Anda di halaman 1dari 15

Mata Kuliah : Hukum Internasional

Pokok Bahasan : Pengakuan (“Recognition”)

Sub P Bahasan : Pengertian dan Pembagian Jenis Pengakuan

Jumlah Perkuliahan : 3 X

Jadwal Kuliah : Jumát (1 Mei 2009)

Dosen : Dr. Syofirman Syofyan, S.H, M.H.

I. Latar Belakang Timbulnya Pengakuan

Di dalam kehidupan politik masyarakat internasional, berbagai peristiwa yang


menimpa negara sering terjadi. Peristiwa-peristiwa tersebut ada yang sifatnya
internal (nasional), ada pula yang bersifat internasional atau kombinasi antara
keduanya (semula internal kemudian berkembang menjadi internasional).1

Contoh peristiwa internal tersebut adalah sebagai berikut;

1. Lahirnya negara baru


Misalnya karena; *pemberontakan separatis yang berhasil memisahkan diri
dari negara induk tanpa campur tangan pihak luar, atau *satu negara,
karena mengalami konflik internal, pecah menjadi beberapa negara baru
dan lain-lain yang sejenis dengan ini.
2. Pergantian Pemerintah Suatu Negara yang bisa terjadi melalui cara;2
a. Konstitusional; pergantian menurut hukum atau konstitusi negara yang
bersangkutan, seperti pemilu
b. Inkonstitusional; pergantian yang tidak sesuai dengan hukum atau
konstitusi negara yang bersangkutan, misalnya; pergantian melalui
kudeta militer.
3. Pemberontakan yang timbul dalam suatu negara tampa campur tangan
pihak luar dengan tujuan, misalnya;3
a. Separatis atau memisahkan diri dari negara induk dan mendirikan
negara baru
b. Separatis atau memisahkan diri dari negara induk untuk kemudian
bergabung dengan negara lain
c. Untuk mendapatkan otonomi atau hak-hak yang lebih luas dari
sebelumnya
d. Untuk menggulingkan pemerintah yang sah dan menggantikannya
dengan pemerintah baru yang sejalan dengan kehendak pihak
pemberontak
1
Lihat I Wayan Parthiana, “Pengantar Hukum Internasional”, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal 333.
2
Ibid
3
Ibid
Contoh peristiwa internasional misalnya;

1. Lahirnya negara baru yang merupakan; penggabungan beberapa negara


melalui kesepakatan diantara mereka atau melalui paksaan militer oleh satu
atau beberapa negara terhadap negara-negara lainnya; atau hasil dari
perjuangan rakyat di suatu wilayah jajahan terhadap negara penjajahnya.4
2. Pergantian Pemerintah Suatu Negara melalui tangan pihak asing secara
langsung dan menggantinya dengan pemerintahan bonekanya.
3. Bertambahnya wilayah atau hak-hak yang bersifat territorial karena
bergabungnya negara atau bagian suatu negara pada negara lain.

Contoh peristiwa yang merupakan kombinasi antara sifat internal dan


internasional misalnya;

1. Lahirnya negara baru


Misalnya; karena pemberontakan separatis yang berhasil memisahkan diri
dari negara induk yang dibantu oleh pihak asing, contohnya;
pemberontakan Pakistan Timur terhadap Pakistan Barat yang dibantu oleh
India yang menghasilkan negara baru yakni Bangladesh. (Pemberontakan
terhadap pemerintah merupakan peristiwa yang bersifat internal, sebaliknya
keterlibatan pihak asing melawan negara induk merupakan peristiwa yang
bersifat internasional.
2. Pergantian Pemerintah Suatu Negara melalui cara Inkonstitusional yang
melibatkan pihak asing; misalnya pelaku kudeta diperkuat oleh angkatan
bersenjata dari negara lain. Contohnya; pemberontakan yang menjatuhkan
Presiden Uganda Idi Amin yang dibantu oleh pasukan Tanzania.
3. Pemberontakan yang timbul dalam suatu negara yang dibantu oleh pihak
luar dengan tujuan, misalnya;5
e. Separatis atau memisahkan diri dari negara induk dan mendirikan
negara baru
f. Separatis atau memisahkan diri dari negara induk untuk kemudian
bergabung dengan negara yang membantu
g. Untuk mendapatkan otonomi atau hak-hak yang lebih luas dari
sebelumnya

Peristiwa-peristiwa di atas dapat dikategorikan atas empat bagian besar


yakni munculnya negara baru, pemerintah baru, belligerensi/insurgency dan
penambahan wilayah baru.
Keempat macam peristiwa di atas selalu menimbulkan akibat terhadap
negara-negara lain yang dapat dilihat dari 2 sisi, yakni sisi negatif dan sisi positif.
Sisi positif berarti keempat macam peristiwa di atas jika diterima atau diakui akan

