Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL

HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL


ANALISIS KASUS SEI FUJI V. CALIFORNIA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah


Hukum Internasional (A)

Oleh:
FAHRIYANI ANANDA
NIM 11000118130571

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
A. PENDAHULUAN
Hubungan yang terdapat antara anggota masyarakat internasional timbul karena
adanya kebutuhan yang disebabkan oleh pembagian kekayaan dan perkembangan
industri yang tidak merata di dunia seperti adanya perniagaan atau pula hubungan
kebudayaan,ilmu pengetahuan, keagamaan, sosial dan olahraga, mengakibatkan
timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan bersama
merupakan suatu kepentingan bersama. Untuk menertibkan, mengatur dan
memelihara hubungan Internasional inilah dibutuhkan hukum dunia menjamin unsur
kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur. Hukum internasional
adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas berskala internasional. Pada awalnya,
hukum internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara.
Namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks,
pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi
struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan
multinasional dan individu.

Hukum internasional merupakan hukum bangsa-bangsa,hukum antarbangsa atau


hukum antar negara. Hukum bangsa- bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada
kebiasaan danaturan hukum yang berlaku. Hukum nasional adalah hukum yang
berlaku dalam suatu negara tertentu. Hukum nasional di Indonesia merupakan
campuran dari sistem hukum-hukum Eropa, hukum agama dan hukum adat.
Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada
hukum Eropa Kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu
Indonesia merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlands-
Indie).1

Persoalan hubungan hukum internasional dengan hukum nasional merupakan


persoalan yang menarik untuk dibahas. Hukum internasional merupakan peraturan
yang mengatur persoalan lintas Negara. Hukum internasional pada mulanya
diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar Negara, namun dalam perkembangan

1
Andi Tenripadang, “Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional”, Jurnal Hukum Dictum,
Vol. 14 No. 1, 2016, hlm.70.

1
pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian
meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku
organisasi internasional dan, pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan
individu. Tidak dapat dielakkan bahwa hukum internasional mempengaruhi hukum
nasional. Hal ini dikarenakan tak terlepas dari suatu Negara merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari masyarakat internasional.

Negara-negara yang ada pasti akan memiliki hubungan satu sama lain, baik itu
hubungan antara dua Negara saja maupun beberapa Negara. Hubungan ini akan
melahirkan peraturan yang dipatuhi oleh masing-masing Negara tersebut kemudian
berkembang menjadi peraturan yang akan dipatuhi bersama. peraturan bersama akan
menjadi hukum yang tidak saja dipatuhi bersama sacara berkelompok tetapi akan
berlaku secara universal bagi setiap Negara tanpa terkecuali. Hukum internasional
juga dapat tercipta dengan adanya perjanjian atau kesepakatan dari kebiasaan
nasional suatu Negara yang dianut oleh banyak Negara, kebiasaan ini disepakati
sebagai hukum internasional.

Hukum nasional dan hukum internasional sangat saling berhubungan. Misalnya,


dalam pembentukan suatu hukum internasional pasti dipengaruhi oleh hukum
nasional, dan tingkat kekuatan Negara tersebut juga akan mempengaruhi bagaimana
arah kebijakan hukum internasional yang akan dibentuk. Hal ini menunjukan
pentingnya hukum nasional masing- masing Negara dalam menentukan arah
kebijakan hukum nasional. Dengan begitu hukum internasional terpengaruh dengan
hukum nasional. Dalam memahami berlakunya hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional terdapat dua teori yang cukup dikenal, yaitu
monisme dan dualisme. Menurut teori monisme, hukum internasional dan hukum
nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem hukum umumnya.
Menurut teori dualisme hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua
system yang sama sekali berbeda, hukum internasional mempunyai suatu karakter
yang berbeda secara intrinsic (intrinsically) dari hukum nasional. Karena melibatkan
melibatkan sejumlah besar system hukum domestik, teori dualisme kadang-kadang
dinamakan teori “pluralistik”, tetapi sesungguhnya istilah “dualisme” lebih tepat dan

2
tidak membingungkan.2 Membicarakan mengenai hubungan hukum internasional
dengan hukum nasional, terdapat satu kasus yang menarik yaitu mengenai kasus
antara Sei Fujii vs. California. Kasus ini mendasari pembahasan makalah ini
mengenai hubungan hukum internasional dengan hukum nasional.

B. PERMASALAHAN
Dari pemaparan pendahuluan di atas, penulis dapat menarik permasalahan yaitu:
1. Apa sifat yang mendasari perjanjian antara Fujii dan California?
2. Apa teori yang menjadi dasar kasus Fujii vs. California?

