PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
haknya secara bebas untuk dapat menentukan status politik, struktur sosial,
ekonomi dan budaya nya sendiri tanpa campur tangan dari negara lainnya, 1 serta
dapat dibedakan menjadi dua komponen utama, yakni kedaulatan internal untuk
dapat berkuasa secara penuh atas wilayah negaranya dan juga kedaulatan
eksternal untuk dapat terlibat di dalam hubungan internasional dan juga untuk
derajat (equal rights) dan juga terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri
1
Yustina Trihoni Nalesti, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Raja Grafika Persada, 2013), halaman 9.
2
Ibid., halaman 10-11.
3
James Crawford, Brownlie’s Principle of Public International Law (8th edition), Oxford
University Press, 2012, P. 449.
1
pertentangan antara kepentingan antara negara berdaulat yang satu dengan
lainnya. Realitas keadaan ini mendesak negara untuk dapat mengambil tindakan
yang dipandang paling baik bagi kepentingan bangsa dan negaranya masing-
masing yang pada akhirnya menimbulkan konflik bagi pihak lain yang
adalah negara lain. Di dalam Hukum Internasional sendiri, dikenal adanya dua
metode umum yang dapat diupayakan negara untuk dapat menyelesaikan apabila
seperti melalui perang (war) , blokade masa damai (peace time blockade), retorsi
Hal ini sebagian besar dilatar belakangi oleh konsekuensi bahwa penggunaan
kekerasan negara lahir dari atribut kedaulatan yang dimiliki oleh masing-masing
negara dimana negara diharapkan untuk dapat mengambil tindakan sejauh yang
4
Soekotjo Hardiwinoto, Buku Ajar Hukum Internasional (Semarang:Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 2014), halaman 236-253.
5
M.N. Shaw, International Law, Terjemahan oleh Derta Sri Widowatie, Imam Baehaqi, dan M.
Khozim, Cambridge University Press, Cambridge, 2009, halaman 1133.
2
untuk melindungi kepentingannya, kepentingan warga negaranya serta demi
dalam penyelesaian suatu konflik oleh suatu negara dipandang sebagai ranah utuh
hak dan kewenangan oleh masing-masing negara, dan hanya dibatasi oleh
(“Until this century, the decision by states to employ armed force in their
international law. Force used in a way that clearly violated another state's
established rights was treated as a subject of concern only between the state
employing force and the target state.”)8 Pembatasan terhadap konsep kedaulatan
penuh yang dimiliki oleh negara dalam hal melakukan penggunaan kekerasan ini
baru mengalami perubahan ketika memasuki periode abad ke-20 yang ditandai
Nations, Konferensi Pan-Amerika di tahun 1928 serta Pakta Paris 1928 atau yang
6
Loc.cit.
7
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: Refika
Aditama, 2006), halaman 250.
8
Edward Gordon, “Article 2(4) in Historical Context”, Yale Journal of Int’l Law, Vol 10:271,
1985, P.271. http://digitalcommons.law.yale.edu/yjil, diakses pada 13 Maret 2019, pkl. 17.02
3
lebih dikenal sebagai Kellogg-Briands Pact dan pada akhirnya melalui Piagam
tersebut, terdapat pengecualian yang diberikan oleh Piagam PBB 1945 terhadap
negara untuk dapat menggunakan kekerasan dalam hal untuk membela dirinya
atau yang dikenal sebagai hak bela diri negara atau “inherent rights of self
defense”, atau yang sering disebut sebagai tindakan self defense negara.
Penggunaan self defense negara sendiri pada dasarnya merupakan salah satu
bentuk pengecualian terhadap penggunaan kekerasan yang telah lama dikenal oleh
kalangan pakar Hukum Internasional. Hal ini didasari oleh pemikiran dasar, salah
satunya seperti yang diungkapkan oleh Gentili, sebagai hak negara untuk dapat
armed enemy makes a necessary defence, and his action is that of necessary
defence”).10
Secara harafiah self defense dapat diartikan sebagai: “ The use of force to
protect oneself , one’s family, or one’s property from real or threatened attack”
keluarganya, harta bendanya atas sebuah serangan yang benar-benar terjadi atau
9
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.cit, halaman 253.
