Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KONFLIK POLITIK

DOSEN PENGAMPU: SALMIN,M.Si

Disusun Oleh: Kelompok 5


1. Joswadi
2. Astriani
3. Gita nurul aulia
4. Ratu puspita sari

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH MATARAM
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk, rahmat,
dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan tugas ini tanpa ada halangan
apapun sesuai dengan waktu yang telah di tentukan.
Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas terstruktur pada mata
kuliah Ilmu Politik. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penyusun
harapkan.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan
umumnya bagi para pembaca. Aamiin.

Penyusun,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .......................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Konflik ............................................................................. 2


B. Faktor Penyebab Konflik ............................................................... 3
C. Tipe dan Struktur Konflik .............................................................. 4
D. Intensitas Pengaturan dan Penyelesaian Konflik ........................... 6
E. Contoh Kasus Konflik Politik..............................................................11

BAB III PENUTUP

A. Simpulan..............................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konflik adalah salah satu masalah yang selalu kita temui dalam kehidupan
kita sehari-hari namun acap kali konflik selalu dihubungkan dengan kekerasan
seperti halnya kerusuhan, kudeta, terorisme, dan lain sebagainya. Mengapa
seperti itu, karena dalam konflik selalu diawali dengan perbedaan pendapat,
persaingan dan pertentangan antar individu atau kelompok yang saling
memperebutkan suatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh kedua belah pihak
tersebut, namun hanya ada salah satu pihak yang memungkinkan untuk mencapai
tujuan tersebut.
Penjelasan lebih lengkap mengenai bagaimana konflik politik yang
meliputi pengertian, faktor penyebab, tipe, struktur, intensitas, pengaturan dan
penyelesaian konflik serta tak lupa kami beri gambaran bagaimana contoh kasus
konflik politik yang pernah terjadi di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat dibuat
perumusan masalah sebagai berikut:
a. Apa itu Konflik?
b. Apa saja faktor penyebab konflik?
c. Bagaimana tipe dan struktur konflik?
d. Bagaimana intensitas, pengaturan dan penyelesaian konflik?
e. Bagaimana contoh kasus konflik politik?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan diatas, tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:
a. Mengetahui apa itu konflik
b. Mengetahui apa saja faktor penyebab konflik
c. Mengetahui bagaimana tipe dan struktur konflik
d. Mengetahui bagaimana intensitas, pengaturan dan penyelesaian konflik
e. Mengetahui contoh kasus konflik politik

1
BAB II

PEMBAHASA

A. Definisi Konflik
a. Pengertian Konflik
Konflik merupakan suatu perselisihan yang terjadi antara dua pihak, ketika
keduanya menginginkan suatu kebutuhan yang sama dan ketika adanya
hambatan dari kedua pihak. Istilah konflik dalam ilmu politik seringkali
dikaitkan dengan kekerasan seperti kerusuhan, kudeta, terorisme, dan
revolusi. Konflik mengandung pengertian “benturan” seperti perbedaan
pendapat, persaingan dan pertentangan antar individu dan individu,
kelompok dan kelompok, individu dan kelompok atau pemerintah1. Jadi
konflik politik dirumuskan secara luas sebagai perbedaan pendapat,
persaingan, dan pertentangan diantara sejumlah indidvidu, kelompok
ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan
sumber-sumber dari keputusan yang dibuat yang dilaksanakan oleh
pemerintah. Yang dimaksud dengan pemerintah meliputi lembaga
eksekutif legislatif dan yudikatif. Sebaliknya secara sempit konflik politik
dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat yang
diarahkan untuk menentang kebijakan umum dan pelaksanaannya juga
perilaku penguasa beserta segenap aturan, struktur, danprosedur yang
mengatur hubungan-hubungan diantara partisipan politik2
b. Konflik Menurut Ahli
Charles Watkins berpendapat bahwa konflik terjadi karena terdapat dua hal:
1. Konflik biasa terjadi bila sekurang-kurangnya terdapat dua pihak
secara potensial dan praktis/operasional dapat saling menghambat.
Secara potensial mereka memilik kemampuan untuk mengahambat.

1 Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Hlm.
149
2 Arbi Sanit, 1985. Perwakilan Politik Indonesia, Jakarta: CV Rajawali. Hlm. 131

2
3

2. Konflik dapat terjadi bila ada sesuatu sasaran yang sama-sama


dikejar oleh kedua pihak, namun hanya ada salah satu pihak yang
memungkinkan mencapainya3.

