TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Kedaulatan
hubungan internasional ini adalah negara yang juga memiliki kedaulatan karena
hal demikian sangat mendasar dalam hubungan internasional dan diterima sebagai
prinsip yang sangat sakral.1 Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki
oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kepentingannya asal
sebagai prinsip dasar dan utama.3 Kedaulatan merupakan salah satu prinsip dasar
Bodin.5 Ia melihat kedaulatan sebagai kekuasaan mutlak dan abadi dari sebuah
1
R.P. Anand, International Law and Developing Countries, Banyan Publications, New
Delhi, 1986, h. 72.
2
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2000, h. 24.
3
R.P. Anand, Op.Cit., hl. 95.
4
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Refika
Aditama, Bandung, 2006, h. 169.
5
Jean Bodin adalah sarjana Perancis abad XVI yang merumuskan pengertian
kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu negara, yang
sifatnya tunggal, asli, abadi, dan tidak dapat di bagi-bagi. Karena jasa tersebut, ia dijuluki Bapak
Teori Kedaulatan, dalam Dossy Iskandar dan Bernard L. Tanya, Ilmu Negara Beberapa Isu Utama,
Srikandi, Surabaya, 2005, h. 123.
pada hukum alam.6 Konsep kedaulatan erat pula kaitannya dengan negara yang
and the developing community which became inecitable when it was discovered
principle of the sovereign equality of all its member”.9 Dalam kaitannya pula
mendeklarasikan bahwa: “Every state has the right to independence and hence to
exercise freely, without dictation of any other state, all its legal powers, including
the choice of its own from of government” (setiap negara memiliki hak
dari negara lain, segara kekuasaan hukumnya, termasuk pilihan sendiri atas
pemerintahannya).10
dari kedaulatan yaitu (a) Kedaulatan dapat berarti bahwa negara tidak tunduk pada
6
Carl J. Friedrick, The Philosophy of Law, h. 72, dalam Ibid.
7
H. Hinsley, Sovereignty, 2nd edn, 1986, h. 222-225, dalam Martin Dixon dan Robert
McCorquodale, Cases and Material on International Law, Blackstone Press Limited, London,
2001, h. 248.
8
Martti Koskenniemi, “What Use for Sovereignty Today?”, Asian Journal International
Law, Cambrigde Journals, 2011, h. 61.
9
Piagam PBB, Article 2, par. 1.
10
Piagam PBB, Article 1.
ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mempunyai status yang lebih
tinggi, dan (b) Kedaulatan berarti bahwa negara tidak tunduk pada kekuasaan
apapun dan dari manapun datangnya tanpa persetujuan negara yang bersangkutan,
titulernya yaitu negara pimpinan tertinggi atas warga negaranya. Ini yang
dinamakan wewenang penuh dari suatu negara dan (b) Kedaulatan memberikan
dengan teritori dari yurisdiksi wilayah negara tersebut, semisal dalam hak
bebasnya (freedom) oleh suatu negara. Kedaulatan yang absolut dan sempurna di
mana tidak ada larangan oleh kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh semisal,
suatu perjanjian adalah tidak mungkin dan tidak diketahui dalam prakteknya.13
Tidak ada negara saat ini yang dapat bertahan tanpa manfaat dari sebuah
pariwisata, dan segi-segi kehidupan yang lain14, yang dari sinilah kedaulatan
11
Jean Charpentier, Institutiones Internationales, 13 edition, 1997, Momentos Dallozz,
Paris, h. 25-26, dalam Boer Mauna, Op.Cit., h. 24-25.
12
Antonio Cassese, International Law in a Divided World, Clarendon Press, Oxford,
1994, h. 130.
13
Joint Dissenting Opinion dari tujuh hakim dalam kasus Custom Regime, PCIJ series
A/B, no. 41, p. 77, dalam R.P. Anand, Op.Cit., h. 64.
14
Ibid.
15
G. Schwarzenberger, International Law, London, 1957, h. 114, dalam Ibid.
Berkaitan pula mengenai kedaulatan bahwa kedaulatan sebagai sebuah
kedaulatan sebagai fakta tetapi sebagai teori.17 Kedaulatan negara sekarang ini
dimungkinkan lagi, semisal dalam politik Apartheid yang pernah dilakukan oleh
disimpulkan bahwa kedaulatan bermakna dalam arti terbatas, yang mana erat
Kusumaatmadja berpendapat:
yang wajar.20
sebagaimana dikemukakan:
dielakkan lagi.21
utama22, yaitu:
20
Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., h. 13.
