Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Konsep kedaulatan negara merupakan suatu atribut kekuasaan mutlak dan

tertinggi yang melekat pada masing-masing negara untuk dapat mengarahkan

haknya secara bebas untuk dapat menentukan status politik, struktur sosial,

ekonomi dan budaya nya sendiri tanpa campur tangan dari negara lainnya, 1 serta

dapat dibedakan menjadi dua komponen utama, yakni kedaulatan internal untuk

dapat berkuasa secara penuh atas wilayah negaranya dan juga kedaulatan

eksternal untuk dapat terlibat di dalam hubungan internasional dan juga untuk

dapat menyatakan perang dengan negara lainnya.2 Berangkat dari pemikiran

tersebut maka semua negara, dalam menegakkan kedaulatannya masing-masing

dan menjalankan kepentingan negaranya, memiliki tanggung jawab untuk

menghormati kedaulatan tiap-tiap negara berdasarkan kepada asas persamaan

derajat (equal rights) dan juga terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri

setiap orang (self-determiation) di dalam batasan-batasan yang ditentukan di

dalam Hukum Internasional.3

Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa dalam upayanya untuk

meneggakkan kedaulatan dan urusannya masing-masing, tidak jarang terjadi

1
Yustina Trihoni Nalesti, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Raja Grafika Persada, 2013), halaman 9.
2
Ibid., halaman 10-11.
3
James Crawford, Brownlie’s Principle of Public International Law (8th edition), Oxford
University Press, 2012, P. 449.

1
pertentangan antara kepentingan antara negara berdaulat yang satu dengan

lainnya. Realitas keadaan ini mendesak negara untuk dapat mengambil tindakan

yang dipandang paling baik bagi kepentingan bangsa dan negaranya masing-

masing yang pada akhirnya menimbulkan konflik bagi pihak lain yang

berhubungan dengan kepentingan yang dikesampingkan tersebut, utamanya

adalah negara lain. Di dalam Hukum Internasional sendiri, dikenal adanya dua

metode umum yang dapat diupayakan negara untuk dapat menyelesaikan apabila

terjadi konflik kepentingan yang dapat terjadi di antara masing-masing mereka,

yakni melalui penyelesaian melalui upaya perdamaian (peaceful measures) serta

melalui penyelesaian melalui penggunaan kekerasan (forceful measures), yakni

utamanya melalui penggerahan kekuatan militer dan senjata masing-masing,

seperti melalui perang (war) , blokade masa damai (peace time blockade), retorsi

(retortion), agresi (aggression) hingga tindakan balas dendam atau reprisal.4

Hal-hal mengenai penggunaan kekerasan oleh negara secara khusus

merupakan salah satu konsep-konsep terutama yang menghiasi dinamika

perkembangan Hukum Internasional dewasa ini bersama dengan konsep-konsep

penting lainnya seperti kedaulatan teritorial, kemerdekaan dan persamaan negara.5

Hal ini sebagian besar dilatar belakangi oleh konsekuensi bahwa penggunaan

kekerasan negara lahir dari atribut kedaulatan yang dimiliki oleh masing-masing

negara dimana negara diharapkan untuk dapat mengambil tindakan sejauh yang

dibutuhkan, termasuk melalui penggunaan kekerasan, demi mencapai tujuannya

4
Soekotjo Hardiwinoto, Buku Ajar Hukum Internasional (Semarang:Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 2014), halaman 236-253.
5
M.N. Shaw, International Law, Terjemahan oleh Derta Sri Widowatie, Imam Baehaqi, dan M.
Khozim, Cambridge University Press, Cambridge, 2009, halaman 1133.

2
untuk melindungi kepentingannya, kepentingan warga negaranya serta demi

kepentingan komunitas internasional secara umum.6 Oleh karena itu persoalan

penggunaan kekerasan di dalam Hukum Internasional dipandang menjadi topik

pembahasan yang sangat vital.7

Permasalahan timbul ketika, seperti yang dikatakan oleh Edward Gordon,

hingga berabad-abad yang lalu, hal-hal yang berkaitan penggunaan kekerasan

dalam penyelesaian suatu konflik oleh suatu negara dipandang sebagai ranah utuh

hak dan kewenangan oleh masing-masing negara, dan hanya dibatasi oleh

kebijakan masing-masing terkait penggunaan secara penuh haknya tersebut.

(“Until this century, the decision by states to employ armed force in their

international relations enjoyed close to a full measure of legitimacy under

international law. Force used in a way that clearly violated another state's

established rights was treated as a subject of concern only between the state

employing force and the target state.”)8 Pembatasan terhadap konsep kedaulatan

penuh yang dimiliki oleh negara dalam hal melakukan penggunaan kekerasan ini

baru mengalami perubahan ketika memasuki periode abad ke-20 yang ditandai

dengan munculnya perjanjian-perjanjian multilateral yang secara spesifik mulai

membahas mengenai pengaturan penggunan kekerasan oleh negara, terutama

melalui Kovenan Liga Bangsa-Bangsa 1919 atau Covenant of the League of

Nations, Konferensi Pan-Amerika di tahun 1928 serta Pakta Paris 1928 atau yang

6
Loc.cit.
7
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: Refika
Aditama, 2006), halaman 250.
8
Edward Gordon, “Article 2(4) in Historical Context”, Yale Journal of Int’l Law, Vol 10:271,
1985, P.271. http://digitalcommons.law.yale.edu/yjil, diakses pada 13 Maret 2019, pkl. 17.02

3
lebih dikenal sebagai Kellogg-Briands Pact dan pada akhirnya melalui Piagam

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1945.9

Namun terhadap larangan penggunaan kekerasan dalam bentuk apapun

tersebut, terdapat pengecualian yang diberikan oleh Piagam PBB 1945 terhadap

negara untuk dapat menggunakan kekerasan dalam hal untuk membela dirinya

atau yang dikenal sebagai hak bela diri negara atau “inherent rights of self

defense”, atau yang sering disebut sebagai tindakan self defense negara.

Penggunaan self defense negara sendiri pada dasarnya merupakan salah satu

bentuk pengecualian terhadap penggunaan kekerasan yang telah lama dikenal oleh

negara dan telah menjadi pokok pembahasan paling kontroversial di antara

kalangan pakar Hukum Internasional. Hal ini didasari oleh pemikiran dasar, salah

satunya seperti yang diungkapkan oleh Gentili, sebagai hak negara untuk dapat

membela dirinya (necessary defense) terhadap serangan yang dilakukan oleh

pihak lainnya yang mengancam keselamatan dirinya (“One who is attacked by an

armed enemy makes a necessary defence, and his action is that of necessary

defence”).10

Secara harafiah self defense dapat diartikan sebagai: “ The use of force to

protect oneself , one’s family, or one’s property from real or threatened attack”

atau penggunaan kekerasan untuk melindungi kepentingan dirinya sendiri,

keluarganya, harta bendanya atas sebuah serangan yang benar-benar terjadi atau

9
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.cit, halaman 253.
10
Kinga Tibori Szabo, Anticipatory Action in Self-Defence: Essence and Limits Under
Intrnational Law, T.M.C Asser Press, Den Haag, 2011, P.50.

4
ancaman yang nyata.11 Sementara Roberto Ago, staf khusus International Law

Commission untuk PBB menggambarkan interpretasinya terhadap penggunaan

self defense di dalam ketentuan Piagam PBB 1945 sebagai: “action whereby

‘‘defensive’’ use of force is opposed to an ‘‘offensive’’ use of comparable force,

with the object —and this is the core of the matter—of preventing another’s

wrongful action from proceeding, succeeding and achieving its purpose.” Oleh

karena itu tindakan self defense dapat disimpulkan sebagai suatu penggunaan

kekuatan bersenjata untuk mematahkan sebuah serangan atau ancaman serangan

yang ditujukan terhadap dirinya sendiri.12

Pembahasan mengenai penggunaan self defense oleh negara telah menjadi

poin perdebatan paling fundamental terutama terkait dua lingkup bentuk

penggunaannya yang paling umum oleh negara yaitu terkait perlindungan

terhadap warga negara yang berada di luar negaranya (protections of nationals

abroad) dan juga terkait penggunaan tindakan self defense sebagai bentuk

antisipasi terhadap sebuah serangan yang akan terjadi (anticipatory measures),

dan menurut Christine Gray hal ini telah menjadi pokok pembahasan negara sejak

periode awal pembentukan PBB itu sendiri:“(are much discussed and) date back

to the creation of the United Nations”.13 Kristalisasi self defense di dalam Hukum

Internasional sendiri pada dasarnya juga lahir dari praktik tindakan serupa yang

sudah dilangsungkan oleh negara-negara selama ratusan tahun. Salah satu contoh

11
Bryan Garner, Black’s Law Dictionary, seventh edition, West Group, Minnesotta,1999, P. 1364.
12
J.L Brierly, The Law of Nation: an introduction to the international law of peace, Terjemahan
oleh Moh. Radjab, Oxford University Press, London, 1996, hal. 262.
13
Christine Gray, International Law and the Use of Force (3rd ed.), Oxford University Press, New
York, 2008, P. 114.