Joyce Hocker dan William Wilmt dalam bukunya yaitu interpersonal


conflict, menurut mereka konflik dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Konflik adalah hal yang abnormal karena hal normal adalah


keselarasan, bagi mereka yang menganut pandangan ini pada
dasarnya bermaksud menyampaikan bahwa suatu konflik hanya
merupakan gangguan stabilitas.
b. Konflik sebenarnya hanyalah suatu perbedaan atau salah paham,
mereka berpendapat bahwasanya konflik hanyalah kegagalan
berkomunikasi dengan baik sehingga pihak lain tidak dapat
memahami maksud yang sesungguhnya.
c. Konflik adalah gangguan yang hanya terjadi karena kelakuan orang-
orang yang tidak beres dan penyebab dari suatu konflik adalah anti
sosial.
Marwadi Rauf menyatakan bahwa konflik politik bukanlah konflik
individu karena isu yang dipertentangkan dalam konflik politik adalah isu
publik yang menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan
satu orang tertentu4.

B. Faktor Penyebab Konflik


Salah satu sumber konflik politik adalah adanya stuktur yang terdiri dari
penguasa politik dan sejumlah orang yang dikuasi (Rauf, 2001: 25-28).
Stuktur ini menyebabkan bahwa konflik politik yang utama adalah antara
penguasa politik dan sejumlah orang yang menjadi obyek kekuasaan politik.
Konflik yang hebat antara penguasa politik dengan rakyatnya sendiri karena
ketidakmauan

3 Saefulloh dan Eep Fatah, 1988. Posisi Agama Islam dan Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia. Hlm.
43
4 Cholisin dan Nasiwan, 2012. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: Ombak. Hlm 159
4

dan ketidakmampuan penguasa politik memahami dan membela kepentingan


rakyatnya. Rakyat tidaklah patut disalahkan sebagai penyebab terjadinya
konflik politik. Hal yang perlu diperhatikan bahwa konflik politik timbulkan
oleh adanya keterbatasan sumber-sumber daya yang dibutukan untuk hidup
semakin besar kemungkinan terjadinya konflik politik. Dengan kata lain,
semakin besar penderitaan dan kekecewaan rakyat semakin besar dorongan di
dalam masyarakat untuk terlibat konflik dengan penguasa politik.5
Surbakti (1992:151) Konflik politik dapat muncul kepermukaan
disebabkan oleh dua hal, yaitu konflik politik kemajemukan horizontal dan
konflik politik kemajemukan vertikal.
1. Kemajemukan Horizontal
Adalah struktur masyarakat yang Majemuk secara kultural, seperti: suku
bangsa, daerah, agama, dan ras. Majemuk secara sosial, seperti: perbedaan
pekerjaan dan profesi, serta karakteristik tempat tinggal.
a. Kemajemukan horizontal kultural dapat menyebabkan konflik karena,
setiap daerah berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik
budaya masing-masing. Jika tidak ada konsensus nilai, maka akan
terjadi perang saudara atau gerakan separatisme.
b. Kemajemukan horizontal sosial dapat menyebabkan konflik, karena
masing-masing kelompok pekerjaan, profesi, dan tempat tinggal
memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan saling bertentangan.
2. Kemajemukan Vertikal
Adalah struktur masyarakat yang terbagi berdasarkan kekayaan,
pengetahuan, dan kekuasaan. Jadi, distribusi kekayaan, pengetahuan, dan
kekuasaan yang pincang merupakan penyebab utama timbulnya konflik
politik.6

C. Tipe dan Struktur Konflik


a. Tipe Konflik

5 Ibid. Hlm. 159


6 Ramlan Surbakti. Op Cit. Hlm. 151
5

Surbakti (1992:153) Terdapat dua tipe konflik, yaitu konflik positif dan
konflik negatif. Untuk menentukan sifat suatu konflik, kita harus melihat
tingkat legitimasi masyarakat terhadap sistem politik yang ada.
1. Konflik Positif
Adalah konflik yang tak mengancam eksistensi sistem politik,
biasanya disalurkan melalui mekanisme penyelesaian konflik yang
disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme tersebut ialah
lembaga demokrasi, seperti partai politik, badan perwakilan rakyat,
pers, pengadilan, pemerintah, dsb.
2. Konflik Negatif
Adalah konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem politik yang
biasanya disalurkan melalui cara nonkonstitusional, seperti kudeta,
separatisme, terorisme, dan revolusi7
Sehubungan dengan adanya konflik yang positif dan konflik yang negatif
dalam kaitanya dengan masyarakat, dapat dibagi menjadi dua yakni
masyarakat yang mapan yakni masyatakat yang memiliki stuktur
kelembagaan yang diatur dalam konstitusi dan masyarakat yang belum
mapan yakni masyarakat yang belum memiliki stuktur kelembagaan yang
mendapat dukungan penuh dari seluruh masyarakat.8

b. Struktur Konflik
Menurut Paul Conn, struktur konflik dibedakan menjadi konflik menang-
kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-menang (non zero-sum
conflict).
1. Konflik Menang-Kalah
Adalah konflik yang bersifat antagonistik, sehingga tidak
memungkinkan tercapainya kompromi antara pihak-pihak yang
berkonflik. Cirinya:

7 Ibid. Hlm. 153


8 Cholisin dan Nasiwan. Op Cit. Hlm. 161
6

a. Tidak mungkin mengadakan kerja sama


b. Hasil kompetisi akan dinikmati oleh pemenang saja
c. Yang dipertaruhkan adalah hal-hal yang prinsipil, seperti harga
diri, iman kepercayaan, jabatan, dll.
Contoh: konflik antar manusia beragama dengan orang atheis.
2. Konflik Menang-Menang
Adalah konflik dimana pihak-pihak yang terlibat masuh mungkin
untuk berkompromi dan bekerja sama. Cara yang dilakukan yaitu
dengan melakukan dialog, kompromi, dan kerja sama yang
menguntungkan dua pihak. Cirinya:
a. Kompromi dan kerja sama
b. Hasil kompetisi dinikmati oleh kedua pihak, namun tidak secara
maksimal

D. Intensitas, Pengaturan dan Penyelesaian Konflik


a. Intensitas Politik
Intensitas konflik lebih merujuk kepada besarnya energi (ongkos) yang
dikeluarkan dan tingkat keterlibatan partisipan dalam konflik. Menurut
Surbakti (1992:156-158), intensitas konflik ditentukan oleh berbagai
factor, yaitu:
1. Pertentangan antara pihak-pihak yang berkonflik yang mencakup
berbagai jenis.
2. Terdapat kelas yang dominan dalam industri
3. Pihak yang berkonflik menilai tidak mungkin terjadi peningkatan
status bagi dirinya.
4. Besar kecilnya sumber-sumber yang diperebutkan dan tingkat resiko
yang timbul dari konflik tersebut. Semakin besar sumber-sumber yang
diperebutkan maka konflik akan semakin intens. Demikian pula
dengan
7

resiko, semakin besar tingkat resiko yang akan ditimbulkan maka


konflik akan semakin intens.9

Coser (Soerjono Soekanto, 1988:94) mengungkapkan preposisi intensitas


konflik sebagai berikut:

1. Semakin disadarinya kondisi yang menyebabkan pecahnya konflik


maka konflik semakin intens.
2. Semakin besarnya keterlibatan emosional pihak-pihak dalam konflik
maka konflik semakin intens.
3. Semakin ketat struktur sosial maka tidak tersedianya alat yang
melembaga untuk menyerap konflik dan ketegangan konflik semakin
intens
4. Semakin besar perlawanan kelompok-kelompok dalam konflik
terhadap kepentingan objektif mereka maka konflik semakin intens
b. Pengaturan Politik
Pegaturan konflik adalah berupa bentuk-bentuk pengendalian yang lebih
diarahkan pada manifestasi konflik daripada sebab-sebab konflik. Dengan
asumsi konflik tidak akan dapat diselesaikan dan dibasmi, maka konflik
hanya dapat diatur saja sehingga konflik tidak mengakibatkan perpecahan
dalam masyarakat.
Penyelesain konflik lebih merujuk pada sebab-sebab konflik daripada
manifestasi konflik. Dengan asumsi selama ada antagonisme kepentingan
dalam masyarakat, konflik selalu terjadi maka konflik tidak pernah dapat
diselesaikan.
Pembasmian konflik lebih merujuk pada manifestasi konflik daripada
sebab-sebab konflik. Dalam jangka pendek konflik dapat dibasmi dengan
kekerasaan, tetapi untuk jangka panjang tidak akan dapat ditumpas.10

