Anda di halaman 1dari 7

Resume Tugas Pengantar Hubungan Internasional

“Morgenthau, H.J. (1948) Politics Among Nations : The Struggle For Power And Peace.
Six Edition. Virginia: Kenneth W. Thompson. Part Six (Limitations of International
Power: International Law)”

Limitations of International Power: International Law

Morgenthau, H.J. (1948) Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New
York: Alfred A. Knoff.

Morgenthau, H.J. (1990) Politik Antar Bangsa. Diterjemahkan oleh S. Maimoen.

Jakarta: Yayasan Obor.

Kelompok 9

Hindun Jawas (11221130000007)

Maheswara Prasetyo Poetra (11221130000093)

Nayla Zahra (11221130000045)

Nisrina Nahdah Amanillah (11221130000046)

CHAPTER 18

The Main Problem of International Law

1. The General Nature of International Law


“Sistem modern hukum internasional merupakan hasil perubahan yang besar yang
menandai perpindahan dari abad-abad pertengahan ke kurun sejarah modern.”
1
Perpindahan ini ditandai dengan adanya perubahan dari sistem feodalisme yang
beranggapan bahwa raja memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu wilayah tidak lagi
berlaku karena sistem tersebut diubah dengan sistem negara territorial. Perubahan ini
dianggap terealisasikan sepenuhnya karena pada abad ke-16 setiap wilayah dalam negara
sudah tidak lagi membenarkan adanya kekuasaan lain diatas mereka. Hal ini menjadikan
kedudukan setiap negara menjadi setara dan membuat keberadaan hukum internasional
sangat dibutuhkan untuk mengatur hubungan-hubungan antar negara agar terciptanya
ketentraman dan kedamaian antar negara.

1
Morgenthau, H.J, Politik Antar Bangsa. Diterjemahkan oleh S. Maimoen (Jakarta:Yayasan Obor, 1990), hal315
Morgenthau, H.J, Politics Among Nations, page209
Kaidah hukum internasional disahkan saat perjanjian Westphalia tahun 1648,
dimana setelah itu banyak peristiwa yang melibatkan beberapa negara untuk
menyuarakan kepentingan-kepentingan bersama. Ketentuan hukum internasional telah
ditaati dengan tepat walaupun dalam beberapa kejadian masih ada segelintir pihak yang
tidak mentaati ketentuan tersebut. Meskipun begitu, hukum internasional tidak
memaksakan kehendaknya karena ketentuan tersebut belum tentu efektif untuk semua
pihak. Hukum internasional dapat berjalan dengan efektif karena didasarkan oleh dua
variable utama, yaitu kesamaan kepentingan dan pembagian kekuasaan, ketika dua
variable ini dipertemukan akan memberikan hasil kewenangan sosial yang objektif.
Berbeda dengan hukum nasional yang didasarkan oleh pihak yang memegang kekuasaan
dalam pemerintahan, sehingga kewenangannya merupakan hasil monopoli dari pihak
pemegang kekuasaan.

2. The Legislative Function in International Law


Aturan-aturan hukum saat ini umumnya dibuat oleh lembaga legislatif yang
memang diberi kewenangan untuk membuat undang-undang. Namun, pembuatan aturan-
aturan dalam hukum internasional hanya dikukuhkan oleh satu acuan, yaitu perjanjian.
Perjanjian dalam konteks hukum internasional hanya dibuat dan disepakati oleh bangsa-
bangsa yang menjadi peserta perjanjian, dalam kata lain hukum internasional tidak
mengikat seluruh bangsa, melaikan hanya mengikat bangsa yang memiliki kepentingan
saja. Dengan banyaknya masalah yang membutuhkan keberadaan hukum internasional,
dan berbeda-bedanya kepentingan tiap bangsa dalam melihat sudut pandang suatu
masalah membuat dua hal ini menjadi akibat utama dari pelaksanaan sifat legislatif
terdesentralisasi hukum internasional.

Perbedaan kepentingan setiap bangsa dalam menjalankan hukum internasional


dapat diilustrasikan saat pengesahakan hukum internasional dalam kasus batas laut
teritorial, dimana tiap bangsa memiliki pendapatnya masing-masing mengenai batas laut
teritorialnya, ada bangsa yang menyebutkan batas laut teritorial mereka sejauh 3 mil, 4
mil, 12 mil bahkan 200 mil. Karena perbedaan pendapat inilah dibutuhkan keberadaan
hukum internasional yang pada akhirnya dalam kasus ini dibuat perjanjian hukum laut
pada tahun 1982 yang menetapkan batas laut territorial bagi tiap bangsa yang
menyetujuinya adalah sejauh 12 mil.