10
Kinga Tibori Szabo, Anticipatory Action in Self-Defence: Essence and Limits Under
Intrnational Law, T.M.C Asser Press, Den Haag, 2011, P.50.
4
ancaman yang nyata.11 Sementara Roberto Ago, staf khusus International Law
self defense di dalam ketentuan Piagam PBB 1945 sebagai: “action whereby
with the object —and this is the core of the matter—of preventing another’s
wrongful action from proceeding, succeeding and achieving its purpose.” Oleh
karena itu tindakan self defense dapat disimpulkan sebagai suatu penggunaan
abroad) dan juga terkait penggunaan tindakan self defense sebagai bentuk
dan menurut Christine Gray hal ini telah menjadi pokok pembahasan negara sejak
periode awal pembentukan PBB itu sendiri:“(are much discussed and) date back
to the creation of the United Nations”.13 Kristalisasi self defense di dalam Hukum
Internasional sendiri pada dasarnya juga lahir dari praktik tindakan serupa yang
sudah dilangsungkan oleh negara-negara selama ratusan tahun. Salah satu contoh
11
Bryan Garner, Black’s Law Dictionary, seventh edition, West Group, Minnesotta,1999, P. 1364.
12
J.L Brierly, The Law of Nation: an introduction to the international law of peace, Terjemahan
oleh Moh. Radjab, Oxford University Press, London, 1996, hal. 262.
13
Christine Gray, International Law and the Use of Force (3rd ed.), Oxford University Press, New
York, 2008, P. 114.
5
kasus yang paling dikenal dan paling disoroti dari praktik self defense negara
adalah dalam insiden Kapal Caroline yang terjadi pada tahun 1837.14 Insiden
Kapal Caroline inilah yang kemudian menjadi landasan bagi negara-negara untuk
pada dirinya sendiri, dan sejak saat itu telah diaplikasikan sebagai bentuk Hukum
Kebiasaan Internasional oleh banyak negara, baik sebagai suatu konsep yang
saat ini sebagai bagian ketentuan yang diatur di dalam perjanjian internasional
secara mengikat. Selain daripada itu temuan hukum di dalam Inisden Caroline ini
juga memperkenalkan adanya beberapa prinsip yang harus dipenuhi oleh negara
defense oleh negara sampai sekarang masih menjadi poin perdebatan paling
mengatakan bahwa secara umum, ketentuan mengenai self defense masih belum
memiliki kejelasan yang pasti, atau dalam kata-katanya sendiri: “self defence is
still largely obscure from a legal point of view.”16 Hal ini disebabkan oleh
14
Loc.cit.
15
Jhawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar, Op.cit., halaman 256.
16
P Kooijmans, “The International Court of Justice in Twenty First Century: Judicial Restraint,
Judicial Activism, or Proactive Judicial Policy”, 53 International and Comparative Law Quarterly,
6
keterbatasan mengenai kesepemahaman ketentuan di dalam Hukum Internasional
mengenai pengaturan self defense oleh negara yang tidak dapat diseimbangi
dengan meningkatnya jumlah praktek penggunaan self defense oleh negara itu
oleh negara melalui dalil penggunaan self defense tersebut juga mendapat
justru akan menimbulkan kesewenangan oleh negara untuk dapat terus menerus
pada akhirnya menimbulkan adanya dua paham dari dua golongan, yakni mereka
yang melihat self defense dari perspektif luas sebagai hak mutlak yang melekat
pada negara untuk membela dirinya atau “inherents rights of self defense”,
sehingga tidak perlu adanya batasan yang teralu rumit dalam hal penggunaan self
7
Hal ini terbukti dimana sesudah peristiwa penyerangan World Trade Center
terkait praktek pelaksanaan self defense oleh negara-negara, salah satunya melalui
doktrin pre-emptive strike atau yang lebih dikenal sebagai Doktrin Bush.
