Oleh:
FAHRIYANI ANANDA
NIM 11000118130571
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
A. PENDAHULUAN
Hubungan yang terdapat antara anggota masyarakat internasional timbul karena
adanya kebutuhan yang disebabkan oleh pembagian kekayaan dan perkembangan
industri yang tidak merata di dunia seperti adanya perniagaan atau pula hubungan
kebudayaan,ilmu pengetahuan, keagamaan, sosial dan olahraga, mengakibatkan
timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan bersama
merupakan suatu kepentingan bersama. Untuk menertibkan, mengatur dan
memelihara hubungan Internasional inilah dibutuhkan hukum dunia menjamin unsur
kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur. Hukum internasional
adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas berskala internasional. Pada awalnya,
hukum internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara.
Namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks,
pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi
struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan
multinasional dan individu.
1
Andi Tenripadang, “Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional”, Jurnal Hukum Dictum,
Vol. 14 No. 1, 2016, hlm.70.
1
pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian
meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku
organisasi internasional dan, pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan
individu. Tidak dapat dielakkan bahwa hukum internasional mempengaruhi hukum
nasional. Hal ini dikarenakan tak terlepas dari suatu Negara merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari masyarakat internasional.
Negara-negara yang ada pasti akan memiliki hubungan satu sama lain, baik itu
hubungan antara dua Negara saja maupun beberapa Negara. Hubungan ini akan
melahirkan peraturan yang dipatuhi oleh masing-masing Negara tersebut kemudian
berkembang menjadi peraturan yang akan dipatuhi bersama. peraturan bersama akan
menjadi hukum yang tidak saja dipatuhi bersama sacara berkelompok tetapi akan
berlaku secara universal bagi setiap Negara tanpa terkecuali. Hukum internasional
juga dapat tercipta dengan adanya perjanjian atau kesepakatan dari kebiasaan
nasional suatu Negara yang dianut oleh banyak Negara, kebiasaan ini disepakati
sebagai hukum internasional.
2
tidak membingungkan.2 Membicarakan mengenai hubungan hukum internasional
dengan hukum nasional, terdapat satu kasus yang menarik yaitu mengenai kasus
antara Sei Fujii vs. California. Kasus ini mendasari pembahasan makalah ini
mengenai hubungan hukum internasional dengan hukum nasional.
B. PERMASALAHAN
Dari pemaparan pendahuluan di atas, penulis dapat menarik permasalahan yaitu:
1. Apa sifat yang mendasari perjanjian antara Fujii dan California?
2. Apa teori yang menjadi dasar kasus Fujii vs. California?
C. PEMBAHASAN
a. Kronologi Kasus Posisi
Sei Fujii, seorang imigran Jepang, merupakan seorang yang disegani di
Little Tokyo, Los Angeles, sebagai editor koran berbahasa Jepang Kashu
Mainichi. Dengan bantuan J. Marion Wright, Fujii membeli tanah di distrik
Boyle Heights sebagai uji coba dalam menentukan konstitusionalitas hukum
tersebut. Fujii mengajukan gugatan agar ia bisa membangun rumah di sana.
Meskipun tanah tersebut tidak diperuntukkan sebagai tanah pertanian, Jaksa
Agung California Fred Howser terlibat ke dalam kasus dan berpendapat bahwa
di bawah Alien Land Act, Fujii tidak boleh membeli properti apapun. Alien Land
Act merupakan peraturan yang diberlakukan di California pada tahun 1913. Di
dalam peraturan ini, imigran Jepang dan negara-negara Asia yang tidak
“memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraaan” di bawah hukum
federal tidak dapat memiliki properti pertanian sendiri. Kasus Fujii diadili di
hadapan Hakim Wilbur C. Curtis di Pengadilan Tinggi Los Angeles, yang mana
pada Maret 1949 memutuskan untuk mempertahankan hukum negara bagian
yang berlaku. Fujii dan Wright kemudian mengajukan kasasi di Mahkamah
Agung Amerika Serikat. Fujii dan Wright beranggapan bahwa Alien Land Act
adalah bentuk diskriminasi ras, yang dilarang baik di bawah klausa 14th
Amendment’s Equal Protection dan juga Pasal 1, 55 dan 56 Piagam Perserikatan
Bangsa-bangsa yang secara umum menjelaskan bahwa “The UN Charter
2
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 1988), hlm. 96
3
pledges the member of nations to promote the observance of human rights and
fundamental freedoms without distinction as to race”. Kasus Fujii diperkuat oleh
Mahkamah Agung Oregon, yang telah membatalkan Alien Land Law yang
serupa dalam kasus Kenji Namba v. McCourt (1949). Gibson, C.J. Plaintiff,
sebuah banding dari Jepang … dari penghakiman menyatakan bahwa tanah
tertentu yang dibeli oleh dia pada tahun 1948 telah escheated kepada negara.