Setiap kelebihan pun pasti ada kelemahan, seperti kelemahan hukum internasional
yang dapat dilihat ketidakpastian hukum yang mengatur kepentingan tiap bangsa, hal ini
juga memicu adanya segelintir pihak yang hanya memanfaatkan keberadaan hukum
internasional hanya untuk kepentingan nasionalnya saja. Dengan demikian citra dan
kekuatan hukum internasional dipandang lemah dan tidak efektif lagi untuk mengatur
masalah yang timbul dalam kehidupan bernegara.
3. The Judical Function in Internasional Law
Di dalam dunia peradilan internasional jika suatu negara memiliki masalah
dengan negara lainnya maka keputusan untuk mengambil langkah selanjutnya seperti
mengajukan masalah tersebut ke hukum internasional adalah hak dari kedua negara yang
sedang bertikai. Tidak ada satupun hukum internasional yang dapat memaksa negara
untuk menyerahkan masalahnya ke peradilan internasional karena adanya yurisdiksi
wajib.2

Namun negara juga tidak bisa membentuk yurisdiksi pengadilan dengan hanya
salah satu dari dua negara yang bertikai saja yang mengajukan sengketa untuk diadili
tanpa adanya persetujuan negara lain, sehingga perlu adanya kesepakatan antara kedua
negara untuk bisa mengajukan sengketanya untuk diadili di peradilan internasional.3

Pada dasarnya suatu peradilan hukum umumnya memiliki hirearki dalam


menjalankan tugasnya, yaitu negara yang tidak setuju dengan putusan yang diajukan
dapat mengajukan banding dari pengadilan rendah ke pengadilan tingkat atas sehingga
mahkamah agung yang akan memutuskan sengketa tersebut. Namun sistem hirarki
peradilan tersebut tidak berlaku di hukum internasional, karena ada “beberapa sistem
dasar dari peradilan yang tidak ada di hukum internasional yaitu yurisdiksi wajib, hierarki
keputusan pengadilan dan penerapan ketetapan stare of decisis.”4

Dalam dunia ada 2 sistem hukum diantaranya Civil law dan Common law. Civil
law bersumber dari undang-undang seperti yang dipakai oleh Indonesia, sedangkan
common law dipakai oleh Amerika Serikat dan Inggris yang sumbernya bukan berasal
dari undang-undang tetapi berasal dari putusan sebelumnya seperti pengertian dari stare
of decisis. Jadi stare decisis adalah putusan yang diambil berdasarkan putusan pengadilan
sebelumnya, dalam kasus yang sama.

4. The Enforcement of International Law


Adanya sistem yang memberikan implementasi hukum kepada transformasi
distribusi antara pelanggar dan korban hukum menjadikan pihak yang memiliki power
semakin mudah untuk melanggar hukum yang pada akhirnya akan mencelakakan pihak
yang tidak memiliki power. Bangsa besar yang memiliki power sering bertindak
melakukan pelanggaran berupa penindasan hukum kepada bangsa kecil. Penting sekali
sebagai bangsa kecil yang tidak memiliki power untuk mencari sebuah bantuan
2
Morgenthau, H.J, Politik Antar Bangsa. Diterjemahkan oleh S. Maimoen (Jakarta:Yayasan Obor, 1990), hal326-327
Morgenthau, H.J, Politics Among Nations, page220
3
Morgenthau, H.J, Politik Antar Bangsa. Diterjemahkan oleh S. Maimoen (Jakarta:Yayasan Obor, 1990), hal327
Morgenthau, H.J, Politics Among Nations, page220
4
Morgenthau, H.J, Politik Antar Bangsa. Diterjemahkan oleh S. Maimoen (Jakarta:Yayasan Obor, 1990), hal326
Morgenthau, H.J, Politics Among Nations, page220
perlindungan dari bangsa yang lebih kuat agar bisa melindungi hak hak yang mereka
miliki, karena dengan cara inilah mereka memiliki peluang untuk mencapai keberhasilan
yang lebih besar. Bantuan yang diberikan bukan diberikan hanya untuk kepentingan
semata-mata, tetapi beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh bangsa-bangsa yang
lebih kuat. “Namun usaha dan keberhasilan itu tergantung pada pertimbangan-
pertimbangan politik dan distribusi kekuasaan yang sebenarnya dalam suatu masalah
khusus”.5

Umumnya setiap bangsa akan menaati hukum internasional bukan karena paksaan
dari suatu pihak, tetapi karena ketaatan itu adalah kewajiban bagi setiap bangsa-bangsa
itu sendiri yang berdasar pada hukum internasional.

