Anda di halaman 1dari 13

PAPER HUKUM INTERNASIONAL

ANALISIS UPAYA PENYELESAIAN KASUS PENGGUNAAN TENTARA ANAK


DALAM KONFLIK BERSENJATA DI YAMAN

Disusun oleh:
1. Citra Nanda Agung Subekti 151210030
2. Dewi Arimbi 151210034
3. Abyasa Bhanuaji 151210072
4. Dhany Aprianto 151210100
5. Aulia Rizky Ragil K 151210140

Dosen Pengampu:
MUHARJONO, DRS, M.SI

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA
2022
A. DESKRIPSI KASUS
Dalam menjalankan kehidupan bernegara tentu terdapat berbagai perbedaan
pendapat yang dapat memicu terjadinya konflik atau sengketa. Konflik atau sengketa ini
kemudian menjadi isu yang terus dibahas dan dipelajari dalam hubungan internasional.
Peraturan mengenai konflik dan sengketa ini pun turut diatur dalam hukum internasional
dimana menurut hukum tersebut terdapat dua cara penyelesaian, yaitu dengan cara damai
dan cara kekerasan. Cara damai ini dapat dilakukan melalui politik dan hukum seperti
mediasi dan negosiasi, sedangkan cara kekerasan dapat dilakukan melalui perang ataupun
non-perang seperti dengan melakukan blokade, intervensi, dan lainnya. Penyelesaian
sengketa dengan cara damai memang lebih banyak digunakan saat ini, namun masih ada
negara yang memilih cara kekerasan untuk menyelesaikan konflik di negaranya. Salah
satu negara yang masih menggunakan cara kekerasan adalah Negara Yaman, dimana
Yaman menggunakan cara perang dalam upaya menyelesaikan konflik di negaranya
tersebut.
Perang menjadi puncak dalam terjadinya konflik. Meskipun demikian,
pelaksanaan perang tetap harus mengikuti aturan-aturan hukum yang berlaku. Hukum
humaniter menjadi salah satu hukum yang krusial dan wajib dipatuhi bagi semua pihak
yang terlibat dalam perang. Hukum Humaniter Internasional (HHI) adalah salah satu
cabang dari hukum internasional yang digunakan dalam situasi perang dan konflik
bersenjata. HHI bertujuan untuk menerapkan prinsip-prinsip kemanusiaan ke dalam
perang dengan cara membuat aturan mengenai sarana dan metode peperangan. HHI
memiliki beberapa aturan dasar yaitu, memastikan perlakuan yang manusiawi terhadap
orang-orang yang tidak terlibat dalam konflik, tidak membunuh atau melukai
orang-orang yang dilindungi, mengumpulkan dan merawat orang-orang yang terluka dan
sakit, menghormati hidup dan martabat kombatan yang ditangkap dan warga sipil yang
ditahan, serta menetapkan pembatasan alat dan metode perang. Secara lebih lanjut hukum
humaniter ini diatur dalam Konvensi Jenewa dan Hukum Den Haag.
Hukum humaniter telah mengatur secara jelas mengenai batasan-batasan dalam
pelaksanaan perang, namun sayangnya tidak semua pihak yang terlibat dalam perang
mematuhi aturan tersebut. Yaman menjadi salah satu negara yang mengabaikan aturan
dalam hukum humaniter dimana dalam konflik bersenjatanya Yaman merekrut anak-anak
sebagai tentara perang mereka. Hal ini jelas telah melanggar aturan dalam hukum
humaniter seperti yang tercantum dalam Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa Pasal 4
Nomor 3(c) yang menyebutkan bahwa “anak-anak yang belum mencapai usia lima-belas
tahun tidak boleh dididik dalam angkatan perang ataupun kelompok-kelompok
bersenjata, juga tidak diperbolehkan turut serta dalam peperangan”1.
Gerakan separatis dan perang saudara di Yaman telah terjadi sejak tahun 1994.
Konflik tersebut mulai mencapai puncaknya pada tahun 2004 saat kelompok Houthi
melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Yaman. Konflik pemerintah versus
Houthi, minoritas Muslim Syiah Zaydi, ini tak kunjung selesai. Konflik ini kembali
memanas pada tahun 2011 saat terjadinya Revolusi Yaman, kemudian menjadi konflik
yang sangat besar pada tahun 2015 saat kelompok Houthis mengambil alih ibukota dan
terus berlangsung hingga saat ini. Dalam pelaksanaan perang tersebut Yaman telah
banyak merekrut anak-anak dalam pasukan kombatannya. Telah tercatat sepanjang tahun
2018 terdapat sebanyak 1.940 anak dijadikan tentara oleh pasukan Houthis dan 274
lainnya merupakan pasukan tentara pemerintahan rezim Hadi. Selanjutnya pada tahun
2019 Sekjen PBB melaporkan sejumlah 3.034 anak telah dijadikan tentara dan 64% dari
jumlah tersebut berasal dari pasukan Houthi. Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (HAM) di Yaman, terdapat setidaknya 30.000 anak yang dijadikan tentara
selama perang ini berlangsung.
Perekrutan tentara anak dalam konflik ini terus dilakukan dan yang lebih
menyedihkannya lagi telah tercatat sebanyak 1.406 tentara anak yang direkrut oleh
kelompok Houthi ini tewas pada tahun 2020 di medan perang. Selanjutnya pada kurun
waktu dari Januari hingga Mei 2021 telah tercatat sebanyak 562 tentara anak berusia 10
hingga 17 tahun tewas dalam perang. Bergabungnya anak-anak sebagai kombatan dalam
konflik ini bukannya tanpa alasan, melainkan karena adanya ancaman yang diberikan
kepada keluarga mereka. Bagi keluarga yang menolak mengirimkan anaknya sebagai
tentara maka mereka tidak akan mendapatkan bantuan lagi dari pemerintah, termasuk
jatah makanan. Sebagai negara termiskin di Semenanjung Arab, tentu bantuan-bantuan
dari pemerintah tersebut sangat dibutuhkan bagi warga negaranya terutama bantuan