Tidak ada perjanjian antara negara ini dan Jepang yang diberikannya pada
penggugat hak untuk memiliki tanah, dan satu-satunya pertanyaan yang diajukan
di banding ini keabsahan California hukum tanah yang asing.
Hal ini pertama berpendapat bahwa hukum tanah telah batal dan digantikan
oleh ketentuan-ketentuan Piagam PBB negara-negara anggota berjanji untuk
mempromosikan ketaatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan
fundamental tanpa membedakan ras. Penggugat bergantung pada laporan dalam
pembukaan dan dalam Pasal 1, 55 dan 56 piagam tersebut. Hal ini tak bisa
dipungkiri bahwa piagam merupakan sebuah perjanjian, dan konstitusi federal
kami menetapkan bahwa perjanjian yang dibuat di bawah otoritas Amerika
Serikat adalah bagian dari hukum tertinggi negeri ini dan bahwa hakim di setiap
negara terikat dengan demikian. Dalam konstitusi Amerika Serikat, Pasal VI
mengenai perjanjian, bagaimanapun, tidak secara otomatis menggantikan hukum
lokal yang sedikit pun tidak konsisten kecuali ketentuan perjanjian adalah self-
executing. Dalam kata-kata dari Ketua Mahkamah Agung Marshall: Sebuah
perjanjian adalah “dianggap di pengadilan keadilan sebagai setara dengan
tindakan legislatif, setiap kali beroperasi dari dirinya sendiri, tanpa bantuan dari
setiap ketentuan legislatif. Tapi ketika ketentuan penetapan impor kontrak-ketika
salah satu pihak terlibat untuk melakukan tindakan tertentu, perjanjian alamat
sendiri untuk politik, bukan departemen peradilan; dan legislatif harus
melaksanakan kontrak, sebelum dapat menjadi aturan untuk pengadilan.”
4
freedoms without distinction as to race.’ Akhirnya Supreme Court California
mengabulkan tuntutan Fujii dan menganulir putusan judex factie dengan
pertimbangan bahwa ‘he Californian legislation conlicted with the UN Charter
(Article 55 (c) and 56), as supplemented by the UDHR (Article 2 and 17).’
Selanjutnya, pengadilan menambahkan bahwa ‘Clearly such a discrimination
against people of one race is contrary to both the letter and the spirit of the
Charter, which, as a treaty, is paramount to every law of every state in conlict
with it.’ Sebenarnya secara substansial isi Piagam PBB hanya merupakan
prinsip-prinsip umum yang tidak mengikat, sehingga perlu tindakan lebih lanjut
dari negara untuk pengimplementasiannya, namun Supreme Court California
tampaknya berpendapat lain. Setelah menelaah Pasal 104 dan 105 Ayat 1 dalam
Piagam PBB tersebut, yang mana Pasal 104 menyatakan bahwa ‘he
Organisation shall enjoy in the territory of each of its Members Members such
privileges and immunities as are necessary for the fulilment of its purposes.’
Pengadilan menginterpretasikan kedua pasal tersebut sebagai keinginan dari
pembuat Piagam PBB agar pasal-pasal dalam Piagam PBB berlaku secara efektif
di pengadilan tanpa perlu pengaturan lebih lanjut.
b. Analisis Kasus
1. Apa sifat yang mendasari perjanjian antara Fujii dan California?
Mahkamah Agung Amerika Serikat membuat kategori “self-executing” dan
“non-self-executing” treaties dimana kedua jenis treaties ini diperlakukan
5
undang-undang, itu harus muncul bahwa perumus perjanjian dimaksudkan untuk
meresepkan aturan itu, berdiri sendiri, akan berlaku di pengadilan.