Penggunaan doktrin pre-emptive strike sebagai bentuk self defense ini terutama
self defense justru diambil sebagai bentuk antisipasi terhadap serangan yang akan
tindakan self defense tanpa harus menunggu serangan terjadi terlebih dahulu
Insiden penggunaan self defense oleh negara paling baru terjadi pada Maret
Pada tangal 30 Maret 2018, ribuan warga Palestina turun ke jalan dan
terhadap pemerintah Israel dalam aksi yang disebut sebagai 'Pawai Besar
yang juga digalang oleh kelompok militan HAMAS tersebut, sebuah organisasi
20
Jhawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar, Op.cit., halaman 256.
8
dengan aksi berbalas serangan yang dilakukan antara para demonstran bersama-
sama dengan anggota HAMAS dengan pasukan keamanan Israel, yakni Israeli
Defense Force (IDF) dan juga Israeli Border Patrol (IBP) yang menjaga daerah
pagar pembatas di tepi Gaza, sementara ratusan orang yang diduga sebagai bagian
dari kelompok militan HAMAS berdiri lebih dekat ke arah pagar dan melempari
para personel keamanan Israel menggunakan ban yang dibakar, batu hinga
menggunakan peluru karet serta beberapa peluru aktif. Pemerintah Israel juga
drone udara juga diluncurkan untuk menembakkan gas air mata kepada
kerumunan demonstran.
Israel berlangsung hingga bulan Agustus 2018. Pada tanggal 13 Agustus 2018,
dimana tercatat 168 warga sekitar perbatasan Gaza terbunuh dalam keseluruhan
dimulai pada Maret 2018 dan 13 orang diantaranya merupakan anak di bawah usia
18 tahun,22 sementara lebih dari 18.000 orang lainnya luka-luka, dimana 2.096
21
Gaza clashes: 52 Palestinians killed on deadliest day since 2014, diliput pada 14 Mei 2018,
https://www.bbc.com/news/world-middle-east-44104599 diakses pada 7 November 2018 pukul
01.55 WIB.
22
Sharp decline in casualties during demonstrations, as Gaza mourns yesterday’s massive loss of
life and struggles to treat injuries, diliput pada 15 Mei 2018
9
diantaranya merupakan anak-anak dan 1.029 merupakan wanita.23 Sementara di
pihak Israel, tercatat seorang personel keamanan Israel tewas dan 8 orang
Israel merupakan bentuk self defense terhadap ancaman yang terjadi di wilayah
menghancurkan pagar perbatasan Israel oleh karena itu segala upaya yang diambil
oleh pasukan Israel dijalankan untuk meneggakkan kedaulatan bangsa dan negara
https://www.ochaopt.org/content/sharp-decline-casualties-during-demonstrations-gaza-mourns-
yesterday-s-massive-loss-life-and diakses pada 7 November 2018 pukul 01.57 WIB.
23
Report: 167 Palestinians killed, over 18,000 injured since March 30th, diliput pada 11 Agustus
2018, http://www.maannews.com/Content.aspx?id=780675 diakses pada 7 November 2018 pukul
01.59 WIB.
24
Anna Anonhrem, IDF NAMES AVIV LEVI, 21, AS SOLDIER KILLED BY HAMAS SNIPER AT
GAZA BORDER, diliput pada 21 Juli 2018, https://www.jpost.com/Israel-News/IDF-Strikes-
terror-targets-in-Gaza-563027 diakses pada 7 November 2018 pukul 02.01 WIB.
25
Andrew Bucombe, Benjamin Netanyahu praises Israeli troops day after they 'kill 16 Palestinian
protesters' in border clashes , diliput pada 31 Maret 2018,
https://www.independent.co.uk/news/world/middle-east/benjamin-netanyahu-praises-israel-army-
palestinians-dead-gaza-clashes-a8283311.html diakses pada 7 November 2018 pukul 02.03 WIB.
10
bahwa tindakan yang dilakukan oleh Israel terhadap demonstran di Gaza
perdebatan serta melalui klaim penggunaan self defense yang dilakukan oleh
Israel tersebut, maka penulis merasa perlu diadakannya suatu penelitian berjudul:
Mempertahankan Kedaulatannya)”
B. RUMUSAN MASALAH
Internasional?