1
Prof. H.A Masyhur Effendi, S. (1994). Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok
Doktrin Hankamrata. Surabaya: USAHA NASIONAL
makanan. Oleh karena itu, sebagian besar keluarga di Yaman ini tidak memiliki pilihan
selain mengirimkan anak-anak mereka ke medan perang.
Penggunaan tentara anak dalam konflik bersenjata di Yaman ini tentu telah
melanggar hukum internasional. Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi
Konvensi Jenewa 1949, maka Yaman memiliki tanggung jawab untuk mematuhi hukum
humaniter internasional dan mengadili pelaku kejahatan perang di negaranya. Namun
dalam kasus ini Yaman terbukti tidak melaksanakan kedua hal tersebut, oleh karena itu
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) memiliki hak untuk
memberi hukuman terhadap pelaku kejahatan perang di Yaman. Selain itu ICC juga
berhak mengadili pelaku kejahatan di Yaman karena yurisdiksi ICC telah diakui oleh
negara Yaman, dibuktikan dengan penandatanganan Statuta Roma 1998 oleh Yaman.
Dimana dalam Pasal 13 Statuta tersebut diatur bahwa negara pihak, Dewan Keamanan,
dan inisiatif Jaksa Penuntut merupakan pihak-pihak yang dapat mengajukan suatu kasus
untuk diadili di ICC. ICC ini merupakan upaya terakhir apabila suatu negara
menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakmauan untuk mengadili para pelaku kejahatan
perang. Mekanisme peradilannya pun hanya dapat mengadili pelaku kejahatan perang
secara individu. Adapun perkara yang merupakan yurisdiksi ICC adalah kejahatan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan pada agresi.
Dalam upaya mengadili pelaku kejahatan perang di Yaman tersebut, dibentuklah
Kelompok Ahli Terkemuka oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 2017 di
Yaman. Kelompok ini bertugas dalam menganalisis kasus pelanggaran Hak Asasi
Manusia, Hukum Humaniter Internasional, dan Hukum Pidana Internasional. Kelompok
ini kemudian melaporkan Yaman atas dugaan terjadinya kejahatan perang, seperti
penggunaan serangan udara yang mematikan, penggunaan tentara anak, serta banyak
terjadinya kasus kekerasan seksual. Laporan tersebut kemudian diajukan kepada Jaksa
Penuntut untuk dipelajari apakah kasus ini dapat diadili melalui ICC. Dalam kasus ini
laporan diterima dan diadili oleh ICC dimana pada keputusan akhir persidangannya
ditetapkan hukuman maksimal 30 tahun penjara atau hukuman seumur hidup dengan
ketentuan tertentu bagi pelaku kejahatan perang, terutama pelaku yang menjadikan
anak-anak sebagai kombatan perang. ICC juga memutuskan penetapan denda bagi pelaku
kejahatan perang tersebut berdasarkan kriteria pada Hukum Acara dan Pembuktian, serta
penebusan atau hasil, properti atau kekayaan, dan aset yang diperoleh dari kejahatan
tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung tanpa mengakibatkan kerugian bagi
pihak ketiga. Hasil keputusan ini didasarkan pada Statuta Roma 1998 Pasal 77 angka 1
dan 2 dan bersifat mengikat bagi seluruh pihak yang terlibat.2