9 Ramlan Surbakti. Op Cit. Hlm. 156-158


10 Ibid 158-160
8

Menurut Ralf Dahrendorf, pengaturan konflik yang efektif sangat


bergantung pada tiga factor.11 Pertama, kedua pihak harus mengakui
kenyataan dan situasi konflik yang terjadi di antara mereka. Kedua,
kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan harus terorganisasikan
secara rrapi, tidak tercerai berai sehingga masing-masing pihak memahmi
dengan jelas lingkup tuntutan pihak lain. Ketiga, kedua pihak menyepekati
aturan main yang menjadi landasan dari pegangan dalam hubungan
interkasi diantara mereka. Apabila ketiga syarat itu dapat dipenuhi maka
berbagai bentuk pengaturan konflik dapat dibuat dan dilaksanakan.
Ada tiga bentuk pengaturan konflik. Pertama bentuk konsilisasi seperti
parlemen atau kursi perlemen, dimana semua pihak berdiskusi dan
berdebat secara terbuka dan mendalam untuk mencapai kesepakatantanpa
ada pihak- pihak yang memonopoli pembicaraan atau memaksakn
kehendak. Kedua, bentuk mediasi dimana kedua pihak sepakat mencari
penasehat dari pihak ketiga tetapi nasehat yang diberikan oleh mediator
tidak mengikat mereka. Ketiga bentuk arbitrsi, kedua belah pihak sepakat
untuk mendapatkan keputusann akhir sebagai jalan keluar konflik pada
pihak ketiga sebagai arbitrator.12
c. Penyelasaian Konflik Politik
Konsensus politik merupakan penyelesaian konflik politik secara damai.
Dengan demikian penyelesaian konflik politik berhasil dicapai. Maswadi
Rauf (2001:35-36) menyatakan bahwa penyelesaian konflik politik dapat
dilakukan dengan pemilu sebagai cara mencapai konsensus politik,
musyawarah sebagai cara mencapai konsensus politik, dan pemungutan
suara.
Pemilu sebagai cara mencapai konsensus politik, merupakan konsensus
politik yang terjadi antara pihak-pihak yang terlibat konflik politik yang
biasanya berjumlah banyak diselesaikan oleh rakyat melalui pemilu.
Referendum yang merupakan pemilu untuk menyelesaikan perbedaan

11 Ibid. Hlm. 160


12 Cholisin dan Nasiwan. Op Cit. Hlm. 162
9

tentang masalah tertentu dapat dikategorikan ke dalam pemilu. Konflik


antara partai-partai politik dalam pemilu mencapai konsensus berdasarkan
keputusan yang dibuat para pemilih dalam bentuk hasil pemilu. Hasil
pemilu merupakan jalan keluar dari konflik politik antara partai-partai
unttuk merebutkan jalan keluar dari konflik politik antara partai-partai
politik untuk merebutkan posisi-posisi politik. Hasil pemilu merupakan
konsensus politik dicapai secara damai maka merupakan penyelesaian
konflik secara persuasif.
Musyawarah sebagai cara mencapai konsensus, musyawarah dilakukan
antara pihak-pihak yang terlibat konflik politik tanpa adanya perantara
karena penyelesaian konflik politik tidak bisa ditentukan pihak lain tanpa
persetujuan pihak-pihak yang terlibat konflik. Musyawarah bertujuan
mencari titik temu atau kompromi antara pihak-pihak yang terlibat konflik.
Pihak-pihak yang terlibat konflik menyetujui itu berdasarkan kehendak
dan kesadaran sendiri karena merasa pendapat yang satu itulah yang
terbaru untuk semua. Dalam kenyataan sangat jarang kompromi atau
mufakat, karena:
1. Besarnya perbedaan pendapat antara pihak yang terlibat konflik.
2. Kuatnya keyakinan pihak-pihak yang terlibat konflik akan kebenaran
pendapat mereka masing-masing sehingga sulit mengarapkan
perubahan dari pendapat yang dianut.

Pemungutan suara. Pemungutan suara adalah perhitungan suara diantara


pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menentukan jumlah suara diantara
yang mendukung oleh suara terbanyak yang akan dijadikan keputusan
bersama. Memang sebaiknya pertama-tama diusahakan dengan mufakat.
Pemungutan suara merupakan pilihan berikutnya ketika musyawarah
untuk mufakat mengalami jalan buntu. Pemungutan suara adalah cara yang
lazim digunakan dalam lembaga perwakilan untuk menyelesaikan konflik
antara partai-partai politik. Voting tidak digunakan dalam sebagai
mekanisme pembuatan keputusan di dalam birokrasi memainkan peranan
utama dalam
10

menetapkan keputusan yang akan dibuat oleh instansi tersebut.


Penghitungan jumlah suara dari para bawahan yang mendukung pendapat-
pendapat yang tidak diperlukan, meskipun pemimpin yang baik
menggunakan saran-saran dari bawahan sebagai bahan untuk pembuatan
keputusan. Voting dapat dilakukan dengan mayoritas mutlak dan
mayoritas sederhana. Mayoritas mutlak dapat dilakukan dengan berbagai
kemungkinan, yaitu 51% atau lebih. Sedangkan mayoritas sederhana
berarti jumlah yang terbesar tetapi tidak mencapai lebih dari setengah.
Lembaga- lembaga perwakilan rakyat yang di dunia jarang menggunakan
mayoritas sederhana sebagai dasar pengambilan keputusan.