4
Berdasarkan ketentuan dalam article I paragraph 4 of Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12
Augustus 1949, and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict (Protocol I of 1977),
perjuangan rakyat terjajah melawan pihak penjajah termasuk dalam kategori konflik bersenjata internasional.
5
Ibid
memberikan efek keuntungan, baik dari segi politik, ekonomi dan sebagainya
terhadap negara lain. Sebaliknya sisi negatifnya berarti penerimaan peristiwa di
atas akan merugikan bagi negara penerima. Adanya dua sisi ini menyebabkan
negara-negara lain tidak bisa begitu saja menerima peristiwa tersebut. Mereka
perlu membuat pertimbangan-pertimbangan politik terlebih dahulu berkaitan
dengan hal “apakah peristiwa di atas jika diakui akan menimbulkan akibat hukum
yang menguntungkan bagi mereka atau tidak”. Jika menguntungkan mereka akan
memberikan pengakuan, dan sebaliknya jika merugikan mereka akan menolaknya.
Jadi, lembaga pengakuan lahir sebagai alat untuk menyeleksi pilihan;
menerima atau menolak keempat peristiwa di atas berdasarkan
pertimbangan apakah penerimaan peristiwa-peristiwa di atas akan
menimbulkan akibat hukum yang merugikan atau tidak.
Berdasarkan penjelasan ini dapat diketahui adanya 2 aspek dalam lembaga
pengakuan ini. Pertama, aspek politik, yakni pengakuan yang diberikan selalu
didasarkan atas pertimbangan politik yang berkaitan erat dengan untung-ruginya
memberikan pengakuan tersebut bagi negara yang memberikan pengakuan.
Contohnya, dalam kasus sikap Amerika Serikat terhadap rezim komunis Kuba dan
Korea Utara yang hingga sekarang belum diakui oleh AS karena pemberian
pengakuan akan menimbulkan efek yang dirasakan merugikan bagi AS.
Pengakuan terhadap Korea Utara akan menimbulkan “image” bahwa selain
mengakui eksistensi ideologi komunis di negara itu dan As juga mengakui
keberadaan rezim yang membahayakan sekutunya Korea Selatan. Mengakui Kuba
juga akan menimbulkan kesan bagi As yakni selain mentolerir ideologi komunis
di negara itu, juga menerima rezim yang sangat memusuhi dan membahayakan
kepentingan AS di wilayah Amerika Tengah dan Selatan.
Yang kedua, aspek hukum, yakni pengakuan yang diberikan akan
menimbulkan ikatan hukum kepada kedua pihak, baik yang mengakui maupun
yang diakui.6
Karena berkaitan dengan kemungkinan akibat ‘untung-rugi’ yang akan
ditimbulkan oleh pengakuan tersebut, maka perlu kehati-hatian dalam
memberikan pengakuan tersebut. Perlunya sikap berhati-hati tersebut diakui oleh
Komisi Arbitrasi, Konferensi Perdamaian mengenai Yugoslavia mengatakan;
“pengakuan merupakan suatu perbuatan berhati-hati yang dapat dilakukan
negara disaat yang dikehendakinya dan dalam bentuk yang ditentukannya
secara bebas”.7

Secara logika, karena adanya kemungkinan resiko kerugian dan perlunya


sikap berhati-hati dalam menerima peristiwa-peristiwa dia tas, maka tidak ada
keharusan dalam hukum internasional untuk memberikan pengakuan atas
peristiwa-peristiwa tersebut.

6
Boermauna, “Hukum International, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global”, Alumni,
Bandung, 2000. Hal. 59
7
Avis de la Commission ….dalam Ibid.
II. Pengertian Pengakuan

Menurut Boermauna, pengakuan merupakan;

“Perbuatan politik di mana suatu negara menunjukkan kesediaannya untuk


mengakui suatu situasi fakta dan menerima akibat hukum dari pengakuan
tersebut”.8

Definisi ini pada satu sisi menekankan pengertian pengakuan sebagai


perbuatan politik, namun pada sisi lain juga mengakui adanya akibat hukum yang
berarti sebenarnya pengakuan itu juga adalah suatu perbuatan hukum.

Menurut Malcolm N. Shaw, pengakuan adalah;

“Recognition is a statement by an international legal person as to


(berkaitan dengan) the status in international law of another real or alleged
international legal person or of the validity of a particular factual situation”9