C. PEMBAHASAN
a. Kronologi Kasus Posisi
Sei Fujii, seorang imigran Jepang, merupakan seorang yang disegani di
Little Tokyo, Los Angeles, sebagai editor koran berbahasa Jepang Kashu
Mainichi. Dengan bantuan J. Marion Wright, Fujii membeli tanah di distrik
Boyle Heights sebagai uji coba dalam menentukan konstitusionalitas hukum
tersebut. Fujii mengajukan gugatan agar ia bisa membangun rumah di sana.
Meskipun tanah tersebut tidak diperuntukkan sebagai tanah pertanian, Jaksa
Agung California Fred Howser terlibat ke dalam kasus dan berpendapat bahwa
di bawah Alien Land Act, Fujii tidak boleh membeli properti apapun. Alien Land
Act merupakan peraturan yang diberlakukan di California pada tahun 1913. Di
dalam peraturan ini, imigran Jepang dan negara-negara Asia yang tidak
“memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraaan” di bawah hukum
federal tidak dapat memiliki properti pertanian sendiri. Kasus Fujii diadili di
hadapan Hakim Wilbur C. Curtis di Pengadilan Tinggi Los Angeles, yang mana
pada Maret 1949 memutuskan untuk mempertahankan hukum negara bagian
yang berlaku. Fujii dan Wright kemudian mengajukan kasasi di Mahkamah
Agung Amerika Serikat. Fujii dan Wright beranggapan bahwa Alien Land Act
adalah bentuk diskriminasi ras, yang dilarang baik di bawah klausa 14th
Amendment’s Equal Protection dan juga Pasal 1, 55 dan 56 Piagam Perserikatan
Bangsa-bangsa yang secara umum menjelaskan bahwa “The UN Charter
2
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 1988), hlm. 96

3
pledges the member of nations to promote the observance of human rights and
fundamental freedoms without distinction as to race”. Kasus Fujii diperkuat oleh
Mahkamah Agung Oregon, yang telah membatalkan Alien Land Law yang
serupa dalam kasus Kenji Namba v. McCourt (1949). Gibson, C.J. Plaintiff,
sebuah banding dari Jepang … dari penghakiman menyatakan bahwa tanah
tertentu yang dibeli oleh dia pada tahun 1948 telah escheated kepada negara.
Tidak ada perjanjian antara negara ini dan Jepang yang diberikannya pada
penggugat hak untuk memiliki tanah, dan satu-satunya pertanyaan yang diajukan
di banding ini keabsahan California hukum tanah yang asing.

Hal ini pertama berpendapat bahwa hukum tanah telah batal dan digantikan
oleh ketentuan-ketentuan Piagam PBB negara-negara anggota berjanji untuk
mempromosikan ketaatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan
fundamental tanpa membedakan ras. Penggugat bergantung pada laporan dalam
pembukaan dan dalam Pasal 1, 55 dan 56 piagam tersebut. Hal ini tak bisa
dipungkiri bahwa piagam merupakan sebuah perjanjian, dan konstitusi federal
kami menetapkan bahwa perjanjian yang dibuat di bawah otoritas Amerika
Serikat adalah bagian dari hukum tertinggi negeri ini dan bahwa hakim di setiap
negara terikat dengan demikian. Dalam konstitusi Amerika Serikat, Pasal VI
mengenai perjanjian, bagaimanapun, tidak secara otomatis menggantikan hukum
lokal yang sedikit pun tidak konsisten kecuali ketentuan perjanjian adalah self-
executing. Dalam kata-kata dari Ketua Mahkamah Agung Marshall: Sebuah
perjanjian adalah “dianggap di pengadilan keadilan sebagai setara dengan
tindakan legislatif, setiap kali beroperasi dari dirinya sendiri, tanpa bantuan dari
setiap ketentuan legislatif. Tapi ketika ketentuan penetapan impor kontrak-ketika
salah satu pihak terlibat untuk melakukan tindakan tertentu, perjanjian alamat
sendiri untuk politik, bukan departemen peradilan; dan legislatif harus
melaksanakan kontrak, sebelum dapat menjadi aturan untuk pengadilan.”