B. TINJAUAN HUKUM
Aturan hukum utama yang mengatur mengenai pelaksanaan perang dan
perlindungan bagi para pihak di daerah sengketa adalah Hukum Humaniter Internasional.
Secara garis besar, Hukum Humaniter Internasional terdiri dari dua bagian, yaitu Hukum
Den Haag (The Hague Laws of War) yang mengatur cara dan metode berperang (means
and method of warfare) dan Hukum Jenewa (The Geneva Laws of War) yang mengatur
tentang perlindungan korban konflik bersenjata. Seiring perkembangannya, kedua hukum
ini dilengkapi dengan Protokol Tambahan I 1977 yang melengkapi ketentuan tentang
perang dan Protokol Tambahan II 1977 yang melengkapi ketentuan tentang konflik
bersenjata yang tidak bersifat internasional seperti pemberontakan dalam suatu negara.
Namun, juga masih banyak hukum atau konvensi di dunia internasional yang mengatur
bagaimana anak-anak seharusnya diberlakukan dalam perang seperti ILO Convention,
Rome Statute, dan Convention on The Right of Children.
Hukum yang utama dalam kasus ini adalah Konvensi Jenewa 1997 yang mengatur
hal-hal terkait perlindungan korban konflik bersenjata. Dalam suatu konflik bersenjata,
adanya anak-anak di tengah-tengah konflik bukanlah hal yang asing. Perlindungan untuk
anak-anak tersebut sangatlah diperlukan mengingat usia mereka yang masih muda dan
mereka masih harus mendapatkan perawatan, perlindungan, dan kasih sayang yang lebih
dari keluarga maupun orang yang ada di sekitarnya. Pada Pasal 24 Konvensi Jenewa IV
menjamin bahwa pihak-pihak yang bertikai akan mengambil tindakan yang diperlukan
untuk anak-anak yang berusia dibawah lima belas tahun, anak-anak yatim piatu yang
terpisah dari keluarganya karena perang agar mereka tidak dibiarkan sendiri. Konvensi