Ada beberapa poin yang dapat dilihat dari pendapat ini. Pertama, Shaw tidak
menegaskan apakah pengakuan itu merupakan perbuatan politik atau hukum.
Namun, kedua, dia menyebutkan perbuatan “statement”itu sebagai dilakukan oleh
badan hukum international berkaitan dengan status menurut hukum internasional
badan hukum internasional lainnya, yang notabene keduanya subjek hukum, dan
juga validitas situasi khusus lainnya. Hal ini secara tersirat menunjukkan bahwa
pengakuan merupakan suatu perbuatan hukum.
Apa yang dimaksudkan dengan “factual situation tidak dijelaskan oleh Shaw.
Dalam kaitannya dengan negara misalnya, factual situation berdasarkan konvensi
Montevideo 1933 akan mencakup mengenai ada tidaknya; a) a permanent
population, b) a definite territory, c) a government, d) a capacity to enter into
relations with other states.10
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa “pengakuan
merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur hukum dan sekaligus
politik yang dilakukan oleh entity (misalnya; negara, pemerintah atau
organisasi internasional seperti PBB) yang ditujukan terhadap “entitiy” yang
baru muncul, misalnya; negara baru, pemerintahan baru, belligerent,
insurgence atau terhadap pertambahan wilayah baru yang menimbulkan
suatu efek hukum (“legal effect”), baik dari segi hukum internasional
maupun nasional, terhadap yang mengakui maupun yang diakui”. Misalnya;
jika negara A mengakui negara B, pengakuan tersebut akan memberikan
konsekuensi hukum misalnya, ada keistimewaan (privilege) yang harus diberikan
oleh negara A terhadap negara B di muka pengadilannya, keistimewaan mana
tidak diberikan kepada manusia atau badan hukum lainnya.11 Selain itu, pengakuan
8
Boermauna, Op cit, p. 60
9
Malcolm N. Shaw, “International Law”, Fifth Edition, Cambridge University Press , 2003, p. 368
10

11
Ibid p. 367
juga akan menimbulkan konsekuensi lainnya seperti terbukanya hubungan resmi
ekonomi, social maupun budaya dan sebagainya, antara pihak yang mengakui dan
pihak yang diakui.12
Jadi, pengakuan merupakan pintu pembuka hubungan, baik dari segi hukum,
ekonomi, social maupun budaya dan sebagainya, antara pihak yang mengakui dan
pihak yang diakui.13

III. Pentingnya Pengakuan

Khusus bagi negara baru, pengakuan ini penting karena akan berfungsi
sebagai jaminan yang diberikan kepadanya bahwa dia akan mendapat tempat
sebagai organisme politik yang independen di dalam masyarakat antar bangsa14
sehingga terbuka pintu baginya untuk dapat mengadakan hubungan dengan negara
lain.
Bagi Pemerintahan baru, pengakuan ini penting untuk menjadikan mereka
sebagai sebagai organ yang menjalankan hubungan antara negaranya dengan
negara yang mengakuinya. Suatu negara tidak akan mungkin bisa mengadakan
hubungan resmi dengan negara lain jika pemerintahannya tidak diakui oleh negara
yang bersangkutan.
Bagi Belligerent/ Insurgent, pengakuan ini penting untuk menjadikan
mereka seolah-olah mereka berada pada derjat yang sama dengan negara yang
diberontakinya, dan dapat membuka hubungan dengan negara yang diakui

Atau bagi pertambahan wilayah baru pengakuan ini penting bagi pihak
yang mendapatkannya untuk bisa menempatkan kedaulatannya di wilayah
tersebut tanpa ada lagi gugatan pihak lain terutama dari pihak yang mengakui dan
sekaligus membuka kemungkinan kerjasama resmi antar kedua pihak dalam hal-
hal yang terkait dengan wilayah baru tersebut.

IV. Pihak-Pihak Yang Memberi dan Diberi Pengakuan dan Teori-Teori


Pengakuan

1. Negara
Negara merupakan subjek hukum internasional yang utama karena
memainkan peranan penting dalam membentuk dan menjalankan hukum
internasional.
Sebagai subjek hukum internasional, negara tentu dapat menjadi
pihak yang akan memberi dan diberi pengakuan. Sebagai pemberi
pengakuan, negara tidak memiliki halangan untuk melakukan hal ini karena
mereka sudah eksis terlebih dahulu. Namun tidak demikian halnya dengan posisi
sebagai pihak yang diberi pengakuan. Negara ini logikanya merupakan pihak
12
Lihat S. Tasrif, ‘Hukum Internasional tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktek”, Abardin, 1987, hal. 3.
13
Lihat S. Tasrif, ‘Hukum Internasional tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktek”, Abardin, 1987, hal. 3.
14
Lihat Moore, Digest of International Law, Vol. I, hal. 72, dalam Ibid.
yang baru lahir atau paling tidak yang lahir belakangan dari yang memberi
pengakuan
Suatu negara yang baru lahir sudah bisa disebut sebagai negara jika,
berdasarkan konvensi Montevideo 1933, memiliki 4 unsur yakni; penduduk yang
tetap, wilayah yang batas-batasnya jelas, pemerintahan terhadap rakyat di wilayah
tersebut dan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain.
Namun dalam praktek, meskipun suatu negara sudah memiliki keempat unsur di
atas, tidak otomatis dia langsung diakui sebagai negara oleh negara lain. Yang
menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah status mereka sebagai sebuah
negara, meskipun sudah memiliki keempat unsur di atas, masih ditentukan oleh
pengakuan? ataukah sebaliknya apakah bukan pengakuan yang menetukan
status mereka sebagai sebuah negara? Pertanyaan ini dijawab oleh beberapa
teori i.e.