Fujii mengajukan kasasi dengan menggunakan Pasal 1, 55 dan 56 Piagam


PBB yang secara umum menjelaskan bahwa ‘he UN Charter pledges the
member of nations to promote the observance of human rights and fundamental

4
freedoms without distinction as to race.’ Akhirnya Supreme Court California
mengabulkan tuntutan Fujii dan menganulir putusan judex factie dengan
pertimbangan bahwa ‘he Californian legislation conlicted with the UN Charter
(Article 55 (c) and 56), as supplemented by the UDHR (Article 2 and 17).’
Selanjutnya, pengadilan menambahkan bahwa ‘Clearly such a discrimination
against people of one race is contrary to both the letter and the spirit of the
Charter, which, as a treaty, is paramount to every law of every state in conlict
with it.’ Sebenarnya secara substansial isi Piagam PBB hanya merupakan
prinsip-prinsip umum yang tidak mengikat, sehingga perlu tindakan lebih lanjut
dari negara untuk pengimplementasiannya, namun Supreme Court California
tampaknya berpendapat lain. Setelah menelaah Pasal 104 dan 105 Ayat 1 dalam
Piagam PBB tersebut, yang mana Pasal 104 menyatakan bahwa ‘he
Organisation shall enjoy in the territory of each of its Members Members such
privileges and immunities as are necessary for the fulilment of its purposes.’
Pengadilan menginterpretasikan kedua pasal tersebut sebagai keinginan dari
pembuat Piagam PBB agar pasal-pasal dalam Piagam PBB berlaku secara efektif
di pengadilan tanpa perlu pengaturan lebih lanjut.

b. Analisis Kasus
1. Apa sifat yang mendasari perjanjian antara Fujii dan California?
Mahkamah Agung Amerika Serikat membuat kategori “self-executing” dan
“non-self-executing” treaties dimana kedua jenis treaties ini diperlakukan

berbeda.3 Pengategorian treaties di atas menekankan pada pertanyaan apakah


perjanjian dapat dengan sendirinya berlaku di Amerika Serikat atau harus
menunggu implementasi dengan legislasi atau tindakan administratif yang tepat.

Dalam menentukan apakah suatu perjanjian adalah bersifat self-executing di


pengadilan melihat maksud dari pihak penandatangan seperti yang dituturkan
oleh bahasa instrumen, dan apabila instrumen tersebut tidak pasti, jalan mungkin
harus keadaan sekitar pelaksanaannya. Agar ketentuan perjanjian untuk operasi
tanpa bantuan pelaksanaan undang-undang dan memiliki kekuatan dan pengaruh
3
Eric A. Posner dan Alan O. Sykes, Economic Foundations of International Law, London: The Belknap
Press of Harvard University Press, 2013.

5
undang-undang, itu harus muncul bahwa perumus perjanjian dimaksudkan untuk
meresepkan aturan itu, berdiri sendiri, akan berlaku di pengadilan.

Hal ini jelas bahwa ketentuan pembukaan dan pasal 1 piagam yang diklaim
bertentangan dengan hukum tanah asing tidak self-executing. Mereka
menyatakan tujuan umum dan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan tidak
dimaksudkan untuk memaksakan kewajiban hukum di negara-negara anggota
individu atau menciptakan hak orang pribadi. Meskipun negara-negara anggota
telah diwajibkan diri untuk bekerja sama dengan organisasi internasional dalam
mempromosikan penghormatan, dan ketaatan, hak asasi manusia, jelas bahwa itu
dimaksudkan bahwa tindakan legislatif mendatang oleh beberapa negara akan
diperlukan untuk mencapai tujuan yang dinyatakan, dan tidak ada yang
menunjukkan bahwa ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menjadi aturan
hukum bagi pengadilan negeri ini setelah ratifikasi piagam.

Bahasa yang digunakan dalam artikel 55 dan 56 tidak lazim digunakan


dalam perjanjian yang telah dianggap diri pelaksana dan untuk menciptakan hak
dan kewajiban pada individu. Dalam kasus lain ketentuan perjanjian yang
ditegakkan tanpa menerapkan undang-undang di mana mereka ditentukan secara
rinci aturan yang mengatur hak dan kewajiban individu atau secara khusus
asalkan warga satu bangsa harus memiliki hak yang sama sementara di negara
lain seperti yang dinikmati oleh warga negara itu sendiri.

Hal ini penting untuk dicatat bahwa ketika para perumus piagam
dimaksudkan untuk membuat ketentuan-ketentuan tertentu yang efektif tanpa
menerapkan undang-undang yang mereka menggunakan bahasa yang jelas dan
pasti dalam memanifestasikan niat itu.

Untuk membedakan mana yang termasuk 'berlaku dengan sendirinya' dan


'yang tidak berlaku dengan sendirinya' persoalan selanjutnya berpaling pada
'apakah Piagam merupakan self-executing treaty'. Untuk menjawab itu menurut
Supreme Court of California harus melihat pada traktat itu sendiri, dengan

6
maksud para penandatangan dan mengkaji semua situasi yang relevan. Setelah
melalui pengujian menyeluruh, Pengadilan berkesimpulan bahwa ketentuan-
ketentuan yang relevan dalam Piagam tidak dimaksudkan untuk menjadi self-
executing. Walaupun ketentuan-ketentuan yang dikandung Piagam memuat
prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan dari PBB, tapi 'tidak membebankan kewajiban
hukum terhadap negara-negara anggota atau memberikan hak kepada individu'.
Menurut Shaw, terdapat sebuah anggapan apabila Kongres tidak membuat
peraturan yang bertentangan, maka kewajiban internasional dapat dibebankan
kepada suatu negara.