2
Ainayyah, N. H., & Joko Setiyono, H. K. (2020). ANALISIS HUKUM HUMANITER
INTERNASIONAL PADA PENGGUNAAN TENTARA ANAK DALAM KONFLIK
BERSENJATA NON-INTERNASIONAL DI YAMAN. Diponegoro Law Journal, 450-452.
ini menjamin anak-anak akan tetap dilindungi dalam konflik bersenjata. Anak-anak
tersebut juga akan mendapatkan bantuan dalam pelaksanaan ibadah dan pendidikan.
Pelarangan penggunaan pasukan tentara anak dalam konflik bersenjata juga diatur
dalam Additional Protocol II Geneva Convention 1997 pasal 4 angka 2 huruf c yang
tertulis “children who have not attained the age of fifteen years shall neither be recruited
in the armed forces or groups nor allowed to take part in hostilities;” Anak-anak yang
berada di daerah konflik memerlukan perlakuan khusus yang mana hal ini juga sesuai
dengan Pasal 77 Protokol I. Menurut Protokol I, anak-anak berhak atas perawatan dan
bantuan yang dibutuhkan sesuai dengan usia mereka. Anak-anak tidak boleh didaftarkan
menjadi anggota angkatan perang sebelum berusia 15 tahun. Jika mereka terlibat
langsung dalam perang apabila kemudian mereka tertangkap maka mereka harus
menerima perlakuan khusus sesuai dengan usia mereka dan terhadap mereka yang
tertangkap sebelum usia 18 tahun tidak boleh dijatuhi hukuman mati. Peraturan ini juga
berkaitan dengan Convention on the Rights of Child 1989 pasal 38 angka 1, 2, dan 3 yang
pada intinya pasal tersebut melarang anak-anak di bawah 15 tahun untuk berpartisipasi
langsung dalam berperang. Konvensi ini juga mewajibkan orang-orang di atas 18 tahun
untuk lebih diprioritaskan lagi keikutsertaannya dalam berperang daripada anak-anak di
bawah umur.
ILO Convention No.182 1999 Pasal 3 huruf a menyatakan bahwa salah satu
bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah penggunaan anak-anak dalam konflik
bersenjata. Menurut Statuta Roma 1998 terutama pada pasal 8 angka 2 huruf e,
penggunaan tentara anak dalam konflik bersenjata merupakan kejahatan perang.
Berdasarkan aturan yang sudah disebutkan, perekrutan dan penggunaan anak-anak
dibawah umur sebagai tentara anak jelas dilarang dalam Hukum Humaniter Internasional.
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas, penggunaan tentara anak dalam
konflik bersenjata jelas termasuk pelanggaran dalam perang dan diklasifikasikan sebagai
kejahatan Perang. Lebih lanjut tentang perang di Yaman dari tiga ribu anak di bawah usia
18 tahun ikut aktif sebagai tentara dalam konflik bersenjata, baik oleh Houthi ataupun
pemerintah Yaman. Pratik Ini juga didukung oleh doktrinasi dan konsumsi stimulan
kepada tentara anak-anak supaya dapat bertarung oleh Houthi.
C. ANALISIS
Analisis Penggunaan Tentara Anak dalam Konflik Bersenjata
Penggunaan anak sebagai tentara dalam konflik bersenjata sudah jelas
merupakan suatu hal yang ilegal untuk dilakukan setiap negara. Ini merupakan
bentuk dari eksploitasi beserta perbudakan dimana anak-anak justru dipaksa untuk
menjadi kombatan, berperang demi memenuhi ambisi penguasanya, alih-alih
mendapatkan hak kualitas hidup dasar seperti pendidikan, kesehatan, serta
makanan. Setelah menjadi tentara anak, kualitas hidup mereka yang merupakan
kunci tumbuh kembang menuju dewasa sangat tidak diperhatikan.
Telah banyak konflik yang melibatkan tentara anak. Setidaknya 60 negara
pernah melibatkan anak-anak sebagai tentara dalam konflik mereka. Data
menunjukkan bahwa dalam keterlibatan anak-anak tersebut, sekitar dua juta anak
terbunuh, enam juta mengalami luka serius maupun cacat permanen.3 Angka
tersebut bukan merupakan jumlah yang kecil dan menjadi indikasi bahwa ini
merupakan isu yang serius sehingga diperlukan hukum yang tepat dalam
menangani masalah ini. Terlebih, ini merupakan konflik yang melibatkan banyak
negara sehingga masyarakat dunia haruslah memiliki hukum yang tegas dan
dapat dipatuhi oleh seluruh bangsa terkait tentang tentara anak ini.

Analisis Tinjauan Hukum


Hukum humaniter yang telah ditetapkan secara bersama oleh
negara-negara yang tergabung dalam PBB merupakan bentuk nyata dari
keprihatinan atas kasus tentara anak yang makin marak menjadi. Bahkan,
Konvensi Jenewa yang mengatur tentang perang pun menerapkan protokol
tambahan yakni Protokol Tambahan I dimana pada protokol tersebut, terdapat
pasal yang mengatur tentang tentara anak yakni pada pasal 77 yang disimpulkan
sebagai berikut: 4

3
Naomi P.L. Pomantow, Kajian Yuridis Tentara Anak Dalam Perang Menurut Hukum
Humaniter, Lex et Societatis IV(1), 2016.
4
Et al.
i. Anak-anak harus dilindungi dari perbuatan tidak senonoh dan wajib
diberikan bantuan beserta perlindungan khusus pada seluruh anak yang
sedang dalam status tahanan maupun tidak dalam status tersebut
ii. Apabila anak-anak ditawan, wajib untuk ditempatkan terpisah dari orang
dewasa, kecuali keluarganya.
iii. Anak-anak tidak boleh dihukum mati
iv. Perekrutan tentara anak merupakan bentuk kejahatan internasional.
Selain itu, Majelis Umum PBB mengesahkan The Declaration on the
Protection of Women and Children in Emergency and Armed Conflict yang
menyatakan perlindungan kepada anak dan perempuan dari bentuk serangan dan
pengeboman menggunakan senjata kimia. Dari adanya hukum-hukum humaniter
tersebut, dapat terlihat keseriusan dunia dalam mengatasi masalah tentara anak
ini.

