Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

HUKUM INTERNASIONAL
“KAUM PEMBERONTAKAN”

KELOMPOK 9

1. NOURMA A. P. KADIR 6. AYU ANDIRA B.R.NUBAN


(220201282) (2202010085)
2. MARIA C.E.P. AMPOLO 7. AGUSTINA GUNU
(2202010292) GERODA (2202010048)
3. ROI PASKALIS LASI 8. CHERYL R. A. NDOEN
(2202010082) (2202010285)
4. YERIKO SUILIMA 9. DARMAWAN ABDULLAH
(2202010263) (2202010293)
5. YUSUF A. G. 10. FILEMON CHARLES
HAMBURG NGGAI (2202010056)
(2202010321)

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum internasional (international law) atau hukum internasional publik
(public international law) merupakan istilah yang lebih populer digunakan saat ini
dibandingkan istilah hukum bangsa-bangsa (law of nations), hukum antar negara (Inter
state law). Dua istilah terakhir ini ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai dengan
kebutuhan.
Berbicara mengenai hukum internasional tidak terlepas dari subjek hukum
internasional. Subjek hukum internasional pada umunya merupakan beberapa entitas
yang di berikan hak dan kewajiban oleh hukum internasional itu sendiri. Subjek hukum
internasional secara singkat dapat di katakan sebagai pemegang atau pendukung hak
dan kewajiban menurut hukum internasional. Konsekuensi dari pengertian ini adalah
bahwa subjek hukum internasional tidak sekedar negara. Subjek hukum adalah entitas
yang memiliki personalitas hukum. Dengan memiliki personalitas hukum maka subjek
hukum dapat menjalankan fungsinya sebagai subjek hukum.
Dalam pengertian umum, pemberontakan adalah penolakan terhadap otoritas
yang sah. Pemberontakan dapat timbul dalam berbagai bentuk, mulai dari
pembangkangan sipil (civil disobedience) hingga kekerasan terorganisir yang berupaya
meruntuhkan otoritas yang ada. Istilah ini sering pula digunakan untuk merujuk pada
perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang berkuasa, tapi dapat pula merujuk
pada gerakan perlawanan tanpa kekerasan.
Personalitas hukum menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
dimiliki oleh subjek hukum. Keberagaman subjek hukum internasional akan
menjadikan pengertian personalitas hukum menjadi tidak absolut. Hal ini karena
personalitas hukum itu sendiri akan mengikuti pengakuan yang di berikan oleh masing-
masing instrumen hukum. Selain itu, personalitas hukum memberikan kewenangan
untuk mengajukan klaim di Mahkamah Internasional, menikmati hak, menjalankan
kewajiban, berpartisipasi dalam pembentukan hukum internasional, ikut serta dalam
hukum internasional, hanya negara sebagai satu-satunya entitas yang di pandang
sebagai subjek hukum internasional. Namun, setelah adanya Perang dunia II, pelaku-
pelaku dalam pergaulan internasional tidak hanya di monopoli oleh negara. Subjek-

2
subjek hukum internasional yang baru seperti organisasi internasional, regional, atau
bahkan individu pada akhirnya di akui sebagai subjek hukum internasional selain
negara.
Dalam subjek hukum internasional ada kelompok yang di namakan
pemberontak. Itu pun terbagi dalam dua kategori, yakni insurgent dan belligerent. Kata
Insurgency merujuk pada tindakan-tindakan pemberontak, kerusuhan, ataupun
tindakan makar yang dilakukan oleh warga negara suatu negara terhadap pemerintahan
negaranya. Di lain sisi belligerent memiliki makna yang sama tetapi dalam tingkatan
yang berbeda, belligerent lebih mengarah kepada perang sipil dengan kondisi yang
hampir sama kuat dan hampir menyerupai perang antar negara. Jika dalam suatu negara
terjadi pemberontakan yang telah memecah belah kesatuan nasional serta efektifitas
pemerintahan, maka negara-negara ketiga akan berada dalam posisi yang sulit,
terutama untuk melindungi berbagai kepentinganya di negara tersebut. Dalam keadaan
inilah sistem pengakuan belligerency lahir.
Kaum belligerency adalah kaum pemberontak yang sudah mencapai tingkatan
yang kuat dan mapan, baik secara politik, organisasi, militer, dan telah tampak sebagai
suatu kesatuan politik yang mandiri. Kemandirian kelompok semacam ini tidak hanya
berlaku ke dalam, tetapi juga keluar, dengan pengertian bahwa dalam batas-batas
tertentu dia sudah mampu menampakan diri pada tingkat internasional atas
eksistensinya. Kaum belligerency berbeda dengan organisasi pembebasan. Kaum
belligerency pada hakekatnya muncul sebagai masalah yang semula adalah masalah
dalam negeri suatu negara. Misalnya, pemberontakan bersenjata yang terjadi di dalam
suatu negara yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap pemerintah yang sedang
berkuasa. Pemberontakan bersenjata ini di maklumi sebagai masalah dalam negeri
suatu negara. Oleh sebab itu maka penyelesaiannya diserahkan sepenuhnya kepada
yang bersangkutan. Negara lain yang membantu kaum pemberontak akan dipandang
sebagai intervensi yang tidak dibenarkan dalam hukum internasional.
Pengakuan atau penerimaan atas eksistensi kaum pemberontak dalam suatu
negara seringkali didasarkan atas pertimbangan politik subjektif dari negara-negara
yang memberikan pengakuan. Misalnya jika kaum pemberontak dalam suatu negara
memiliki aspirasi politik yang sesuai dengan negara yang mengakui itu atau jika negara
yang mengakui itu tidak bersahabat dengan pemerintah negara dimana pemberontakan
terjadi, maka negara itu memberikan dukungan dan pengakuannya kepada kaum