Dikaitkan dengan kasus Commonwealth v. Tasmania, kasus ini bermula


ketika pemerintah negara bagian Tasmania berencana untuk membangun sebuah
bendungan/dam. Bendungan tersebut akan dibangun di sungai Franklin sebelah
barat daya wilayah negara bagian Tasmania pada akhir tahun 1970 oleh Hydro
Electric Commission.4 Bendungan tersebut dibutuhkan oleh pemerintah
Tasmania guna mendukung perkembangan perekonomian bagi masyarakatnya.
Proyek tersebut akan menyediakan 1/3 kebutuhan listrik di negara bagian
Tasmania dan akan membanjiri sekitar 35% wilayah di areal sungai Franklin.5

Akan tetapi, rencana tersebut mendapat penolakan dari sebagian masyarakat


yang menaruh perhatian terhadap kelestarian lingkungan yang ada di situs
bendungan tersebut. Menurut mereka, area yang menjadi proyek pembangunan
dam tersebut merupakan area yang memiliki kekayaan flora dan fauna yang
sangat besar serta terdapat situs kuno peninggalan suku Aborigin sehingga
mereka menentang proyek pemerintah Tasmania tersebut. Mereka yang menaruh
perhatian terhadap isu lingkungan tergabung dalam sebuah gerakan yang dikenal
dengan Tasmania Wilderness Society (TWS) yang dipimpin oleh Bob Brown.6
Pemerintah negara bagian Tasmania dituntut untuk segera menghentikan
proyek pembangunan dam tersebut oleh gerakan masyarakat yang dipimpin oleh
TWS. Gerakan perlawanan tersebut mencapai puncaknya dengan adanya

4
http://lawgovpol.com/case-study-tasmanian-dams-affair/ -- diakses pada tanggal 17-10-2021.
5
Ibid
6
Ibid.

7
pembangkangan sipil yang memblokade situs proyek dam di sungai Franklin.
Aksi tersebut berujung dengan ditahannya sukarelawan yang ikut melakukan
blokade, termasuk Bob Brown. Kelompok TWS kemudian mengalihkan
gerakannya di level federal dan juga organisasi internasional seperti UNESCO.
TWS mendukung Partai Buruh dalam pemilu federal yang diadakan pada tahun
1983. Pemilu federal tersebut dimenangkan oleh Partai Buruh dengan dukungan
dari gerakan anti-dam yang mampu menggalang dukungan masyarakat untuk
memilih calon dari Partai Buruh yaitu Bob Hawke yang kemudian terpilih
menjadi Perdana Menteri.

Perdana Menteri terpilih, Bob Hawke menepati janjinya pada waktu


kampanye dengan mengeluarkan kebijakan yang akan menghentikan proyek
pembangunan dam tersebut yaitu World Heritage Properties Conservation Act
1983 (Cth7). Kebijakan berupa undang-undang World Heritage Properties
Conservation Act 1983 (Cth) tersebut merupakan penerapan dari perjanjian
internasional yang telah diikuti oleh pemerintah Australia sejak tahun 1974 yaitu
UNESCO Convention for Protection of the World Cultural and Natural
Heritage.8 Kebijakan pemerintah federal tersebut akan menghentikan segala
bentuk pembangunan yang terkait dengan bendungan di areal sungai Franklin.
Akan tetapi, pemerintah Tasmania tidak mengakui keabsahan kebijakan
pemerintah federal tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan Konstitusi.
Pada titik ini upaya menghentikan proyek dam di sungai Franklin yang semula
di tingkat negara bagian beralih hingga ke tingkat nasional yang melibatkan
pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian Tasmania. Kasus ini juga
menarik perhatian masyarakat luas karena melibatkan kedua level pemerintah
yaitu pemerintah federal/Commonwealth dan pemerintah negara bagian/state,
khususnya pemerintah Tasmania.
Pada bulan Juli 1983, Pengadilan Tinggi Australia mengeluarkan keputusan
terkait dengan kasus Franklin Dam. Keputusan tersebut terbagi menjadi 4:3
dengan suara mayoritas menyatakan bahwa UU yang dikeluarkan pemerintah

7
http://www.crispinhull.com.au/high-court-book/chapter-5-major-cases-3/ -- diakses pada tanggal 17-10-
2021.
8
http://www.saulwick.info/biogs/E000444b.htm -- diakses pada tanggal 17-10-2021.

