Anda di halaman 1dari 4

Donald Hamonangan Siregar

031811133198

Hukum Internasional A-2

Legal Opinion

Konflik Rohingya di Myanmar

I. Latar Belakang

Konflik rohingya menjadi salah satu krisis kemanusiaan yang menyedot perhatian dunia
dan bisa menjadi penyebab konflik sara. Untuk itu kita harus mengetahui histori dari konflik
ini secara lengkap dan berdasarkan fakta yang ada.  Seperti kita ketahui dan kita alami juga
di negara kita dulu, kalau tentara yang turun artinya yang dilakukan adalah upaya represif
yang kadang mengabaikan dampak sosial yang diakibatkannya, bukan semata mata tindakan
penegakan hukum, meskipun dalam beberapa keterangan resmi ada juga upaya penegakan
hukum bagi kelompok yang melawan apabila tertangkap.

Pasca konflik etnis 2012, Etnis Rohingnya hidup dalam kamp-kamp di beberapa wilayah
di Negara Bagian Rakhine, mereka hidup dalam pengawasan aparatur wilayah, meraka
memliki masalah kemiskinan dan terhambat pembangunannya karena status
kewarganegaraanya yang tidak diakui. Di tengah situasi tersebut muncul kelompok
solidaritas seperti Rohingnya Solidarity Organization (RSO) yang kemudian saat ini betubah
bentuk menjadi Arakan Rohingnya Salvation Army (ARSA) yang sipimpin oleh Atta Ulla
atau Abu Amar yang memiliki ibu Rohingnya dan bapak Pakistan anggota Taliban.
Kelompok-kelompok ini melakukan gerakan radikal dengan melakukan serangkaian
serangan baik kepada aparatur keamanan maupun warga lainnya dan mulai bergulir secara
simultan pada akhir 2016 lalu.

Pada akhir tahun 2016 mereka menyerang pos-pos polisi dan membunuh beberapa polisi,
kemudian dibalas dengan serangan oleh aparat keamanan (polisi dan tentara). Namun apa
daya tentara dan polisi itu ternyata kalah banyak dan terkepung dan terjadi kontak senjata dan
menewaskan puluhan aparat. Pasca kejadian ini aparatur keamanan Myanmar menilai situasi
sudah tidak kondusif, hingga mereka melakukan opreasi khusus dan berdampak pada
jatuhnya korban warga Rohingya, karena mereka menyerang beberapa kampung yang
dijadikan tameng oleh kelompok Radikal.

Tidak semua tindakan dari Myanmar ini mendapat kecaman dari seluruh Negara di dunia.
Banyak Negara-negara yang mendukung tindakan Myanmar ini sebagai perlawanan terhadap
terorisme dan separatis yang berada di wilayah negaranya. Negara yang mendukung atas
tindakan Myanmar adalah Tiongkok (RRC) dan Rusia. Permasalahan yang dialami Myanmar
bukanlah suatu eksodus atau genoside terhadap suatu golongan agama tertentu buktinya.etnis
Bengali telah secara bebas hidup secara social ekonomi dan bebas menganut agama, dan
bahkan banyak yang menganut agama Islam. Yang beragama Islam mereka bebas melakukan
peribadatan dan banyak masjid yang didirikan di kota besar di Myanmar. Sampai dengan Idul
Adha kemarin saja mereka masih menjalankan ibadah Shalat Ied dan berqurban tanpa ada
gangguan dari pemerintah maupun masyarakat yang beragama lain. Yang dimana etnis
Bengali bukanlah etnis asli dari Negara Myanmar seperti Rohingya. Oleh karena itu,
tindakan yang dilakukan Myanmar bukanlah diskriminasi terhadap suatu agama tertuntu
dengan bukti yang sudah di sampaikan.