Mayoritas aturan hukum internasional adalah aturan yang saling melengkapi satu
sama lain, itulah mengapa aturan-aturan itu dapat berjalan dengan sendirinya, dan
umumnya tidak perlu langkah pelaksanaan karena aturan yang terdapat dalam hukum
internasional tidak akan terpengaruh oleh lemahnya sistem pelaksanaan. Namun sistem
pelaksanaan akan berpengaruh kepada kekuatan relatif pada bangsa-bangsa yang
bersangkutan. Oleh karena itu dibuatlah dua cara untuk memperbaiki situasi ini yang
diserahkan kepada fungsi eksekutif dalam hukum internasional. Cara yang pertama
dengan bentuk perjanjian jaminan dan cara yang kedua dengan bentuk keamanan
bersama. Namun kedua cara tersebut gagal dilaksanakan.

Dalam bentuk perjanjian jaminan contoh yang paling mudah diketahui adalah
“Perjanjian Blois tahun 1505 antara Perancis dan Aragon, dijamin oleh inggris. Jaminan
ini berarti bahwa inggris meletakkan kewajiban hukum pada dirinya untuk bertindak
sebagai polisi mengenai pelaksanaan perjanjian. Inggris berjanji akan mengusahakan agar
kedua belah pihak menyetujui perjanjian tersebut”6 Dalam pelaksanaannya perjanjian
jaminan harus melengkapi dua persyaratan, yaitu keefektifan dan perjanjian harus
dilaksanakan secara otomatis. Namun kebanyakan yang merusak pelaksanaan perjanjian
jaminan tersebut adalah ketidakjelasan dalam pelaksanaannya.

Sedangkan keamanan bersama adalah suatu upaya yang sangat berpengaruh untuk
menanggulangi pelaksanaan sistem hukum yang kewenangannya dikelola oleh pihak
yang kekuasaannya lebih rendah atau yang sering disebut juga dengan terdesentralisasi.
Pada saat itu penguatan hukum internasional masih rendah, tetapi hukum internasional
tradisional memberikan kebijakan peraturan kepada bangsa yang dirugikan, sehingga

5
Morgenthau, H.J, Politik Antar Bangsa. Diterjemahkan oleh S. Maimoen (Jakarta:Yayasan Obor, 1990), hal336
Morgenthau, H.J, Politics Among Nations, page229
6
Morgenthau, H.J, Politik Antar Bangsa. Diterjemahkan oleh S. Maimoen (Jakarta:Yayasan Obor, 1990), hal338
Morgenthau, H.J, Politics Among Nations, page231
mereka merasa kebingungan apakah mereka benar-benar dirugikan atau sebaliknya dalam
konteks permasalah tersebut.

CHAPTER 19

Sovereignty

1. The General Nature of Sovereignty


Cukup sulit untuk mendefinisikan hakikat kedaulatan dan bagaimana menentukan
bahwa sesuai atau tidak sesuainya bagi bangsa berdaulat itu sendiri. Pada akhir abad ke-
16 itulah awal munculnya konsep modern mengenai kedaulatan itu sendiri, yang mana
kekuasaan tidak bisa dicampur-tangani dan jadilah kekuasaan negara diatas segalanya.
Lalu muncullah kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi atas suatu wilayah tersebut
menjadi fakta politik di akhir perang 30 tahun, tidak hanya sebagai fakta politik tetapi
juga sebagai fakta hukum karena bagaimanapun hukum itu akan terikat pada hati
penguasa di wilayah tersebut.

Tidak semua hukum internasional itu harus diterima semua negara untuk
selanjutnya bisa disahkan karena ada sebagian kecil hukum yang memang harus
ditetapkan untuk mengikat negara-negara. Sebagai contoh aturan yang membatasi
kekuasaan hukum masing-masing negara, ini disebut hukum internasional umum atau
hukum internasional yang dibutuhkan. Dua situasi yang harus dibedakan, yaitu adanya
aturan yang hanya mengikat bagi negara yang mau menerima, tetapi di fungsi peradilan
pun setiap suatu negara bebas mempunyai hak dalam mematuhi hukum internasional itu.

Kedaulatan lahir dari rancangan hukum internasional yang memiliki tiga etika
dasar, yaitu kemerdekaan, persamaan, dan kebulatan suara.