3
pemberontak. Sama halnya dengan organisasi pembebasan atau bangsa yang sedang
berjuang, suatu kelompok dalam suatu negara dapat dikatakan sebagai kaum
belligerency dengan memenuhi kriteria tertentu. Kriteria atau ukuran ini muncul karena
pemberontakan bersenjata yang terjadi dalam suatu negara memiliki tingkat kekuatan
yang berbeda-beda.
Pengakuan atas belligerent yang dilakukan oleh negara asal belligerent sangat
jarang dilakukan dalam prakteknya, ketidakinginan untuk mengakui tentu beralasan,
biasanya negara akan mengusahakan semaksimal mungkin untuk mengehentikan
pemberontakan yang terjadi sebaik yang dapat dilakukan negara tersebut. Pengakuan
yang dilakukan oleh negara asal belligerent cenderung dilakukan dalam kondisi
dimana terdapat desakan internasional untuk melakukanya ataupun karena
pemberontakan yang terjadi telah masuk kedalam fase dimana kekuatan negara dengan
pemberontak telah dalam posisi seimbang dan tidak mungkin lagi negara untuk
menutupi konflik yang terjadi. Pengakuan atas belligerent dalam kondisi tertentu
terkadang sengaja dilakukan oleh negara jika memang negara secara umum melihat
adanya keuntungan untuk melakukan pengakuan.
Campur tangan negara ketiga pun tidak terlepas atas pengakuan kaum
belligerent. Jika pengakuan atas belligerent dialakukan oleh negara ketiga ataupun
negara asal pemberontak, kondisi konflik yang terjadi akan sama dengan konflik antar
negara. Tidak jarang konflik yang terjadi merembet hingga ke wilayah negara yang
tidak memiliki kepentingan atas konflik. Negara yang tidak memiliki kepentingan atau
tidak terlibat dalam dalam konflik di sebut sebagai negara netral, mengingat jika
pengakuan atas belligerent telah dilakukan dan konfidisi konflik sama dengan kondisi
konflik antar negara maka secara hukum penerapan bagi negara yang tidak terlibat
dalam konflik adalah negara netral yang oleh hukum internasioanal diatur secara cukup
jelas. Tetapi dalam kondisi tertentu jika pengakuan atas pemberontak tidak pernah
terjadi dan negara ketiga terkhusus negara yang memiliki perbatasan langsung dengan
negara yang memiliki pemberontak merasa terganggu ataupun diminta oleh negara
dalam konflik untuk membantu maka negara ketiga dapat melakukan perlawanan
terhadap pemberontak. Perlakuan yang dilakukan oleh negara ketigapun akan sama
dengan negara asal pemberontak, dengan menganggap bahwa pelaku pemberontak
adalah tindakan melawan hukum dan di anggap sebagai kriminal, yang menjadi unik