Hal ini jelas bahwa ketentuan pembukaan dan pasal 1 piagam yang diklaim
bertentangan dengan hukum tanah asing tidak self-executing. Mereka
menyatakan tujuan umum dan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan tidak
dimaksudkan untuk memaksakan kewajiban hukum di negara-negara anggota
individu atau menciptakan hak orang pribadi. Meskipun negara-negara anggota
telah diwajibkan diri untuk bekerja sama dengan organisasi internasional dalam
mempromosikan penghormatan, dan ketaatan, hak asasi manusia, jelas bahwa itu
dimaksudkan bahwa tindakan legislatif mendatang oleh beberapa negara akan
diperlukan untuk mencapai tujuan yang dinyatakan, dan tidak ada yang
menunjukkan bahwa ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menjadi aturan
hukum bagi pengadilan negeri ini setelah ratifikasi piagam.
Hal ini penting untuk dicatat bahwa ketika para perumus piagam
dimaksudkan untuk membuat ketentuan-ketentuan tertentu yang efektif tanpa
menerapkan undang-undang yang mereka menggunakan bahasa yang jelas dan
pasti dalam memanifestasikan niat itu.
6
maksud para penandatangan dan mengkaji semua situasi yang relevan. Setelah
melalui pengujian menyeluruh, Pengadilan berkesimpulan bahwa ketentuan-
ketentuan yang relevan dalam Piagam tidak dimaksudkan untuk menjadi self-
executing. Walaupun ketentuan-ketentuan yang dikandung Piagam memuat
prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan dari PBB, tapi 'tidak membebankan kewajiban
hukum terhadap negara-negara anggota atau memberikan hak kepada individu'.
Menurut Shaw, terdapat sebuah anggapan apabila Kongres tidak membuat
peraturan yang bertentangan, maka kewajiban internasional dapat dibebankan
kepada suatu negara.
4
http://lawgovpol.com/case-study-tasmanian-dams-affair/ -- diakses pada tanggal 17-10-2021.
5
Ibid
6
Ibid.
7
pembangkangan sipil yang memblokade situs proyek dam di sungai Franklin.
Aksi tersebut berujung dengan ditahannya sukarelawan yang ikut melakukan
blokade, termasuk Bob Brown. Kelompok TWS kemudian mengalihkan
gerakannya di level federal dan juga organisasi internasional seperti UNESCO.
TWS mendukung Partai Buruh dalam pemilu federal yang diadakan pada tahun
1983. Pemilu federal tersebut dimenangkan oleh Partai Buruh dengan dukungan
dari gerakan anti-dam yang mampu menggalang dukungan masyarakat untuk
memilih calon dari Partai Buruh yaitu Bob Hawke yang kemudian terpilih
menjadi Perdana Menteri.
7
http://www.crispinhull.com.au/high-court-book/chapter-5-major-cases-3/ -- diakses pada tanggal 17-10-
2021.
8
http://www.saulwick.info/biogs/E000444b.htm -- diakses pada tanggal 17-10-2021.
8
federal telah sesuai dengan Konstitusi9. Pemerintah federal menggunakan
power/kekuasaannya—external affairs, trade corporations, dan race power—
sebagaimana mestinya. Keputusan High Court tersebut mengakhiri proyek
pembangunan Franklin Dam yang dilakukan oleh HEC dengan dukungan
pemerintah Tasmania.
Berbeda dengan kasus Sei Fujii, pada kasus Tasmania dapat dikatakan
peraturan yang dibuat oleh Commonwealth dapat langsung diberlakukan kepada
negara bagiannya, sehingga dapat dikatakan suatu bentuk self-executing
meskipun dinilai adanya ketidakseimbangan dalam penggunaan wewenang
dengan dalih external affairs.
9
http://ohrh.law.ox.ac.uk/the-tasmanian-dams-case-30-years-on-unfulfilled-promises/ -- diakses pada
tanggal 17-10-2021.