5
kasus yang paling dikenal dan paling disoroti dari praktik self defense negara

adalah dalam insiden Kapal Caroline yang terjadi pada tahun 1837.14 Insiden

Kapal Caroline inilah yang kemudian menjadi landasan bagi negara-negara untuk

mulai mengerahkan penggunaan kekerasan terhadap sebuah serangan yang terjadi

pada dirinya sendiri, dan sejak saat itu telah diaplikasikan sebagai bentuk Hukum

Kebiasaan Internasional oleh banyak negara, baik sebagai suatu konsep yang

dikenali secama umum di dalam Hukum Internasional yang berkembang hingga

saat ini sebagai bagian ketentuan yang diatur di dalam perjanjian internasional

secara mengikat. Selain daripada itu temuan hukum di dalam Inisden Caroline ini

juga memperkenalkan adanya beberapa prinsip yang harus dipenuhi oleh negara

dalam penggunaan self defense olehnya, yakni bahwa tindakan yang

dilangsungkan tersebut haruslah dilakukan dalam kondisi yang dipandang sebagai

harus memenuhi syarat: “necessity, instant, overwhelming, leaving no choice of

means and no moments for deliberation.”15

Meskipun demikian, isu-isu mengenai batasan dalam pelaksanaan self

defense oleh negara sampai sekarang masih menjadi poin perdebatan paling

fundamental di dalam Hukum Internasional. Salah seorang Hakim Mahkamah

Internasional (International Court of Justice), Pieter Koojimans bahkan

mengatakan bahwa secara umum, ketentuan mengenai self defense masih belum

memiliki kejelasan yang pasti, atau dalam kata-katanya sendiri: “self defence is

still largely obscure from a legal point of view.”16 Hal ini disebabkan oleh

14
Loc.cit.
15
Jhawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar, Op.cit., halaman 256.
16
P Kooijmans, “The International Court of Justice in Twenty First Century: Judicial Restraint,
Judicial Activism, or Proactive Judicial Policy”, 53 International and Comparative Law Quarterly,

6
keterbatasan mengenai kesepemahaman ketentuan di dalam Hukum Internasional

mengenai pengaturan self defense oleh negara yang tidak dapat diseimbangi

dengan meningkatnya jumlah praktek penggunaan self defense oleh negara itu

sendiri.17Tidak dapat dipungkiri juga bahwa pembenaran penggunaan kekerasan

oleh negara melalui dalil penggunaan self defense tersebut juga mendapat

dukungan deras dari berbagai negara untuk dapat melakukan pembenaran

terhadap tindakan penggunaan kekerasan demi kedaulatannya dan juga demi

keselamatan warga negaranya. Namun kecenderungan pembelaan kepentingan ini

justru akan menimbulkan kesewenangan oleh negara untuk dapat terus menerus

melakukan tindakan yang dianggapnya sebagai self defense.18

Ketidakadanya kesepahaman dalam melakukan penggunaan self defense

pada akhirnya menimbulkan adanya dua paham dari dua golongan, yakni mereka

yang melihat self defense dari perspektif luas sebagai hak mutlak yang melekat

pada negara untuk membela dirinya atau “inherents rights of self defense”,

sehingga tidak perlu adanya batasan yang teralu rumit dalam hal penggunaan self

defense, serta kelompok yang memandang penggunaan self defense dalam

perspektif yang lebih sempit, dimana setiap aspek penggunaannya harus

disesuaikan dengan batasan-batasan yang berlaku, terutama yang berasal dari

ketentuan mula-mula pada insiden Caroline.19

2007, P. 741. https://www.jstor.org/stable/4498111?seq=1#metadata_info_tab_contents diakses


pada 7 November 2018, pukul 02.14 WIB.
17
J.L Brierly, Op.cit, halaman 263.
18
Loc.cit.
19
M.N Shaw, Op.cit, halaman 1141.

7
Hal ini terbukti dimana sesudah peristiwa penyerangan World Trade Center

di Amerika Serikat pada September 2001, muncul pemahaman-pemahaman baru

terkait praktek pelaksanaan self defense oleh negara-negara, salah satunya melalui

doktrin pre-emptive strike atau yang lebih dikenal sebagai Doktrin Bush.

Penggunaan doktrin pre-emptive strike sebagai bentuk self defense ini terutama

dipandang bermasalah oleh karena tindakan penggunaan serangan sebagai bentuk

self defense justru diambil sebagai bentuk antisipasi terhadap serangan yang akan

datang, sehingga menurut para penganutnya maka negara dapat melakukan

tindakan self defense tanpa harus menunggu serangan terjadi terlebih dahulu

kepada wilayah negaranya.20

Insiden penggunaan self defense oleh negara paling baru terjadi pada Maret

hingga Agustus 2018, dimana Israel mengatakan bahwa penyerangan yang

dilakukan oleh pasukan keamanannya pada demonstran di jalur Gaza merupakan

bentuk pengamalan akan hak self defense yang dimiliki olehnya.

Pada tangal 30 Maret 2018, ribuan warga Palestina turun ke jalan dan

berbaris di sepanjang perbatasan Gaza untuk melakukan aksi demonstrasi

terhadap pemerintah Israel dalam aksi yang disebut sebagai 'Pawai Besar

Kepulangan'. Aksi tersebut dimulai pada Jumat 30 Maret untuk mengenang

peristiwa Nakba atau pengusiran orang-orang Palestina pada tahun 1948

menyusul didirikannya Negara Israel. Kegiatan pawai sekaligus aksi demonstrasi

yang juga digalang oleh kelompok militan HAMAS tersebut, sebuah organisasi

militansi yang bergerak untuk mempejuangkan kemerdekaan Palestina, diwarnai

20
Jhawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar, Op.cit., halaman 256.

8
dengan aksi berbalas serangan yang dilakukan antara para demonstran bersama-

sama dengan anggota HAMAS dengan pasukan keamanan Israel, yakni Israeli

Defense Force (IDF) dan juga Israeli Border Patrol (IBP) yang menjaga daerah

sekitar perbatasan Gaza.21 Sebanyak 40.000 demonstran berkumpul di sekitar

pagar pembatas di tepi Gaza, sementara ratusan orang yang diduga sebagai bagian

dari kelompok militan HAMAS berdiri lebih dekat ke arah pagar dan melempari

para personel keamanan Israel menggunakan ban yang dibakar, batu hinga

molotov rakitan. Sementara para pasukan Israel melakukan pembalasan dengan

menggunakan peluru karet serta beberapa peluru aktif. Pemerintah Israel juga

menempatkan beberapa penembak jitu di pos-pos tertentu untuk mengantisipasi

serangan yang dianggap terlalu membahayakan oleh para demonstran. Sejumlah

drone udara juga diluncurkan untuk menembakkan gas air mata kepada

kerumunan demonstran.

Aksi berbalas serangan antara para demonstran dengan pasukan keamanan

Israel berlangsung hingga bulan Agustus 2018. Pada tanggal 13 Agustus 2018,

Kementrian Kesehatan Palestina di Gaza merilis informasi mengenai korban

dimana tercatat 168 warga sekitar perbatasan Gaza terbunuh dalam keseluruhan

rangkaian demosntrasi bertajuk ‘Pawai Besar Kepulangan’ sejak pertama kali

dimulai pada Maret 2018 dan 13 orang diantaranya merupakan anak di bawah usia

18 tahun,22 sementara lebih dari 18.000 orang lainnya luka-luka, dimana 2.096

21
Gaza clashes: 52 Palestinians killed on deadliest day since 2014, diliput pada 14 Mei 2018,
https://www.bbc.com/news/world-middle-east-44104599 diakses pada 7 November 2018 pukul
01.55 WIB.
22
Sharp decline in casualties during demonstrations, as Gaza mourns yesterday’s massive loss of
life and struggles to treat injuries, diliput pada 15 Mei 2018

9
diantaranya merupakan anak-anak dan 1.029 merupakan wanita.23 Sementara di

pihak Israel, tercatat seorang personel keamanan Israel tewas dan 8 orang

menderita luka-luka, 4 diantaranya merupakan warga sipil.24

Pada 15 Mei 2018, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, melalui

akun twiter-nya, mengungkapkan bahwa tindakan yang diambil oleh pasukan

Israel merupakan bentuk self defense terhadap ancaman yang terjadi di wilayah

perbatasannya, dan Israel memiliki hak untuk melindungi wilayah perbatasannya

dari ancaman yang dilangsungkan oleh demonstran Palestina. Perdana Menteri

Benjamin Netanyahu menambahkan bahwa HAMAS merupakan sebuah

organisasi teroris yang berupaya untuk menghancurkan Israel dan

mengupayakannya melalui menggerakkan ribuan massa untuk dapat

menghancurkan pagar perbatasan Israel oleh karena itu segala upaya yang diambil

oleh pasukan Israel dijalankan untuk meneggakkan kedaulatan bangsa dan negara

Israel.25 Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh perwakilan Israel untuk

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ambasador Danny Danon, yang menyatakan

https://www.ochaopt.org/content/sharp-decline-casualties-during-demonstrations-gaza-mourns-
yesterday-s-massive-loss-life-and diakses pada 7 November 2018 pukul 01.57 WIB.
23
Report: 167 Palestinians killed, over 18,000 injured since March 30th, diliput pada 11 Agustus
2018, http://www.maannews.com/Content.aspx?id=780675 diakses pada 7 November 2018 pukul
01.59 WIB.
24
Anna Anonhrem, IDF NAMES AVIV LEVI, 21, AS SOLDIER KILLED BY HAMAS SNIPER AT
GAZA BORDER, diliput pada 21 Juli 2018, https://www.jpost.com/Israel-News/IDF-Strikes-
terror-targets-in-Gaza-563027 diakses pada 7 November 2018 pukul 02.01 WIB.
25
Andrew Bucombe, Benjamin Netanyahu praises Israeli troops day after they 'kill 16 Palestinian
protesters' in border clashes , diliput pada 31 Maret 2018,
https://www.independent.co.uk/news/world/middle-east/benjamin-netanyahu-praises-israel-army-
palestinians-dead-gaza-clashes-a8283311.html diakses pada 7 November 2018 pukul 02.03 WIB.