Analisis Penerapan Hukum Humaniter Internasional pada Kasus Tertulis


Dewan HAM PBB telah membentuk Kelompok Ahli di Yaman pada tahun
2017 untuk menganalisis berbagai kemungkinan pelanggaran terkait hak asasi
manusia yang dilakukan oleh Yaman. Berdasarkan hasil analisis, terdapat
pelanggaran atas serangan udara mematikan, kekerasan seksual, dan perekrutan
tentara anak-anak. Berdasarkan pelanggaran-pelanggaran tersebut, Yaman sudah
seharusnya diberikan hukuman, terutama pada pelaku dari perekrutan tentara anak
tersebut. Yaman sendiri telah memiliki Instrumen hukum nasional yang
mencantumkan tentang kejahatan perang yakni pada The Military Penal Code and
Law No. 21 Tahun 1998 dan juga Undang Undang No. 21 tahun 1998 Pasal
18-20. Kemudian, Yaman telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949, Statuta Roma
oleh ICC pada tahun 1998 dan juga Protokol Tambahan I-II tahun 1977. Ratifikasi
tersebut berarti menandakan bahwa Yaman tunduk kepada hukum-hukum tersebut
dan siap diadili apabila melanggar hukum tersebut. Ini membuat Yaman dapat
diadili oleh ICC dengan setidaknya apabila gugatan tersebut dimenangkan, maka
para pelaku bisa dihukum penjara maksimal 30 tahun. Akan tetapi, sesuai dengan
peraturan yang terdapat pada Konvensi Jenewa 1949, Yaman harus terlebih
dahulu menegakkan hukum nasionalnya dikarenakan Mahkamah Internasional
baru dapat melaksanakan peradilan tersebut apabila Yaman dapat terbukti
unwilling serta unable dalam menegakkan dasar dasar hukum humaniter
internasional.
Analisis Efektifitas Penerapan Hukum Humaniter Internasional pada Kasus
Tertulis
Yaman telah melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum humaniter
internasional seperti:
1. Konvensi Jenewa 1949
2. Protokol Tambahan II 1977 Pasal 4 angka 2 huruf C
3. Konvensi Hak Anak 1989 Pasal 38
4. Protokol Pilihan 2000 Pasal 1 dan 2
5. Konvensi ILO 182 Pasal 3 huruf a
Meskipun begitu, Mahkamah Peradilan Internasional tetap belum bisa
mengadili permasalahan tersebut dikarenakan Yaman belum pernah membawa
kasus tersebut untuk diadili dalam lingkup negara sehingga Mahkamah Peradilan
Internasional sulit untuk mengadili. Sehingga, meskipun Hukum Humaniter
Internasional telah diterapkan dan dipatuhi setiap negara yang meratifikasi hukum
tersebut, pada praktiknya, hukum ini sulit untuk dapat benar-benar ditegakkan
karena membutuhkan proses dalam negeri yang rumit.

Analisis Peran UNICEF terhadap kasus Tentara Anak


Sebagai organisasi Internasional yang memiliki peran terhadap perlindungan anak
dalam skala global tentunya United Nations International Children's Emergency Fund
(UNICEF) ikut memberikan kontribusi dalam kasus perekrutan tentara anak di Yaman.
UNICEF oleh PBB diberikan tanggung jawab dalam menjaga dan menjamin
penghormatan terhadap hak setiap anak yang telah dirampas, dengan berbagai tindakan
yang dapat menjamin keselamatan anak. Dalam konflik di Yaman, perekrutan tentara
anak memiliki dampak terhadap mental, psikis dan hubungan sosial anak.
Pada kasus ini, UNICEF memiliki kewenangan berdasarkan United Nations
Convention on the Rights of the Child (UNCRC) dalam Pasal 45 (a) dan (b) untuk
mengambil tindakan menurut kapasitas yang disediakan oleh PBB untuk mencegah
pengerahan tentara anak. Tindakan dilakukan dengan membuat kerjasama dengan
pemerintah berdasarkan yurisdiksi dari standar organisasi Internasional, dan melalui
program Disarmament, Demobilization, and Reintegration (DDR) yaitu pelucutan
senjata, demobilisasi dan Reintegrasi. Program ini bertahap mulai dari menghapus bentuk
tindakan terhadap anak, memobilisasi anak untuk dikembalikan kepada keluarga dan
lingkungannya.