2. Bagaimana hubungan tindakan self defense yang dilakukan oleh Israel untuk
1. Tujuan Penelitian
tujuan yang hendak dituju dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
26
Raphael Aphren, UN General Assembly condemns Israel for ‘excessive’ force at Gaza border,
diliput pada 14 Juni 2018, https://www.timesofisrael.com/un-general-assembly-condemns-israel-
for-excessive-force-at-gaza-border/ diakses pada 7 November 2018 pukul 02.06 WIB.
11
a. Untuk menjelaskan kedudukan self defense negara menurut ketentuan
Hukum Internasional
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
b. Manfaat Praktis
yang berkepentingan
12
D. SISTEMATIKA PENULISAN
sebagai berikut
BAB I : Pendahuluan
Pada bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, perumusan masalah,
Bab ini berisi tentang tinjauan umum mengenai negara, tinjauan tentang
penggunaan kekerasan oleh negara dan tinjauan tentang penggunaan self defense
oleh negara.
Dalam bagian bab ini secara lebih tegas ditampilkan tentang metode
Pada kesempatan ini patut diungkapkan bahwa bab ini berisi pembahasan
BAB V : Penutup
Pada bagian bab ini ditampilkan mengenai simpulan yang didapat dari hasil
penelitian dan pembahasan yang dilakukan peneliti. Selain itu juga dihadirkan
uraian saran atau rekomendasi sebagai masukan yang mungkin berguna bagi para
pihak.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
istilah dalam Bahasa Prancis yaitu soverain/souverain serta juga dari Bahasa
konsep kedaulatan sebagai suatu atribut, yang mutlak hanya dimiliki oleh
negara-negara, berupa suatu kekuasaan mutlak dan abadi yang tidak terbatas
sesuatu yang menuju kepada kepentingan jasmani dan rohani dari anggota-
anggota negara dan kekuasaan ini ada pada rakyat sebagai suatu kesatuan.29
dimiliki oleh subjeknya yang tidak dapat dilampaui oleh kaidah hukum atau
27
Soekotjo Hardiwinoto, Op.cit., halaman 125.
28
Yudha Bakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing (Bandung:
Alumni, 1999), halaman 41.
29
Soehino, Ilmu Negara, cetakan ke-III (Yogyarakata: Liberty, 2000), halaman 88.
14
tertentu.30 Oleh karena itu kedaulatan negara dapat disimpulkan sebagai
kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas
sesuatu yang ada atau terjadi di dalam batas wilayahnya. Kedua, kedaulatan
kekuasaan dalam negara berasal dari Tuhan, oleh karena itu seorang
30
J.L Brierly, The Law of Nation: an introduction to the international law of peace, Terjemahan
oleh Moh. Radjab, Oxford University Press, London, 1996, halaman 15.
31
Boer Mauna, Hukum Internasional ( Bandung: Alumni, 2000), halaman 24.
32
Loc.cit.,
33
I Gde Pantja Astawa dan Supri Na’a, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, (cetakan
kedua) (Bandung: Refika Aditama, 2012), halaman 107-116.
15
menjalankan kekuasaan sendiri atau kekuasaan milik negara. Hal ini
menjadi dua, yakni kerajaan yang dipimpin oleh raja dan gereja yang
suatu negara dianggap bersumber dan dimiliki oleh raja oleh karena
34
Muchtar Affandi, Ilmu-Ilmu Negara: Suatu Studi Perbandingan, (Bandung: Lembaga Penerbitan
Fakultas Sosial Politik Universitas Padjadjaran, 1982), halaman 215
35
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), halaman 71.
36
I Gde Pantja Astawa dan Supri Na’a, Op.cit., halaman 109-110.
16
keluarga kerajaan.37 Hal ini menjadi kepercayaan warga negara yang
Dalam teori kedaulatan negara, suatu negara itu sendiri lah yang
juga raja melainkan oleh negara itu sendiri, oleh karena itu negara
37
Hendra Nurtjhajo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), halaman 12.
38
I Gde Pantja Astawa dan Supri Na’a, Op.cit., halaman 111-112.
39
Abu Daud Busroh, Op.cit., halaman 71.
40
I Gde Pantja Astawa dan Supri Na’a, Op.cit., halaman 112-113.