10
bahwa tindakan yang dilakukan oleh Israel terhadap demonstran di Gaza

merupakan perwujudan dari penggunaan hak self defense yang dimilikinya.26

Merujuk kepada latar belakang permasalahan mengenai gambaran besar

penggunaan self defense di dalam Hukum Internasional yang masih menimbulkan

perdebatan serta melalui klaim penggunaan self defense yang dilakukan oleh

Israel tersebut, maka penulis merasa perlu diadakannya suatu penelitian berjudul:

“Pengaturan Penggunaan Self Defense Negara Menurut Ketentuan Hukum

Internasional (studi kasus Penggunaan Self Defense Israel untuk

Mempertahankan Kedaulatannya)”

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana kedudukan self defense negara menurut ketentuan Hukum

Internasional?

2. Bagaimana hubungan tindakan self defense yang dilakukan oleh Israel untuk

mempertahankan kedaulatan negaranya dengan pengaturan self defense

menurut Hukum Internasional?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

Dalam setiap penelitian tentu berangkat pada tujuan-tujuan tertentu

yang hendak dicapai setelah penelitian selesai dilakukan. Secara sederhana

tujuan yang hendak dituju dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

26
Raphael Aphren, UN General Assembly condemns Israel for ‘excessive’ force at Gaza border,
diliput pada 14 Juni 2018, https://www.timesofisrael.com/un-general-assembly-condemns-israel-
for-excessive-force-at-gaza-border/ diakses pada 7 November 2018 pukul 02.06 WIB.

11
a. Untuk menjelaskan kedudukan self defense negara menurut ketentuan

Hukum Internasional

b. Untuk menganalisis hubungan tindakan self defense yang dilakukan

oleh Israel untuk mempertahankan kedaulatan negaranya dengan

pengaturan self defense menurut Hukum Internasional

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi

perkembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang Hukum

Internasional mengenai gambaran besar penggunaan kekuatan

bersenjata oleh negara khususnya mengenai pengaturan penggunaan

self defense oleh negara.

b. Manfaat Praktis

i. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

ii. Memberikan pengetahuan yang bermanfaat kepada segenap

civitas akademika, khususnya bagi pihak-pihak yang mencari

pembahasan atas permasalahan yang bersangkutan.

iii. Memberikan gambaran mengenai pengaturan penggunaan

kekerasan serta penggunaan self defense kepada para

stakeholders maupun kepada pejabat pemangku kewenangan

yang berkepentingan

12
D. SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian hukum ini akan disusun berdasarkan sistematika penulisan

sebagai berikut

BAB I : Pendahuluan

Pada bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, perumusan masalah,

tujuan, manfaat, dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Bab ini berisi tentang tinjauan umum mengenai negara, tinjauan tentang

penggunaan kekerasan oleh negara dan tinjauan tentang penggunaan self defense

oleh negara.

BAB III : Metode Penelitian

Dalam bagian bab ini secara lebih tegas ditampilkan tentang metode

penelitian yang meliputi metode pendekatan, spesifikasi penelitian, teknik

pengambilan data, dan metode analisis data.

BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada kesempatan ini patut diungkapkan bahwa bab ini berisi pembahasan

dari dua masalah sentral yang diangkat dalam penelitian ini.

BAB V : Penutup

Pada bagian bab ini ditampilkan mengenai simpulan yang didapat dari hasil

penelitian dan pembahasan yang dilakukan peneliti. Selain itu juga dihadirkan

uraian saran atau rekomendasi sebagai masukan yang mungkin berguna bagi para

pihak.

13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN MENGENAI KEDAULATAN DAN YURISDIKSI NEGARA

1. Pengertian Kedaulatan Negara

Secara etimologis istilah kedaulatan , atau di dalam bahasa inggris

dikenal dengan istilah sovereignty, dapat ditarik asal-usul nya berdasarkan

istilah dalam Bahasa Prancis yaitu soverain/souverain serta juga dari Bahasa

Latin yakni superanus/super yang semuanya memiiliki arti sebagai “yang

teratas”.27 Berangkat dari pemikiran di atas, Jean Bodin menggambarkan

konsep kedaulatan sebagai suatu atribut, yang mutlak hanya dimiliki oleh

negara-negara, berupa suatu kekuasaan mutlak dan abadi yang tidak terbatas

dan tidak dapat terbagi-bagi.28 Johannes Althusius berpendapat bahwa

kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menyelenggarakan segala

sesuatu yang menuju kepada kepentingan jasmani dan rohani dari anggota-

anggota negara dan kekuasaan ini ada pada rakyat sebagai suatu kesatuan.29

Sementara itu J.L Brierly berpandangan bahwa yang dimaksud

sebagai kedaulatan negara merupakan suatu kewenangan mutlak yang

dimiliki oleh subjeknya yang tidak dapat dilampaui oleh kaidah hukum atau

peraturan manapun, dan mengikat suatu individu, kelompok atau institusi

27
Soekotjo Hardiwinoto, Op.cit., halaman 125.
28
Yudha Bakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing (Bandung:
Alumni, 1999), halaman 41.
29
Soehino, Ilmu Negara, cetakan ke-III (Yogyarakata: Liberty, 2000), halaman 88.

14
tertentu.30 Oleh karena itu kedaulatan negara dapat disimpulkan sebagai

kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas

melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya selama kegiatan

tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional.31

Lebih lanjut mengenai gambaran umum kedaulatan negara pada

dasarnya kedaulatan negara menganduk dua aspek. Pertama, kedaulatan

dalam aspek internal berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala

sesuatu yang ada atau terjadi di dalam batas wilayahnya. Kedua, kedaulatan

dalam aspek eksternal berupa kekuasaan tertinggi negara untuk mengadakan

hubungan dengan anggota masyarakat internasional maupun mengatur

segala sesuatu yang terjadi di luar wilayah negaranya, sejauh masih

mencakup atau masih ada kaitan kepentingannya dengan negara tersebut. 32

2. Teori-teori mengenai Kedaulatan Negara

Untuk mengetahui siapa yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam

negara terdapat beberapa teori, yakni:33

a. Teori Kedaulatan Tuhan

Prinsip dasar dari teori kedaulatan Tuhan adalah bahwa

kekuasaan dalam negara berasal dari Tuhan, oleh karena itu seorang

penguasa negara hanyalah sebagai wakil Tuhan saja dan bukan

30
J.L Brierly, The Law of Nation: an introduction to the international law of peace, Terjemahan
oleh Moh. Radjab, Oxford University Press, London, 1996, halaman 15.
31
Boer Mauna, Hukum Internasional ( Bandung: Alumni, 2000), halaman 24.
32
Loc.cit.,
33
I Gde Pantja Astawa dan Supri Na’a, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, (cetakan
kedua) (Bandung: Refika Aditama, 2012), halaman 107-116.

15
menjalankan kekuasaan sendiri atau kekuasaan milik negara. Hal ini

didasarkan oleh kepercayaan orang beragama bahwa Tuhan-lah yang

menjadi Maha Pencipta langit and bumi, sehingga Tuhan-lah yang

mempunyai kekuasaan tertiggi di seluruh alam semesta ini.34 Menurut

sejarah perkembangan ilmu pengetahuan mengenai negara, teori

kedaulatan Tuhan merupakan ajaran mengenai kedaulatan yang

dipandang paling tua dan telah berkembang pesat sejak abad

pertengahan, dimana pada saat itu organisasi kekuasaan dunia dibagi

menjadi dua, yakni kerajaan yang dipimpin oleh raja dan gereja yang

dipimpin oleh paus.35 Penganut-penganut teori kedaulatan Tuhan,

pada umumnya merupakan pemikir-pemikir yang berasal dari negara

dan hukum yang menganut teori teokrasi, antara lain Augustinus,

Thomas Aquinas dan Marsilius.36

b. Teori Kedaulatan Raja

Berdasarkan teori kedaulatan raja, kekuasaan tertinggi di dalam

suatu negara dianggap bersumber dan dimiliki oleh raja oleh karena

raja adalah wakil Tuhan untuk melaksanakan kedaulatan di dunia. Hal

ini didukung oleh suatu kekuatan kepercayaan kharismatik,

kewibawaan, kesucian keturunan, maupun sebagai representasi dari

kekuasaan Tuhan yang diberikan secara turun temurun terhadap

34
Muchtar Affandi, Ilmu-Ilmu Negara: Suatu Studi Perbandingan, (Bandung: Lembaga Penerbitan
Fakultas Sosial Politik Universitas Padjadjaran, 1982), halaman 215
35
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), halaman 71.
36
I Gde Pantja Astawa dan Supri Na’a, Op.cit., halaman 109-110.