21
Ibid., h. 14.
22
Nkambo Mugerwa, Subject of International Law, ed. Max Sorensen, Mac Millan,
New York, 1968, h. 253, dalam Boer Mauna, Op.Cit., h. 24, lihat juga R.P. Anand, Op.Cit., h. 79.
atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau
untuk mematuhi.
Salah satu unsur pokok status kenegaraan adalah penguasaan suatu wilayah
wilayah ini otoritas tertinggi berada di negara terkait.23 Apabila suatu negara
melaksanakan yurisdiksi atau kekuasaan atas suatu wilayah, maka negara tersebut
menunjuk hubungan antara orang dengan orang atau kemerdekaan negara, tetapi
Negara sendiri harus memiliki kualifikasi sendiri agar dapat disebut negara,
seperti yang sudah disebutkan dalam Article 1 The 1933 Montevideo Convention
23
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, terjemahan oleh Bambang Iriana
Djajaatmadja, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 210.
24
Soekotjo Hardiwinoto, Pengatar Hukum Internasional, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 1995, h. 119, lihat juga J.L. Brierly, Op.Cit., h. 150.
25
Ibid.
The State as a person of international law should possess the
following qualification:
1. A permanent population;
2. A defined territory;
3. Government; and
wilayah adalah esensi dari sebuah negara.26 Oleh karena itu muncul apa yang
exclusive competence to take legal and factual measures within that territory and
kompeten eksklusif untuk memperoleh ukuran legal dan faktual dalam teritori
Justice juga mengatakan bahwa kedaulatan teritorial adalah hal yang sangat
ini yurisdiksi dilaksanakan oleh negara terhadap orang-orang dan harta benda
26
Peter Malanczuk, Akehurt’s Modern International Law, Routledge, London, 1997, h.
75.
27
Ibid., h. 75.
28
Corfu Channel Case, ICJ Reports, 1949, h. 35, dalam R.P. Anand, Op.Cit., h. 78.
yang menyampingkan negara-negara lain.29 Kedaulatan dan wilayah adalah dua
hal penting yang saling berkaitan dalam hukum internasional, yang secara implisit
hukum internasional.
wilayah tidak perlu dipertimbangkan karena hanya sebagai hal eksternal, yang
dilaksanakan.30
territory. By virtue of this fact, teritory became in the legal order “the point of
departure in settling most questions that concern international relations” 31, yang
berarti bahwa negara memiliki hak yang tidak dapat dibantahkan dalam rangka
29
J.G. Starke, Op.Cit., h. 210.
30
Lihat D.J. Harris, Cases and Materials on International Law (fifth edition), Sweet and
Maxwell, London, 1998, h. 198.
31
Gerhard Von Glahn, Law Among Nations, Macmillan Publishing Co., Inc, New York,
1981, h. 315.
tatanan hukum yaitu titik mula dalam penyelesaian masalah-masalah yang
Hal-hal mengenai wilayah, terdapat preskripsi pada kasus the Island Palmas
Case, dengan pihaknya yaitu Amerika Serikat dan Belanda. Mengacu pada
arbitrator Max Huber dalam the Island Palmas Case (tahun 1928), kedaulatan
to the exclusion of any other State, the functions of a State’, yang berarti bahwa
Kedaulatan teritorial juga memiliki aspek negatif dan positif. Aspek positif
yang dimaksud adalah berkaitan dengan sifat hak ekslusif kompetensi suatu
internasional dan jurisdiksi merupakan hal yang vital dan sentral dari kedaulatan
32
Pendapat dari Arbitrator Max Huber dalam the Island of Palmas Case, Permanent
Court of Arbitration, 2 R.I.A.A. 829 at 838 (1928), dalam Rebecca M.M. Wallace, Op.Cit., h. 81,
lihat juga D.J. Harris, Op.Cit., h. 190.
33
Huala Adolf, Op.Cit., h. 101.
34
Ibid.
kewajiban.35 Kedaulatan yurisdiksional, dapat didefinisikan sebagai pelaksanaan
Institute, dalam restatement (Third) Foreign Relations Law of the United States
pada):
35
Malcolm N. Shaw, Op.Cit., h. 572.
36
Martin Dixon dan Robert McCorquodale, Op.Cit., h. 281.
37
Ibid.