4
adalah bahwa pihak ketiga dalam konflik boleh untuk membantu negara dalam konflik
tetapi tidak boleh membantu pihak pemberontak.
Belligerent secara hukum internasional tidak di atur secara jelas tetapi
pengakuan suatu kelompok belligerent dapat memiliki arti bahwa kelompok ini telah
di akui dengan segala haknya, tidak di anggap sebagai kriminal melainkan kelompok
yang mencari keadilan ataupun menentukan nasibnya sendiri. Pengaturan mengenai
belligerent biasanya diatur secara khusus dalam hukum di setiap negara-negara serta
akan selalu di kaitkan dengan tindakan separatis, karena pada dasarnya sebuah tindakan
separatis adalah tindakan yang membahayakan eksitensi negara itu sendiri. Hal ini
tentu berlaku bagi negara dengan berbagai kemampuan tanpa terkecuali negara adidaya
sekalipun. Kemunculan separatis di dalam tubuh negara akan memiliki dampak
walaupun hanya dalam skala regional jika dibiarkan akan menjadi masalah yang
berkepanjangan.
Belligerent cenderung memiliki potensi besar untuk menimbulkan adanya
perang sipil. Hal ini tentu sangat di antisipasi oleh setiap negara. Karena dengan
timbulnya perang sipil akan menjadikan masalah semakin rumit dan akan menjadi tak
terkendali. Kaum pemberontak adalah kelompok atau individu yang melakukan
perlawanan atau perjuangan melawan pemerintahan atau sistem yang ada. Mereka
biasanya memiliki tujuan atau ideologi yang berbeda dengan pemerintah yang
berkuasa. Dalam makalah ini, kita akan membahas lebih lanjut mengenai fenomena
kaum pemberontak, termasuk alasan mereka melakukan pemberontakan, metode yang
mereka gunakan, serta dampak yang ditimbulkan oleh gerakan ini.

5
1.2 Rumusan Masalah :
1. Apa definisi Kaum Pemberontak?
2. Bagaimanakah Sejarah Pemberontak?
3. Bagaimanakah Prosedur Pemberontak dalam Presfektif Hukum Internasional?
4. Apakah Motivasi Pemberontak?
5. Apa saja Pengaruh Pemberontak?
6. Apa saja Syarat Pemberontak?
7. Apa saja Kriteria Pemberontak?
8. Bagaimanakah Tanggung Jawab Negara Terhadap Akibat dari Kaum
Pemberontak?
9. Bagaimana Pemberontakan dan Pihak Dalam Sengketa atau Belligerent?
1.3 Tujuan :
1. Agar dapat mengetahui apa Apa definisi Kaum Pemberontak.
2. Agar dapat mengetahui bagaimanakah Sejarah Pemberontak.
3. Agar dapat mengetahui bagaimanakah Prosedur Pemberontak dalam Presfektif
Hukum Internasional.
4. Agar dapat mengetahui apakah Motivasi Pemberontak.
5. Agar dapat mengetahui apa saja Pengaruh Pemberontak.
6. Agar dapat mengetahui apa saja Syarat Pemberontak.
7. Agar dapat mengetahui apa saja Kriteria Pemberontak.
8. Agar dapat mengetahui bagaimanakah Tanggung Jawab Negara Terhadap Akibat
dari Kaum Pemberontak.
9. Agar dapat mengetahui bagaimana Pemberontakan dan Pihak Dalam Sengketa atau
Belligerent.

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Kaum Pemberontak

Kaum Pemberontak (Belligerent) adalah para pihak yang bersengketa dalam


sebuah pertikaian bersenjata, dalam hal ini pihak yang bersengketa bisa siapa saja
termasuk pemberontak (rebells). Pemberontak merupakan sekelompok orang yang
melakukan pemberontakan (rebellion), diakui ada dan memperoleh legal personality,
karena adanya pengakuan tersebut, maka kemudian diberikan pengakuan sebagai
insurgent (recignation of insurgency), yang menyebabkan serta melakukan
peperangan internal dengan pihak pemerintah berkuasa yang sah. Ketika pemberontak
tersebut dalam menjalankan pemberontakannya memiliki wilayah serta organisasi
pemerintah yang teratur sebagai tandingan terhadap pemerintahan yang sah dan
kemudian mendapatkan pengakuan (secara de jure) dari negara lain (negara netral),
maka pengakuan tersebutlah yang dinamakan sebagai recognition of belligerency.
Dengan adanya legal personality maka belligerent dapat tampil sebagai subjek hukum
internasional dan kombatan yang sah.

Istilah yang digunakan dalam forum internasional tentang pemberontak sangat


beragam antara lain “kesatuan non negara”, “kelompok subversif”, “gerombolan
penduduk sipil bersenjata”, “kelompok perlawanan bersenjata”, “pasukan gerilya”,
“pemberontak” (rebel : tingkatnya lebih rendah, sedangkan insurection : tingkatnya
lebih tinggi). Walaupun menyandang predikat yang sangat beragam, namun terdapat
kesamaan-kesamaan yang pada hakikatnya merupakan ciri khas dari gerakan
pemberontakan. Kesamaan tersebut adalah motivasi, pada umumnya motivasi gerakan
pemberontakan adalah mengangkat senjata melawan pemerintahan yang berdaulat atau
berkeinginan untuk menggulingkan dan menggantikan pemerintahan yang resmi.