Pendapat menegaskan bahwa proses penyelesaian konflik politik yang


tidak bersifat kekerasan dibagi menjadi tiga tahap yakni meliputi tahap
politisasi dan atau koalisi, tahap pembuatan keputusan dan tahap
pelaksanaan dan integrasi.13

Jika terjadi konflik politik dalam masyarakat maka pihak-pihak yang


terlibat dalam konflik, setelah berhasil merumuskan tuntutannya kepada
pemerintah, mereka akan melakukan politisasi. Artinya mereka akan
memasyarakatkan tuntutannya melalui berbagai media komunikasi
sehingga isu menjadi politik, sehingga menjadi pembicaraan di kalangan
pengemuka pendapat maupun di kalangan pemerintahan. Dalam tahap ini
para pihak yang terlibat dalam konflik akan melakukan perhitungan
apakah akan mengadakan koalisi dengan pihak lain atau cukup
memeperjuangakan sendirian. Setelah diputuskan untuk melakukan
kaoalisi atau tidak, langkah selanjutnya berusaha mempengaruhi pembuat
keputusan politik, agar yang terkahir ini mengabulkan tuntutannya.14

13 Ramlan Surbakti. Op Cit. Hlm. 163-164


14 Cholisin dan Nasiwan. Op Cit. Hlm. 163-165
11

E. Contoh Kasus Konflik Politik


Andi Sulistyo (Kompasiana)15 menjelaskan mengenai berbagai macam
kasus konflik politik yang pernah terjadi di Indonesia, yang secara luas konflik
dapat disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan
yang muncul sebagai masalah-masalah soaial budaya politik dan ekonomi.
Konflik politik dirumuskan sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan
pertentangan diantara sejumlah individu, kelompok ataupun organisasi dalam
upaya mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan
yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah disini meliputi
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Pada masa perang kemerdekaan konflik politik yang pertama terjadi
diakibatkan oleh keputusan yang dibuat oleh PPKI tentang pembuatan sebuah
partai tunggal bagi semua rakyat Indonesia yaitu PNI (Partai Nasional
Indonesia). Namun tidak terlaksana karena kurang dukungan yang akhirnya
memalui Maklumat Presiden tanggal 4 November 1945 diberikan kesempatan
membentuk partai-partai politik dalam rangka sistem multi partai.
Masa ini konflik elit politik banyak terjadi terutama antara Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Hatta mengenai penyelenggaraan negara. Pada
intinya perbedaannya terletak pada sikap terhadap demokrasi Barat. Soekarno
tidak ingin demokrasi barat (liberal demokrasi) di berlakukan di Indonesia.
Soekarno ingin nilai-nilai asli bangsa Indonesia mewarnai kehidupan politik
Indonesia sementara Hatta sebaliknya ingin demokrasi barat dengan sistem
parlementer yang berlaku. Puncak dari konflik ini adalah pengunduran diri
Hataa dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956.
Selain konflik pada elit politik terjadi juga konflik-konflik di bawah yang
muncul sebagai kelompok-kelompok radikal dalam menghadapi Belanda.

15 Andi Sulistyo. 2012. Perkembangan Politik di Indonesia” 19 April.


http://m.kompasiana.com/andisulistyo/perkembangan-konflik-politik-di-
indonesia_550feb6f813311af36bc6041
12

Muncul juga kelompok-kelompok Islam yang kecewa terhadap pemimpin


sekuler yang dianggap gagal memperbaiki keadaan. Masuknya kembali tokoh
Komunis yang sudah cukup lama bermukim di Uni Sovyet seperti Muso dan
Suripno semakin memperburuk konflik, sebagai contoh pemberontakan PKI
1948 di Madiun yang merupakan salah satu konflik fisik yang paling buruk.
Berlanjut pada konflik politik masa Demokrasi Parlementer yang
merupakan keberlanjutan dari pola konflik pada masa perang kemerdekaan.
Idiologi yang bertentangan yang dianut oleh partai-partai politik merupakan
faktor penyebab terjadinya konflik. Konflik utama terjadi antara PKI dan
Masyumi yang merupakan partai Islam.
Dampak dari konflik ini mengakibatkan sering bergantinya kabinet,
selama lima setengah tahun (september 1950 sampai Maret 1956) ada 5
kabinet yang terbentuk. Hal ini menyebabkan kabinet tidak mempunyai cukup
waktu untuk memikirkan pembangunan nasional. Konflik ini juga
menyebabkan pergolakan di daerah-daerah seperti konflik fisik PRRI-
Permesta dimana untuk penumpasannnya dibutuhkan operasi militer yang
melibatkan tiga angkatan.
Masa Demokrasi Terpimpin ditandai oleh adanya usaha-usaha Presiden
Soekarno untuk mempertahankan keseimbangan antara dua kekuatan politik
utama, PKI dan ABRI. Oleh karena itu, persoalan utama yang dihadapi oleh
Demokrasi Terpimpin adalah bagaimana Presiden Soekarno bisa
mempertahankan keseimbangan antara keduanya sehingga tidak ada satupun
kekuatan yang merasa lebih kuat untuk menumpas kekuatan lainnya. Soekarno
memerlukan dukungan PKI yang muncul sebagai partai politik terbesar
melalui manuver-manuver yang sistematis di daerah pedesaan di Jawa.
ABRI berangsur-angsur tampil sebagai kekuatan politik baru dalam
kancah politik Indonesia. Melalui dua fungsi ABRI yang didukung oleh
Presiden Soekarno, ABRI memperoleh sarana untuk memperkuat
kedudukannya melawan PKI. Secara historis, ABRI adalah lawan PKI karena
dalam sejarah terbukti bahwa PKI melalui Pemberontakan Madiun 1948 ingin
mengganti RI dengan negara lain. Oleh karena itu, G 30 S adalah penyelesaian
konflik secara koersif yang dilakukan oleh PKI karena merasa dirinya sudah
cukup kuat untuk
13