8
federal telah sesuai dengan Konstitusi9. Pemerintah federal menggunakan
power/kekuasaannya—external affairs, trade corporations, dan race power—
sebagaimana mestinya. Keputusan High Court tersebut mengakhiri proyek
pembangunan Franklin Dam yang dilakukan oleh HEC dengan dukungan
pemerintah Tasmania.

Namun kasus tersebut menyisakan kekhawatiran terkait dengan keputusan


High Court yang menyatakan bahwa pemerintah federal—berbasis pada
external affairs power—dapat menerapkan isi dalam perjanjian internasional ke
dalam kebijakan domestiknya dalam bidang apa pun sesuai dengan perjanjian
internasional yang diikuti. Hal itu memungkinkan pemerintah federal
mengeluarkan kebijakan di ruang lingkup yang merupakan kewenangan negara
bagian. Pada gilirannya akan mengganggu balance of power antara
Commonwealth dengan State sehingga kemudian berdampak pada sistem federal
yang dianut oleh Australia.

Perkembangan federalisme menjadi suatu hal yang pasti mengingat pada


masa-masa awal pembentukan negara federal permasalahan di masyarakat yang
menjadi acuan pembagian ranah kekuasaan masing-masing level pemerintah
tidak sebanyak dan seberagam seperti pada masa kini. Sehingga, agar
pemerintah mampu mengatasi isu-isu yang berkembang di masyarakat maka
penyesuaian- penyesuaian selayaknya dilakukan.

Berbeda dengan kasus Sei Fujii, pada kasus Tasmania dapat dikatakan
peraturan yang dibuat oleh Commonwealth dapat langsung diberlakukan kepada
negara bagiannya, sehingga dapat dikatakan suatu bentuk self-executing
meskipun dinilai adanya ketidakseimbangan dalam penggunaan wewenang
dengan dalih external affairs.

9
http://ohrh.law.ox.ac.uk/the-tasmanian-dams-case-30-years-on-unfulfilled-promises/ -- diakses pada
tanggal 17-10-2021.

9
Pada kasus Sei Fujii vs. California ini, the Alien Land Law negara California
yang mengandung pembatasan kepemilikan tanah dinilai inkonstitusional
dengan Universal Declaration of Human Rights dan the United Nations
Charter.10 Kasus ini menunjukkan bahwa UDHR dan UN Charter adalah hukum
internasional yang bersifat self-executing sehingga dapat diterapkan langsung di
wilayah hukum nasional tanpa perlu adanya transformasi ke dalam bentuk
legislasi nasional. Nampak bahwa hal ini sudah sesuai dengan sifat negara
monist.

2. Apa teori yang menjadi dasar kasus Fujii vs. California?


Kasus Fujii vs. Calfornia menggambarkan adanya praktik monisme dan
dualisme dalam negara monist. Pada paham monisme didasarkan atas pemikiran
kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Menurut paham ini
hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu
kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia.
Secara garis besar, aliran monisme berprinsip hukum internasional adalah
konsekwensi langsung dari norma dasar seluruh hukum sehingga mengikat
setiap individu secara kolektif.11

Akibat dari pandangan monisme ini bahwa antara dua perangkat ketentuan
hukum ini mungkin ada hubungan hirarkhi. Persoalan hirarkhi antara hukum
nasional dan hukum internasional inilah yang melahirkan beberapa sudut
pandangan yang berbeda dalam aliran monism mengenai masalah hukum
manakah yang utama dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional.12 Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara
hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum nasional.
Untuk paham yang seperti disebut sebagai paham "monisme dengan primat
hukum nasional". Menurut aliran monisme primat hukum nasional, hukum

10
Jane Dailey, “Race, Marriage, and Sovereignty in the New World Order” Theoretical Inquiries in Law
Vol. 10, 2009, hlm. 562.
11
Ninon Melatyugra, “Mendorong Sikap Lebih Bersahabat terhadap Hukum Internasional; Penerapan
Hukum Internasional oleh Pengadilan Indonesia”, Jurnal Refleksi Hukum, Vol. 1 No. 1, 2016, hlm. 48.
12
Dina Sunyowati, “Hukum Internasional sebagai Sumber Hukum dalam Hukum Nasional”, hlm. 77.

10
internasional berasal dari hukum nasional. Contohnya adalah hukum yang
tumbuh dari praktik negara-negara. Karena hukum internasional berasal atau
bersumber dari hukum nasional maka hukum nasional kedudukannya lebih
tinggi dari hukum internasional, sehingga bila ada konflik hukum nasional lah
yang diutamakan.