Belligerency adalah kategori terakhir dari sebuah tantangan bagi pemerintah


mapan, yang diakui oleh hukum kebiasaan internasional, dan menyiratkan adanya
konflik yang lebih serius daripada insurgency atau tindakan pemberontakan apapun.
Belligerency juga merupakan konsep yang lebih jelas didefenisikan dalam hukum
internasional daripada kategori konflik lainnya. Pengakuan belligerency secara

7
langsung meresikan hak dan kewajiban semua pihakdalam sebuah perang. Namun,
kondisi tertentu perlu diperjelas agar terjadi konflik bisa mencapai status melawan
belligerent.
2.2 Sejarah Pemberontak
Pemberontakan telah ada sejak zaman kuno. Contoh penting termasuk

Pemberontakan Spartacus di Roma kuno pada abad ke-1 SM, dan Pemberontakan
Wiski di Amerika Serikat pada tahun 1791. Banyak pemberontakan selama berabad-
abad muncul karena ketidakpuasan sosial, ekonomi atau politik.
 Abad ke-17
• Batavia adalah kapal VOC yang dibuat pada 1628 di Amsterdam yang
dihancurkan pada pelayaran pertamanya. Para pelaut memimpin sebuah
pemberontakan dan membunuh banyak penumpang.
• Pemberontakan Corkbush Field terjadi pada 1647, pemberontakan
Bishopsgate dan pemberontakan Banbury pada 1649 terjadi selama awal-awal
Perang Saudara Inggris ke-2.
 Abad ke-18
• HMS Hermione adalah kapal perang yang memiliki 32 meriam milik angkatan
laut Inggris yang dibuat pada 1782. Kapal ini terkenal karena pemberontakan
yang terjadi pada kapal tersebut. Kapten dan 8 perwira dibunuh oleh awak
kapal.
• Mutiny on the Bounty, sebuah kapal Angkatan Laut Inggris pada 1789 yang
sudah terkenal karena beberapa buku dan filmnya.
• Pemberontakan Spithead dan Nore adalah dua pemberontakan besar oleh para
pelaut dari angkatan laut Inggris pada 1797. Mereka ingin bayaran lebih dan
kondisi hidup yang lebih baik.
 Abad ke-19
• Pemberontakan orang India pada 1857 adalah sebuah pemberontakan
bersenjata di India melawan kekuatan kolonial Inggris dan dikenal di Inggris
sebagai Pemberontakan India.
• Kapal Somers yang dibuat pada 1842 pernah mengalami pemberontakan pada
pelayaran pertamanya. Tiga pemberontaknya dieksekusi.

8
• Pemberontakan Boxer pada tahun 1899-1901 awalnya adalah pemberontak
kaum boxer melawan penjajah kolonial, namun meluas dengan terlibatnya
Kekaisaran Qing melawan Aliansi Delapan Negara.
 Abad ke-20
• Di atas kapal perang Rusia Potemkin, ada sebuah pemberontakan yang
dilakukan awak kapal pada opsir mereka pada Juni 1965. Ini adalah bagian
dari Revolusi Rusia pada 1905. Kejadian ini jadi terkenal dengan adanya film
The Battleship Potemkin.
• Insiden Curragh pada 20 Juli 1914 terjadi di Curragh, Irlandia di mana tentara
Inggris memprotes Home Rule Act tahun 1914.
• Pemberontakan Tentara Prancis pada 1917. Kegagalan dari Serangan Nivelle
pada April dan Mei tahun 1917 menghasilkan sebuah pemberontakan besar
yang dilakukan banyak tentara Prancis. Sekitar 50 prajurit dieksekusi dan
lebih dari 500 orang dikirim ke penjara.
• Pemberontakan Wilhelmshaven dimulai di Angkatan Laut Jerman pada 29
Oktober 1918. Pemberontakan ini adalah salah satu yang hal yang memicu
akhir Perang Dunia Pertama, akhir Monarki dan awal Republik Weimar.
• Pemberontakan Laut Hitam (1919) oleh para pelayar dreadnoughts (kapal
perang besar) Prancis.
• Pemberontakan Kronstadt adalah pemberontakan yang gagal oleh pelaut-
pelaut Soviet. Pemberontakan ini dipimpin oleh Stepan Petrichenko melawan
pemerintahan pada awal-awal Russian SFSR di minggu pertama bulan Maret
tahun 1921. Pemberontakan ini terbukti menjadi pemberontakan besar
terakhir melawan pemerintahan Bolshevik.
• Pemberontakan Invergordon adalah aksi mogok kerja oleh sekitar 1000 pelaut
di British Atlantic Fleet. Terjadi pada 15-16 September 1931. Ini adalah salah
satu dari beberapa mogok kerja militer dalam sejarah Inggris.
• Pemberontakan Pulau Cocos adalah pemberontakan gagal oleh prajurit Sri
Lanka pada Pulau Cocos selama perang dunia ke-2.
• Pemberontakan Pelabuhan Chicago terjadi pada 9 Agustus 1944, 3 minggu
setelah bencana Pelabuhan Chicago saat 320 tentara terbunuh dan 390 cedera
dalam sebuah ledakan.