(b) Jurisdiction to adjudicate, i.e., to subject persons or
proses persidangan);
38
Ibid., h. 284.
hukumnya; yurisdiksi untuk adjudikasi; dan yurisdiksi untuk menyelenggarakan
regulasi hukumnya.
terdapat prinsip “par in parem non habat imperium” yang secara harfiah dapat
kesetaraan.39 Maksud dari prinsip ini bahwa suatu negara, pada prinsipnya adalah
sama dan tiada satupun negara yang melaksanakan jurisdiksinya tanpa izin.40
Prinsip ini sebenarnya memiliki kesamaan dengan apa yang dikemukakan oleh
Malanzscuk di atas mengenai prinsip dari kedaulatan teritorial, yang mana suatu
negara tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan di wilayah negara lain tanpa
izin.
bagi menjadi dua, yaitu dengan cara damai dan kekerasan. Dengan cara damai,
seperti cessi, preskripsi, dan okupasi.41, sedangkan dengan cara kekerasan, yaitu
conquest (penaklukan), yang mana ini sering digunakan pada zaman dahulu,
berasal dari pinjaman hukum Romawi atas aturan pemilikan suatu barang sampai
39
Rebecca M.M Wallace, Op.Cit., h. 108.
40
Ibid.
41
University Casebook Series, March 1986, h. 771.
42
Ibid.
saat ini masih dapat diterima dalam hukum internasional dalam rangka bagaimana
1. Okupasi
dimiliki oleh siapapun.44 Okupasi yang dilakukan pada wilayah yang sudah
tadinya belum merupakan bagian dari wilayah kekuasaan suatu negara.”46 Starke
yang tidak berada di bawah penguasaan negara manapun, baik wilayah yang baru
ditemukan, ataupun – suatu hal yang tidak mungkin – yang ditinggalkan oleh
wilayah terra nullius, yaitu wilayah yang bukan dan sebelumnya pun belum
pernah dimiliki oleh suatu negara ketika pendudukan terjadi.48 Levi menyebutkan
syarat okupasi sendiri ada tiga, yaitu: wilayah yang tidak dalam kedaulatan negara
43
J.L. Brierly, Op.Cit., h. 150.
44
R.C Hingorani, Modern International Law (second edition), Oxford and IBH
Publishing Co., New Delhi, 1982, h. 50.
45
Lihat dalam kasus Western Sahara Case 1975, dengan pihaknya antara Spanyol dan
Maroko, mengenai legalitas dari pendudukan yang dilakukan oleh Spanyol pada wilayah Rio de
Oro/Sakiet El Hamra. Maroko juga menglkaim bahwa wilayah tersebut miliknya dengan
mengaitkannya melalui legal ties, namun ia tidak menjalankan pelaksanaan kedaulatan yang nyata
dan kehendak untuk menjadikan wilayah tersebut dibawah kedaulatannya. Akhirnya, ICJ
memutuskan bahwa wilayah tersebut bukan terra nullius dan klaim kedua belah pihak tersebut
ditolak, lihat D.J. Harris, Op.Cit., h. 207-209.
46
Soekotjo Hardiwinoto, Op.Cit., 122.
47
J.G. Starke, Op.Cit., h. 214.
48
Huala Adolf, Op.Cit., h. 103.
manapun, dan okupan haruslah negara, yang memperuntukkan untuk menjadikan
wilayah tersebut dalam kedaulatannya dan harus ada effective occupation untuk
melaksanakan wewenangnya.49
beberapa pendapat di atas maka okupasi adalah pendudukan oleh suatu negara,
yang didahului oleh penemuan (discovery), yang mana wilayah yang diduduki
tersebut merupakan terra nullius dan pendudukan tersebut berjalan terus menerus
dengan cara damai. Namun, untuk saat ini wilayah yang termasuk terra nullius
sudak tidak ada, dan terra nullius ini sangat banyak digunakan pada sengketa yang
Ada dua syarat yang perlu diperhatikan dalam okupasi, yaitu kehendak
will to act as sovereign) dan pelaksanaan kedaulatan yang nyata (some actual
Okupan (negara yang melakukan okupasi), tentu saja harus bermaksud untuk
49
Werner Levi, Contemporary International Law (second edition): a Concise
Introduction, Westview Press, San Fransisco, 1991, h. 130.
50
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit., h. 179.
51
J.L Brierly, Op.Cit., h. 151.
52
Werner Levi, Loc.Cit.
