hal dokumen, kebijakan, kondisi negara, serta akibat hukum yang ada.
Pemberian suatu pengakuan tersebut dapat menimbulkan akibat hukum,
terutama yang berkaitan dengan hubungan di antara para pihak yang telah mengakui
serta pihak yang diakui. Dapat disimpulkan juga bahwa dari adanya suatu negara yang
telah diakui secara internasional terdapat banyak akibat dari adanya pengakuan
terhadap suatu negara ini yang dapat dilihat dan ditinjau dari segi aspek politik dan
hukum. Selain itu, ketika suatu negara mengakui kemerdekaan negara baru berarti di
kemudian hari ia sudah menghilangkan kemungkinan mempersoalkan dari syarat dan
hal suatu negara untuk diakui.
14

DAFTAR PUSTAKA

Adryamarthanino, V. 2021. Apa Perbedaan Antara Pengakuan de facto Dan de jure? Jakarta:
Kompas.com.
(https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/14/100000279/apa-perbedaan-antara-pengakua
n-de-facto-dan-de-jure-), diakses tanggal 5 Juni 2022.

Arsil, F. 2018. Menggagas Pembatasan Pembentukan Dan Materi Muatan Perppu: Studi
Perbandingan Pengaturan Dan Penggunaan Perppu Di Negara-Negara Presidensial. Jurnal
Hukum & Pembangunan, 48(1), 1-21.

Effendi Masyhur. A, Andri. 2011. Prinsip Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Baru
Ditinjau dari Hukum Internasional. Lex Jurnalica Vol. 8 No 3

Fachri, Yuli. Pengakuan Dalam Hukum Internasional. Jurnal Antar Bangsa Vol. 2 No. 2 Juli
2003.

Hadju, Z. A. A. 2019. Anotasi Spirit Unable dan Unwilling Terhadap Kejahatan Perang
Israel Palestina. Jambura Law Review, 1(2), 167-191.

Libella, Salsabila, Putri. 2020. Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Ditinjau Dari Segi
Hukum Internasional. Journal of Judicial Review. 22 (2), 165-174, hal. 166-167.

Noor, S.M. 2012. Pengakuan Pemerintah Baru.


(https://www.negarahukum.com/pengakuan-pemerintah-baru.html), diakses tanggal 5 Juni
2022

Noor, S. M. 2012. Perbedaan Antara Pengakuan Negara dan Pemerintah.


(https://www.negarahukum.com/perbedaan-antara-pengakuan-negara-dan-pemerintah.html),
diakses tanggal 5 Juni 2022

Pujilestari, Y. (2018). Peranan Pengakuan dalam Hukum Internasional: Teori Lahirnya Suatu
Negara dan Ruang Lingkup Pengakuan. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 5(2), 167-178.
15

Sujadmiko, B. 2015. Pengakuan Negara Baru Ditinjau Dari Perspektif Hukum Internasional
(Studi terhadap kemerdekaan Kosovo). FIAT JUSTISIA: Jurnal Ilmu Hukum, 6(1).
Tasrif, S. (1987). Hukum Internasional tentang Pengakuan dalam teori dan praktik. CV
Abardin.

Widagdo, S., Wahyudi, S., Setyorini, Y., & Basuki, I. (2008). Masalah-Masalah Hukum
Internasional Publik, Malang: Bayu Media Publishing.

Anda mungkin juga menyukai