9
Pada kasus Sei Fujii vs. California ini, the Alien Land Law negara California
yang mengandung pembatasan kepemilikan tanah dinilai inkonstitusional
dengan Universal Declaration of Human Rights dan the United Nations
Charter.10 Kasus ini menunjukkan bahwa UDHR dan UN Charter adalah hukum
internasional yang bersifat self-executing sehingga dapat diterapkan langsung di
wilayah hukum nasional tanpa perlu adanya transformasi ke dalam bentuk
legislasi nasional. Nampak bahwa hal ini sudah sesuai dengan sifat negara
monist.
Akibat dari pandangan monisme ini bahwa antara dua perangkat ketentuan
hukum ini mungkin ada hubungan hirarkhi. Persoalan hirarkhi antara hukum
nasional dan hukum internasional inilah yang melahirkan beberapa sudut
pandangan yang berbeda dalam aliran monism mengenai masalah hukum
manakah yang utama dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional.12 Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara
hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum nasional.
Untuk paham yang seperti disebut sebagai paham "monisme dengan primat
hukum nasional". Menurut aliran monisme primat hukum nasional, hukum
10
Jane Dailey, “Race, Marriage, and Sovereignty in the New World Order” Theoretical Inquiries in Law
Vol. 10, 2009, hlm. 562.
11
Ninon Melatyugra, “Mendorong Sikap Lebih Bersahabat terhadap Hukum Internasional; Penerapan
Hukum Internasional oleh Pengadilan Indonesia”, Jurnal Refleksi Hukum, Vol. 1 No. 1, 2016, hlm. 48.
12
Dina Sunyowati, “Hukum Internasional sebagai Sumber Hukum dalam Hukum Nasional”, hlm. 77.
10
internasional berasal dari hukum nasional. Contohnya adalah hukum yang
tumbuh dari praktik negara-negara. Karena hukum internasional berasal atau
bersumber dari hukum nasional maka hukum nasional kedudukannya lebih
tinggi dari hukum internasional, sehingga bila ada konflik hukum nasional lah
yang diutamakan.
Paham lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan
hukum internasional yang utama ialah hukum internasional. Pandangan ini
disebut sebagai paham "monisme dengan primat internasional". Menurut teori
monisme, keduanya sangat mungkin terjadi.13 Pandangan yang melihat kesatuan
antara hukum nasional dan hukum internasional dengan primat hukum nasional
ini pada hakikatnya menganggap bahwa hukum Internasional itu bersumberkan
kepada hukum nasional. Alasan utama daripada anggapan ini adalah:
1) Bahwa tidak ada satu organisasi di ataas negara-negara yang mengatur
kehidupan negara-negara di dunia ini.
2) Dasar dari hukum Internasional yang mengatur hubungan Internasional
adalah terletak di dalam wewenang negara-negara untuk mengadakan
perjanjian-perjanjian internasional, jadi wewenang konstitusional.
Paham monisme dengan primat hukum internasional, maka hukum nasional
itu bersumber pada hukum internasional yang menurut pandangan ini
merupakan suatu perangkat ketentauan hukum yang hierarkis lebih tinggi.
Menurut faham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional pada
hakikatnya berkekuatan mengikatnya berdasarakan suatu “pendelegasian”
wewenang daripada hukum internasional. Sedangkan, aliran dualisme
menganggap bahwa hukum nasional dan hukum internasional adalah dua sistem
hukum yang berbeda. Triepel (salah seorang pemuka aliran ini) mengemukakan
perbedaan mendasar dari kedua system hukum tersebut.14
1) Subyek hukum nasional adalah individu, sedangkan subyek hukum
internasional adalah negara.
13
Andi Tenripadang, “Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional”, hlm. 72.
14
Melda Kamil Ariadno, “Kedudukan Hukum Internasional dalam Hukum Nasional”, Jurnal Hukum
Internasional, Vol. 5 No. 3, 2008, hlm. 508.
11
2) Sumber dari hukum nasional adalah kehendak negara masing-masing,
sedangkan sumber dari hukum internasional adalah kehendak bersama
negara.
3) Prinsip dasar yang melandasi hukum nasional adalah prinsip dasar/norma
dasar dari konstitusi negara, sedangkan prinsip dasar yang melandasi hukum
internasional adalah perjanjian mengikat.
