Jumlah Perkuliahan : 3 X
4
Berdasarkan ketentuan dalam article I paragraph 4 of Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12
Augustus 1949, and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict (Protocol I of 1977),
perjuangan rakyat terjajah melawan pihak penjajah termasuk dalam kategori konflik bersenjata internasional.
5
Ibid
memberikan efek keuntungan, baik dari segi politik, ekonomi dan sebagainya
terhadap negara lain. Sebaliknya sisi negatifnya berarti penerimaan peristiwa di
atas akan merugikan bagi negara penerima. Adanya dua sisi ini menyebabkan
negara-negara lain tidak bisa begitu saja menerima peristiwa tersebut. Mereka
perlu membuat pertimbangan-pertimbangan politik terlebih dahulu berkaitan
dengan hal “apakah peristiwa di atas jika diakui akan menimbulkan akibat hukum
yang menguntungkan bagi mereka atau tidak”. Jika menguntungkan mereka akan
memberikan pengakuan, dan sebaliknya jika merugikan mereka akan menolaknya.
Jadi, lembaga pengakuan lahir sebagai alat untuk menyeleksi pilihan;
menerima atau menolak keempat peristiwa di atas berdasarkan
pertimbangan apakah penerimaan peristiwa-peristiwa di atas akan
menimbulkan akibat hukum yang merugikan atau tidak.
Berdasarkan penjelasan ini dapat diketahui adanya 2 aspek dalam lembaga
pengakuan ini. Pertama, aspek politik, yakni pengakuan yang diberikan selalu
didasarkan atas pertimbangan politik yang berkaitan erat dengan untung-ruginya
memberikan pengakuan tersebut bagi negara yang memberikan pengakuan.
Contohnya, dalam kasus sikap Amerika Serikat terhadap rezim komunis Kuba dan
Korea Utara yang hingga sekarang belum diakui oleh AS karena pemberian
pengakuan akan menimbulkan efek yang dirasakan merugikan bagi AS.
Pengakuan terhadap Korea Utara akan menimbulkan “image” bahwa selain
mengakui eksistensi ideologi komunis di negara itu dan As juga mengakui
keberadaan rezim yang membahayakan sekutunya Korea Selatan. Mengakui Kuba
juga akan menimbulkan kesan bagi As yakni selain mentolerir ideologi komunis
di negara itu, juga menerima rezim yang sangat memusuhi dan membahayakan
kepentingan AS di wilayah Amerika Tengah dan Selatan.
Yang kedua, aspek hukum, yakni pengakuan yang diberikan akan
menimbulkan ikatan hukum kepada kedua pihak, baik yang mengakui maupun
yang diakui.6
Karena berkaitan dengan kemungkinan akibat ‘untung-rugi’ yang akan
ditimbulkan oleh pengakuan tersebut, maka perlu kehati-hatian dalam
memberikan pengakuan tersebut. Perlunya sikap berhati-hati tersebut diakui oleh
Komisi Arbitrasi, Konferensi Perdamaian mengenai Yugoslavia mengatakan;
“pengakuan merupakan suatu perbuatan berhati-hati yang dapat dilakukan
negara disaat yang dikehendakinya dan dalam bentuk yang ditentukannya
secara bebas”.7
6
Boermauna, “Hukum International, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global”, Alumni,
Bandung, 2000. Hal. 59
7
Avis de la Commission ….dalam Ibid.
II. Pengertian Pengakuan
Ada beberapa poin yang dapat dilihat dari pendapat ini. Pertama, Shaw tidak
menegaskan apakah pengakuan itu merupakan perbuatan politik atau hukum.
Namun, kedua, dia menyebutkan perbuatan “statement”itu sebagai dilakukan oleh
badan hukum international berkaitan dengan status menurut hukum internasional
badan hukum internasional lainnya, yang notabene keduanya subjek hukum, dan
juga validitas situasi khusus lainnya. Hal ini secara tersirat menunjukkan bahwa
pengakuan merupakan suatu perbuatan hukum.
Apa yang dimaksudkan dengan “factual situation tidak dijelaskan oleh Shaw.