II. Pendapat Hukum

Lebih lanjut Mochtar menjelaskan bahwa dalam membedakan antara gerakan


pemberontakan dengan gerakan pembebasan nasional, maka hukum humaniter memiliki
beberapa terminologi khusus yang biasa disebut dengan ‘war of national liberation’ dimana
jenis peperangan ini hanya terbatas pada 3 macam jenis sengketa bersenjata saja, yaitu
sengketa bersenjata yang terjadi pada masa penjajahan (kolonialisme), pada situasi dimana
ada pendudukan asing (allien occupation), serta pada situasi dimana pemerintah dari suatu
negara melakukan pemerintahan yang bersifat rasialis (apartheid). Hal ini ditegaskan dalam
pasal 1 ayat (4) Protokol I tahun 1977, yang menjelaskan bahwa hal tersebut hanya bisa
dilakukan oleh sebuah bangsa (people) yang berperang untuk menentukan nasibnya sendiri.

Dengan demikian perang pembebasan nasional, hanya terjadi dimana suatu angkatan
bersenjata resmi dari suatu negara pada hakekatnya berjuang melawan pasukan asing dari
negara asing. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para pemberontak dimana
tentara resmi suatu negara melawan sebagian warga negara yang mengangkat senjata.
Apabila terjadi sengketa seperti itu, maka berdasarkan hukum humaniter apabila pecah
sengketa bersenjata diwilayah tersebut dalam batas-batas tertentu akan dianggap sebagai
suatu sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional.

Pihak yang berhak menentukan status pemberontak adalah negara tempat pemberontakan
itu sendiri atau oleh negara lain namun dengan ketentuan netralitas Negara. Jika pengakuan
muncul dari negara yang bersengketa maka konsekwensinya negara yang bersangkutan harus
memperlakukan para pemberontak seperti tawanan perang bukan sebagai penjahat, serta
setiap pihak baik pemberontak maupun pemerintah bertanggung jawab atas apa yang
dilakukan pemberontak terhadap warga asing yang berada dalam wilayah sengketa.

Pengakuan terhadap pemberontak ini pada dasarnya dilandasi atas dasar kemanusiaan
semata, agar para pemberontak tidak diperlakukan sebagai penjahat biasa, namun meskipun
pengakuan telah diberikan, pemerintah tetap diperbolehkan untuk menumpas pemberontakan
tersebut. Karena pihak pemberontak telah menerima pengakuan sebagai pihak berperang
maka peperangan yang terjadi bukan lagi di anggap perang saudara, konsekwensi dari itu
ialah hukum yang di pakai adalah hukum perang yang telah diakui dalam penyelenggaraan
perang non-internasional yakni konvensi Jenewa 1949 dalam pasal 3. Pada wilayah dimana
terjadi pemberontakan, pemerintah masih memiliki semua hak dan kewajiban sebagai
penguasa yang sah. Dalam hubungan ini maka sesuai dengan resolusi majelis umum PBB
Nomor 2131 (XX) yang dikeluarkan tahun 1965, maka setiap upaya negara asing membantu
kaum pemberontak merupakan tindakan intervensi, dan karenanya merupakan pelanggaran
hukum internasional.

Dapat dikatakan serangan pemberontak rohingya juga termasuk tindakan terorisme


dengan ketidak sesuaian gerakan separatis atau pemberontakan berdasarkan hukum
humaniter adalah suatu gerakan perlawanan bersenjata (armed opposition group) yang
berperang melawan negara dengan maksud menjadi negara yang merdeka, setara dan
sederajat dengan negara lain. Untuk dapat dinyatakan sebagai kelompok yang didalamnya
berlaku hukum kebiasaan berperang di darat, maka konvensi Den Haag ke-IV tahun 1907
dalam lampiranya menyatakan bahwa sebuah kelompok harus memenuhi empat syarat
tertentu (sering disebut sebagai persyaratan klasik), yakni; (1) Memiliki pemimpin yang jelas
dan bertanggung jawab terhadap anak buahnya; (2) Memiliki uniform (seragam) yang dapat
diketahui dari kejauhan; (3) Membawa senjata secara terbuka; dan (4) Mematuhi hukum
kebiasaan berperang. Oleh karena itu pemberontak rohingya tidak memenuhi unsur nomor
2,3, dan 4.