a. Teori Konstitutif

Menurut teori konstitutif, pengakuan yang diberikan oleh negara lain


memiliki karakter sebagai pembentuk negara yang diakui sekaligus sebagai
penganugerah status “legal personality” nya.15
Teori ini didasarkan atas suatu konsep yakni, keabsahan tertib
hukum internasional bergantung pada persetujuan atau kesepakatan antar
subjek-subjek hukum internasional. Soal berdirinya negara baru ini merupakan
bagian dari tertib hukum tersebut yang karena itu juga harus didasarkan atas
kesepakatan yang tertuang dalam bentuk pengakuan dari negara-negara tersebut.16
Teori ini memiliki beberapa kelemahan yang mendasar yakni sbb;
1. Jika memang pengakuan yang diberikan oleh negara lain memiliki karakter
sebagai pembentuk Negara seberapa banyak negara mengakui17 dan pada
tingkatan dan cara pengakuan yang bagaimana dia dapat membentuk
negara tersebut. Hal ini tidak terjawab oleh teori ini.
Pertanyaan ini relevan untuk diajukan karena dalam prakteknya, terhadap
negara yang diakui, ada banyak negara yang mengakui dan ada pula sedikit
yang mengakuinya. Pengakuan yang diberikan ada yang dalam tingkatan
“pengakuan de facto” dan ada pula yang “de jure”, ada yang secara diam-diam
(“implied recognition”) dan ada pula yang secara terang-terangan (“expressed
recognition”).

2. Jika memang pengakuan yang diberikan oleh negara lain memiliki karakter
sebagai pembentuk Negara, akan timbul konsekuensi yakni jika tidak ada
pengakuan baginya, negara yang bersangkutan tidak akan dianggap
sebagai subjek hukum internasional dan konsekuensi lanjutannya adalah
dia tidak akan dikenakan hak dan kewajiban menurut hukum

15
See Malcolm N Shaw, Op cit, p. 368.
16
Lihat I Wayan Parthiana, Op. cit p. 348
17
Ibid
internasional. Salah satu kewajiban yang terpenting menurut hukum
internasional adalah mematuhi larangan-larangan atau pembatasan yang telah
ditetapkan oleh hukum internasional seperti, misalnya larangan untuk
menggunakan kekuatan senjata terhadap negara lain kecuali untuk self defense
dan maintenance of international peace and security dalam kerangka Dewan
Keamanan PBB. Ketiadaan pengakuan, berdasarkan teori ini menyebabkan
mereka tidak perlu melaksanakan kewajiban ini.18 Salah satu hak yang
terpenting bagi subjek hukum internasional adalah membela diri, ketiadaan
pengakuan, berdasarkan teori menyebabkan negara yang bersangkutan tidak
akan dianggap sebagai subjek hukum internasional dan konsekuensinya
mereka tidak dianggap punya hak dan kewajiban menurut hukum
internasional, termasuk hak untuk membela diri dan kewajiban untuk
mematuhi prinsip non-intervensi atau non-agresi.

b. Teori Deklaratif

Berlawanan dengan teori konstitutif di atas, teori deklaratif


menyatakan bahwa keberadaan negara tidak ditentukan oleh pengakuan,
melainkan oleh pemilikan atau penguasaan mereka atas syarat-syarat atau
situasi faktual khusus sebagai sebuah negara. Pengakuan hanyalah berperan
sebagai penegasan saja dari negara yang mengakui

Teori ini memiliki kelemahan yakni dalam praktek ternyata


terlihat pentingnya pengakuan tersebut untuk keberadaan suatu negara
dalam kancah pergaulan internasional. Pentingnya pengakuan tersebut antara
lain;

-Mencegah keterkucilan dalam pergaulan MI; jika suatu negara baru lahir
tidak diakui oleh semua negara, negara tersebut akan terkucil sehingga
kelangsungan hidupnya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Contohnya;
negara Transkey di kawasan Afrika pada tahun 1979.

-Untuk mendapatkan pengakuan atas prilaku atau tindakan hukum


negara yang bersangkutan; jika suatu negara baru lahir tidak diakui oleh
beberapa negara, apapun prilaku atau tindakan hukum negara yang
bersangkutan tidak akan diakui oleh negara yang tidak mengakui
tersebut, misalnya UU nya yang berkaitan dengan hubungannya dengan
negara lain, seperti UU nasionalisasi, tidak akan diakui keabsahannya oleh
negara ybs. Ringkasnya, dimata negara yang tidak mengakui, negara baru
tersebut belum dianggap sebagai sebuah negara. Hal ini berarti perlu adanya
pengakuan yang akan mengakui eksistensi negara ybs sehingga dalam
konteks ini pengakuan bukan hanya sekedar deklarasi.