17
d. Teori Kedaulatan Rakyat
kelompok manusia atau warga negara itu sendiri yang telah bersepakat
bawah negara itu sendiri, maka kehidupan manusia tidak akan berjalan
41
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Sinar
Bakti, 1983), halaman 124.
42
I Gde Pantja Astawa dan Supri Na’a, Op.cit., halaman 113-114.
43
Ibid., halaman 114.
18
Terkait inkorporasi hukum sebagai kedaulatan tertinggi Krabbe
orang. Kesadaran hukum ini tidak bisa dipaksakan dari luar melainkan
yang ada pada diri manusia ke dalam bentuk hukum positif atau
warga negaranya.45
Publik Internasional sebagai hak dari suatu negara untuk mengatur dan
44
Muchtar Affendi, Op.cit., halaman 220.
45
I Gde Pantja Astawa dan Supri Na’a, Op.cit., halaman 115.
19
mata merupakan masalah dalam negerinya.46 Kekuasaan kedaulatan melalui
yurisdiksi yang dimiliki oleh setiap negara tersebut mengatur secara jelas
kewajiban untuk harus menegakkan semua atau salah satunya secara khusus
oleh karena arti penting dari prinsip-prinsip dasar yurisdiksi ini adalah ia
46
I wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Penerbit Bandar Madju, 1990),
halaman 296.
47
M.N Shaw, Op.cit., halaman 641.
48
Soekotjo Hardiwinoto, Op.cit., halaman 161.
20
Dalam hal yurisdiksi berlaku untuk memastikkan penegakkan
dapat terlaksana secara adil dan benar, maka perlu jugalah untuk
a. Yurisdiksi Teritorial
secara pidana.51
49
J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional (edisi ke-sembilan), (Jakarta: Aksara Persada
Indonesia, 1998), halaman 184.
50
M.N Shaw, Op.cit., halaman 646.
51
J. G Starke, Op.cit., halaman 184.
21
tetapi juga kejahatan dimana sebagian dari tindakan tersebut telah
wilayah mereka.52
dapat diberikan kepada negara asing serta kepala negara asing, wakil-
52
J.G Starke, Op.cit., halaman 186-187.
53
Ibid., halaman 191.
22
hukumnya. Menurut praktek Hukum Internasional, yurisdiksi atas
54
Ibid., halaman 211.
55
Loc.cit.; Soekotjo Hardiwinoto, Op.cit., halaman 172.
56
M.N Shaw, Op.cit., halaman 646.
57
I wayan Parthiana, Op.cit., halaman 304-305.
23
(ii) Prinsip Personalitas Pasif
negaranya.60
58
J.G Starke, Op.cit., halaman 211.
59
I wayan Parthiana, Op.cit., halaman 306.
60
M.N Shaw, Op.cit., halaman 651.
24
c. Yurisdiksi menurut Prinsip Perlindungan
61
J.G Starke, Op.cit., halaman 212; Soekotjo Hardiwinoto, Op.cit., halaman 173.
62
Cedric Ryngaert, Jurisdiction in International Law (2nd ed.), Oxford University Press, Oxford,
2015, P.114.
63
M.N Shaw, Op.cit., halaman 650.
25
d. Yurisdiksi menurut prinsip universal
64
I wayan Parthiana, Op.cit., halaman 324.
65
J.G Starke, Op.cit, halaman 212.
66
D Orentlicher, “Whose Justice? Reconciling Universal Jurisdiction with Democratic
Principles,” 92 Georgetown LJ 1057, 2004, halaman 1073.
http://www.open.edu/openlearn/people-politics-law/exploring-the-boundaries-international-
law/content-section-0 diakses pada 4 April 2019, pkl 02.54 WIB.
26
B. TINJAUAN MENGENAI PENGGUNAAN KEKERASAN OLEH NEGARA
suatu frasa kuno dalam Bahasa Latin yaitu Jus ad bellum yang secara
harafiah di dalam Bahasa Inggris dapat dimaknai sebagai “the right to resort
to force”, atau hak untuk menggerahkan kekerasan atau juga “the right to
kekerasan ini, yang di dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai the use of
dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB 1945, yang berbunyi: “All
Members shall refrain in their international relations from the threat or use
state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United
Nations.”
interpretasi Pasal 2 ayat (4) ini adalah sampai sejauh mana sebuah tindakan
67
M.N Shaw, Op.cit., halaman 1133
68
Robert Kolb dan Richard Hyde, An Introduction to the Law of the International Armed
Conflicts, Hart Publishing, Oxford, 2008, P.9.