9
• Pemberontakan Soderborg Denmark pada 4 Mei 1945, tentara Jerman
mengambil alih minesweeper M612 Jerman. Pada hari selanjutnya mereka
dibekuk dan 11 orang dieksekusi. Tubuh mereka dilempar ke lautan.
Setelah Perang Dunia II
• Pascaperang Dunia II mogok kerja demobilisasi terjadi di pasukan militer
Sekutu yang ditempatkan di lintang Timur Tengah, India dan Asia Selatan
pada bulan-bulan dan tahun-tahun setelah Perang Dunia II.
• Insiden SS Columbia Eagle terjadi pada 14 Maret 1970 selama Perang
Vietnam. Pelaut di sebuah kapal dagang Amerika memberontak dan
mengambil kapal ke Cambodia.
• Pemberontakan Storozhevoy terjadi 9 November 1975 di Riga, Latvia.
• Pemberontakan Velos terjadi pada 23 Mei 1973 saat kapten HNS Velos
menolak kembali ke Yunani setelah latihan NATO.

10
2.3 Prosedur Pemberontak dalam Presfektif Hukum Internasional
Dalam hal pemberontak, hukum internasional membagi ke dalam 2 (dua) prosedur
diantaranya :

1) Insurgent (Insurgensi)
Insurgent dalam prinsipnya adalah jenis pemberontakan yang terjadi pada sebuah
Negara tetapi dengan de facto belum mampu mencapai atau memenuhi kualifikasi
tingkat organisasi teratur yang terpadu untuk melakukan perlawanan. Pemberontak
memiliki keedudukan yang belum mampu diakui sebagai kesatuan internasional
untuk selanjutnya menyandang hak serta kewajiban menurut hukum internasional.
Tetapi jika sebuah pemberontakan insurgent lebih memperjelas perkembangan yang
cepat, seperti perluasan wilayah yang dikuasai dan menunjukkan kecenderungan
menambah populasi dengan keteraturan pengorganisasian serta telah menempati
sebagian besar tempay dalam sebuah Negara secara efektif. Hal ini memperlihatkan
pemberontak telah memiliki kuasa secara de facto pada beberapa wilayah11.
Keadaan tersebut mennunjukkan bahwa pemberontak telah sampai tahap
belligerent.

2) Belligerent (Beligerensi)
Setiap kelompok pemberontak (insurgent) agar bisa mendapatkan pengakuan
sebagai belligerent dan subyek hukum internasional harus memiliki syarat-syarat
sebagai berikut :
a) Pemberontakan tersebut telah menjadi teratur dalam organisasi pada suatu
kekuasaan yang sebenarnya memiliki tanggungjawab terhadap tindakan
pengikutnya serta mempunyai struktur pemerintahannya sendiri;
b) Kekuatan militernya yang dimiliki sudah mendiami cakupan daerah tertentu;

c) Pemberontak memiliki control yang sangat efektif secara de facto dalam


menguasai sebagian besar cakupan daerah;
d) Pemberontak mempunyai sebuah pakaian dengan tandatanda khusus dan
peralatan militer yang cukup;
e) Pemberontak mematuhi aturan hukum serta kebiasaan yang berlaku dalam
perang (seperti melindungi warga sipil dan membedakan diri dari penduduk
sipil).
Pemberontakan merupakan salah satu kegiatan yang sangat merugikan karena dapat
mencerai berai persatuan nasional serta efektivitas sebuah pemerintahan.
Pemberontakan menempatkan Negara ke dalam keadaan yang sulit untuk
melindungi kepentingan warga dan negaranya. Adanya pemberontakan ini

11
menyebabkan Negara-negara ketiga mengakui adanya pemberontakan
(Beligerency). Pengakuan Belligerency diartikan sebagai berikut :

1. Memberikan kepada pemberontak hak serta kewajiban sebuah Negara


merdeka selama perang berlangsung.
2. Dilain pihak, pemerintah yang sedang melakukan pemberontakan tersebut
tidak bisa menyusun perjanjian-perjanjian Internasional, tidak dapat
mlakukan kerjasama diplomatik dan tidak dapat melakukan hubungan formal
dengan Negara lain. Pemerintah tersebut tidak boleh meminta hakhak serta
kekebalan di bidang internasional. Negara sedang menjadi subjek hukum
yang dalam bentuk yang terbatas, tidak penuh dan bersifat sementara.
3. Pengakuan belligerency oleh Negara-negara ketiga menyebabkan Negara
induk tidak diberi tanggungjawab terhadap Negara-negara ke-3 tersebut yang
berhubungandengan tindakan kelompok yang melakukan pemberontakan.