16
keluarga kerajaan.37 Hal ini menjadi kepercayaan warga negara yang

sebagian tumbuh secara sukarela dan lainnya karena adanya

pemaksaan untuk percaya bahwa keluarga raja inilah yang diplih

untuk memimpin suatu negara.38

c. Teori Kedaulatan Negara

Dalam teori kedaulatan negara, suatu negara itu sendiri lah yang

dianggap memiliki pelbagai hak dan kewajiban serta dapat melakukan

perbuatan atu tindakan hukum, tak ubahnya seperti juga seorang

individu yang menjadi pedukung hak dan kewajiban yang sekaligus

dapat melakukan perbuatan atau tindakan hukum. Negara sebagai

badan hukum inilah yang memiliki kekuasaan tertinggi di dalam

kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat. Hal ini juga

diperkuat oleh pandangan dari George Jelinek yang mengatakan

bahwa menurutnya hukum bukanlah produk ciptaan Tuhan maupun

juga raja melainkan oleh negara itu sendiri, oleh karena itu negara

merupakan sumber hukum yang terutama dan oleh karena itu

kekuasaan tertinggi harus dimiliki oleh negara.39 Pandangan-

pandangan mengenai kedaulatan tertinggi ini juga didukung oleh

pemikir-pemikir lainnya seperti Austin, Jean Bodin, Paul Laband dan

juga Hans Kelsen.40

37
Hendra Nurtjhajo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), halaman 12.
38
I Gde Pantja Astawa dan Supri Na’a, Op.cit., halaman 111-112.
39
Abu Daud Busroh, Op.cit., halaman 71.
40
I Gde Pantja Astawa dan Supri Na’a, Op.cit., halaman 112-113.

17
d. Teori Kedaulatan Rakyat

Teori kedaulatan rakyat lahir dari pemikiran Jean Jacques

Roussceau bahwa pada dasarnya yang kedudukan tertinggi terhadap

suatu negara pada dasarnya terletak pada dasar kesatuan kesepakatan

kelompok manusia atau warga negara itu sendiri yang telah bersepakat

untuk mendirikan negara dan untuk itu mereka mengadakan perjanjian

masyarakat.41 Ajaran ini berpangkal dari pemikiran dasar bahwa tanpa

tata tertib dan kekuasaan, yang merupakan produk kesepakatan antara

manusia yang membentukan persatuan kelompok masyarakat di

bawah negara itu sendiri, maka kehidupan manusia tidak akan berjalan

aman dan tentram dan akan menimbulkan ancaman bagi kehidupan

antara satu sama lain.42

e. Teori Kedaulatan Hukum

Teori kedaulatan hukum berlandaskan pada pemikiran bahwa

hukum merupakan satu-satunya sumber kedaulatan negara, oleh

karena setiap manusia, badan hukum hingga negara itu sendiri

bersama dengan para penyelenggara negara harus tunduk pada hukum.

Untuk menjelmakan kedaulatan hukum atas suatu negara , maka

negara harus menyiapkan suatu konstitusi sebagai koridor atau

landasan dari penyelenggaraan negara.43

41
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Sinar
Bakti, 1983), halaman 124.
42
I Gde Pantja Astawa dan Supri Na’a, Op.cit., halaman 113-114.
43
Ibid., halaman 114.

18
Terkait inkorporasi hukum sebagai kedaulatan tertinggi Krabbe

menyatakan bahwa hukum sama sekali tidak bergantung kepada

kehendak manusia, bahkan ia terlepas daripada keinginan setiap orang

sebab hukum itu sendiri telah terdapat di dalam kesadaran setiap

orang. Kesadaran hukum ini tidak bisa dipaksakan dari luar melainkan

harus tumbuh dari kesadarannya sendiri.44 Oleh karena itu negara

dibebankan tugas untuk melakukan usaha untuk menjelmakan hukum

yang ada pada diri manusia ke dalam bentuk hukum positif atau

dimasukkan ke dalam pertauran-peraturan hukum negara untuk

diberlakukan kepada manusia sebagai warga dari negara yang

bersangkutan. Oleh karena itu hukum bukanlah produk yang disusun

oleh penguasa negara, namun sebagai dasar dari pemikiran manusia

itu sendiri yang negara memiliki kewajiban untuk mengubah

bentuknya untuk memberikan batasan dan aturan bagi kehidupan

warga negaranya.45

3. Pengertian Yurisdiksi Negara

Imre Anthony Csabafi mengartikan yurisdiksi negara dalam Hukum

Publik Internasional sebagai hak dari suatu negara untuk mengatur dan

mempengaruhi dengan langkah-langkah atau tindakan yang bersifat

legislatif, eksekutif, yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta

kekaryaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-

44
Muchtar Affendi, Op.cit., halaman 220.
45
I Gde Pantja Astawa dan Supri Na’a, Op.cit., halaman 115.

19
mata merupakan masalah dalam negerinya.46 Kekuasaan kedaulatan melalui

yurisdiksi yang dimiliki oleh setiap negara tersebut mengatur secara jelas

kepentingan yang dimilikinya serta masalah-masalah yang dihadapinya

dalam kaitannya terkait pelaksanaan fungsi kenegaraannya, yang

didalamnya mencerminkan kekuasaan terhadap orang perorangan,

kebendaan, dan hal-hal mendasar yang menjadi cakupan kedaulatan negara,

keseteraan negara dan hak untuk tidak diintervensi dalam menjalankan

urusan domestiknya.47 Meskipun demikian hak setiap negara berdaulat di

dalam yurisdiksinya tersebut untuk melakukan kekuasaan kedaulatannya

dan di dalam hubungan internasionalnya tetap dibatasi oleh ketentuan-

ketentuan Hukum Internasional.48

4. Bentuk-bentuk Yurisdiksi Negara

Hukum Internasional mengizinkan suatu negara untuk menjalankan

yurisdiksi melalui beberapa cara, baik melalui penegakkan undang-undang,

kegiatan pengadilan atau penegakkan huum di atas dasar. Tidak ada

kewajiban untuk harus menegakkan semua atau salah satunya secara khusus

oleh karena arti penting dari prinsip-prinsip dasar yurisdiksi ini adalah ia

diterima oleh semua negara dan masyarakat internasional secara konsisten

dengan ketentuan Hukum Internasional.

46
I wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Penerbit Bandar Madju, 1990),
halaman 296.
47
M.N Shaw, Op.cit., halaman 641.
48
Soekotjo Hardiwinoto, Op.cit., halaman 161.

20
Dalam hal yurisdiksi berlaku untuk memastikkan penegakkan

kedaulatan suatu negara yang memiliki kepentingan hukum di dalamnya

dapat terlaksana secara adil dan benar, maka perlu jugalah untuk

mengetahui sampai sejauh mana ruang lingkup kepentingan negara tersebut

tercatut di dalam suatu permasalahan tertentu. Atas dasar itu, terdapat

beberapa bentuk yang berkenaan dengan pelaksanaan yurisdiksi oleh suatu

negara, yang antara lain dijabarkan sebagai berikut:

a. Yurisdiksi Teritorial

Berdasarkan asas yurisdiksi teritorial, semua negara memiliki

wewenang untuk menjalankan yurisdiksi-nya atas orang, benda,

perbuatan dan hal-hal yang terjadi di dalam wilayahnya.49

Konsekuensinya adalah segala kejahatan yang terbukti di lakukan di

dalam batas wilayah suatu negara serta melanggar ketentuan peraturan

perundangan-undangan tersebut maka pengadilan negara tersebut

memiliki kompetensi untuk mengadili dan menghukum pelaku

kejahatan tersebut, bahkan jika kejahatan tersebut dilakukan oleh

Warga Negara Asing sekalipun,50 baik secara perdata maupun juga

secara pidana.51

Dalam pengembangannya yurisdiksi teritorial meliputi tidak

hanya kejahatan yang sepenuhnya dilakukan di wilayah suatu negara

49
J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional (edisi ke-sembilan), (Jakarta: Aksara Persada
Indonesia, 1998), halaman 184.
50
M.N Shaw, Op.cit., halaman 646.
51
J. G Starke, Op.cit., halaman 184.

