Disusun oleh:
Dosen Pengampu:
Universitas Trisakti
Fakultas Hukum
2022
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 2
BAB I 3
PENDAHULUAN 3
Latar Belakang 3
Rumusan Masalah 4
Tujuan Pembahasan 4
BAB II 5
PEMBAHASAN 5
Definisi Pengakuan Negara dan Perbedaannya dengan Pengakuan Pemerintahan 5
Teori Konstitutif dan Teori Deklaratif 6
Pengakuan de facto dan Pengakuan de jure 7
Pengakuan Kolektif, Pengakuan Terpisah, Pengakuan Mutlak, Pengakuan Bersyarat 9
BAB III 13
PENUTUP 13
SIMPULAN 13
DAFTAR PUSTAKA 14
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan kemampuan memahami dan mendalami hukum internasional, maka
dapat mengenal dan mengetahui beragam peran penting lembaga-lembaga yang
bergerak dalam bidang pengakuan internasional dan berkaitan dengan hubungan
nasional suatu bangsa yang mana telah dikuasai oleh seluruh cara dan atau praktek
hukum internasional (Arsil, 2018).
Oppenheim memberikan pendapatnya bahwa pengakuan yang didapatkan oleh
suatu negara baru merupakan suatu penjelasan kemahiran yang dimiliki oleh negara
tersebut. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa negara-negara yang belum
mendapatkan pengakuan dapat memberikan kesan terhadap negara lainnya bahwa
negara tersebut belum mampu dan tidak dapat melaksanakan kewajiban internasional
(Sujadmiko, 2015). Dengan demikian, sudah sangat jelas bahwa didalam pemberian
pengakuan terhadap suatu negara ini hanyalah didasari atau berlandaskan pada
dorongan politik dan bukan pada dorongan hukum. Dengan adanya atau terjadinya
pengukuhan dan pengakuan negara atau pemerintahan baru dapat mengakibatkan
munculnya akibat yang berupa konsekuensi politik dan konsekuensi yuridis tertentu
antara negara bersangkutan yang dipercayai dan negara yang memercayai (Hadju,
2019).
Dalam hal pemberian pengakuan kepada negara lain tersebut, pertama-tama
negara harus dapat bertanggung jawab atas negara-negara lain, lalu pemerintah yang
ada di negara baru tersebut harus memperoleh kekuasaannya yang didasari melalui
konstitusional (Hadju, 2019). Berawal dari fakta ini, banyak pasar internasional yang
memberikan pendapat terkait dengan pengakuan ini sebagai suatu tindakan politik
negara untuk mengenali negara lain yang baru mendapatkan pengakuan pembentukan
suatu negara dimata dunia (Pujilestari, 2018).
Pengakuan itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu hal yang berguna untuk
menjamin bahwa suatu negara yang baru dapat menempati serta menduduki
tempatnya yang sesuai dan wajar sebagai suatu organisme politik yang merdeka dan
berdaulat ditengah keluarga bangsa-bangsa yang lain, sehingga ia dapat mengadakan
dan menghadiri berbagai hubungan dengan negara-negara lain seperti hubungan
4
kerjasama secara aman serta tanpa khawatir dengan kedudukannya sebagai suatu
kesatuan politik itu akan terganggu dan atau diganggu oleh negara-negara berdaulat
yang lain yang sudah ada atau yang sudah diakui terlebih dahulu sebagaimana seperti
yang dikatakan oleh pakar Hukum Internasional Amerika Serikat, MOORE (Widagdo,
Wahyudi, Setyorini, & Basuki, 2008).1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pengakuan dalam pembentukan suatu negara
berdasarkan hukum internasional?
2. Bagaimana akibat yang ditimbulkan dari adanya pengakuan?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan dilakukan penelitian ini
adalah :
1. Untuk mengetahui proses pengakuan dalam pembentukan suatu negara
berdasarkan hukum internasional.
2. Untuk mengetahui akibat yang ditimbulkan dari adanya pengakuan.
1
Libella, Salsabila, Putri, Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional,
“Journal of Judicial Review”, Vol. 22, No. 2, 2020, 165-174, hal. 166-167.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2
Fachri, Yuli. Pengakuan Dalam Hukum Internasional. Jurnal Antar Bangsa Vol. 2 No. 2 Juli 2003.