melakukan pukulan terhadap ABRI dan Anti Komunis yang lainnya. Ternyata
dugaan PKI salah karena ABRI dan Kelompok Anti Komunis tidak kalah
dengan sekali pukul. Mereka yang diserang segera membalas sehingga terjadi
peristiwa berdarah yang hebat.
Menjelang Pemilu 1971 mulai terlihat bahwa Pemerintah Orde Baru
menganut sifat yang sama dengan Soekarno dalam menghadapi konflik politik
yakni kekhawatiran yang berlebih terhadap konflik. Elit politik Orde Baru
selalu khawatir karena akan mengganggu kestabilan politik, integrasi nasional
dan pembangunan nasional. Ketiga hal tersebut digunakan untuk alasan
membatasi kebebasan di segala bidang. Dampak dari sikap tersebut adalah
pembatasan terhadap kebebasan partai politik. Pada tahun 1973 diadakan
penyederhanaan kepartaian yang menghasilkan tiga partai politik yakni: PPP,
PDI, dan Golkar. Kemudian pada tahun 1985 dikeluarkan UU yang
menetapkan Pancasla sebagai satu-satunya asas yang menutup kemungkinan
bagi partai politik untuk mempunyai ideologi lain. Usaha pemerintah ini
dinilai negatif karena dianggap membatasi kebebasan partai politik meskipun
kenyataannya pertai-partai telah melakukan ketentuan tersebut.
Kejadian yang mirip pada masa Demokrasi Terpimpin terulang kembali.
Kekhawatiran yang berlebih terhadap konflik politik menghasilkan tindakan-
tindakan represif terhadap konflik yang menghilangkan kebebasan yang
menimbulkan ketakutan di dalam masyarakat. Berkurangnya konflik karena
kekerasan yang dihasilkan tindakan represif mengakibatkan terbentuknya
kekuatan absolut dan otoriter. Bila masa Soekarno menghasilkan
pembrontakan G 30 S dan kemelaratan rakyat, masa Soeharto menghasilkan
kebangktutan negara karena korupsi yang luar biasa hebatnya diikuti oleh
krisis politik dan krisis ekonomi yang menimbulkan penderitaan rakyat.
Dibandingkan dengan masa Soekarno, masa Soeharto menghasilkan
kekacauan yang lebih parah karena malapetaka yang dihasilkan oleh
pemerintah yang otoriter itu tidak hanya krisis politik dan krisis ekonomi tapi
juga krisis moral yang memerlukan waktu yag panjang untuk mengatasinya.
14