Paham dualisme, yang bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum
Internasional bersumberkan pada kemauan negara, maka hukum internasional
dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah
satu dari yang lainnya.15 Faham dualisme memberi supremasi pada hukum
nasional berdasarkan kedaulatan negara sehingga hukum internasional tidak
dapat memaksa suatu negara patuh terhadap hukum internasional. Berbeda
dengan teori monisme yang melihat hukum internasional sebagai satu kesatuan
dengan hukum nasional, teori dualisme menempatkan hukum internasional
terpisah dengan hukum nasional (International law is not ipso facto part of
municipal law). Oleh karena terdapat pemisahan tegas antara kedua jenis hukum
tersebut, maka faham dualism menggunakan teknik transformation dimana
penerapan hukum internasional harus diikuti dengan proses legislasi untuk
mengubah hukum internasional menjadi bagian dari hukum nasional.16
15
Andi Tenripadang, “Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional”, hlm.71.
16
Ninon Melatyugra, “Mendorong Sikap Lebih Bersahabat terhadap Hukum Internasional; Penerapan
Hukum Internasional oleh Pengadilan Indonesia”, hlm.48.
12
nasional (dalam hal ini konstitusi negara) untuk menentukan ketentuan-
ketentuan hukum internasional mana yang akan diberlakukan dan prosedur-
prosedur apa yang harus ditempuh untuk memasukkannya ke dalam system
hukum nasional. Jadi tidak perlu ada suatu tindakan transformasi khusus atau
pembuatan hukum nasional khusus dalam rangka pemberlakuan hukum
internasional.17
D. KESIMPULAN
1. Sifat yang mendasari perjanjian antara Fujii dan California
Praktik-praktik negara di atas menunjukkan terjadi simpang-siur atau
tumpang tindih (overlapping) praktik monisme dan dualisme dalam suatu negara
monist atau dualist. Overlapping ini menyimpulkan bahwa pemisahan teori
monisme-dualisme nyatanya nampak kabur pada praktiknya 18 dan tidak dapat
digunakan secara murni untuk menjustifikasi normativitas hukum internasional
dalam ruang lingkup nasional sehingga perlu adanya dasar analisis lain yang
lebih memadai untuk memberikan normativitas hukum internasional dalam
sistem hukum nasional suatu negara sehingga Teori monisme-dualisme dalam
kasus ini kurang memiliki kandungan normatif di mana proposisi-proposisinya
sebagai preskripsi seyogyanya bersifat ex-ante. Oleh karena itu wajar kiranya
jika pengadilan tidak pernah menggunakan teori monisme-dualisme sebagai
dasar argumen dalam putusannya. Hal itu karena pengadilan harus memutuskan
berdasarkan hukum; a fortiori, teori monisme-dualisme hanya sekadar teori,
tidak ditanggapi sebagai hukum oleh pengadilan.
2. Teori yang menjadi dasar kasus Fujii vs. California
Dapat dikemukakan bahwa teori monisme dan dualisme yang
menggambarkan kasus ini merupakan paham hubungan hukum internasional
dengan hukum nasional yang dimana Paham monisme berpendapat hukum
internasional dan hukum nasionalsaling berkaitan satu sama lainnya. Menurut
teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional,
17
Melda Kamil Ariadno, “Kedudukan Hukum Internasional dalam Hukum Nasional”,hlm. 510.
18
Thomas Cottier, “International Trade Law: The Impact of Justiciability and Separations of Powers in
EC Law” Working Paper No. 2009/18, 2009, hlm. 3.
13
yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum
nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional.
Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional.
Kemudian, paham dualisme menyatakan bahwa hukum internasional dengan
hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda secara
keseluruhannya. Hakekat hukum nasional berbeda dengan hukum nasional.
Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang
benar-benar terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau
subordinasi.
14
DAFTAR PUSTAKA
15
NAMA : FAHRIYANI ANANDA
NIM : 11000118130571
16
internasional timbul karena adanya faktor saling membutuhkan antar negara
dalam berbagai kepentingan, misalnya kepentingan politik, ekonomi, budaya,
ilmu pengetahuan, sosial dan masih banyak lagi kepentingan-kepentingan dalam
masyarakat internasional yang dapat dijadikan dasar atau menimbulkan
hubungan antar negara. Untuk mengatur hubungan internasional ini diperlukan
hukum guna menjamin adanya kepastian dalam masyarakat internasional.