21
tetapi juga kejahatan dimana sebagian dari tindakan tersebut telah

dilakukan di suatu negara. Hal ini terutama berlaku apabila kejahatan

yang dilakukan bersifat lintas-negara, yakni dilakukan di dalam batas

negara suatu negara dan memiliki dampak terhadap batas wilayah

negara lainnya. Di dalam hal itu terdapat dua perluasan teknis

terhadap yurisdiksi teritorial negara, yakni “yurisdiksi teritorial

subjektif" dimana negara-negara dapat menjalankan yurisdiksi agar

dapat menununtut dan menghukum kejahatan-kejahatan yang dimulai

dalam wilayah mereka tapi diselesaikan di wilayah negara lain, serta

“yurisdiksi teritorial objektif” dimana negara dapat melaksanakan

yurisdiksi teritorial terhadap pelanggaran yang dimulai di negara lain

tetapi diselesaikan di dalam wilayah mereka atau menimbulkan

akibat-akibat yang merugikan ketertiban sosial dan ekonomi di dalam

wilayah mereka.52

Terhadap yurisdiksi teritorial sendiri imunitas-imunitas tertentu

dapat diberikan kepada negara asing serta kepala negara asing, wakil-

wakil diplomatik, kapal-kapal umum negara asing, angkatan perang

negara asing serta lembaga-lembaga internasional.53

b. Yurisdiksi atas individu

Yurisdiksi atas individu, berbeda dengan yurisdiksi atas

wilayah, tergantung pada kualitas orang yang terlibat dalam peristiwa

52
J.G Starke, Op.cit., halaman 186-187.
53
Ibid., halaman 191.

22
hukumnya. Menurut praktek Hukum Internasional, yurisdiksi atas

individu dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip berikut, yakni:54

(i) Prinsip Nasionalitas atau Personalitas Aktif

Prinsip nasionalitas atau kewarganegaraan dalam

penegakkan yurisdiksi negara di dalam Hukum Internasional

merupakan hak negara untuk menuntut/mengklaim yurisdiksi

yang didasarkan pada faktor orang-orang yang menjadi bagian

dari negaranya atau kebangsaan negaranya. 55 melalui

konsekuensi hubungan kewargangeraan seseorang tertentu

dengan yurisdiksi yang dimiliki oleh negara, maka negara

memiliki hak untuk memberlakukan tanggung jawab khusus

kepada warga negaranya seperti mengenakan wajib militer dan

juga menuntut mereka atas kejahatan yang dilakukannya,

meskipun apabila kejahatan tersebut dilakukan di luar wilayah

negaranya.56 Namun dalam hal pemberlakuan hukum negaranya

terhadap kejahatan yang dilakukan oleh warga negara di luar

batas wilayah negaranya, negara harus menerapkan “asas

selektifitas” atau penentuan tentang dapat berlaku atau tidaknya

hukum nasional dalam hal kejahatan atau peristiwa hukum yang

bersifat bukan sebagai urusan domestik tersebut.57

54
Ibid., halaman 211.
55
Loc.cit.; Soekotjo Hardiwinoto, Op.cit., halaman 172.
56
M.N Shaw, Op.cit., halaman 646.
57
I wayan Parthiana, Op.cit., halaman 304-305.

23
(ii) Prinsip Personalitas Pasif

Berdasarkan prinsip Personalitas Pasif negara dapat

mengklaim yurisidiksi untuk menghukum individu atas

kesalahan yang dilakukan di luar negeri yang berdampak atau

mempengaruhi warga dari negara tersebut.58 Dalam kaitannya

dengan yurisdiksi personalitas pasif, maka seorang warga negara

asing dapat dihukum melalui hukum dari negara tersebut atas

dasar tindakannya yang merugikan atau mencederai kepentingan

warga negaranya dalam rangka perlindungan negara tersebut

terhadap setiap hak yang dimiliki oleh warga negaranya. 59 Salah

satu contoh penerapan yurisdiksi personalitas pasif terjadi pada

kasus Cutting yang terjadi pada tahun 1886, dimana Cutting

yang merupakan seorang warga negara Amerika Serikat

memberikan sebuah pernyataan yang memfitnah warga negara

Meksiko melalui publikasi yang dilakukan di Texas, Amerika

Serikat. Ketika berada di Meksiko, Cutting ditangkap dan diadili

berdasarkan hukum Meksiko atas dasar Pemerintah Meksiko

mempertahankan hak personalitas pasif terhadap warga

negaranya.60

58
J.G Starke, Op.cit., halaman 211.
59
I wayan Parthiana, Op.cit., halaman 306.
60
M.N Shaw, Op.cit., halaman 651.

24
c. Yurisdiksi menurut Prinsip Perlindungan

Yurisdiksi menurut prinsip perlindungan memberikan

kemungkinan bagi suatu negara untuk mengajukan penuntutan atau

klaim atas seseorang yang telah melakukan kejahatan yang sangat

merugikan terhadap kepentingan nasional negara tersebut.61 Tindakan-

tindakan yang masuk sebagai objek yurisdiksi menurut prinsip

perlindungan ini merupakan tindakan-tindakan yang mengancam

keutuhan negara (territorial integrity) serta mengancam kebebesan

politik negara tersebut (political independence).62 Salah satu contoh

kasus paling terkenal mengenai peneraoan prinsip perlindungan

adalah kasus Joyce v. Director of Public Prosecutions yang terjadi

setelah Perang Dunia Kedua berakhir dimana Pemerintah Inggris

menuntut seseorang yang bernama Joyce, yang memiliki

kewarganegaraan Inggris dan Jerman, atas dasar tindakannya yang

dilakukan di Jerman pada tahun 1939 dengan bekerja di radio Jerman

dan melakukan propaganda pro-Nazi. Atas dasar ini, Pengadilan

Inggris mengatakan mereka memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip

perlindungan untuk menghukum Joyce atas dasar pengkhiatan.63

61
J.G Starke, Op.cit., halaman 212; Soekotjo Hardiwinoto, Op.cit., halaman 173.
62
Cedric Ryngaert, Jurisdiction in International Law (2nd ed.), Oxford University Press, Oxford,
2015, P.114.
63
M.N Shaw, Op.cit., halaman 650.

25
d. Yurisdiksi menurut prinsip universal

Berbeda dengan yurisdiksi lainnya dimana negara harus

memiliki keterikatan atau kepentingan terhadap obyek yang dilindungi

melalui penegakkan kewenangannya, yurisdiksi negara menurut

prinsip universal memberikan kewenangan terhadap negara untuk

menegakkan hukumnya terhadap suatu jenis kejahatan tertentu tanpa

harus memperhatikan kebangsaan korban dan pelakunya, lokasi

dimana perbuatan tersebut dilakukan atau kepentingan negara mana

yang dirugikan.64 Secara umum kejahatan-kejahatan yang

dikategorikan sebagai objek dari penegakkan prinsip universal

merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai delik jure gentium

menurut ketetapan Hukum Internasional oleh karena itu semua negara

memiliki landasan hukum untuk menghukum setiap tindakan

tersebut,65 seperti misalnya kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes

against humanity), kejahatan perang (war crimes), genosida, tindakan

penindasan (torture) serta perompakan (piracy).66

64
I wayan Parthiana, Op.cit., halaman 324.
65
J.G Starke, Op.cit, halaman 212.
66
D Orentlicher, “Whose Justice? Reconciling Universal Jurisdiction with Democratic
Principles,” 92 Georgetown LJ 1057, 2004, halaman 1073.
http://www.open.edu/openlearn/people-politics-law/exploring-the-boundaries-international-
law/content-section-0 diakses pada 4 April 2019, pkl 02.54 WIB.

26
B. TINJAUAN MENGENAI PENGGUNAAN KEKERASAN OLEH NEGARA

1. Pengertian Penggunaan Kekerasan oleh Negara

Aturan mengenai penggunaan kekerasan oleh negara merupakan

bagian dari konsep-konsep terutama di dalam Hukum Internasional bersama

dengan konsep-konsep penting lainnya seperti kedaulatan teritorial,

kemerdekaan dan persamaan negara.67 Secara etimologis pegertian

penggunaan kekerasan oleh negara dapat ditelusuri asal usulnya melalui

suatu frasa kuno dalam Bahasa Latin yaitu Jus ad bellum yang secara

harafiah di dalam Bahasa Inggris dapat dimaknai sebagai “the right to resort

to force”, atau hak untuk menggerahkan kekerasan atau juga “the right to

wage war” atau hak untuk mengadakan peperangan.68 Konsep penggunaan

kekerasan ini, yang di dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai the use of

forces, secara prinsipil dilandaskan pada sebuah frasa yang tercantum di

dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB 1945, yang berbunyi: “All

Members shall refrain in their international relations from the threat or use

of force against the territorial integrity or political independence of any

state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United

Nations.”

Satu hal yang terus menerus menjadi pertimbangan terhadap

interpretasi Pasal 2 ayat (4) ini adalah sampai sejauh mana sebuah tindakan

dapat dikatakan sebagai sebuah penggunaan kekerasan oleh sebuah negara?