18
See Malcolm N Shaw, Op cit, p. 369
c. Teori Jalan Tengah (Middle Posisition Theory)

Menurut teori ini, harus dibedakan antara negara sebagai pribadi


internasional dengan kapabilitas negara sebagai pribadi internasional dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya menurut hukun internasional. 19 Jadi,
teori ini memisahkan unsur keempat dari 3 unsur negara lainnya menurut
konvensi Montevideo 1933.

Negara untuk bisa sebagai pribadi internasional atau sebagai subjek


menurut hukum internasional tidak memerlukan pengakuan dari negara lain.
Cukup penegasan saja sesuai dengan teori deklaratif. Jika dikaitkan dengan
konvensi Montevideo, 3 unsur pertama, berdasarkan teori ini, sudah cukup
untuk menjadikannya sebagai pribadi internasional.

Namun kapabilitas negara sebagai pribadi internasional baru akan


eksis jika dia diakui oleh negara-negara lain. Jadi, di sini berlaku teori
konstitutif.

Jika dirujukkan kembali kepada Konvensi Montevideo, akan timbul


kebingungan dalam hal, misalnya; tiga unsur pertama sudah ada, namun
unsur keempat tidak eksis karena tidak diakui oleh negara lain, apakah ini
masih bisa disebut negara. Karena 4 syarat itu menentukan untuk adanya
negara, dan pengakuan juga penting untuk adanya syarat keempat tersebut,
maka berarti teori konstitutif masih lebih dominan.

Teori jalan tengah lainnya mengatakan bahwa pengakuan akan


bersifat konstitutif dalam hal berkaitan dengan “political sense” (dan juga
hukum yang hanya akan timbul dari adanya hubungan antara kedua pihak) ,
namun tidak demikian halnya yang berkaitan dengan hukum atau “legal
sense” secara umum seperti masalah hak dan kewajiban dalam hukum
internasional yang tidak timbul dari pengakuan tersebut. Misalnya;
ketika AS tidak mengakui negara-negara komunis dan Arab tidak mengakui
negara Israel, ketidakdiakuinya tersebut hanya mengakibatkan negara yang
diakui tidak dipandang dari segi politik dan hukum yang khusus lahir antara
pihak yang diakui dan mengakui seandainya ada pengakuan tersebut. Dengan
kata lain untuk bisa dipandang dari segi politik dan hukum yang khusus
berlaku diantara pihak yang diakui dan mengakui perlu adanya
pengakuan. Di sini berlaku teori konstitutif. Akan tetapi bagi negara yang
tidak diakui secara politik tersebut, dia tetap diakui hak dan kewajibannya
menurut hukum internasional yang berlaku umum, seperti misalnya hak untuk
tidak diintervensi atau diagresi oleh negara lain, hak self defense, dan
kewajibannya menurut Hi seperti misalnya kewajiban untuk mematuhi
larangan intervensi dan agresi terhadap negara lain.20 Ini berarti dari “legal
sense” secara umum seperti masalah hak dan kewajiban dalam hukum
19
I Wayan Parthiana, Op. cit. p. 351
20
Lihat Shaw, p. 371.
internasional yang tidak timbul dari pengakuan tersebut, berlaku teori
deklaratif.