2. Synonyms of Sovereignty: Independence, Equality, Unanimity.


Kemerdekaan dalam suatu bangsa berarti tiap-tiap bangsa memiliki kekuasaan
tertinggi, yang bisa dikatakan bangsa itu telah merdeka serta tidak ada kekuasaan lagi
diatasnya. Selama tidak ada batasan karena perjanjian atau hukum internasional yang
ditetapkan di muka, maka bangsa itu bebas merdeka. Bebas dalam arti mereka dapat
memilih konstitusi yang disukainya, dan mereka dapat memilih tatanan kemiliteran
sesuai keperluan politik bangsanya. Kemerdekaan tidak bersangkutan dengan aspek-
aspek yang melanggar perjanjian, sehingga setiap bangsa hendaknya menghormati
kemerdekaan bangsa lain.
Hakikat persamaan sangat dibutuhkan karena dalam pembuatan putusan hukum
internasional kedudukan setiap bangsa itu setara, sehingga tidak ada pembeda antara
bangsa kuat maupun bangsa yang lemah. Ketika bangsa yang lemah menolak putusan
dari sebuah hukum internasional maka bangsa yang kuat tidak bisa memaksa begitupula
sebaliknya. Hal ini sesuai ketika pasal 2 piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
menyatakan, “Organisasi didasarkan pada prinsip persamaan kedaulatan semua
anggotanya.”7

Sedangkan veto atau kebulatan suara adalah sebuah ungkapan pendapat atau
perasaan. Sama hal nya saat pengambilan keputusan, suara itu harus bulat yang berarti
setiap bangsa memiliki hak yang sama untuk menyetujui atau tidak menyetujui keputusan
tersebut yang selanjutnya akan berdampak pada pelaksanaan keputusan tersebut.

3. What Sovereignty is Not


Banyaknya kekeliruan pendapat mengenai apa itu kedaulatan dapat dilihat
beberapa pendapat masyarakat yang berkembang seperti kedaulatan tidak luput dari
peraturan hukum internasional, hal ini jelas melenceng karena kedaulatan sendiri harus
bebas dari peraturan hukum agar tidak menggangu kedaulatan suatu bangsa. Pendapat
yang menyatakan bahwa kedaulatan tidak luput dari prinsip hukum, kedaulatan tidak
berisi persamaan hak dan kewajiban menurut hukum internasional, dan kedaulatan
sebenarnya bukan kebebasan yang nyata dalam berbagai bidang juga melenceng dari
kebenaran mengenai kedaulatan itu sendiri.

4. How Sovereignty is Lost


Kedaulatan merupakan otoritas hukum tertinggi yang dibuat oleh suatu bangsa
untuk memanifestasikan hukum diwilayahnya yang pada akhirnya bangsa tersebut bebas
dari otoritas hukum bangsa lain dalam aspek apapun. Kedaulatan dapat dihilang jika
kedaulatan itu ditempatkan dibawah kekuasaan bangsa lain. Setidaknya ada dua aspek
yang bisa menghilangkan kedaulatan, yang pertama yaitu dengan memberikan sedikit
banyak hak kepada bangsa lain dalam penentuan pembuatan dan pelaksanaan hukum,
sehingga bangsa yang sebenarnya masih menjadi penguasa dalam pembuatan dan
penegakkan hukum tidak lagi memegang kekuasan tertinggi karena sudah dicampur-
tangani oleh bangsa lain dan bangsa lain itulah yang pada akhirnya memegang kekuasaan
tertinggi, sedangkan yang kedua dengan jatuhnya kekuasaan dalam pembuatan dan
pelaksanaan hukum karena sudah adanya ketentuan bahwa negara itu tidak bisa dimasuki
bangsa lain sehingga kedaulatan ini mutlak hilang dan berpindah pada bangsa lain.

5. Is Sovereignty Divisible?

7
Morgenthau, H.J, Politik Antar Bangsa. Diterjemahkan oleh S. Maimoen (Jakarta:Yayasan Obor, 1990), hal358
Morgenthau, H.J, Politics Among Nations, page 246
Kekeliruan pendapat yang menyatakan bawa kedaulatan dapat dibagi menjadi
permasalahan dalam kedaulatan di dunia modern. Seperti yang sudah diketahui bahwa
kedaulatan memegang otoritas tertinggi dalam suatu wilayah yang berarti tidak mungkin
jika ada pihak lain yang memegang otoritas tertinggi dalam jangka waktu yang sama.
Pendapat mengenai kedaulatan dapat dibagi juga bertentangan dengan logika dan dirasa
tidak pantas dalam konteks politik.

Anda mungkin juga menyukai