D. KESIMPULAN
Negara tentunya menjadi aktor penting dalam hubungan internasional,
melalui hubungan antar negara terdapat proses untuk saling bernegosiasi dalam
penyelesaian konflik, namun pada realitanya tidak semua permasalahan selesai
dengan damai. Salah satunya adalah Negara Yaman, yang melakukan
penyelesaian konflik dengan cara kekerasan yaitu perang dan selama berjalannya
perang tentu telah banyak melanggar Hukum Humaniter Internasional (HHI)
karena melibatkan anak anak sebagai pasukan perangnya. Perekrutan tentara anak
ini telah melanggar Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa Pasal 4 Nomor 3(c)
mengenai batas usia untuk tentara perang. Sebagai salah satu negara yang telah
meratifikasi Konvensi Jenewa 1949, maka Yaman bertanggung jawab untuk
mematuhi hukum humaniter internasional dan mengadili pelaku kejahatan perang
di negaranya. Namun, Yaman terbukti tidak melaksanakan kedua hal tersebut,
oleh karena itu Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal
Court/ICC) mengambil tindakan terhadap Yaman.
Dalam upaya penyelesaiaan kasus tentara anak, bentuklah Kelompok Ahli
Terkemuka oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 2017 di Yaman yang
bertugas dalam menganalisis kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, Hukum
Humaniter Internasional, dan Hukum Pidana Internasional. Akhir dari hasil
analisa yang dilakukan, diterimalah laporan dan diadili oleh ICC ditetapkan
hukuman maksimal 30 tahun penjara atau hukuman seumur hidup dengan
ketentuan tertentu bagi pelaku kejahatan perang, terutama pelaku yang
menjadikan anak-anak sebagai kombatan perang.
Selain dalam upaya penyelesaiaan kasus, paper ini juga membahas lebih
dalam mengenai tinjauan hukum humaniter internasional serta analisis
penggunaan tentara anak dalam konflik bersenjata, analisis tinjauan hukum,
penerapan Hukum Humaniter Internasional pada kasus tertulis dan efektifitasnya.
Pada kasus ini dapat dilihat bahwa perekrutan tentara anak di Yaman telah
melanggar Hukum Humaniter Internasional maka perlu diambil tindakan yang
tegas melalui Hukum Internasional agar anak anak di Yaman mendapat terjaga
keamanannya.
Sumber Referensi
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. (2007, Mei). Protokol Opsional untuk
Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Retrieved November 7, 2022, from
https://www.files.ethz.ch/isn/16147/OPCAT%20Bahasa%20Indonesia.pdf

Tepas.id. (2022, June 21). Anak-anak Direkrut Jadi Tentara untuk Berperang di Yaman -
Mengungkap Sisi Lain. Tepas.id. Retrieved November 7, 2022, from
https://tepas.id/anak-anak-direkrut-jadi-tentara-untuk-berperang-di-yaman/

Camila, D. (n.d.). LEGAL PROTECTION BY UNICEF FOR CHILD SOLDIERS IN HOUTHI


ARABIAN CONFLICT.
https://www.researchgate.net/publication/361784991_LEGAL_PROTECTION_BY_UNI
CEF_FOR_CHILD_SOLDIERS_IN_HOUTHI-ARABIAN_CONFLICT

Ambarwati, Ramdhany, D., & Rusman, R. (2009). Hukum Humaniter Internasional


dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta: Fajar Interpratama Mandiri.

Nainggolan, P. P. (2020). Proxy War di Timur Tengah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Permanasari, A., Wibowo, A., Agus, F., Romsan, A., Mansyur, S., & Nainggolan, M. G. (1999).
Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: International Committee of the Red Cross.

Prof. H.A Masyhur Effendi, S. (1994). Hukum Humaniter Internasional dan Pokok-Pokok
Doktrin Hankamrata. Surabaya: USAHA NASIONAL.

Tamburaka, A. (2011). Revolusi Timur Tengah. Yogyakarta: Penerbit NARASI.

Ainayyah, N. H., & Joko Setiyono, H. K. (2020). ANALISIS HUKUM HUMANITER


INTERNASIONAL PADA PENGGUNAAN TENTARA ANAK DALAM KONFLIK
BERSENJATA NON-INTERNASIONAL DI YAMAN. Diponegoro Law Journal,
441-455.

Pomantow, Naomi P.L. (2016). Kajian Yuridis Tentara Anak Dalam Perang Menurut Hukum
Humaniter. Lex et Societatis 4(1).

Anda mungkin juga menyukai