Dalam hukum humaniter internasional sudah jelas yang menjadi pihak dalam pertikaian
adalah angkatan bersenjata (armies) dan penduduk sipil. Hukum humaniter membedakan
dengan jelas antara keduanya yang dikenal dengan prinsip pembedaan (distinction principle).
Sedangkan terorisme tidak dapat menjadi pihak dalam konflik, sehingga war on terror tidak
dapat menjadi peristiwa dalam hukum humaniter internasional. Konsep ‘pihak’ disini
menunjukkan tingkat minimum suatu organisasi yang disyaratkan untuk mampu
melaksanakan kewajiban internasional, sedangkan teroris dalam melakukan operasinya
sering tidak mematuhi kewajiban internasional sehingga sulit untuk mengklasifikasikan
teroris sebagai pihak dalam pertikaian sehingga kemudian teroris belum terakomodir oleh
konvensi ini.

Dengan demikian terorisme adalah kejahatan terhadap suatu Negara yang dapat
menimbulkan ketidakstabilitas Negara oleh karena itu kejahatan yang terorganisir ini
haruslah di tumpas dan dibasmi demi melindungi hak-hak warga Negara lain dan menjadikan
Negara menjadi stabil.
III. Kesimpulan

Tindakan yang dilakukan oleh militer Myanmar hanyalah untuk mempertahankan


kedaulatan nya sebagai Negara. Myanmar dengan alasan itu dapat menumpas pemberontakan
yang telah melakukan kejahatan dengan melanggar aturan hukum internasional juga yang
dimana tidak memenuhi unsur sebagai anggota pembebasan kemerdekaan dan hukum perang
yang telah dianut oleh semua subjek hukum internasional. Yang dilakukan Myanmar
sudahlah tepat karena yang dilakukan oleh pemberontak rohangiya ini menjadikan warga
sipil rohangiya sebagai tameng agar militer Myanmar tidak melakukan operasi pembersihan
di daerah tersebut. Pemerintah Myanmar telah meminimalisir korban sipil tapi karena sikap
yang ditunjukan pemberontak Myanmar ini yaitu tentara Arakan tidaklah sesuai dengan
hukum perang dan menyebabkan terjadinya banyak korban dari warga sipil yang tidak dapat
dihindari. Oleh karena itu sikap yang dikeluarkan Myanmar untuk menumpas segala
tindakana inkonstitusi sudah lah tepat dan Mynamar dengan niat baik juga ingin etnis
Rohingya kembali ke Mynmar dengan pemeriksaan yang ketat agar tidak disusupi oleh
pemberontak tentara Arakan yang sudah termasuk tindakan terorisme.

Konflik ini terjadi bukanlah karena isu sara yang dihembuskan ke permukaan
internasional tapi dengan adanya data pemeriksaaan fakta lapangan PBB bahwasnya tindakan
Myanmar ini untuk mempertahankan kedaulatan nya sebagai Negara.

Kondisi politik yang dimana juga Myanmar berteman baik dengan China sebagai Negara
yang menganut ideology Komunis tidaklah disukai oleh Negara-negara yang berpaham
berlawanan seperti Amerika yang beridiologi liberalisme. Dengan adanya 2 sudut pandang
ini melahirkan lah konflik internasional yang dimana seharusnya konflik rohingya ini bukan
suatu pelanggaran hukum internasional atau tidak termasuk ke dalam ranah hukum
internasional. Dengan China mendukung Myanmar dengan tindakan represif agar Myanmar
mendapatkan kondisi yang stabil sedangkan Amerika Serikat memperkeruh dengan
mengeluarkan berita korban dari konflik ini yang mengatakan ini adalah pelanggaran HAM
dengan tidak berlandaskan data dan fakta.

Anda mungkin juga menyukai