3
Noor, S.M. 2012. Pengakuan Pemerintah Baru.
<https://www.negarahukum.com/pengakuan-pemerintah-baru.html>, diakses tanggal 5 Juni 2022
4
Noor, S. M. 2012. Perbedaan Antara Pengakuan Negara dan Pemerintah.
<https://www.negarahukum.com/perbedaan-antara-pengakuan-negara-dan-pemerintah.html>, diakses tanggal 5
Juni 2022
6
suatu negara yang lebarnya lebih dari 200 mil laut. Terakhir, batas suatu negara
ditandai dengan adanya wilayah udara yang ditentukan melalui perjanjian
internasional. Ketentuan wilayah udara di Indonesia diatur di dalam UU No. 20
Tahun 1982 dimana dinyatakan bahwa batas wilayah kedaulatan dirgantara yang
termasuk di dalam orbit geostasioner adalah setinggi 35.761 km. Berdasarkan
Konvensi Paris Tahun 1949, negara berhak mengeksplorasi dan mengeksploitasi
di wilayah udara yang menjadi teritorialnya.
3) Pemerintahan
Pemerintah diartikan dalam dua hal yakni pemerintahan dalam arti luas
maupun sempit. Pemerintah dalam arti luas berarti keseluruhan alat perlengkapan
negar ayagn memegang kekuasan yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di sisi
lain, pemerintah dalam arti sempit yakni seluruh alat perlengkapan negara yang
melaksanakan fungsi pemerintahan saja yaitu lembaga eksekutif. Karena itu,
pemerintahan yang berdaulat adalah pemerintahan yang berkuasa atas seluruh
wilayahnya dan segenap rakyatnya yang merupakan syarat mutlak berdirinya
suatu negara. Kekuasaan ini disebut sebagai kedaulatan.
4) Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain
Kemampuan ini dimiliki oleh suatu negara untuk memiliki
hubungan-hubungan yuridis dengan negara lainnya. Sebagai contoh adanya
hubungan bilateral maupun multilateral antar negara serta dibuatnya perjanjian
internasional.
Tanggal 9 Agustus 1965 Singapura resmi memerdekakan diri dari
Malaysia setelah hampir dua tahun bergabung di dalamnya. Sejak saat itu
Singapura berdiri sendiri menjadi suatu negara yang merdeka dan berdaulat. Hal
ini ditandai dengan adanya kurang lebih 1,5 juta penduduk dengan wilayah
membentang dari lepas ujung selatan Semenanjung Malaya sejauh 137 km di
utara katulistiwa dengan luas 728, 6 km2, memiliki pemerintahan yang berdaulat
dengan sistem republik parlementer, dan mampu melakukan hubungan diplomatik
dengan negara-negara lainnya. Dengan itu, Singapura sejak berdiri telah
memenuhi seluruh persyaratan yang ada bagi berdirinya suatu negara.
5
Adryamarthanino, V, Apa Perbedaan Antara Pengakuan de facto Dan de jure?ˆ,
<https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/14/100000279/apa-perbedaan-antara-pengakuan-de-facto-dan-de-
jure-> diakses tanggal 5 Juni 2022.
6
Suwardi Tasrif. Hukum Internasional tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktik. Bandung: CV Abardin.
1987.