Hukum dijadikan dasar untuk mentertibkan dan mencipkatakan keamanan dalam
melakukan hubungan-hubungan antar negara agar tidak ada pihak-pihak yang
merasa dirugikan.
2. Siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai subyek hukum internasional,
dan jelaskan mengapa Negara dikatakan subyek hukum internasional yang
sempurna diantara subyek hukum lain
Jawaban:
Negara, Takhta Suci, Palang Merah Internasional, organisasi internasional,
orang perorangan (individu), pemberontak dan pihak dalam sengketa
(belligerent) dikategorikan sebagai subyek hukum internasional. Negara
merupakan subjek hukum internasional penuh sehingga Negara disebut sebagai
subyek hukum internasional yang sempurna karena Negara memiliki unsur-
unsur yaitu:
a. Penduduk yang tetap (a permanent population)
b. Wilayah yang pasti (a defined territory)
c. Pemerintah (government)
d. Kemempuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain
(capacity to enter into relations with the other state)
Negara juga bisa disebut sebagi organisasi kekuasaan yang berdaulat, menguasai
wilayah tertentu, dan yang kehidupannya didasarkan pada sistem hukum
tertentu.
3. a. Terdapat 3 teori yang mendasari berlakunya hukum internasional.
Jelaskan secara rinci masing-masing teori tersebut.
Jawaban:
Teori Hukum Alam (Natural Law Theory)
17
Teori hukum alam diartikan sebagai hukum yang ideal yang didasarkan atas
hakekat manusia sebagai mahluk yang berakal atau satuan kaidah yang
diilhamkan alam pada akal manusia, prinsip-prinsip hukum dapat ditemukan
dalam sifat-sifat alamiah manusia.
Teori Positivisme
Teori ini mengatakan kekuatan mengikatnya hukum internasional pada
kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Hukum
internasional itu sendiri berasal dan kemauan negara dan berlaku karena
disetujui oleh negara.
Teori Kemauan Bersama Negara (Common Will Theory)
Teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa Hukum internasional mengikat
negara-negara bukan karena kehendak masing-masing negara untuk tunduk pada
hukum internasional, melainkan karena adanya suatu kehendak bersama negara-
negara untuk tunduk pada hukum internasional.
b. Menurut saudara, teori manakah yang paling mendekati kenyataan
terhadap eksistensi hukum internasional sebagai sistem hukum
Jawaban:
Menurut saya teori yang paling mendekati eksistensi hukum internasional sebgai
sistem hukum yaitu teori Teori Hukum Alam karena Hukum Internasional itu
mengikat berdasarkan teori ini sehingga Hukum Internasional itu tak lain
daripada hukum alam yang diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa-
bangsa.
18
bersumber pada perjanjian internasional dan kelemahan yang lain adalah
penyangkalan terhadap hukum Internasional.
Sedangkan Paham Positivisme memisahkan secara tegas hukum yang ada dan
hukum yang seharusnya ada, memisahkan hukum dari unsur-unsur non hukum,
dan mengedepankan hukum tertulis atau undang-undang sebagai perintah dari
otoritas yang sah. Kelemahan dari paham ini yaitu:
Hukum sering dijadikan alat bagi penguasa, untuk mempertegas dan
melanggengkan kekuasaannya. Karena itu, tidak jarang terjadi hukum yang
semestinya menjamin perlindungan bagi masyarakat, malah menindas
rakyat.
Undang-undang bersifat kaku terhadap perkembangan zaman. Seperti
diketahui, perkembangan masyarakat itu berjalan cukup cepat dan kadang-
kadang tidak dapat diduga sebelumnya. Karena itu, undang-undang sering
tidak mampu mengikuti perkembangan yang pesat tersebut.
Undang-undang sebagai hukum tertulis tidak mampu mengakomodasi semua
persoalan kemasyarakatan. Karena, mustahil undang-undang mencantumkan
semua persoalan politik, budaya, ekonomi, sosial dan lain-lain.
19
20