4. Apabila Negara induk memberi kesempatan pengakuan belligerency kepada


pihak yang melakukan pemberontakan, maka pihak kedua harus
melaksanakan perang sesuai dengan hukum perang. Pihak ke-3 dalam hal ini
tidak boleh takut untuk memberikan pengakuan yang sama.
5. Pengakuan belligerency memiliki sifat terbatas dan sementara serta hanya
selama berlangsungnya perang terjadi perang tanpa mempertimbangkan
apakah kelompok yang melakukan pemberontakan akan menang atau kalah
dalam perang.
6. Pengakuan belligerency menimbulkan hak dan kewajiban Negara ke-3
menjadi Negara netral.

2.4 Motivasi Pemberontak


Motivasi pemberontak mungkin berbeda-beda, namun beberapa faktor umum
sering kali menjadi kekuatan pendorongnya :
1. Ketidakpuasan Sosial dan Ekonomi : Banyak pemberontakan terjadi akibat
kesenjangan ekonomi, ketidakadilan sosial, atau kemiskinan yang meluas di suatu
komunitas.
2. Ketidakpuasan Politik : Ketidakpuasan terhadap pemerintah, perilaku otoriter,
atau pelanggaran hak asasi manusia seringkali menjadi penyebab pemberontakan.
3. Identitas dan Etnis : Perbedaan identitas yang mendalam, ketidakadilan, atau
diskriminasi dapat menimbulkan pemberontakan ras atau agama.

12
4. Ambisi dan Nafsu akan Kekuasaan : Beberapa pemberontakan dilakukan oleh
individu atau kelompok yang ingin merebut kekuasaan atau menggulingkan
pemerintahan yang sudah ada.

2.5 Pengaruh Pemberontak


Pemberontak dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap sejarah dan
masyarakat. Dampaknya mungkin termasuk :
a) Perubahan politik : Pemberontakan sering kali berujung pada perubahan
politik, termasuk penggulingan suatu rezim atau pembentukan negara baru.
b) Perubahan Sosial : Pemberontak juga dapat memicu perubahan sosial yang
signifikan, seperti memperluas hak-hak sipil atau menghilangkan kesenjangan.
c) Kerusuhan dan Kekerasan : Pemberontakan dapat menyebabkan kerusuhan
dan kekerasan, sehingga merugikan masyarakat secara keseluruhan.
d) Pelajaran dari Sejarah : Sejarah pemberontakan dapat memberikan pelajaran
berharga bagi masyarakat dan pemerintah mengenai pentingnya
mendengarkan keinginan masyarakat dan mengatasi masalah-masalah
mendasar.
Ada beberapa contoh pemberontakan di Indonesia. Beberapa contoh penting
termasuk revolusi sosial tahun 1945, Pemberontakan Darul Islam yang dimulai pada
tahun 1949, pemberontakan PRRI/Permesta dari tahun 1957 hingga 1961, dan Gerakan
Aceh Merdeka dari tahun 1976 hingga 2005. Indonesia telah menyaksikan berbagai
contoh pemberontakan sepanjang sejarahnya. Berikut beberapa contoh pemberontakan
tersebut :
• Pada tahun 1948 terjadi pemberontakan yang dikenal dengan
pemberontakan PKI Madiun.
• Pada tahun 1948, terjadi pemberontakan yang dikenal dengan nama
pemberontakan Kartosuwiryo di Jawa Barat.
• Antara tahun 1949 dan 1962, pemberontakan DI/TII terjadi di berbagai
wilayah di Indonesia, termasuk Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan
Selatan, dan Sulawesi Selatan.
• Pada tahun 1949, terjadi pemberontakan terhadap kebijakan Pemerintah
Australia Australian Provident Fund (APRA).
• Pada tahun 1950, terjadi pemberontakan penting yang dikenal sebagai
pemberontakan RMS.
• Selama tahun 1959 hingga 1962, terjadi pemberontakan yang dikenal
dengan nama pemberontakan PRRI/Permesta.
• Pada tahun 1976, muncul Gerakan Aceh Merdeka.

13
2.6 Syarat Pemberontak
Belligerent sebagai subjek hukum internasional harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
1. Terorganisir secara rapi dan teratur dibawah kepempinan yang jelas.
2. Memiliki sebuah organisasi “pemerintahan” sendiri atau harus mendapatakan
dukungan dari rakyat di wilayah yang didudukinya.
3. Mempunyai kontrol efektif atas wilayah tersebut atau harus sudah menguasai
secara efektif sebagian wilayah sehinga wilayah tersebut benar-benar telah berada
di bawah kekuasaanya.
4. Anggota militernya memiliki seragam dengan tanda-tanda khusus dengan
peralatan militer yang cukup atau harus memiliki dan menggunakan tanda
pengenal yang jelas yang dapat menunjukan identitasnya.
Empat syarat pemberontak diatas adalah awal mula pembentukan belligerent. Namun,
setiap pemberontak (insurgent) tidak dapat disebut sebagai belligerent jika belum
memenuhi unsur-unsur tersebut.