9
7
Effendi Masyhur. A, Andri. 2011. Prinsip Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Baru Ditinjau dari Hukum
Internasional. Lex Jurnalica Vol. 8 No 3, 217-218
8
Effendi Masyhur. A, Andri. 2011. Prinsip Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Baru Ditinjau dari Hukum
Internasional. Lex Jurnalica Vol. 8 No 3, 219
10
Suatu pengakuan yang telah diberikan kepada suatu negara baru tidak
dapat ditarik kembali. Institut Hukum Internasional dalam suatu Resolusi yang
disahkannya pada 1936 menyatakan bahwa pengakuan de jure suatu negara tidak
dapat ditarik kembali (Tasrif, 1966). Moore menyatakan bahwa pengakuan
sebagai suatu asas umum bersifat mutlak dan tidak dapat ditarik kembali (absolute
and irrevocable) (Tasrif, 1966). Hal ini dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari
pengakuan de jure. Namun pengakuan secara de facto yang telah diberikan, dalam
keadaan tertentu pengakuan ini dapat ditarik kembali (Malcolm, 1986). Penyebab
hal ini karena biasanya pengakuan de facto diberikan kepada negara, sebagai hasil
dari penilaiannya yang bersifat temporer atau sementara dan hati-hati terhadap
lahirnya suatu negara baru. Hal seperti ini dilakukan untuk menghadapi suatu
situasi dimana pemerintah yang diakui secara de facto tersebut kehilangan
kekuasaan, karena hal ini maka alasan untuk memberikan pengakuan menjadi
hilang. Oleh karena itu pengakuan yang telah diberikan dapat ditarik kembali bagi
negara yang memberi pengakuan (Adolf, 1993).
Pada waktu pertama kali Indonesia menyatakan kemerdekaanya, Belanda
tidak mengakuinya, tetapi ketika Indonesia berhasil mempertahankan
kemerdekaan setelah dilalui oleh aksi-aksi militer, Belanda tidak langsung
memberikan pengakuan de jure, tetapi hanya pengakuan de facto. Tindakan ini
dilakukan karena Belanda masih berharap situasi di dalam negeri Indonesia dapat
berubah dan Belanda dapat kembali berkuasa.
Dalam praktek hukum internasional, penarikan suatu pengakuan jarang
terjadi atau ditemui, namun hal ini mempunyai kemungkinan untuk terjadi. Tahun
1936 Inggris mengakui secara de facto penaklukan Italia atas Ethiopia dan
kemudian diikuti pengakuan de jure di tahun 1938, namun Inggris menarik
pengakuannya ini di tahun 1940 menyusul terjadinya pergolakan senjata di negeri
Ethiopia yang diduduki itu (Malcolm, 1986).9
● Pengakuan Bersyarat
Suatu pengakuan yang diberikan kepada suatu negara baru yang disertai
dengan syarat-syarat tertentu untuk dilaksanakan oleh negara baru tersebut
sebagai imbangan pengakuan (Tasrif, 1966).
9
Effendi Masyhur. A, Andri. 2011. Prinsip Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Baru Ditinjau dari Hukum
Internasional. Lex Jurnalica Vol. 8 No 3, 219
11
Menurut Hall, pengakuan ini ada dua macam, yakni pertama, pengakuan
dengan syarat– syarat yang harus dipenuhi sebelum pengakuan diberikan. Kedua,
pengakuan dengan syarat-syarat yang harus dilakukan kemudian sesudah
pengakuan diberikan. Dalam hal yang pertama, pengakuan tidak perlu dilakukan
apabila syarat-syarat yang telah disetujui tidak dilakukan atau dilaksanakan.
Dalam hal yang kedua, tidak dipenuhinya syarat-syarat pengakuan yang telah
disetujui untuk dilaksanakan maka hal ini memberi alasan kepada negara yang
memberikan pengakuan untuk melaksanakan penataan syarat-syarat tersebut
melalui pemutusan hubungan diplomatik atau bahkan dengan mengadakan
intervensi. Pengakuan bersyarat ini diberikan sebagai pengikat dan sebagai suatu
cara tekanan politik kepada suatu negara baru. Contoh dari pengakuan ini adalah,
ditandatanganinya perjanjian Litvinov tahun 1933, perjanjian ini berisi pengakuan
Amerika Serikat terhadap pemerintah Soviet. Dalam perjanjian tersebut
disyaratkan agar Uni Soviet membayar seluruh tuntutan keuangan Amerika
Serikat dan bahwa Uni Soviet tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang dapat
mengganggu keamanan dalam negeri Amerika Serikat (Adolf, 1993).
Pada tahun 1878 Bulgaria, Montenegro, Serbia, dan Rumania diakui oleh
sekelompok negara-negara Eropa dengan syarat bahwa negara-negara ini tidak
akan melarang warga negaranya menganut agamanya. Contoh lain adalah
pengakuan Amerika Serikat dan Inggris terhadap Pemerintahan sementara
Cekoslovakia dan Polandia, dimana dalam pengakuan tersebut tercantum
didalamnya persyaratan agar kedua negara ini mengadakan pemilihan umum yang
bebas sesudah pendudukan yang dilakukan Jerman atas kedua negara ini berakhir
(Adolf, 1993).