53
J.G Starke, Op.Cit., h. 215
yang diterima oleh pemerintah negara yang bersangkutan atau cara lain
penemuan (discovery) saja55, yang mana suatu negara memperoleh hak sementara
atas suatu teritori dengan belum sempurna sampai dengan negara tersebut
yang nyata.58 Dalam The Island of Palmas Case, effective occupation harus
ditetapkan dengan tiga cara, yaitu secara terbuka, publik ,dan terus menerus,
dengan cara damai pada waktu yang cukup lama.59 Wujud dari effective
occupation ini dapat ditunjukkan dengan suatu tindakan yang jelas atau simbolis
diklaim, atau melalui traktat-traktat dengan negara lain yang mengakui kedaulatan
54
Lihat kasus Fisheries case, Judgment of December 18th, I951: I.C.J. Reports 1951, p.
116., lihat juga dalam Peter Malanczuk, Op.Cit., h. 149.
55
Perlu menjadi catatan bahwa doctrin of inchoate title ini mengacu pada putusan dari
kasus the Island of Palmas case, lihat Malcolm N Shaw, Op.Cit., h. 425.
56
J.L. Brierly, Op.Cit., h. 154.
57
Ibid.
58
Rebecca M.M Wallace, Op.Cit., h. 82.
59
Ibid., h. 84.
negara penuntut tersebut, dengan penerapan batas-batas wilayah, dan seterusnya60,
seperti misalnya dalam kasus Pulau Sigitan dan Pulau Sipadan, dengan pihaknya
atara Indonesia dan Malaysia, yang mana kasus ini dimenangkan oleh Malaysia
karena prinsip effective occupation ini telah dilakukan oleh Malaysia dengan
pengaturan dan kontrol terhadap telur-telur kura-kura sejak tahun 1917 dengan
juga mencerminkan adanya prinsip effectivités, yang mana prinsip ini, seperti
dilakukan oleh perseorangan tidak dapat dilihat sebagai effectivités jika tidak
pemerintahan.62
2. Preskripsi
60
J.G. Starke, Op.Cit., h. 215.
61
Lebih lanjut lihat dalam putusan International Court of Justice (ICJ), Sovereignty over
Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesial/Malaysia), Judgement, I. C. J. Reports 2002, h. 625.
62
Malcolm N. Shaw, Op.Cit., h. 434, sebagaimana beliau mengutip dari kasus
Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesial/Malaysia). Beliau juga
mengemukakan bahwa klaim atas wilayah dapat dibagi menjadi tiga aktivitas/kegiatan, yaitu
pelaksanaan kekuasaan kedaulatan oleh negara (titre de souverain); atau oleh individu yang
tindakan tersebut disahkan oleh negaranya; atau oleh korporasi atau perusahaan yang diizinkan
oleh negara untuk beroperasi demi kepentingan kedaulatan negara tersebut.
63
Soekotjo Hardiwinoto, Op.Cit., h. 120.
Wallace berpendapat bahwa “prescription is the acquisition of title by a
adalah pemilikan suatu wilayah oleh suatu negara yang telah didudukinya dalam
jangka waktu yang lama dan dengan sepengetahuan pemiliknya.”65 Tidak jauh
time, by one state of territory actually and originally belonging to another state.”
(preskripsi adalah istilah hukum yang berkaitan dengan titel terhadap wilayah;
yang berarti okupasi yang terus-menerus, dalam jangka waktu yang lama, oleh
suatu negara terhadap wilayah yang sebenarnya dan aslinya adalah milik dari
negara lain)66
kemudian didiami oleh negara lain, dengan sepengetahuan negara ‘pemilik’ asli
tersebut dan tanpa adanya protes dan diduduki dalam jangka waktu yang lama
territory which is not terra nullius and which has been obtained either unlawfully
menetapkan hak atas wilayah yang bukan terra nullius dan yang mana sudah
diperoleh secara melawan hukum atau dalam keadaan tertentu di mana legalitas
bahwa:
reflects the need for stability felt within the international system
dan tidak ditentang (oleh negara lain) tidak dapat diambil dari
internasional)68
preskripsi:
67
Malcolm N. Shaw, Op.Cit., h. 426.
68
Ibid.
portion of territory claimed by a state, encounters no protests on
a long period of time. Eventually the original title lapses and the
negara asing menduduki bagian wilayah yang diklaim oleh suatu negara, dengan
tidak adanya protes dari pemilik aslinya dan melaksanakan kedaulatannya dengan
waktu yang lama dan titel aslinya menjadi hilang digantika oleh negara yang
untuk jangka waktu yang sangat lama atas wilayah yang tunduk
bertentangan semata-mata.71
69
Gerhard Von Glahn, Op.Cit., h. 319.