Pada masa reformasi partai politik disamping sebagai wujud dari


demokratisasi namun merupakan organisasi yang memiliki peran dan fungsi
memobilisasi rakyat atas nama kepentingan-kepentingan politik sekaligus
memberi legitimasi pada proses-proses politik, di antaranya adalah tentang
“suksesi” kepemimpinan nasional. Pola konflik dan pola hubungan dalam
partai politik ini bisa tercermati dalam pemilu 1999, yaitu realita penolakan
terhadap Habibie juga Megawati Soekarnoputri dari satu kelompok terhadap
kelompok yang lainnya.
Penolakan terhadap Habibie sebagai representasi penolakan terhadap Orde
Baru, yang memiliki kaitan kuat dengan Soeharto. Sementara terhadap
Megawati, penolakan dilakukan oleh partai-partai Islam beserta Golkar yang
memanfaatkan isue “haram” presiden wanita. Gerakan asal bukan Habibie
atau Megawati yang akhirnya melahirkan bangunan aliansi partai-partai Islam
(PAN,PPP,PBB, dan Partai Keadilan) yang dikenal kala itu sebagai kelompok
Poros Tengah.
Bangunan aliansi yang dilakukan poros tengah yang kemudian menyeret
PKB untuk menghianati PDI Perjuangan dan mengusung K.H. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden Republik Indonesia setelah Habibie.
Namun dalam perjalanannya, keakraban Amien Rais (sebagai pemimpin poros
tengah) dan Gus Dur terberai kembali akibat dari perbedaaan-perbedaan
kepentingan politik yang dilakukan masing-masing.
Pada keterberaian ini pula yang meruntuhkan legitimasi politik Gus Dur
sebagai Presiden, walaupun disisi lain terdapat berbagai kepentingan politik
yang ikut meramaikannya seperti kepentingan politik militer, PDI Perjuangan,
kelompok penguasa korporatisme nasional yang dihegemoni Soeharto atau
Orde Baru, termasuk kepentingan modal asing atau negara lain (seperti
Amerika Serikat, Uni Eropa) yang terusik atas beberapa kebijakan ekonomi
nasional yang dilakukan Kabinet Gus Dur serta dari kelompok kepentingan
ideologis yang radikal untuk mengubah konsepsi Indonesia menjadi
berkarakter politik Islam atau demokrasi Liberal.
15

Berawal dari tarikan kepentingan kekuasaan suksesi nasional yang


dilakukan para elite, yang selanjutnya membangun perspektif tersendiri dalam
konflik-konflik konstitusi di Indonesia. Seperti dalam kejatuhan Abdurrahman
Wahid memperkuat perlunya tindakan amandemen atas UUD 1945, karena
konstitusi tersebut membuka perseteruan interpretasi dan dianggap menjadi
sumber kekacauan ketatanegaraan di Indonesia. Terlebih pada perdebatan
sistem politik Indonesia, apakah presidensil atau parlementer. Pada masa Gus
Dur, sistem presidensil versi UUD 1945 terbukti rentan, dan bisa terdeviasi
pada sistem parlementer.
Maka dari sistem yang mendua, MPR periode 1999-2004 melakukan
perubahan terhadap UUD. Tidaklah menjadi aneh jika dimasa Megawati
(pasca Gus Dur) dalam pidato kenegaraannya 16 Agustus 2001 mengusung
komisi konstitusi yang berkembang di Sidang Tahunan MPR 2001 dan
memunculkan perbedaan tajam antara sikapkonservatismedi majelis karena
kegagalannya membentuk komisi dan tidak mampu melakukan perubahan-
perubahan atas pasal-pasal krusial. Padahal tanpa komisi
konstitusiindependenakan menjadi kesulitan untuk dapat menghasilkan dasar-
dasar berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis serta mencerminkan
kepentingan rakyat.
Pada masa SBY sekarang ini yang lebih cenderung pada politik pencitraan
dimana segala sesuatu selalu dibesar-besarkan demi kepentingan kekuasaaan.
Terbukti SBY dengan politik pencitraan itu SBY mampu menjadi presiden
selala dua periode. Setelah memenangkan Pilpres 2009, SBY menghadapi
persoalan pelik menghadapi ancaman konflik internal koalisi partai
pendukung pemerintahannya. Hal itu karena dengan dukungan 23 partai pada
Pemilu 2009 dimana setiap partai mengusung ideologi dan pendapatnya
sendiri. Akibatnya SBY akan memakan waktu lama bila memutuskan suatu
kebijakan hal ini yang kemudian dipersepsikan masyarakat sebagai presiden
yang ragu-ragu.
Konflik koalisi yang masih hangat adalah menyoal kenaikan harga BBM.
Dimana salah satu partai koalisi dalam kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yaitu
PKS tidak mendukung kebijakan SBY dalam parlemen. PKS menolak untuk
menaikkan harga BBM bersubsidi dan alhasil dengan tidak didukungnya
16

kebijakan SBY oleh PKS maka DPR dengan jalan voting memutuskan untuk
tidak menaikkkan harga BBM. Kemudian masalah penghianatan koalisi ini
yang sekarang mengerucut menjadi isu Reshufflekabinet.
Memahami konflik politik yang terjadi di Indonesia dilihat dari sudut pandang
penyelesaian konflik dapat dibagi menjadi dua yaitu sejak masa perang
kemerdekaan sampai orde baru dan setelah orde baru sampai saat ini. Sejak
perang kemerdekaan hingga Orde Baru penyelesaian konflik dilakukan
dengan cara kekerasan. Penyelesaian konflik seperti ini menurut Marx ada dua
sebab, pertama karena tidak ada tawar-menawar kelas borjuis dengan proletar.
Kedua, kelas borjuis, sebagaimana manusia pada umumnya tidak akan mau
mengurangi kenikmatan yang mereka peroleh selama ini. Sementara setelah
Orde Baru terjadi keterbukaan pimikiran bahwa pnyelesaian konflik dengan
cara kekerasan mulai ditinggalkan. Penyelesaian konflik politik ini yang
seharusnya dipilih dalam perkembangan politik Indonesia ke depan.