Dalam kaitannya dengan negara misalnya, factual situation berdasarkan konvensi
Montevideo 1933 akan mencakup mengenai ada tidaknya; a) a permanent
population, b) a definite territory, c) a government, d) a capacity to enter into
relations with other states.10
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa “pengakuan
merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur hukum dan sekaligus
politik yang dilakukan oleh entity (misalnya; negara, pemerintah atau
organisasi internasional seperti PBB) yang ditujukan terhadap “entitiy” yang
baru muncul, misalnya; negara baru, pemerintahan baru, belligerent,
insurgence atau terhadap pertambahan wilayah baru yang menimbulkan
suatu efek hukum (“legal effect”), baik dari segi hukum internasional
maupun nasional, terhadap yang mengakui maupun yang diakui”. Misalnya;
jika negara A mengakui negara B, pengakuan tersebut akan memberikan
konsekuensi hukum misalnya, ada keistimewaan (privilege) yang harus diberikan
oleh negara A terhadap negara B di muka pengadilannya, keistimewaan mana
tidak diberikan kepada manusia atau badan hukum lainnya.11 Selain itu, pengakuan
8
Boermauna, Op cit, p. 60
9
Malcolm N. Shaw, “International Law”, Fifth Edition, Cambridge University Press , 2003, p. 368
10
11
Ibid p. 367
juga akan menimbulkan konsekuensi lainnya seperti terbukanya hubungan resmi
ekonomi, social maupun budaya dan sebagainya, antara pihak yang mengakui dan
pihak yang diakui.12
Jadi, pengakuan merupakan pintu pembuka hubungan, baik dari segi hukum,
ekonomi, social maupun budaya dan sebagainya, antara pihak yang mengakui dan
pihak yang diakui.13
Khusus bagi negara baru, pengakuan ini penting karena akan berfungsi
sebagai jaminan yang diberikan kepadanya bahwa dia akan mendapat tempat
sebagai organisme politik yang independen di dalam masyarakat antar bangsa14
sehingga terbuka pintu baginya untuk dapat mengadakan hubungan dengan negara
lain.
Bagi Pemerintahan baru, pengakuan ini penting untuk menjadikan mereka
sebagai sebagai organ yang menjalankan hubungan antara negaranya dengan
negara yang mengakuinya. Suatu negara tidak akan mungkin bisa mengadakan
hubungan resmi dengan negara lain jika pemerintahannya tidak diakui oleh negara
yang bersangkutan.
Bagi Belligerent/ Insurgent, pengakuan ini penting untuk menjadikan
mereka seolah-olah mereka berada pada derjat yang sama dengan negara yang
diberontakinya, dan dapat membuka hubungan dengan negara yang diakui
Atau bagi pertambahan wilayah baru pengakuan ini penting bagi pihak
yang mendapatkannya untuk bisa menempatkan kedaulatannya di wilayah
tersebut tanpa ada lagi gugatan pihak lain terutama dari pihak yang mengakui dan
sekaligus membuka kemungkinan kerjasama resmi antar kedua pihak dalam hal-
hal yang terkait dengan wilayah baru tersebut.
1. Negara
Negara merupakan subjek hukum internasional yang utama karena
memainkan peranan penting dalam membentuk dan menjalankan hukum
internasional.
Sebagai subjek hukum internasional, negara tentu dapat menjadi
pihak yang akan memberi dan diberi pengakuan. Sebagai pemberi
pengakuan, negara tidak memiliki halangan untuk melakukan hal ini karena
mereka sudah eksis terlebih dahulu. Namun tidak demikian halnya dengan posisi
sebagai pihak yang diberi pengakuan. Negara ini logikanya merupakan pihak
12
Lihat S. Tasrif, ‘Hukum Internasional tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktek”, Abardin, 1987, hal. 3.
13
Lihat S. Tasrif, ‘Hukum Internasional tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktek”, Abardin, 1987, hal. 3.
14
Lihat Moore, Digest of International Law, Vol. I, hal. 72, dalam Ibid.
yang baru lahir atau paling tidak yang lahir belakangan dari yang memberi
pengakuan
Suatu negara yang baru lahir sudah bisa disebut sebagai negara jika,
berdasarkan konvensi Montevideo 1933, memiliki 4 unsur yakni; penduduk yang
tetap, wilayah yang batas-batasnya jelas, pemerintahan terhadap rakyat di wilayah
tersebut dan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain.
Namun dalam praktek, meskipun suatu negara sudah memiliki keempat unsur di
atas, tidak otomatis dia langsung diakui sebagai negara oleh negara lain. Yang
menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah status mereka sebagai sebuah
negara, meskipun sudah memiliki keempat unsur di atas, masih ditentukan oleh
pengakuan? ataukah sebaliknya apakah bukan pengakuan yang menetukan
status mereka sebagai sebuah negara? Pertanyaan ini dijawab oleh beberapa
teori i.e.
a. Teori Konstitutif
2. Jika memang pengakuan yang diberikan oleh negara lain memiliki karakter
sebagai pembentuk Negara, akan timbul konsekuensi yakni jika tidak ada
pengakuan baginya, negara yang bersangkutan tidak akan dianggap
sebagai subjek hukum internasional dan konsekuensi lanjutannya adalah
dia tidak akan dikenakan hak dan kewajiban menurut hukum
15
See Malcolm N Shaw, Op cit, p. 368.
16
Lihat I Wayan Parthiana, Op. cit p. 348
17
Ibid
internasional. Salah satu kewajiban yang terpenting menurut hukum
internasional adalah mematuhi larangan-larangan atau pembatasan yang telah
ditetapkan oleh hukum internasional seperti, misalnya larangan untuk
menggunakan kekuatan senjata terhadap negara lain kecuali untuk self defense
dan maintenance of international peace and security dalam kerangka Dewan
Keamanan PBB. Ketiadaan pengakuan, berdasarkan teori ini menyebabkan
mereka tidak perlu melaksanakan kewajiban ini.18 Salah satu hak yang
terpenting bagi subjek hukum internasional adalah membela diri, ketiadaan
pengakuan, berdasarkan teori menyebabkan negara yang bersangkutan tidak
akan dianggap sebagai subjek hukum internasional dan konsekuensinya
mereka tidak dianggap punya hak dan kewajiban menurut hukum
internasional, termasuk hak untuk membela diri dan kewajiban untuk
mematuhi prinsip non-intervensi atau non-agresi.
b. Teori Deklaratif
-Mencegah keterkucilan dalam pergaulan MI; jika suatu negara baru lahir
tidak diakui oleh semua negara, negara tersebut akan terkucil sehingga
kelangsungan hidupnya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Contohnya;
negara Transkey di kawasan Afrika pada tahun 1979.