Pengakuan yang diberikan bisa berupa pengakuan “de facto” dan


“de jure”. Meskipun beberapa literatur mengindikasikan bahwa pengakuan
“de facto” dan “de jure” berlaku, selain terhadap pemerintahan baru, juga
terhadap negara baru,21 namun karena masalah pengakuan “de facto”dan
“de jure” ini sangat terkait erat dengan derjat penguasaan atau kontrol
oleh pemerintahan baru, baik dari suatu negara baru ataupun negara
lama, terhadap rakyat dan wilayahnya maka masalah ini dalam beberapa
literatur lainnya dibahas dalam konteks pengakuan terhadap pemerintahan
baru.22
Khusus dalam kaitannya dengan pengakuan terhadap negara
baru, derjat atau macam pengakuan yang diberikan, apakah de facto
atau de jure, mencerminkan derjat pengakuan terhadap pemerintahan
baru dari negara tersebut. Pengakuan de facto dalam hal ini berarti bahwa
negara yang diakui berdasarkan kenyataan atau faktanya telah ada atau
“negara yang diakui telah memenuhi syarat berdasarkan fakta” 23. Namun
harus diingat bahwa keberadaan negara tersebut sangat ditentukan oleh derjat
keberadaan atau kemampuan pemerintah baru untuk menguasai rakyat dan
wilayahnya. Karena itu jika ada pengakuan de facto terhadap negara baru, itu
berarti juga pengakuan de facto atas pemerintahannya. Jika Pemerintahan
baru dari negara baru tersebut telah benar-benar efektif secara formal dan
substansial menguasai wilayahnya, dapat mengontrol rakyatnya karena
dukungan sepenuhnya dari mereka dan kesediaan pemerintah tersebut untuk
menghormati kaedah-kaedah hukum internasional, maka negara baru tersebut
bisa mendapatkan pengakuan “de jure”.24 Karena pengakuan de jure ini lahir
dari keberadaan dan kemampuan pemerintah baru untuk melakukan hal
demikian, maka pengakuan de jure terhadap negara baru itu berarti juga
pengakuan de jure atas pemerintahannya.
Pengakuan dapat diberikan secara terang-terangan (expressed
recognition) secara diam-diam (implied or implicit recognition).
Pengakuan secara terang-terangan dapat diberikan dalam bentuk;25
1.Suatu perjanjian internasional antara pihak yang mengakui dengan
pihak yang diakui.
2.Nota Diplomatik, Pernyataan atau Telegram
Sedangkan pengakuan secara diam-diam dapat diberikan dalam
bentuk misalnya; *mengirimkan wakil diplomatik kepada negara yang diakui,
21
Lihat; J.G. Starke, “Pengantar Hukum Internasional”, edisi kesepuluh, Sinar Grafika, 1995, hal. 186-187, I
Wayan Parthiana, Op. cit., p. 339. Lihat juga Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, “Hukum Internasional
Kontemporer”, Refika Aditama, 2006, hal. 135.
22
Lihat Boermauna, Op cit, p. 78-79, S. Tasrif, Op cit, p. 53-66, Shaw,Op cit, p. 382.
23
J.G. Starke, p. 187.
24
Lihat , I Wayan Parthiana, Op. cit., h. 338
25
Lihat Bourmauna, p. 68.
*mengadakan pembicaraan dengan pejabat resmi negara yang diakui atau
kunjungan kepala negara atau kepala pemerintahan atau pejabat resmi negara
yang mengakui kepada negara yang diakui atau sebaliknya, kesediaan
menerima pejabat resmi negara yang diakui oleh negara yang mengakui,
*membuat perjanjian dengan negara yang diakui yang tidak terkait dengan
pernyataan pengakuan secara langsung26

Pengakuan juga bisa diberikan secara kolektif. Pengakuan secara


kolektif biasanya diberikan dalam konfrensi atau perjanjian multilateral.
Biasanya pengakuan ini diberikan dalam lingkup organisasi internasional.
Namun pengakuan ini harus dibedakan dengan pengakuan yang diberikan
oleh organisasi internasional. Suatu pengakuan yang diberikan oleh organisasi
internasional belum tentu otomatis merupakan pengakuan yang diberikan
secara individu oleh seluruh anggotanya. Misalnya; pengakuan yang
diberikan oleh PBB terhadap Israel bukan berarti otomatis seluruh negara
anggota, termasuk negara Arab juga mengakui Israel.

Adakalanya pengakuan yang diberikan kepada suatu negara baru


terjadi ketika unsur-unsur konstitutif yang harus dimilikinya belum sempurna
(atau belum lengkap). Pengakuan ini disebut juga sebagai pengakuan
prematur.27 Pengakuan ini biasanya terjadi dalam kasus munculnya bakal
negara baru sebagai akibat keberhasilan pemberontakan separatis yang
berusaha memisahkan diri dari negara induk. Bagi negara yang diberontaki,
pengakuan yang diberikan oleh negara lain dianggap sebagai tindakan campur
tangan terhadap urusan dalam negeri negaranya.
Untuk menghindari adanya tuduhan campur tangan tersebut,
sebaiknya pengakuan diberikan ketika negara baru itu benar-benar telah
memiliki unsur konstitutif yang sempurna.

2. Pemerintahan

2.1. Pengertian pengakuan pemerintahan


Jika suatu negara baru berdiri, pengakuan terhadap negara baru tersebut
juga berarti pengakuan terhadap pemerintahan baru. Namun sering, meskipun
negara itu telah berdiri, terjadi pergantian pemerintahan dan pergantian itu sering
inskonstitusional. Dalam konteks ini tidak perlu lagi adanya pengakuan atas
negara, yang perlu adalah pengakuan pemerintahan. 28 Jadi, pengakuan terhadap
pemerintahan baru ini bisa terjadi dalam dua situasi, yakni pengakuan terhadap
pemerintahan baru yang merupakan bagian dari negara baru dan pengakuan
terhadap pemerintahan baru yang menjadi bagian dari negara yang lama. Untuk
yang pertama, pengakuan terhadap negara baru berarti pengakuan terhadap