Sehubungan dengan persyaratan-persyaratan ini pula, Mahkamah Agung
Amerika Serikat, dalam kasus U.S vs pink mengatakan bahwa recognition is not
always absolute, it is sometimes conditional. Pengakuan bersyarat ini tidak
berakibat hukum apapun juga, hal ini disebabkan karena pengakuan yang
demikian merupakan tindakan sepihak saja, dan dilatarbelakangi oleh maksud –
maksud politik (Adolf, 1993). Dalam hukum internasional dikenal dua macam
bentuk pemerintah baru, yaitu pengakuan pemerintah de jure dan de facto.10
10
Effendi Masyhur. A, Andri. 2011. Prinsip Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Baru Ditinjau dari Hukum
Internasional. Lex Jurnalica Vol. 8 No 3, 219-220
12
13
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Negara-negara yang memberikan pengakuan bukan hanya sekedar mengetahui
atau cognition bahwa suatu negara itu berhak merdeka, tetapi juga memenuhi syarat
dalam hal dokumen, kebijakan, kondisi negara, serta akibat hukum yang ada.
Pemberian suatu pengakuan tersebut dapat menimbulkan akibat hukum,
terutama yang berkaitan dengan hubungan di antara para pihak yang telah mengakui
serta pihak yang diakui. Dapat disimpulkan juga bahwa dari adanya suatu negara yang
telah diakui secara internasional terdapat banyak akibat dari adanya pengakuan
terhadap suatu negara ini yang dapat dilihat dan ditinjau dari segi aspek politik dan
hukum. Selain itu, ketika suatu negara mengakui kemerdekaan negara baru berarti di
kemudian hari ia sudah menghilangkan kemungkinan mempersoalkan dari syarat dan
hal suatu negara untuk diakui.
14
DAFTAR PUSTAKA
Adryamarthanino, V. 2021. Apa Perbedaan Antara Pengakuan de facto Dan de jure? Jakarta:
Kompas.com.
(https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/14/100000279/apa-perbedaan-antara-pengakua
n-de-facto-dan-de-jure-), diakses tanggal 5 Juni 2022.
Arsil, F. 2018. Menggagas Pembatasan Pembentukan Dan Materi Muatan Perppu: Studi
Perbandingan Pengaturan Dan Penggunaan Perppu Di Negara-Negara Presidensial. Jurnal
Hukum & Pembangunan, 48(1), 1-21.
Effendi Masyhur. A, Andri. 2011. Prinsip Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Baru
Ditinjau dari Hukum Internasional. Lex Jurnalica Vol. 8 No 3
Fachri, Yuli. Pengakuan Dalam Hukum Internasional. Jurnal Antar Bangsa Vol. 2 No. 2 Juli
2003.
Hadju, Z. A. A. 2019. Anotasi Spirit Unable dan Unwilling Terhadap Kejahatan Perang
Israel Palestina. Jambura Law Review, 1(2), 167-191.
Libella, Salsabila, Putri. 2020. Pengakuan Dalam Pembentukan Negara Ditinjau Dari Segi
Hukum Internasional. Journal of Judicial Review. 22 (2), 165-174, hal. 166-167.
Pujilestari, Y. (2018). Peranan Pengakuan dalam Hukum Internasional: Teori Lahirnya Suatu
Negara dan Ruang Lingkup Pengakuan. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 5(2), 167-178.
15
Sujadmiko, B. 2015. Pengakuan Negara Baru Ditinjau Dari Perspektif Hukum Internasional
(Studi terhadap kemerdekaan Kosovo). FIAT JUSTISIA: Jurnal Ilmu Hukum, 6(1).
Tasrif, S. (1987). Hukum Internasional tentang Pengakuan dalam teori dan praktik. CV
Abardin.
Widagdo, S., Wahyudi, S., Setyorini, Y., & Basuki, I. (2008). Masalah-Masalah Hukum
Internasional Publik, Malang: Bayu Media Publishing.