67
M.N Shaw, Op.cit., halaman 1133
68
Robert Kolb dan Richard Hyde, An Introduction to the Law of the International Armed
Conflicts, Hart Publishing, Oxford, 2008, P.9.

27
Terkait hal ini Malcolm Shaw mengatakan bahwa, penggunaan kekerasan

tidak harus hanya terbatas penggerahan kekuatan melalui ‘angkatan

bersenjata’ tetapi juga dapat melalui kekuatan ekonomi.69 Hal ini sebagian

basar dapat dimaknai melalui Resolusi Majelis Umum PBB No.

A/Res/25/2625 tentang Deklarasi Asas-Asas Hukum Internasional 1970,

atau Declaration on Principles of International Law concerning Friendly

Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of

the United Nations, yang mengatakan bahwa:

By virtue of the principle of equal rights and self-determination of


peoples enshrined in the Charter of the United Nations, all peoples
have the right freely to determine, without external interference, their
political status and to pursue their economic, social and cultural
development, and every State has the duty to respect this right in
accordance with the provisions of the Charter.

Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

penggunaan kekererasan tidak hanya terbatas pengerahan kekuatan militer

secara fisik oleh negara negara, tetapi juga dapat melalui tindakan-tindakan

yang mempengaruhi kemampuan ekonomi suatu negara, seperti embargo

maupun pemboikotan.70

Ketentuan Pasal 2 ayat (4) juga menyatakan bahwa selain penggunan

kekerasan, bentuk ancaman penggunaan kekerasan juga merupakan sesuatu

yang dibatasi di dalam ketentuan Hukum Internasional. Mahkamah

Internasional dalam Advisory Opinion-nya perihal Legality of the Threat or

Use of Nuclear Weapons pada tahun 1996 mengatakan bahwa yang dapat

69
M.N Shaw, Op.cit., halaman 1135-1136.
70
Loc.cit.

28
dikatakan sebagai ancaman penggunaan kekerasan merupakan pelanggaran

Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB 1945 apabila negara dengan jelas menyiratkan

niat untuk menggunaan kekerasan bila terjadi peristiwa tertentu atau dalam

perkataannya langsung:71

In order to lessen or eliminate the risk of unlawful attack, States


sometimes signal that they possess certain weapons to use in self
defence against any State violating their territorial integrity or
political independence. Whether a signalled intention to use force if
certain events occur is or is not a "threat" within Article 2, paragraph
4, of the Charter depends upon various factors.

Berdasarkan pengertian dalam Pasal 2 ayat (4) maka Malcolm Shaw

menginterpretasikan penggunaan kekerasan dalam bentuk apapun dan juga

ancaman penggunaan kekerasan dalam bentuk apapun yang ditujukan

terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara mana pun.72

2. Ketentuan Terkait dan Bentuk Penggunaan Kekerasan oleh Negara

Sebelum diadakannya pengaturan mengenai penggunaan kekerasan di

dalam Piagam PBB 1945, pembatasan mengenai penggunaan kekerasan

secara umum didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dari

Kovenan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) 1919 yang mewajibkan pada Negara

Anggota LBB pada saat itu untuk mengajukan sengketa yang kemungkinan

besar menimbulkan perpecahan kepada Dewan Liga untuk diselesaikan

melalui jalur arbitrase atau penyelesaian pengadilan atau penyeledikan.

Melalui ketentuan Kovenan, para Negara Anggota LBB saat itu menaati

71
Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapons, Advisory Opinion, 1. C.J. Reports 1996, p.
226, www.icj-cij.org/files/case-related/95/095-19960708-ADV-01-00-EN.pdf, diakses pada 16
Maret 2019 pkl 15.43 WIB.
72
M.N Shaw, Op.cit., halaman 1137-1139.

29
ketentuan yang ditetapkan melalui Kovenan LBB 1919.73 Namun karena

kesepakatan yang tidak berjalan sesuai rencana dan oleh pecahnya Perang

Dunia Kedua maka dibutuhkan adanya inisiasi melalui Organisasi

Internasional yang baru yang dapat menggantikan peran dan fungsi yang

sebelumnya disediakan oleh LBB tersebut dan juga melalui suatu peraturan

internasional yang memberikan batasan-batasan secara jelas mengenai

penggunaan kekerasan oleh negara seperti yang sebelumnya pernah diampu

didalam Kovenan LBB 1919. Dengan demikian Perserikatan Bangsa-

Bangsa pun didirikan dan Piagam PBB 1945 pun menjadi asas adat

internasional yang baru mengenai penggunaan kekerasan oleh negara di

dalam Hukum Internasional.74

Di dalam Piagam PBB, terdapat pasal-pasal yang secara spesifik

mengatur mengenai penggunaan kekerasan oleh negara, diantaranya:

a. Pasal 2 ayat (4)

Secara umum, Piagam PBB 1945 memberikan larangan

terhadap negara untuk melakukan penggunaan kekerasan atau

ancaman penggunaan kekerasan terhadap negara lainnya, seperti yang

tertuang di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) nya yang berbunyi: “All

Members shall refrain in their international relations from the threat

or use of force against the territorial integrity or political

independence of any state, or in any other manner inconsistent with

the Purposes of the United Nations.”

73
Ibid., halaman 1133.
74
Ibid., halaman 1134.

30
Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB 1945 kemudian

dipertegas lagi melalui Deklarasi Asas-Asas Hukum Internasional

1970. Di dalam deklarasi tersebut dijelaskan lebih lanjut mengenai

perbuatan-perbuatan yang berkenaan dengan pelanggaran dari Pasal 2

ayat (4) Piagam PBB, seperti misalnya tindakan agresi (aggression),

kejahatan terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap batas-batas

wilayah negara (the threat or use of force to violate international lines

of demarcation), perampasan hak warga negara (any forcible action

which deprives peoples referred to in the elaboration of the principle

of equal rights and self-determination), propaganda, reprisal (acts of

reprisal), penggunaan tentara bayaran (organizing or encouraging the

organization of irregular forces or armed bands including

mercenaries), hingga penggunaan bantuan pihak non-negara seperti

teroris dalam melakukan penggunaan kekerasan.75

Secara umum, terdapat beberapa jenis bentuk penggunaan

kekerasan yang diatur ketat melalui Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB

1945, yakni melalui tindakan retorsi, reprisal dan juga intervensi.76

Retorsi adalah pemberlakuan suatu tindakan tidak pantas dan

tidak menyenangkan oleh suatu negara terhadap negara lainnya

sebagai bentuk pembalasan atas tindakan serupa yang dilakukan

75
United Nations, General Assembly, 2625 (XXV). Declaration on Principles of International Law
concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of
the United Nations, A/RES/25/2625, (24 Oktober 1970)
http://www.undocuments.net/a25r2625.htm, diakses pada 18 Maret 2019 pkl 22.01 WIB.
76
M.N Shaw, Op.cit., halaman 1140-1141, 1152.

31
negara lainnya itu.77 Secara umum tindakan retorsi dibenarkan di

dalam apabila tidak melanggar kaidah-kaidah di dalam Hukum

Internasional. Tindakan yang juga sering kali dikenal sebagai balas

dendam secara halus tersebut dapat ditempuh melalui beberapa cara

antara lain melalui pemutusan hubungan diplomatik, pengusiran

warga negara asing dari negara yang bersangkutan atau foreign

expulsion.78

Reprisal atau yang biasa disebut sebagai counter measure,

merupakan pemberlakuan suatu tindakan yang melanggar ketentuan

Hukum Internasional terhadap negara lainnya sebagai bentuk

pembalasan atas tindakan serupa yang dilakukan oleh negara lainnya

tersebut.79 Menurut sengekta Naulilaa, antara Jerman dan Portugal

yang terjadi pada tahun 1928, untuk sebuah tindakan reprisal dapat

dikatakan tidak bertentangan dengan Hukum Internasional maka

negara yang hendak mengajukan tindakan reprisal harus dapat

membuktikan bahwa perbuatan negara sebelumnya benar-

bertentangan dengan Hukum Internasional, dan setelah hal tersebut

dilaksanakan, tindakan reprisal harus didahului mengenai

argumentrasi terkait proporsionalitas antara reprisal dan tindakan

sebelumnya.80

77
Ibid., halaman 140.
78
R.B.Lillich, “Requiem for Hickenlooper”, 69 American Journal of Int’l Law, 1975, hal. 97.
https://doi.org/10.2307/2200194 diakses pada 4 April 2019, pkl 02.58 WIB.
79
Ibid., halaman 249.
80
M.N Shaw, Op.cit., halaman 1141.