27
Terkait hal ini Malcolm Shaw mengatakan bahwa, penggunaan kekerasan
bersenjata’ tetapi juga dapat melalui kekuatan ekonomi.69 Hal ini sebagian
secara fisik oleh negara negara, tetapi juga dapat melalui tindakan-tindakan
maupun pemboikotan.70
Use of Nuclear Weapons pada tahun 1996 mengatakan bahwa yang dapat
69
M.N Shaw, Op.cit., halaman 1135-1136.
70
Loc.cit.
28
dikatakan sebagai ancaman penggunaan kekerasan merupakan pelanggaran
Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB 1945 apabila negara dengan jelas menyiratkan
niat untuk menggunaan kekerasan bila terjadi peristiwa tertentu atau dalam
perkataannya langsung:71
Anggota LBB pada saat itu untuk mengajukan sengketa yang kemungkinan
Melalui ketentuan Kovenan, para Negara Anggota LBB saat itu menaati
71
Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapons, Advisory Opinion, 1. C.J. Reports 1996, p.
226, www.icj-cij.org/files/case-related/95/095-19960708-ADV-01-00-EN.pdf, diakses pada 16
Maret 2019 pkl 15.43 WIB.
72
M.N Shaw, Op.cit., halaman 1137-1139.
29
ketentuan yang ditetapkan melalui Kovenan LBB 1919.73 Namun karena
kesepakatan yang tidak berjalan sesuai rencana dan oleh pecahnya Perang
Internasional yang baru yang dapat menggantikan peran dan fungsi yang
sebelumnya disediakan oleh LBB tersebut dan juga melalui suatu peraturan
Bangsa pun didirikan dan Piagam PBB 1945 pun menjadi asas adat
tertuang di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) nya yang berbunyi: “All
73
Ibid., halaman 1133.
74
Ibid., halaman 1134.
30
Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB 1945 kemudian
kekerasan yang diatur ketat melalui Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB
75
United Nations, General Assembly, 2625 (XXV). Declaration on Principles of International Law
concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of
the United Nations, A/RES/25/2625, (24 Oktober 1970)
http://www.undocuments.net/a25r2625.htm, diakses pada 18 Maret 2019 pkl 22.01 WIB.
76
M.N Shaw, Op.cit., halaman 1140-1141, 1152.
31
negara lainnya itu.77 Secara umum tindakan retorsi dibenarkan di
expulsion.78
yang terjadi pada tahun 1928, untuk sebuah tindakan reprisal dapat
sebelumnya.80
77
Ibid., halaman 140.
78
R.B.Lillich, “Requiem for Hickenlooper”, 69 American Journal of Int’l Law, 1975, hal. 97.
https://doi.org/10.2307/2200194 diakses pada 4 April 2019, pkl 02.58 WIB.
79
Ibid., halaman 249.
80
M.N Shaw, Op.cit., halaman 1141.
32
Intervensi merupakan tindakan pengunaan kekerasan yang
81
Soekotjo Hardiwinoto, Op.cit., halaman 251.
82
M.N Shaw, Op.cit., halaman 1152
83
Soekotjo Hardiwinoto, Op.cit., halaman 250.
33
melalui usaha-usaha perdamaian. Oleh karenanya Pasal 42 Piagam
sesuai dengan instruksi dari Dewan Keamanan. Hal ini dapat dilihat
34
negara berkonflik seperti di Rwanda pada tahun 1994, Haiti tahun
1994 dan 2004, Albania tahun 1997, Republik Afrika Tengah tahun
dasarnya lahir dari adanya sebuah hak negara untuk mengadakan tindakan
84
Christine Gray, Op.cit.,P. 30
85
Article 51 Charter of the United Nations 1945.