Paham lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan
hukum internasional yang utama ialah hukum internasional. Pandangan ini
disebut sebagai paham "monisme dengan primat internasional". Menurut teori
monisme, keduanya sangat mungkin terjadi.13 Pandangan yang melihat kesatuan
antara hukum nasional dan hukum internasional dengan primat hukum nasional
ini pada hakikatnya menganggap bahwa hukum Internasional itu bersumberkan
kepada hukum nasional. Alasan utama daripada anggapan ini adalah:
1) Bahwa tidak ada satu organisasi di ataas negara-negara yang mengatur
kehidupan negara-negara di dunia ini.
2) Dasar dari hukum Internasional yang mengatur hubungan Internasional
adalah terletak di dalam wewenang negara-negara untuk mengadakan
perjanjian-perjanjian internasional, jadi wewenang konstitusional.
Paham monisme dengan primat hukum internasional, maka hukum nasional
itu bersumber pada hukum internasional yang menurut pandangan ini
merupakan suatu perangkat ketentauan hukum yang hierarkis lebih tinggi.
Menurut faham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional pada
hakikatnya berkekuatan mengikatnya berdasarakan suatu “pendelegasian”
wewenang daripada hukum internasional. Sedangkan, aliran dualisme
menganggap bahwa hukum nasional dan hukum internasional adalah dua sistem
hukum yang berbeda. Triepel (salah seorang pemuka aliran ini) mengemukakan
perbedaan mendasar dari kedua system hukum tersebut.14
1) Subyek hukum nasional adalah individu, sedangkan subyek hukum
internasional adalah negara.

13
Andi Tenripadang, “Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional”, hlm. 72.
14
Melda Kamil Ariadno, “Kedudukan Hukum Internasional dalam Hukum Nasional”, Jurnal Hukum
Internasional, Vol. 5 No. 3, 2008, hlm. 508.

11
2) Sumber dari hukum nasional adalah kehendak negara masing-masing,
sedangkan sumber dari hukum internasional adalah kehendak bersama
negara.
3) Prinsip dasar yang melandasi hukum nasional adalah prinsip dasar/norma
dasar dari konstitusi negara, sedangkan prinsip dasar yang melandasi hukum
internasional adalah perjanjian mengikat.
Paham dualisme, yang bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum
Internasional bersumberkan pada kemauan negara, maka hukum internasional
dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah
satu dari yang lainnya.15 Faham dualisme memberi supremasi pada hukum
nasional berdasarkan kedaulatan negara sehingga hukum internasional tidak
dapat memaksa suatu negara patuh terhadap hukum internasional. Berbeda
dengan teori monisme yang melihat hukum internasional sebagai satu kesatuan
dengan hukum nasional, teori dualisme menempatkan hukum internasional
terpisah dengan hukum nasional (International law is not ipso facto part of
municipal law). Oleh karena terdapat pemisahan tegas antara kedua jenis hukum
tersebut, maka faham dualism menggunakan teknik transformation dimana
penerapan hukum internasional harus diikuti dengan proses legislasi untuk
mengubah hukum internasional menjadi bagian dari hukum nasional.16

Akibat-akibat dari pandangan dari faham dualisme ini bahwa menurut


pandangan ini kaedah-kaedah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin
bersumberkan atau berdasarkan pada perangkat hukum yang lain. Akibat kedua
adalah bahwa menurut pandangan ini tidak mungkin ada pertentangan antara
kedua perangkat hukum itu, yang mungkin hanya penunjukan (renvoi) saja.
Akibat lain yang yang penting pula dari pandangan dualisme ini bahwa
ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum
nasional sebelum dapat berlaku di dalam lingkungan hukum nasional. Menurut
teori ini terdapat pelimpahan wewenang dari hukum internasional kepada hukum

15
Andi Tenripadang, “Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional”, hlm.71.
16
Ninon Melatyugra, “Mendorong Sikap Lebih Bersahabat terhadap Hukum Internasional; Penerapan
Hukum Internasional oleh Pengadilan Indonesia”, hlm.48.

12
nasional (dalam hal ini konstitusi negara) untuk menentukan ketentuan-
ketentuan hukum internasional mana yang akan diberlakukan dan prosedur-
prosedur apa yang harus ditempuh untuk memasukkannya ke dalam system
hukum nasional. Jadi tidak perlu ada suatu tindakan transformasi khusus atau
pembuatan hukum nasional khusus dalam rangka pemberlakuan hukum
internasional.17