70
Rebecca M.M. Wallace, Op.Cit., h. 85.
71
J.G. Starke, Op.Cit., h. 222.
Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa ada perbedaan dan persamaan
antara preskripsi dan okupasi. Perbedaan dari okupasi dan preskripsi terletak pada
pemilikan suatu wilayah dan waktu, jika okupasi wilayah tersebut terra nullius
ditemukan dan diatur, tetapi tidak membutuhkan jangka waktu yang lama agar titel
tersebut diperoleh karena adanya pemilikan, suatu pemilikan wilayah orang lain
yang telah berlangsung lama dan tidak ada protes dari pemilik aslinya.72
wilayah tersebut.73
Jangka waktu dalam preskripsi ini, tidak ada kesamaan pendapat dikalangan
hanya disebutkan waktu yang cukup lama. Bahkan, Wallace berpendapat bahwa:
The Island of Palmas Case, jangka waktu preskripsi diputuskan dua ratus tahun.75
Di samping itu, dalam hukum nasional, terdapat jangka waktu tersendiri dalam
menentukan periode preskripsi, semisal dalam hukum nasional Inggris selama dua
belas tahun, begitu pula India yang menetapkan dua belas tahun dalam
preskripsi.76
72
Huala Adolf, Op.Cit., h. 110, lihat juga Peter Malanczuk, Op.Cit., h. 150.
73
Ibid.
74
Rebecca M.M. Wallace., Op.Cit., h. 85.
75
Philip C. Jessup, “The Palmas Island Arbitration”, 22 AJIL (1928), h. 735-752, dan
R. V. Jennings, The Acquisition of Territory in International Law, Manchester University Press,
Manchester, 1963, dalam Gerhard Von Glahn, Op.Cit., h. 321, lihat juga D.J. Harris, Op.Cit., h.
197. Namun, menurut penulis, dari beberapa literatur, putusan ini masih menimbulkan perbedaan
pendapat antara penulis/ahli hukum internasional.
76
R.C. Hingorani, Op.Cit., h. 53.
Dalam kaitannya dengan preskripsi, Fauchille dan Johnson, mengemukakan
damai”;
pihak lain;dan
3. Cessi (Penyerahan)
negara ke negara lain dan kerapkali berlangsung dalam rangka suatu perjanjian
didasarkan atas prinsip bahwa hak pengalihan wilayah adalah atribut fundamental
77
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford Univ. Press, Oxford,
1979, dalam Huala Adolf, Op.Cit., h. 111.
78
Ibid., h. 112.
dari kedaulatan suatu negara.”79 Cessi menurut Hardiwinoto adalah proses
memperoleh wilayah baru atau cara penambahan wilayah melalui suatu perjanjian
(penyerahan melalui perjanjian tertulis).80 Cessi ini bisa dilakukan dengan sukarela
atau dengan paksaan akibat peperangan, sedangkan menurut penulis sendiri, cessi
diartikan sebagai transfer kedaulatan suatu wilayah dari negara yang memperoleh
wilayah aslinya kepada negara penerima wilayah, dengan melalui suatu perjanjian
Transfer teritori ini, adalah selalu memperoleh titel turunan kepada wilayah
tertentu.82 Cessi selalu diikuti dengan perjanjian (treaty), seperti misalnya dalam
mengenai maxim nemo dat quod non habet, yang berarti tidak seorangpun
memberikan apa yang ia tidak punya.84 Negara yang menyerahkan tidak dapat
mengurangi apa yang telah ia serahkan.85 Oleh karena itu, dalam hal ini
yang terkandung dalam wilayah yang diserahkannya.86 Dengan alasan yang sama,
suatu negara yang melakukan penyerahan tidak dapat mengalihkan lebih daripada
Alasan dalam transfer wilayah ini tidak menyangkut hukum.88 Von Glahn
membawa titel hukum kepada pemilik barunya. Menurutnya, cessi (dengan cara
damai) memiliki banyak ragam, seperti misalnya, pada zaman dahulu terdapat a
treaty of sale [populer pada abad terdahulu, yang tidak diketahui pada zaman
sekarang, seperti Lousiana Purchase (1803); the Florida Purchase (1819); the
Galsden Purchase (1853); the Alaska Purchase (1867); the purchase of the Danish
West Indies (Virgin Islands tahun 1916)]; pertukaran real estate kepada negara
lain/wilayah lain, seperti transfer Pulau Heligoland dari Inggris kepada Jerman
tahun 1890 dalam pertukaran wilayah Afrika Timur Jerman (German East Africa);
pernyerahan bagian batuan karang Danau Erie dari Inggris kepada Amerika
pemenang tersebut.90
87
Ibid.