35
force to unlawful force (or, according to some, to the imminent threat of
Piagam PBB 1945 baru dapat dikatakan bermakna dengan alsan bahwa ada
hak untuk melakukan pembelaan diri yang alamiah (natural) dan melekat
melekat (inherent) dan hal itu sulit dipahami kecuali sebagai kebiasaan,
1945 sehingga oleh karena itu tidak dapat dipungkiri bahwa Pasal 51
perkembangan konsep ini yang sudah dikenal sejak dulu di dalam Hukum
Kebiasaan Internasional.87
Lebih lanjut, konsep self defense oleh negara sudah berakar sejauh
dengan doktrin perang yang adil (just war). Konsep mengenai justifikasi
terhadap perang yang adil ini berkembang pada abad ke-19 dan pada awal
86
Yoram Dinstein, War, aggression, and self-defence (5th edition), Cambridge University Press,
New York, 2011, P.187.
87
M.N Shaw, Op.cit., halaman 1142.
36
peperangan terhadap siapa saja (the freedom to wage war, free for all,
against all, for any reason on earth) terutama dalam hal untuk melakukan
defence was) not a legal concept but merely a political excuse for the use of
force.”89
4 jenis, yaitu:90
88
Yoram Dinstein, Op.cit., P.188
89
Loc.cit.
90
Ibid., halaman 193-205.
37
a. Individual Self Defense merupakan sebuah penggunaan tindakan
1945.
yang dilakukan oleh NATO atau Pakta Warsaw, atau juga melalui
Hukum Internasional.92
dari serangan yang akan datang. Anticipatory self defense atau pre-
91
M.N Shaw,Op.Cit., halaman 1151-1152.
92
Ibid., halaman 1152.
38
paling banyak menimbulkan perdebatan akibat legalitas
memenuhi sasaran.
ketentuan Pasal 51 Piagam PBB 1945 tersebut, masih ada lagi prinsip-
adalah:93
penggunaan kekerasan dalam hal self defense oleh suatu negara harus
diupayakan sebagai bentuk upaya terakhir (last resort) dan tidak ada
93
Yoram Dinstein, Op.cit., halaman 205, 230-234.
39
b. Prinsip proportionality, pada umumnya merupakan sebuah prinsip
dalam hal self defense hanya dapat dilakukan apabila dampak atau
94
Jimly Asshidique, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007),
halaman 93.
95
Jimly Asshidique, Op.cit., halaman 94.
40
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
penelitian itu sendiri pada dasarnya digunakan untuk mencapai tujuan penelitian,
yakni untuk menemukan informasi baru menggunakan data dan fakta yang ada
melalui berbagai metode dan pendekatan untuk dapat menghasilkan informasi dan
A. Metode Pendekatan
dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, yang
96
Soerjono Soekamto dan Sri Mahmuji Rahayu, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), halaman 1.
97
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya (Jakarta: Bumi Aksara,
2004), halaman 19.
41
para sarjana hukum.98 Metode pendeketan yuridis normatif ini lebih
B. Spesifikasi Penelitian
98
Soerjono Soekamto dan Sri Mahmuji Rahayu, Op.cit., halaman 13.
99
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1988), halaman. 11.
100
Ibid., halaman 97.
101
Loc.cit.
42
dengan contoh penerapan penggunaan self defense di dalam kasus
digunakkan adalah data yang bersifat sekunder yang dilakukan dengan cara
jurnal, buku serta literatur yang terkait untuk dapat menemukan jawaban atas
permasalahan yang coba diteliti disini agar mendapatkan data yang akurat
teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis di dalam penelitian ini
berupa:
102
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.cit., halaman 53.
43
Consular Staff in Tehran (United States v. Iran), Case Concerning
Aggression”.
103
Loc.cit.
104
Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, (Bandung:
Mandari Maju, 2013), halaman 65.
44
sekunder.105 Bahan-bahan ini dapat berupa kamus huku, kamus
Hukum ini ialah melalui metode analisis data kualitatif, yang mencoba
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan kemudian
defense Israel.
105
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.cit., halaman 53.
106
Muhammad Idrus, Metode Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial (Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif), (Yogyakarta: UII Press, 2007), halaman 31.
107
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005),
halaman 248.
45