D. KESIMPULAN
1. Sifat yang mendasari perjanjian antara Fujii dan California
Praktik-praktik negara di atas menunjukkan terjadi simpang-siur atau
tumpang tindih (overlapping) praktik monisme dan dualisme dalam suatu negara
monist atau dualist. Overlapping ini menyimpulkan bahwa pemisahan teori
monisme-dualisme nyatanya nampak kabur pada praktiknya 18 dan tidak dapat
digunakan secara murni untuk menjustifikasi normativitas hukum internasional
dalam ruang lingkup nasional sehingga perlu adanya dasar analisis lain yang
lebih memadai untuk memberikan normativitas hukum internasional dalam
sistem hukum nasional suatu negara sehingga Teori monisme-dualisme dalam
kasus ini kurang memiliki kandungan normatif di mana proposisi-proposisinya
sebagai preskripsi seyogyanya bersifat ex-ante. Oleh karena itu wajar kiranya
jika pengadilan tidak pernah menggunakan teori monisme-dualisme sebagai
dasar argumen dalam putusannya. Hal itu karena pengadilan harus memutuskan
berdasarkan hukum; a fortiori, teori monisme-dualisme hanya sekadar teori,
tidak ditanggapi sebagai hukum oleh pengadilan.
2. Teori yang menjadi dasar kasus Fujii vs. California
Dapat dikemukakan bahwa teori monisme dan dualisme yang
menggambarkan kasus ini merupakan paham hubungan hukum internasional
dengan hukum nasional yang dimana Paham monisme berpendapat hukum
internasional dan hukum nasionalsaling berkaitan satu sama lainnya. Menurut
teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional,

17
Melda Kamil Ariadno, “Kedudukan Hukum Internasional dalam Hukum Nasional”,hlm. 510.
18
Thomas Cottier, “International Trade Law: The Impact of Justiciability and Separations of Powers in
EC Law” Working Paper No. 2009/18, 2009, hlm. 3.

13
yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum
nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional.
Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional.
Kemudian, paham dualisme menyatakan bahwa hukum internasional dengan
hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda secara
keseluruhannya. Hakekat hukum nasional berbeda dengan hukum nasional.
Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang
benar-benar terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau
subordinasi.

14
DAFTAR PUSTAKA

Starke, J.G. 1988. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Sinar Grafika


Posner, Eric A. dan Alan O. Sykes. Economic Foundations of International Law.
London: The Belknap Press of Harvard University Press
Sunyowati, Dina. Hukum Internasional sebagai Sumber Hukum dalam Hukum
Ariadno, Melda Kamil. 2008. Kedudukan Hukum Internasional dalam Hukum Nasional.
Jurnal Hukum Internasional, 5(3), 508
Dailey, Jane. 2009. Race, Marriage, and Sovereignty in the New World Order. Journal
of Theoretical Inquiries in Law, 10, 562
Melatyugra, Ninon. Mendorong Sikap Lebih Bersahabat terhadap Hukum Internasional;
Penerapan Hukum Internasional oleh Pengadilan Indonesia. Jurnal Refleksi Hukum,
1(1), 48
Tenripadang, Andi. 2016. Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Jurnal
Hukum Dictum, 14(1), 70

15
NAMA : FAHRIYANI ANANDA

NIM : 11000118130571

KELAS : HUKUM INTERNASIONAL (A)

NOMOR URUT PRESENSI : 72

UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)

1. a.Bagaimana pengertian hukum Internasional menurut Mochtar


Kusumatmadja dan bagaimana pula menurut Starke?
Jawaban:
Menurut Mochtar Kusumaatmadja Hukum Internasional adalah keseluruhan
kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas-batas negara antara:
1) Negara dengan negara.
2) Negara dengan subyek hukum bukan negara atau subyek hukum bukan
negara satu sama lain.

Sedangkan menurut Starke Hukum internasional adalah sekumpulan hukum atau


body of law yang terdiri dari asas-asas. Hukum internasional bersifat wajib
sehingga harus ditaati oleh negara-negara di seluruh dunia dalam menjalin
hubungan internasional.

b. Mengapa masyarakat internasional dikatakan sebagai landasan


sosiologis berlaku dan berkembangnya hukum Internasional?
Jawaban:
Masyarakat internasional dijadikan suatu landasan sosiologis dalam
pembentukan hukum internasional. Dikatakan sebagai landasan sosiologis
karena masyarakat internasional terdiri dari sejumlah negara-negara di dunia
yang sederajat dan merdeka yang mempunyai kepentingan-kepentingan untuk
melakukan hubungan secara tetap dan terus-menerus. Berkembangnya hukum