26
Ibid, p. 69.
27
Ibid, p. 72
28
Ini sangat terkait dengan doktrin kontinuitas negara.
pemerintahan baru sedangkan yang terakhir, pengakuan terhadap pemerintahan
baru tidak lagi berarti pengakuan terhadap negara lama, karena negara lama
tidak memerlukan pengakuan berkali-kali.
Untuk yang terakhir ini Pengakuan pemerintah menurut Boermauna
ialah
“suatu pernyataan dari suatu negara bahwa negara tersebut telah siap dan
bersedia berhubungan dengan pemerintahan yang baru diakui tersebut
sebagai organ yang bertindak untuk dan atas nama negaranya”

2.2. Perbedaan antara pengakuan negara dan pemerintah

Pengakuan terhadap negara baru berbeda dengan pengakuan terhadap


pemerintah baru. Perbedaan tersebut adalah sbb;29
1. Pengakuan terhadap negara merupakan pengakuan terhadap entitasnya
beserta seluruh unsur-unsurnya termasuk pemerintahannya yang notabene
merupakan pemerintah baru
2. Pengakuan terhadap negara baru berarti atau berakibat juga pengakuan
terhadap pemerintahan baru. Sebaliknya pengakuan pemerintahan baru
yang terbentuk pada negara lama, bukan merupakan pengakuan baru atas
negara tersebut.
3. Pengakuan terhadap negara baru tidak dapat ditarik kembali, sebaliknya
pengakuan terhadap sutu pemerintahan baru dapat dicabut kembali

2.3. Subjek yang mengakui Pemerintahan Baru

Suatu pemetintahan ataupun negara baru dapat diakui oleh negara maupun
organisasi internasional. Pengakuan suatu pemerintahan ataupun negara baru
dalam suatu organisasi internasional tidaklah berarti praktis pengakuan oleh
semua negara anggota perindividual. Suatu negara baru atau pemerintahan baru
boleh jadi diterima oleh organisasi internasional yang bersangkutan, tetapi
secara individual tidak diterima oleh negara-negara anggotanya. Misalnya, Israel
diakui oleh PBB namun tidak diakui oleh sebagian besar negara Arab yang juga
anggota PBB.

2.4. Akibat yang timbul dari Pengakuan Terhadap Pemerintah Baru

Ada beberapa akibat yang timbul dari adanya pengakuan ini terhadap
kedua pihak, yang mengakui dan diakui. Akibat tersebut yakni sbb;30
1. Setelah pengakuan diberikan, pemerintah yang diakui dapat
mengadakan hubungan resmi dengan negara yang mengakuinya
2. Dalam hal terjadinya sengketa hukum diantara kedua belah pihak,
pemerintah dari negara yang diakui dapat menuntut negara yang
mengakui di peradilan nasional maupun internasional.
29
Lihat Boermauna, hal. 73.
30
Lihat Ibid
3. Dalam hal adanya keterlibatan negara yang mengakui dalam
perbuatan internasional negara yang diakui, pemerintah yang diakui
dapat melibatkan tanggung jawab negara yang mengakui
4. Jika pemerintah sebelumnya memiliki harta benda di negara yang
mengakui, pemerintah baru yang diakui (sebagai suksesor dari
pemerintah lama) berhak untuk mengklaim dan memiliki harta benda
tsb.

2.5. Doktrin-Doktrin yang berkaitan dengan pengakuan atau penolakan


terhadap pemerintahan baru;
1. Doktrin Tobar
Menurut doktrin ini;
“suatu negara harus berusaha untuk tidak mengakui suatu pemerintah
asing bila pembentukan pemerintah tersebut didasarkan atas kudeta
militer atau pemberontakan. Sebelum diakui, paling tidak pemerintah
tersebut harus disahkan dulu”31
Doktrin ini disebut juga sebagai doktrin legitimasi konstitusional.32

2. Doktrin Stimson
Menurut doktrin ini;
tidak ada pengakuan bagi suatu keadaan termasuk lahirnya negara baru
sebagai akibat penggunaan kekerasan atau pelanggaran terhadap
perjanjian-perjanjian internasional yang ada.33
Misalnya penolakan atas negara Manchukuo yang dibentuk jepang.34

3. Doktrin Estrada
Menurut doktrin ini;
“penolakan pengakuan pemerintahan baru adalah cara yang tidak baik
karena selain bertentangan dengan kedaulatan suatu negara, juga
merupakan campur tangan terhadap soal dalam negeri negara lain.35
Seperti halnya pengakuan atas negara baru, pengakuan atas pemerintah
baru juga bisa di bagi atas pengakuan de facto dan de jure. Pengakuan de facto
biasanya diberikan kepada pemerintah suatu negara yang secara konstitusional
belum sah.36 Sedangkan pengakuan de jure normalnya akan diberikan jika
terpenuhi tiga syarat oleh pemerintahan yang bersangkutan , yakni;37
1. Kekuasaannya diakui di seluruh wilayah negaranya (syarat
efektivitas)

31
Lihat Ibid, hal 74.
32
Ibid
33
Ibid hal 75
34
Ibid hal 76
35
Ibid
36
Ibid hal. 78
37
Ibid
2. Pemerintah tersebut berasal dari pemilu yang sah secara konstitusi
(syarat regularitas)
3. Dia satu-satunya yang memiliki kekuasaan alias tampa ada
pemerintahan tandingan. (syarat eksklusivitas).