18
See Malcolm N Shaw, Op cit, p. 369
c. Teori Jalan Tengah (Middle Posisition Theory)
2. Pemerintahan
26
Ibid, p. 69.
27
Ibid, p. 72
28
Ini sangat terkait dengan doktrin kontinuitas negara.
pemerintahan baru sedangkan yang terakhir, pengakuan terhadap pemerintahan
baru tidak lagi berarti pengakuan terhadap negara lama, karena negara lama
tidak memerlukan pengakuan berkali-kali.
Untuk yang terakhir ini Pengakuan pemerintah menurut Boermauna
ialah
“suatu pernyataan dari suatu negara bahwa negara tersebut telah siap dan
bersedia berhubungan dengan pemerintahan yang baru diakui tersebut
sebagai organ yang bertindak untuk dan atas nama negaranya”
Suatu pemetintahan ataupun negara baru dapat diakui oleh negara maupun
organisasi internasional. Pengakuan suatu pemerintahan ataupun negara baru
dalam suatu organisasi internasional tidaklah berarti praktis pengakuan oleh
semua negara anggota perindividual. Suatu negara baru atau pemerintahan baru
boleh jadi diterima oleh organisasi internasional yang bersangkutan, tetapi
secara individual tidak diterima oleh negara-negara anggotanya. Misalnya, Israel
diakui oleh PBB namun tidak diakui oleh sebagian besar negara Arab yang juga
anggota PBB.
Ada beberapa akibat yang timbul dari adanya pengakuan ini terhadap
kedua pihak, yang mengakui dan diakui. Akibat tersebut yakni sbb;30
1. Setelah pengakuan diberikan, pemerintah yang diakui dapat
mengadakan hubungan resmi dengan negara yang mengakuinya
2. Dalam hal terjadinya sengketa hukum diantara kedua belah pihak,
pemerintah dari negara yang diakui dapat menuntut negara yang
mengakui di peradilan nasional maupun internasional.
29
Lihat Boermauna, hal. 73.
30
Lihat Ibid
3. Dalam hal adanya keterlibatan negara yang mengakui dalam
perbuatan internasional negara yang diakui, pemerintah yang diakui
dapat melibatkan tanggung jawab negara yang mengakui
4. Jika pemerintah sebelumnya memiliki harta benda di negara yang
mengakui, pemerintah baru yang diakui (sebagai suksesor dari
pemerintah lama) berhak untuk mengklaim dan memiliki harta benda
tsb.
2. Doktrin Stimson
Menurut doktrin ini;
tidak ada pengakuan bagi suatu keadaan termasuk lahirnya negara baru
sebagai akibat penggunaan kekerasan atau pelanggaran terhadap
perjanjian-perjanjian internasional yang ada.33
Misalnya penolakan atas negara Manchukuo yang dibentuk jepang.34
3. Doktrin Estrada
Menurut doktrin ini;
“penolakan pengakuan pemerintahan baru adalah cara yang tidak baik
karena selain bertentangan dengan kedaulatan suatu negara, juga
merupakan campur tangan terhadap soal dalam negeri negara lain.35
Seperti halnya pengakuan atas negara baru, pengakuan atas pemerintah
baru juga bisa di bagi atas pengakuan de facto dan de jure. Pengakuan de facto
biasanya diberikan kepada pemerintah suatu negara yang secara konstitusional
belum sah.36 Sedangkan pengakuan de jure normalnya akan diberikan jika
terpenuhi tiga syarat oleh pemerintahan yang bersangkutan , yakni;37
1. Kekuasaannya diakui di seluruh wilayah negaranya (syarat
efektivitas)
31
Lihat Ibid, hal 74.
32
Ibid
33
Ibid hal 75
34
Ibid hal 76
35
Ibid
36
Ibid hal. 78
37
Ibid
2. Pemerintah tersebut berasal dari pemilu yang sah secara konstitusi
(syarat regularitas)
3. Dia satu-satunya yang memiliki kekuasaan alias tampa ada
pemerintahan tandingan. (syarat eksklusivitas).
38
Ibid Hal. 80
a. Negara-negara ke 3 akan mempunyai hak-hak dan kewajiban
sebagai negara netral sepanjang pengakuan tersebut diberikan
dengan alasan humaniter (kecuali jika negara tersebut
menyatakan keberpihakannya terhadap negara tsb)
39
Lihat , I Wayan Parthiana, Op. cit., h. 385
40
Ibid. 385.