.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
a. Konflik merupakan suatu perselisihan yang terjadi antara dua pihak, ketika
keduanya menginginkan suatu kebutuhan yang sama-sama dikejar oleh
kedua pihak tersebut, namun hanya ada salah satu pihak yang
memungkinkan untuk mencapai tujuan tersebut. Konflik mengandung
pengertian benturan seperti perbedaan pendapat, persaingan dan
pertentangan antar individu atau kelompok. Menurut Charles Watkins
berpendapat bahwa konflik terjadi karena terdapat dua hal yaitu:
1. Konflik biasa terjadi bila sekurang-kurangnya terdapat dua pihak
secara potensial dan praktis/operasional dapat saling
menghambat. Secara potensial mereka memilik kemampuan
untuk mengahambat.
2. Konflik dapat terjadi bila ada sesuatu sasaran yang sama-sama
dikejar oleh kedua pihak, namun hanya ada salah satu pihak yang
memungkinkan mencapainya
b. Salah satu sumber yang menjadi faktor penyebab dari konflik politik
adalah adanya stuktur yang terdiri dari penguasa politik dan sejumlah
orang yang dikuasi. Stuktur ini menyebabkan bahwa konflik politik yang
utama adalah antara penguasa politik dan sejumlah orang yang menjadi
objek kekuasaan politik. Konflik yang hebat antara penguasa politik
dengan rakyatnya sendiri karena ketidakmauan dan ketidakmampuan
penguasa politik memahami dan membela kepentingan rakyatnya. Rakyat
tidaklah patut disalahkan sebagai penyebab terjadinya konflik politik. Hal
yang perlu diperhatikan bahwa konflik politik timbulkan oleh adanya
keterbatasan sumber-sumber daya yang dibutukan untuk hidup semakin
besar kemungkinan terjadinya konflik politik. Dengan kata lain, semakin
besar penderitaan dan kekecewaan rakyat semakin besar dorongan di
dalam masyarakat untuk terlibat konflik dengan penguasa politik.

17
18

c. Tipe konflik terdapat dua tipe, yaitu konflik positif dan konflik negatif.
Sedangkan Struktur konflik menurut Paul Conn dapat dibedakan menjadi
dua yaitu konflik menang-kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-
menang (non zero-sum conflict).
d. Intensitas dalam konflik lebih merujuk kepada besarnya energi (ongkos)
yang dikeluarkan dan tingkat keterlibatan partisipan dalam konflik.
Pegaturan konflik adalah berupa bentuk-bentuk pengendalian yang lebih
diarahkan pada manifestasi konflik daripada sebab-sebab konflik. Dengan
asumsi konflik tidak akan dapat diselesaikan dan dibasmi, maka konflik
hanya dapat diatur saja sehingga konflik tidak mengakibatkan perpecahan
dalam masyarakat. Konsensus politik merupakan penyelesaian konflik
politik secara damai. Dengan demikian penyelesaian konflik politik
berhasil dicapai.
e. Salah satu contoh kasus konflik politik terjadi pada masa perang
kemerdekaan yaitu konflik politik yang pertama terjadi diakibatkan oleh
keputusan yang dibuat oleh PPKI tentang pembuatan sebuah partai tunggal
bagi semua rakyat Indonesia yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia).
Namun tidak terlaksana karena kurang dukungan yang akhirnya memalui
Maklumat Presiden tanggal 4 November 1945 diberikan kesempatan
membentuk partai-partai politik dalam rangka sistem multi partai
DAFTAR PUSTAKA

Andi Sulistyo. 2012. Perkembangan Politik di Indonesia” 19 April.


http://m.kompasiana.com/andisulistyo/perkembangan-konflik-politik-di-
indonesia_550feb6f813311af36bc6041

Fatah Eep dan Saefulloh, 1988. Posisi Agama Islam dan Negara, Jakarta: Ghalia
Indonesia

Nasiwan dan Cholisin, 2012. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: Ombak

Sanit, Arbi. 1985. Perwakilan Politik Indonesia. Jakarta: CV Rajawali.

Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana


Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai