“Morgenthau, H.J. (1948) Politics Among Nations : The Struggle For Power And Peace.
Six Edition. Virginia: Kenneth W. Thompson. Part Six (Limitations of International
Power: International Law)”
Morgenthau, H.J. (1948) Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New
York: Alfred A. Knoff.
Kelompok 9
CHAPTER 18
1
Morgenthau, H.J, Politik Antar Bangsa. Diterjemahkan oleh S. Maimoen (Jakarta:Yayasan Obor, 1990), hal315
Morgenthau, H.J, Politics Among Nations, page209
Kaidah hukum internasional disahkan saat perjanjian Westphalia tahun 1648,
dimana setelah itu banyak peristiwa yang melibatkan beberapa negara untuk
menyuarakan kepentingan-kepentingan bersama. Ketentuan hukum internasional telah
ditaati dengan tepat walaupun dalam beberapa kejadian masih ada segelintir pihak yang
tidak mentaati ketentuan tersebut. Meskipun begitu, hukum internasional tidak
memaksakan kehendaknya karena ketentuan tersebut belum tentu efektif untuk semua
pihak. Hukum internasional dapat berjalan dengan efektif karena didasarkan oleh dua
variable utama, yaitu kesamaan kepentingan dan pembagian kekuasaan, ketika dua
variable ini dipertemukan akan memberikan hasil kewenangan sosial yang objektif.
Berbeda dengan hukum nasional yang didasarkan oleh pihak yang memegang kekuasaan
dalam pemerintahan, sehingga kewenangannya merupakan hasil monopoli dari pihak
pemegang kekuasaan.
Setiap kelebihan pun pasti ada kelemahan, seperti kelemahan hukum internasional
yang dapat dilihat ketidakpastian hukum yang mengatur kepentingan tiap bangsa, hal ini
juga memicu adanya segelintir pihak yang hanya memanfaatkan keberadaan hukum
internasional hanya untuk kepentingan nasionalnya saja. Dengan demikian citra dan
kekuatan hukum internasional dipandang lemah dan tidak efektif lagi untuk mengatur
masalah yang timbul dalam kehidupan bernegara.
3. The Judical Function in Internasional Law
Di dalam dunia peradilan internasional jika suatu negara memiliki masalah
dengan negara lainnya maka keputusan untuk mengambil langkah selanjutnya seperti
mengajukan masalah tersebut ke hukum internasional adalah hak dari kedua negara yang
sedang bertikai. Tidak ada satupun hukum internasional yang dapat memaksa negara
untuk menyerahkan masalahnya ke peradilan internasional karena adanya yurisdiksi
wajib.2
Namun negara juga tidak bisa membentuk yurisdiksi pengadilan dengan hanya
salah satu dari dua negara yang bertikai saja yang mengajukan sengketa untuk diadili
tanpa adanya persetujuan negara lain, sehingga perlu adanya kesepakatan antara kedua
negara untuk bisa mengajukan sengketanya untuk diadili di peradilan internasional.3
Dalam dunia ada 2 sistem hukum diantaranya Civil law dan Common law. Civil
law bersumber dari undang-undang seperti yang dipakai oleh Indonesia, sedangkan
common law dipakai oleh Amerika Serikat dan Inggris yang sumbernya bukan berasal
dari undang-undang tetapi berasal dari putusan sebelumnya seperti pengertian dari stare
of decisis. Jadi stare decisis adalah putusan yang diambil berdasarkan putusan pengadilan
sebelumnya, dalam kasus yang sama.
Umumnya setiap bangsa akan menaati hukum internasional bukan karena paksaan
dari suatu pihak, tetapi karena ketaatan itu adalah kewajiban bagi setiap bangsa-bangsa
itu sendiri yang berdasar pada hukum internasional.
Mayoritas aturan hukum internasional adalah aturan yang saling melengkapi satu
sama lain, itulah mengapa aturan-aturan itu dapat berjalan dengan sendirinya, dan
umumnya tidak perlu langkah pelaksanaan karena aturan yang terdapat dalam hukum
internasional tidak akan terpengaruh oleh lemahnya sistem pelaksanaan. Namun sistem
pelaksanaan akan berpengaruh kepada kekuatan relatif pada bangsa-bangsa yang
bersangkutan. Oleh karena itu dibuatlah dua cara untuk memperbaiki situasi ini yang
diserahkan kepada fungsi eksekutif dalam hukum internasional. Cara yang pertama
dengan bentuk perjanjian jaminan dan cara yang kedua dengan bentuk keamanan
bersama. Namun kedua cara tersebut gagal dilaksanakan.
Dalam bentuk perjanjian jaminan contoh yang paling mudah diketahui adalah
“Perjanjian Blois tahun 1505 antara Perancis dan Aragon, dijamin oleh inggris. Jaminan
ini berarti bahwa inggris meletakkan kewajiban hukum pada dirinya untuk bertindak
sebagai polisi mengenai pelaksanaan perjanjian. Inggris berjanji akan mengusahakan agar
kedua belah pihak menyetujui perjanjian tersebut”6 Dalam pelaksanaannya perjanjian
jaminan harus melengkapi dua persyaratan, yaitu keefektifan dan perjanjian harus
dilaksanakan secara otomatis. Namun kebanyakan yang merusak pelaksanaan perjanjian
jaminan tersebut adalah ketidakjelasan dalam pelaksanaannya.
Sedangkan keamanan bersama adalah suatu upaya yang sangat berpengaruh untuk
menanggulangi pelaksanaan sistem hukum yang kewenangannya dikelola oleh pihak
yang kekuasaannya lebih rendah atau yang sering disebut juga dengan terdesentralisasi.
Pada saat itu penguatan hukum internasional masih rendah, tetapi hukum internasional
tradisional memberikan kebijakan peraturan kepada bangsa yang dirugikan, sehingga
5
Morgenthau, H.J, Politik Antar Bangsa. Diterjemahkan oleh S. Maimoen (Jakarta:Yayasan Obor, 1990), hal336
Morgenthau, H.J, Politics Among Nations, page229
6
Morgenthau, H.J, Politik Antar Bangsa. Diterjemahkan oleh S. Maimoen (Jakarta:Yayasan Obor, 1990), hal338
Morgenthau, H.J, Politics Among Nations, page231
mereka merasa kebingungan apakah mereka benar-benar dirugikan atau sebaliknya dalam
konteks permasalah tersebut.
CHAPTER 19
Sovereignty
Tidak semua hukum internasional itu harus diterima semua negara untuk
selanjutnya bisa disahkan karena ada sebagian kecil hukum yang memang harus
ditetapkan untuk mengikat negara-negara. Sebagai contoh aturan yang membatasi
kekuasaan hukum masing-masing negara, ini disebut hukum internasional umum atau
hukum internasional yang dibutuhkan. Dua situasi yang harus dibedakan, yaitu adanya
aturan yang hanya mengikat bagi negara yang mau menerima, tetapi di fungsi peradilan
pun setiap suatu negara bebas mempunyai hak dalam mematuhi hukum internasional itu.
Kedaulatan lahir dari rancangan hukum internasional yang memiliki tiga etika
dasar, yaitu kemerdekaan, persamaan, dan kebulatan suara.
Sedangkan veto atau kebulatan suara adalah sebuah ungkapan pendapat atau
perasaan. Sama hal nya saat pengambilan keputusan, suara itu harus bulat yang berarti
setiap bangsa memiliki hak yang sama untuk menyetujui atau tidak menyetujui keputusan
tersebut yang selanjutnya akan berdampak pada pelaksanaan keputusan tersebut.
5. Is Sovereignty Divisible?
7
Morgenthau, H.J, Politik Antar Bangsa. Diterjemahkan oleh S. Maimoen (Jakarta:Yayasan Obor, 1990), hal358
Morgenthau, H.J, Politics Among Nations, page 246
Kekeliruan pendapat yang menyatakan bawa kedaulatan dapat dibagi menjadi
permasalahan dalam kedaulatan di dunia modern. Seperti yang sudah diketahui bahwa
kedaulatan memegang otoritas tertinggi dalam suatu wilayah yang berarti tidak mungkin
jika ada pihak lain yang memegang otoritas tertinggi dalam jangka waktu yang sama.
Pendapat mengenai kedaulatan dapat dibagi juga bertentangan dengan logika dan dirasa
tidak pantas dalam konteks politik.