2.7 Kriteria Pemberontak


1) Menurut Oppenheim-Lauterpacht
• Adanya perang saudara itu disertai dengan pernyataan hubungan
permusuhan antara negara yang bersangkutab dengan kaum belligerensi
tersebut;
• Menguasai atau menduduki sebagian dari wilayah negara;
• Adanya penghormatan atas peraturan-peraturan hukum perang oleh negara
yang bersangkutan dan kaum belligerensi;
• Adanya kebutuhan praktis bagi pihak atau negaranegara ketiga untuk
menentukan sikapnya terhadap perang saudara tersebut.

2) Menurut Hurwitz
• Terorgainisasi dibawah pimpinan yang bertanggung jawab;
• Memakai tanda-tanda pengenal yang jelas dapat terlihat;
• Membawa senjata secara terang-terangan;
• Mengindahkan cara-cara berperang yang sudah lazim.

14
2.8 Tanggung Jawab Negara Terhadap Akibat dari Kaum Pemberontak
Tanggung jawab negara dan organisasi internasional terhadap akibat dari kaum
pemberontak dapat bervariasi tergantung pada situasi konkretnya. Secara umum, tanggung
jawab melibatkan upaya untuk memastikan keamanan, perlindungan hak asasi manusia,
dan penyelesaian konflik secara damai. Negara dan organisasi internasional dapat
bertanggung jawab atas :

1) Keamanan dan Perlindungan


Negara bertanggung jawab untuk melindungi warganya dari ancaman yang
disebabkan oleh kelompok pemberontak. Mereka juga harus mencegah konflik
agar tidak meluas dan merugikan warga sipil.
2) Hak Asasi Manusia
Negara dan organisasi internasional harus memastikan bahwa hak asasi
manusia semua individu, termasuk yang terdampak konflik dengan kaum
pemberontak, dihormati dan dilindungi.
3) Penanganan Kemanusiaan
Mereka harus memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga yang
terdampak konflik, termasuk akses terhadap makanan, air bersih, pelayanan
kesehatan, dan tempat tinggal yang layak.
4) Penegakan Hukum
Negara harus menegakkan hukum dan menuntut pertanggungjawaban
pelaku kejahatan yang terkait dengan pemberontakan, seperti pelanggaran hak
asasi manusia dan kejahatan perang.
5) Pemulihan dan Pembangunan
Setelah konflik mereda, negara dan organisasi internasional dapat
membantu dalam upaya pemulihan, termasuk pembangunan infrastruktur,
penyediaan pendidikan, dan pelatihan keterampilan untuk mendukung rekonsiliasi
dan membangun kembali masyarakat.
Penting untuk diingat, bahwa tanggung jawab ini dapat berbeda-beda
berdasarkan konteks dan hukum internasional yang berlaku pada situasi tertentu.

15
2.9 Pemberontakan dan Pihak Dalam Sengketa atau Belligerent
Menurut Hukum Perang, Pemberontak dapat memperoleh ke-dudukan dan hak sebagai
pihak yang bersengketa (Belligerent) dalam keadaan-keadaan tertentu. Keadaan tertentu
ini, ditentukan oleh pengakuan pihakketiga bagi pemberontak atau pihak yang
bersengketa. Personalitas internasional pihak-pihak dalam sengketa sepenuhnya
tergantung pada pengakuan.
Pada perkembangan sekarang, adanya pengakuan terhadap status pihak yang bersengketa
dalam perang memiliki ciri lain yang khas, yakni Pengakuan pihak ketiga terhadap
gerakan-gerakan pembebasan, seperti: Gerakan Pembebasan Palistina (PLO). Kelainan
ini disebabkan karena pengakuan gerakan pembebasan demikian merupakan penjelmaan
dari pada suatu Konsepsi baru yang terutama dianut oleh negaranegara dunia ketiga, yang
didasarkan atas pengertian bahwa bangsa-bangsa dianggap mempunyai beberapa Hak
Asasi, seperti :

1) Hak untuk menentukan nasib sendiri


2) Hak untuk secara bebas memilih sistim ekonomi,sistim politik dan sistem sosial
sendiri
3) Hak untuk menguasai sumber kekayaan alam dari wilayah yang didudukinya.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kaum pemberontak merupakan kelompok atau individu yang melakukan
perlawanan terhadap pemerintahan atau sistem yang ada. Mereka memiliki alasan
yang beragam untuk melakukan pemberontakan, seperti ketidakpuasan terhadap
pemerintahan, ketidakadilan sosial dan ekonomi, atau penindasan politik atau budaya.
Metode yang mereka gunakan juga bervariasi, mulai dari gerilya hingga terorisme.
Dampak dari gerakan kaum pemberontak dapat mencakup perubahan politik dan
sosial, konflik dan kekerasan, serta pengaruh terhadap stabilitas nasional dan
internasional. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk
memahami akar penyebab dan mencari solusi yang tepat guna mengatasi
ketidakpuasan yang mungkin menjadi pemicu pemberontakan.