16
internasional timbul karena adanya faktor saling membutuhkan antar negara
dalam berbagai kepentingan, misalnya kepentingan politik, ekonomi, budaya,
ilmu pengetahuan, sosial dan masih banyak lagi kepentingan-kepentingan dalam
masyarakat internasional yang dapat dijadikan dasar atau menimbulkan
hubungan antar negara. Untuk mengatur hubungan internasional ini diperlukan
hukum guna menjamin adanya kepastian dalam masyarakat internasional.
Hukum dijadikan dasar untuk mentertibkan dan mencipkatakan keamanan dalam
melakukan hubungan-hubungan antar negara agar tidak ada pihak-pihak yang
merasa dirugikan.
2. Siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai subyek hukum internasional,
dan jelaskan mengapa Negara dikatakan subyek hukum internasional yang
sempurna diantara subyek hukum lain
Jawaban:
Negara, Takhta Suci, Palang Merah Internasional, organisasi internasional,
orang perorangan (individu), pemberontak dan pihak dalam sengketa
(belligerent) dikategorikan sebagai subyek hukum internasional. Negara
merupakan subjek hukum internasional penuh sehingga Negara disebut sebagai
subyek hukum internasional yang sempurna karena Negara memiliki unsur-
unsur yaitu:
a. Penduduk yang tetap (a permanent population)
b. Wilayah yang pasti (a defined territory)
c. Pemerintah (government)
d. Kemempuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain
(capacity to enter into relations with the other state)
Negara juga bisa disebut sebagi organisasi kekuasaan yang berdaulat, menguasai
wilayah tertentu, dan yang kehidupannya didasarkan pada sistem hukum
tertentu.
3. a. Terdapat 3 teori yang mendasari berlakunya hukum internasional.
Jelaskan secara rinci masing-masing teori tersebut.
Jawaban:
 Teori Hukum Alam (Natural Law Theory)

17
Teori hukum alam diartikan sebagai hukum yang ideal yang didasarkan atas
hakekat manusia sebagai mahluk yang berakal atau satuan kaidah yang
diilhamkan alam pada akal manusia, prinsip-prinsip hukum dapat ditemukan
dalam sifat-sifat alamiah manusia.
 Teori Positivisme
Teori ini mengatakan kekuatan mengikatnya hukum internasional pada
kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Hukum
internasional itu sendiri berasal dan kemauan negara dan berlaku karena
disetujui oleh negara.
 Teori Kemauan Bersama Negara (Common Will Theory)
Teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa Hukum internasional mengikat
negara-negara bukan karena kehendak masing-masing negara untuk tunduk pada
hukum internasional, melainkan karena adanya suatu kehendak bersama negara-
negara untuk tunduk pada hukum internasional.
b. Menurut saudara, teori manakah yang paling mendekati kenyataan
terhadap eksistensi hukum internasional sebagai sistem hukum
Jawaban:
Menurut saya teori yang paling mendekati eksistensi hukum internasional sebgai
sistem hukum yaitu teori Teori Hukum Alam karena Hukum Internasional itu
mengikat berdasarkan teori ini sehingga Hukum Internasional itu tak lain
daripada hukum alam yang diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-
bangsa.

4. Bagaimanakah pandangan Paham Monisme dan Aliran Posistivisme dalam


melihat hubungan hukum Internasional dengan Hukum Nasional?.
Jelaskan masing-masing beserta kelemahan masing-masing teori tersebut.
Jawaban:
Pandangan paham monoisme menganggap bahwa kedaulatan negara tidak
melebihi batas-batas internasional, sehingga hukum nasional dianggap memiliki
hierarki yang lebih rendah dan tunduk kepada hukum internasional. Kelemahan
paham monisme yaitu paham ini menganggap hukum itu sebagai
hukum yang tertulis semata-mata sehingga hukum internasional dianggap hanya

18
bersumber pada perjanjian internasional dan kelemahan yang lain adalah
penyangkalan terhadap hukum Internasional.
Sedangkan Paham Positivisme memisahkan secara tegas hukum yang ada dan
hukum yang seharusnya ada, memisahkan hukum dari unsur-unsur non hukum,
dan mengedepankan hukum tertulis atau undang-undang sebagai perintah dari
otoritas yang sah. Kelemahan dari paham ini yaitu:
 Hukum sering dijadikan alat bagi penguasa, untuk mempertegas dan
melanggengkan kekuasaannya. Karena itu, tidak jarang terjadi hukum yang
semestinya menjamin perlindungan bagi masyarakat, malah menindas
rakyat.
 Undang-undang bersifat kaku terhadap perkembangan zaman. Seperti
diketahui, perkembangan masyarakat itu berjalan cukup cepat dan kadang-
kadang tidak dapat diduga sebelumnya. Karena itu, undang-undang sering
tidak mampu mengikuti perkembangan yang pesat tersebut.
 Undang-undang sebagai hukum tertulis tidak mampu mengakomodasi semua
persoalan kemasyarakatan. Karena, mustahil undang-undang mencantumkan
semua persoalan politik, budaya, ekonomi, sosial dan lain-lain.

19
20

Anda mungkin juga menyukai