32
Intervensi merupakan tindakan pengunaan kekerasan yang

dilakukan oleh suatu negara untuk mencampuri urusan dalam negeri

negara lainnya yang biasanya dilakukan terhadap hal-hal yang

berkaitan dengan kepentingan militer negara tersebut. 81 Di dalam

Hukum Internasional tindakan intervensi terhadap suatu negara

dianggap sebagai suatu tindakan pelangaran terhadap asas

penghormatan terhadap kedaulatan negara lain dan setiap negara, oleh

karena itu setiap negara dianggap memiliki tanggung jawab untuk

menjauhkan diri dari tindakan intervensi terhadap kepentingan negara

lainnya,82 kecuali dalam hal tindakan tersebut dipebolehkan ataupun

sesuai dari perjanjian dengan negara yang bersangkutan.83

b. Pasal 42 Piagam PBB 1945

Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 42 Piagam PBB 1945

pada dasarnya merupakan asalah satu bentuk upaya untuk menjaga

perdamaian dan keamanan dengan cara apapun yang dapat ditempuh,

sesuai dengan arahan dari Dewan Keamanan. Hal tersebut didasarkan

pada pertimbangan bahwa suatu tindakan tertentu dianggap telah

dipandang sebagai “the existence of any threat to the peace, breach of

the peace, or act of aggression”, menurut Pasal 39 Piagam PBB 1945.

dan oleh karenanya menurut pandangan Dewan Keamanan perlu

untuk mengambil tindakan yang tidak cukup untuk dapat diselesaikan

81
Soekotjo Hardiwinoto, Op.cit., halaman 251.
82
M.N Shaw, Op.cit., halaman 1152
83
Soekotjo Hardiwinoto, Op.cit., halaman 250.

33
melalui usaha-usaha perdamaian. Oleh karenanya Pasal 42 Piagam

PBB 1945 mengatakan bahwa:

Should the Security Council consider that measures provided for


in Article 41 would be inadequate or have proved to be
inadequate, it may take such action by air, sea, or land forces as
may be necessary to maintain or restore international peace and
security. Such action may include demonstrations, blockade,
and other operations by air, sea, or land forces of Members of
the United Nations

Menurut ketentuan Pasal 42 ini, Dewan Keamanan dapat

memberikan rekomendasi atau arahan kepada para Negara Anggota

PBB untuk dapat mengambil tindakan sejauh yang diperlukan,

termasuk melalui upaya penggunaan kekerasan oleh para negara-

negara Anggota PBB untuk demi terjaganya perdamaian internasional.

Lebih lanjut, menurut ketentuan Pasal 44 dalam upayanya untuk

memastikan terciptanya kedamaian internasional dapat juga “calling

upon a Member not represented on it to provide armed forces in

fulfilment of the obligations assumed under Article 43, invite that

Member, if the Member so desires, to participate in the decisions of

the Security Council concerning the employment of contingents of that

Member's armed forces” atau mengundang Negara-Negara baik

Anggota maupun tidak yang sebelumnya tidak diberikan mandat atau

instruksi untuk bisa ikut serta dalam melakukan pengerahan kekerasan

sesuai dengan instruksi dari Dewan Keamanan. Hal ini dapat dilihat

dari praktik penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara-negara yang

dilakukan beradasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB di negara-

34
negara berkonflik seperti di Rwanda pada tahun 1994, Haiti tahun

1994 dan 2004, Albania tahun 1997, Republik Afrika Tengah tahun

1997 serta Timor Timur pada 1999.84

c. Pasal 51 Piagam PBB 1945

Pasal 51 Piagam PBB memperbolehkan penggunaan kekerasan

oleh suatu negara, yang dapat dilakukan secara sendiri maupun

bersama-sama (kolektif) sebagai bentuk pembelaan diri (self defense)

terhadap sebuah serangan bersenjata yang terjadi di wilayah negara

Anggota tersebut. Dalam hal penegakkan haknya untuk membela

dirinya sendiri ini, setiap penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh

negara anggota harus dilaporkan kepada Dewan Keamanan PBB.85

C. TINJAUAN MENGENAI SELF DEFENSE

1. Pengertian Self Defense

Gagasan mengenai self defense, menurut Yordam Dinstein, pada

dasarnya lahir dari adanya sebuah hak negara untuk mengadakan tindakan

swadaya, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan negara lain,

untuk memberikan balasan terhadap sebuah serangan yang terjadi tanpa

melanggar kaidah-kaidah ketentuan Hukum Internasional, atau sesuai

dengan perkataannya sendiri: ”The essence of self-defence is self-help:

under certain conditions set by international law, a State acting unilaterally

– perhaps in association with other countries – may respond with lawful

84
Christine Gray, Op.cit.,P. 30
85
Article 51 Charter of the United Nations 1945.

35
force to unlawful force (or, according to some, to the imminent threat of

unlawful force).”86 Hal ini juga dipertegas melalui keputusan Mahkamah

Internasional melalui Advisory Opinion-nya di tahun 1996, dalam Legality

of the Threat or Use of Nuclear Weapons yang mengatakan bahwa Pasal 51

Piagam PBB 1945 baru dapat dikatakan bermakna dengan alsan bahwa ada

hak untuk melakukan pembelaan diri yang alamiah (natural) dan melekat

melekat (inherent) dan hal itu sulit dipahami kecuali sebagai kebiasaan,

meskipun muatannya telah dibenarkan dan dipengaruhi oleh Piagam PBB

1945 sehingga oleh karena itu tidak dapat dipungkiri bahwa Pasal 51

Piagam PBB 1945adalah ketentuan yang “termasuk dan mengikuti”

perkembangan konsep ini yang sudah dikenal sejak dulu di dalam Hukum

Kebiasaan Internasional.87

Lebih lanjut, konsep self defense oleh negara sudah berakar sejauh

dimana negara sudah mengenal hubungan interpersonal dengan entitas

lainnya di dalam Hukum Internasional dan telah dikeramatkan dalam sistem

hukum domestik sejak dahulu kala. Sejak awal perkembangan Hukum

Internasional, para pakar hukum berupaya menerapkan konsep ini pada

hubungan antar-negara, khususnya ketika mencoba menghubungkannya

dengan doktrin perang yang adil (just war). Konsep mengenai justifikasi

terhadap perang yang adil ini berkembang pada abad ke-19 dan pada awal

abad ke-20 dimana mulai berkembang konsep negara untuk mengadakan

86
Yoram Dinstein, War, aggression, and self-defence (5th edition), Cambridge University Press,
New York, 2011, P.187.
87
M.N Shaw, Op.cit., halaman 1142.

36
peperangan terhadap siapa saja (the freedom to wage war, free for all,

against all, for any reason on earth) terutama dalam hal untuk melakukan

ekspansi wilayah negara.88 Oleh karena itu, sebelum dikenalnya peraturan-

peraturan internasional mengenai pembatasan penggunaan kekerasan oleh

negara, banyak pakar-pakar Hukum Internasional yang memandang

penggunaan konsep self defense pada masa-masa tersebut sebagai: “(self-

defence was) not a legal concept but merely a political excuse for the use of

force.”89

Konsep penggunaan self defense pada masa-masa tersebut pada

akhirnya mengalami penyempitan makna dan fungsi setelah PBB

memutuskan untuk memasukkan mengenai ketentuan terkait penggunaan

self defense di dalam Pasal 51 yang isinya mengatakan:

Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of


individual or collective self-defence if an armed attack occurs against
a Member of the United Nations, until the Security Council has taken
measures necessary to maintain international peace and security.
Measures taken by Members in the exercise of this right of self-
defence shall be immediately reported to the Security Council and
shall not in any way affect the authority and responsibility of the
Security Council under the present Charter to take at any time such
action as it deems necessary in order to maintain or restore
international peace and security.

2. Bentuk Penggunaan Self Defense

Menurut bentuk penggunaannya, self defense sendiri terbagi ke dalam

4 jenis, yaitu:90

88
Yoram Dinstein, Op.cit., P.188
89
Loc.cit.
90
Ibid., halaman 193-205.

37
a. Individual Self Defense merupakan sebuah penggunaan tindakan

penggunaan kekerasan sebagai bentuk balasan yang dilangsungkan

oleh suatu negara atas terjadinya suatu serangan maupun ancaman

serangan yang terjadi di dalam atau terhadap keutuhan negaranya

yang dilakukan sesuai dengan ketentuan dari Pasal 51 Piagam PBB

1945.

b. Collective Self Defense, merupakan penggunaan kekerasan yang

dilakukan oleh beberapa negara terhadap suatu objek permasalahan

secara bersama-sama. Collective self defense dapat dilakukan melalui

perjanjian yang diadakan oleh beberapa negara untuk membuat suatu

ikatan keamanan wilayah (regional security system) seperti misalnya

yang dilakukan oleh NATO atau Pakta Warsaw, atau juga melalui

permintaan bantuan dari suatu negara yang mengalami serangan

permulaan kepada negara lainnya.91 Dalam hal bantuan yang

dimintakan oleh negara pemohon terhadap negara termohon, maka

serangan yang dilakukan oleh negara termohon kepada negara ketiga

(yang menyerang pemohon) dapat dibenarkan menurut ketentuan

Hukum Internasional.92

c. Anticipatory Self Defense/Pre-emptive Self Defense yakni

penggunaan kekerasan sebagai bentuk antisipasi terhadap ancaman

dari serangan yang akan datang. Anticipatory self defense atau pre-

emptive self defense merupakan bentuk penggunaan self defense yang

91
M.N Shaw,Op.Cit., halaman 1151-1152.
92
Ibid., halaman 1152.

38
paling banyak menimbulkan perdebatan akibat legalitas

penggunaannya yang dianggap sewenang-wenang, belum jelasnya ada

atau tidak serangan yang sesungguhnya akan terjadi, namun serangan

balasan sudah dilakukan terlebih dahulu.

d. Interceptive Self Defense yang merupakan bentuk penggunaan

serangan balasan untuk mencegah atau menghentikan sebuah serangan

permulaan yang sudah dimulai namun belum selesai atau belum

memenuhi sasaran.