3.2 Saran
Faktor umum yang menjadi kekuatan pendorong dari kaum pemberontak
adalah ketidakpuasan sosial dan ekonomi. Banyak pemberontakan terjadi karena
akibat dari kesenjangan ekonomi ketidakadilan sosial atau kemiskinan yang meluas.
Pemberontakan juga terjadi karena ketidakpuasan politik dan terjadinya diskriminasi
ras etnis dan agama.

Melihat dari situasi dan kondisi ini maka perlu adanya peningkatan kualitas
sumber daya manusia, mengoptimalisasikan pengelolaan serta pemanfaatan sumber
daya alam yang merata, pemerataan pembangunan, memberikan akses yang sama
untuk seluruh masyarakat, menciptakan peluang pekerjaan agar tidak terjadinya
kesenjangan sosial. Kemudian untuk ketidakpuasan politik perlu adanya penegakan
hukum yang adil, meningkatkan kualitas pelayanan publik, perlunya pengawasan dari
pemerintah dan masyarakat serta penyebarluasan mengenai pendidikan HAM.

Masalah mengenai diskriminasi itu perlunya kesadaran kita untuk saling


menghormati dan menghargai setiap perbedaan yang ada, menyadari jika setiap
manusia memiliki HAM masing-masing tanpa perlakuan diskriminatif, membiasakan
diri untuk tidak mudah mengejek, menghina atau membenci hanya karena status
sosial atau kebudayaan seseorang, dan perlunya menumbuhkan semangat dan jiwa
nasionalisme.

17
Dampak atau pengaruh dari kaum pemberontak ini bersifat negatif, di mana
dapat menyebabkan perubahan politik, perubahan sosial, kerusakan, kekerasan.
Maka dari itu perlu adanya penegakan hukum bagi kaum pemberontak,
meningkatkan kualitas atau kekuatan militer, penerapan wawasan kebangsaan, dan
meningkatkan sikap nasionalisme

18
DAFTAR PUSTAKA

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
(Bandung: Alumni, 2003), hlm. 79. 6 Jawahir, Op. Cit, hlm. 125.

https://www.academia.edu/22539329/Title_Recognition_Of_Insurgents_And_Belligerent_Organ
isations_In_International_Law_1?auto=do wnload.

I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 82.

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, (Bandung: Refika
Aditama, 2006), hlm. 104.

Kusumo, Ayub Torry Satriyo. “Alternatif atas Pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional
dalam Konflik Bersenjata Melawan Islamic State of Iraq and Syria”. Jurnal Yustisia,
Volume 4 No. 3 (2015), hal. 643

L., Oppenheim, International Law- A treatise, Vol.17th edn, London: Longmans, Green & Co.,
1952, e-book. hlm. 284-253.

McDougal Myres S. dan Reisman W. M., International Law Essays, New York: The foundation
Press Inc., 1981, e-book, hlm. 523.

Noor, 2012, “Pengakuan Terhadap Pemberontak (Belligerency)”, URL:


https://www.negarahukum12.com/hukum/pengakuanterhadappemberontakbelligerency.ht
ml.

Pailalah, Marcel Gabriel. “Permasalahan Pengakuan Terhadap KelompokKelompok Belligerent


Dari Segi Hukum Humaniter Internasional”, URL:
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=1432447&val=4131&title=
PERMASALAHAN%20PENGAKUAN%20TERHADAP%20KELOMPOKKELOMPO
K%20BELLIGERENT%20DARI%20SEGI%20HUKUM%20HUMANITER%20I
NTERNASIONAL.

Permanasari, Arlina, Analisis Yuridis Status Hukum Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Menurut
Huum Humaniter, Jurnal Hukum Humaniter. 3 (4): 782-829, 2007, hlm. 799.

R.P., Dhokaliacivil wars and International Law, ‘’The Indian society of internasional law.219,
1971, hlm. 228.

19
Rashi Gupta, Recognition of Insurgents and Belligerent Organisation in Internasional Law, hlm.
2.
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), hlm. 2.

20

Anda mungkin juga menyukai