3. Pengakuan atas Belligerent” dan Gerakan-gerakan pembebasan nasional


3.1. Pengakuan atas Belligerency;
Pengakuan atas Belligerency akan membawa akibat sebagai berikut;
1. Akibat terhadap pihak pemberontak;38
a. Pihak yang memberontak akan mendapat hak-hak dan
kewajiban seolah-olah sebagai suatu negara merdeka selama
perang berlangsung
b. Angkatan perangnya akan dianggap sebagai kesatuan yang sah
sesuai dengan hukum perang
c. Peperangannya dengan negara induk harus sesuai dengan
hukum perang
d. Kapal-kapal perangnya adalah kapal-kapal yang sah sebagai
kapal perang
e. Blokade-blokade yang dilakukannya di laut harus dihormati
oleh negara netral
Batasannya;
a. Perundingan-perundingan yang dilakukan pihak penguasa
pemberontak tidak menghasilkan agreement yang dapat
disebut sebagai perjanjian internasional (lihat konvensi Wina
tentang perjanjian antar negara dan organisasi internasional)
b. pihak penguasa pemberontak tidak dapat menerima dan
mengirim wakil diplomatik
c. hubungan dengan negara lain hanya bersifat informal
d. Penguasa pemberontak tidak dapat menuntut hak dan
kekebalan menurut hukum internasional
e. Pengakuan terbatas dan sementara yakni hanya selama perang
berlangsung.

2. Akibat terhadap negara atau pemerintah induk


a. Negara induk bebas dari tanggung jawab terhadap apa yang
terjadi antara pemberontak dengan negara ketiga yang
mengakuinya.
b. Jika negara induk yang memberi pengakuan, perang diantara
negara induk dan pemberontak harus sesuai dengan hukum
perang

3. Akibat terhadap negara III

38
Ibid Hal. 80
a. Negara-negara ke 3 akan mempunyai hak-hak dan kewajiban
sebagai negara netral sepanjang pengakuan tersebut diberikan
dengan alasan humaniter (kecuali jika negara tersebut
menyatakan keberpihakannya terhadap negara tsb)

3.2. Pengakuan atas Gerakan Pembasan Nasional


Gerakan Pembasan Nasional ini mirip dengan pemberontakan, tetapi
penggunaan kekuatan bersenjata tidak dilakukan terhadap pemerintah atau
negaranya sendiri melainkan terhadap pihak pendudukan asing, misalnya;
PLO (Palestine Liberation Organization) terhadap Israel dan SWAPO (South
West Africa People’s Organization) terhadap Afrika selatan.
Pengakuan tersebut dalam sejarahnya diberikan oleh OI seperti PBB
dan negara-negara dalam bentuk misalnya;
- Pemberian status sebagai peninjau tetap dalam PBB bagi PLO dan
SWAPO
- Pemberian pengakuan diplomatik penuh kepada PLO sehingga
gerakan pembebasan tsb memiliki kedutaan dinegara yang
mengakui, misalnya India terhadap PLO pada tahun 1980 dan Uni
Soviet terhadap PLO tahun 1981.

4. Penambahan Atas Wilayah Baru (Mendapatkan Hak-Hak Territorial


Baru)
Suatu negara bisa saja memperoleh tambahan wilayah baru, baik
secara tisak sah seperti okupasi yang dilanjutkan dengan aneksasi, perluasan
wilayah secara sepihak (seperti perluasan laut teritorial sebelum lahirnya
UNCLOS), maupun secara sah seperti; peristiwa alam, penyerahan,
penentuan nasib sendiri, melalui perjanjian internasional (misalnya Hongkong
antara china dan Inggris dan Macau antara Portugal dan China) dsb.39
Persoalan pengakuan biasanya timbul dalam hal terjadinya perluasan
wilayah secara tidak sah. Pengakuan yang diberikan oleh satu dua negara
tidak serta merta memberikan keabsahan atas penambahan wilayah dari segi
hukum internasional. Namun jika banyak negara telah memberikan
pengakuannya, perluasan wilayah tersebut akan dianggap sebagai sah oleh
sebagian masyarakat internasional. Biasanya pengakuan ini diberikan jika;
1. Terlihat adanya kemampuan negara tersebut untuk menguasai
wilayah baru tsb.
2. Adanya kemampuan negara tsb untuk meyakinkan masyarakat
internasional mengenai keabsahan penguasaannya atas wilayah
baru tsb.40

39
Lihat , I Wayan Parthiana, Op. cit., h. 385
40
Ibid. 385.

Anda mungkin juga menyukai