3. Prinsip-Prinsip Terkait Penggunaan Self Defense

Selain daripada syarat-syarat umum yang ditetapkan di dalam

ketentuan Pasal 51 Piagam PBB 1945 tersebut, masih ada lagi prinsip-

prinsip dasar terkait ketentuan penggunaan self-defense oleh negara yang

bersumber dari Hukum Kebiasaan Internasional. Prinsip-prinsip yang

berkaitan dengan penggunaan self-defense oleh negara ini antara lain

adalah:93

a. Prinsip necessity, merupakan sebuah prinsip yang mengarahkan

penggunaan kekerasan dalam hal self defense oleh suatu negara harus

diupayakan sebagai bentuk upaya terakhir (last resort) dan tidak ada

lagi cara yang dimungkinkan selain melakukan penggunaan kekerasan

untuk dapat melindungi dirinya.

93
Yoram Dinstein, Op.cit., halaman 205, 230-234.

39
b. Prinsip proportionality, pada umumnya merupakan sebuah prinsip

terkait penggunaan self defense yang mewajibkan negara untuk

menggunakan kekerasan secara sewajarnya.94 Namun terkait konteks

kepantasan serangan yang melingkupi prinsip proportionality di

dalam Hukum Internasional, muncul beberapa pandangan yang antara

lain penggunaan kekerasan yang dilakukan dalam hal self defense

haruslah sepadan (menimbulkan dampak yang sama) atau tidak lebih

besar dari serangan permulaannya, serta bahwa penggunaan kekerasan

yang dilakukan dilakukan dalam hal self defense harus dilakukan

secukupnya untuk mencapai tujuan akhir yaitu menghentikan atau

meredakan serangan permulaan itu sendiri.

c. Prinsip imminence memberikan artian bahwa penggunaan kekerasan

dalam hal self defense hanya dapat dilakukan apabila dampak atau

ancaman yang ditimbulkan oleh serangan bersenjata tersebut

merupakan bentuk ancaman ataupun bahaya yang pasti terjadi.

d. Prinsip immediacy atau kesegeraan. Merupakan sebuah prinsip yang

mewajibkan negara penggunaan kekerasan dalam hal self defense

harus dilakukan sesegera mungkin sebagai balasan terhadap serangan

permulaan yang muncul. Prinsip ini didasasrkan atas pengertian

bahwa tidak boleh ada jarak antara waktu dayangnya serangan

bersenjata dengan berlakunya penggunaan self defense.95

94
Jimly Asshidique, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007),
halaman 93.
95
Jimly Asshidique, Op.cit., halaman 94.

40
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan oleh karena penelitian memiliki tujuan untuk mengungkapkan

kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten.96 Sementara metodologi

penelitian itu sendiri pada dasarnya digunakan untuk mencapai tujuan penelitian,

yakni untuk menemukan informasi baru menggunakan data dan fakta yang ada

melalui berbagai metode dan pendekatan untuk dapat menghasilkan informasi dan

kesimpulan yang baru.97

Pada bagian metodologi penelitian ini, penulis akan mencoba untuk

menjabarkan kerangka penyusunan Penulisan Hukum ini melalui gambaran

metode pendekatan penelitian, spesifikasi penelitian, metode pengumpulan data

penelitian serta metode analisis data penelitian hukum.

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode yuridis normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang

dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, yang

berbentuk peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum serta pendapat

96
Soerjono Soekamto dan Sri Mahmuji Rahayu, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), halaman 1.
97
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya (Jakarta: Bumi Aksara,
2004), halaman 19.

41
para sarjana hukum.98 Metode pendeketan yuridis normatif ini lebih

mengedepankan pada pendekatan konsep hukum sebagai norma-norma

tertulis yang dibuat dan dikeluarkan melalui lembaga-lembaga atau pejabat

berwenang atau legis positivis.99 Dengan demikian di dalam penelitian ini

penulis akan lebih mengedepankan kepada penggunaan peraturan-peraturan

internasional, teori-teori serta pendapat para Hukum Internasional terkait

ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan penggunaan self defense

oleh negara di dalam Hukum Internasional.

B. Spesifikasi Penelitian

Data dalam penulisan hukum ini akan diolah secara menggunakan

spesifikasi penelitian desktiptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif

merupakan penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran dan

memaparkan objek penelitian berdasarkan kenyataan secara sistematis.100

Tujuan dari dilakukannya penelitian yang bersifat deskriptif analitis adalah

untuk menjabarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk

dikaitkan kepada permasalahan yang diteliti.101 Dengan demikian di dalam

penelitian hukum ini maka penulis akan mencoba mendeskripsikan dengan

menerangkan dan menguraikan peraturan perundang-undangan serta

ketentuan-ketentuan di dalam Hukum Internasional lainnya yang berkaitan

dengan penggunaan self defense dan akan mencoba untuk menganalisisnya

98
Soerjono Soekamto dan Sri Mahmuji Rahayu, Op.cit., halaman 13.
99
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1988), halaman. 11.
100
Ibid., halaman 97.
101
Loc.cit.

42
dengan contoh penerapan penggunaan self defense di dalam kasus

penggunaan self defense Israel.

C. Metode Pengumpulan Data

Di dalam metode pendekatan yuridis normatif maka jenis data yang

digunakkan adalah data yang bersifat sekunder yang dilakukan dengan cara

mengumpulkan dan meneliti peraturan perundangan-undangan yang berlaku,

jurnal, buku serta literatur yang terkait untuk dapat menemukan jawaban atas

permasalahan yang coba diteliti disini agar mendapatkan data yang akurat

teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis di dalam penelitian ini

berupa:

1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang

memiliki otoritas atau kekuatan hukum mengikat, yang terdiri dari

perundang-undangan, putusan-putusan hakim, traktat, konvensi dan

sebagainya.102 Di dalam melakukan penelitian hukum ini, bahan-

bahan hukum primer tersebut terdapat dari Piagam PBB 1945,

putusan-putusan Mahkamah Internasional atau International Court

of Justice, secara khusus di dalam kasus Case Concerning Oil

Platforms (Iran v. United States), Military and Paramilitary

Activities in and against Nicaragua (Nicaragua v. United States of

America), Case Concerning United States Diplomatic and

102
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.cit., halaman 53.

43
Consular Staff in Tehran (United States v. Iran), Case Concerning

Armed Activities on the Territory of the Congo (Congo v. Uganda),

juga melalui Resolusi Majelis Umum PBB, seperti secara khusus

melalui Resolusi nomor 2625 (XXV) tentang “Declaration on

Principles of International Law concerning Friendly Relations and

Co-operation among States in accordance with the Charter of the

United Nations”, Resolusi 3314 (XXIX) tentang “Definition of

Aggression”.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan pustaka yang

berisikan informasi tentang bahan primer,103 yang diperoleh dari

penelitian kepustakaan dan dokumentasi yang merupakan hasil

penelitian dan pengolahan penelitian sebelumnya.104 Dalam

penulisan hukum ini, bahan hukum sekunder yang digunakan

diantaranya diperoleh dari buku, artikel, jurnal, laporan, skripsi

serta bahan-bahan lain yang menjelaskan mengenai ketentuan

pengaturan penggunaan self defense di dalam Hukum Internasional.

3. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang

memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan juga

103
Loc.cit.
104
Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, (Bandung:
Mandari Maju, 2013), halaman 65.

44
sekunder.105 Bahan-bahan ini dapat berupa kamus huku, kamus

bahasa indonesia, kamus bahasa inggris dan ensiklopedia.

D. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan melakukan analisis data di dalam Penelitian

Hukum ini ialah melalui metode analisis data kualitatif, yang mencoba

untuk mencari pola hubungan antar konsep yang diteliti di dalam

berjalannya penelitian.106 Untuk dapat sampai pada kesimpulan berdasarkan

metode analisis data kualitatif maka perlu ditempuh upaya-upaya melalui

jalan bekerjanya data, mengorganisasikan data, memiliah-milahnya menjadi

satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan

pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan kemudian

memutuskan apa yang dapat dituliskan di dalam penelitian.107 Di dalam

melakukan dan menyimpulkan penelitian ini dengan metode analisis data

kualitatif, penulis akan mencoba untuk mengumpulkan, memilah,

mengorganisasikan dan menyusun berdasarkan pengelompokan data

mengenai pengaturan penggunaan self defense dan juga penggunaan self

defense Israel.

105
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.cit., halaman 53.
106
Muhammad Idrus, Metode Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial (Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif), (Yogyakarta: UII Press, 2007), halaman 31.
107
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005),
halaman 248.

45

Anda mungkin juga menyukai