88
Werner Levi, Op.Cit., h. 131.
89
Gerhard Von Glahn, Op.Cit., h.321-324.
90
Sebelum adanya Konvenan League of Nations dan Charter of The United Nations
pun, dimungkinkan perolehan wilayah melalui penaklukan dimungkinkan secara hukum, tetapi
sekarang tidak lagi, lihat Ibid.
Namun, perolehan kedaulatan melalui cessi dengan penaklukan, saat ini
dilarang, baik dalam ketentuan sebelum 1945, seperti Kellog-Briand Treaty 1928,
kekerasan maka perolehan tersebut tidak akan diakui91; maupun sesudah 1945,
yaitu dalam Article 2 (4) United Nations Charter, dengan larangan penggunaan
4. Aneksasi (conquest/penaklukan)
wilayah dari musuh dengan sempurna dan subjugasi final dan sebuah deklarasi
mendefinisikan conquest ini terkait juga dengan perang, yang mana wilayah
perolehan kedaulatan teritorial.94 Adapun pula padanan kata aneksasi ini yaitu
subjugasi, yang menurut Black’s Law Dictionary : “a means of ending a war and
acquiring territory when one of the belligerent countries has been so soundly
defeated that is adversory is able to decide alone the fate of the defended
ketika satu dari negara yang berperang terkalahkan yang mana negara tersebut
91
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit., h. 182.
92
J.L. Brierly, Op.Cit., h. 155.
93
Rebecca M.M. Wallace, Op.Cit., h. 85.
94
J.G. Starke, Op.Cit., h. 220.
memutuskan untuk menyerahkan wilayah kepada negara yang memenangkan
sedangkan untuk saat ini aneksasi dilarang. Dalam UN Charter Article 2 (4),
from the threat or use of force against the territorial integrity or political
independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes
of the United Nations”, kecuali dalam situasi dan keadaan tertentu semisal
dekolonialisasi.95
5. Akresi
Shaw menjelaskan akresi sebagai proses geografis yang mana tanah baru
terbentuk dan menjadi ‘berhimpit’ dengan tanah yang ada, seperti misalnya
pembentukan pulau-pulau di mulut sungai atau pergantian arah dari batas sungai
berbeda, Strake mendefinisikan akresi, yaitu terjadi apabila wilayah yang baru
ditambahkan, terutama karena sebab sebab ilmiah, yang mungkin timbul karena
pergerakan sungai atau lainnya (misalnya tumpukkan pasir karena tiupan angin),
terhadap wilayah yang telah ada yang berada di bawah kedaulatan negara yang
memperoleh hak tersebut.97 Tindakan atau pernyataan formal tentang hak ini tidak
diperlukan.
E. Traktat (Treaty)
95
R.C Hingorani, Op.Cit., h. 53.
96
Malcolm N. Shaw, Op.Cit., h. 419.
97
J.G. Starke, Op.Cit., h. 220-221.
1. Konsep Traktat
traktat adalah perjanjian di bawah hukum internasional antara dua (bilateral) atau
diantara lebih dari dua (multilateral) negara untuk mencapai suatu prestasi yang
Conventions on the Law of Treaties 1969 (mulai berlaku pada tanggal 27 Januari
98
John O’Brien, International Law, Cavendish, London, 2001, h. 80, dalam Jawahir
Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit., h. 56.
99
Werner Levi, Op.Cit., h. 203.
100
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit., h. 56-57.
1980;selanjutnya disebut Konvensi Wina 1969) dalam Article 1 huruf a,
tunggal atau dua ataupun lebih instrumen dan bentuknya bergantung pada negara
yang membuat traktat tersebut. Namun, tidak semua traktat mengikat secara
hukum dan tidak diatur oleh hukum internasional, seperti contoh yang secara jelas
dalam the Final Act of the Helsinki Conference on Security and Co-operation in
Europe 1975.101
traktat ini tidak memiliki pengaruh hukum, semuanya sama dan setara penerapan
101
Lihat Case concerning Maritime Delimitation and Territorial Questions between
Qatar and Bahrain (Qatar v Bahrain) (Jurisdiction – First Phase), ICJ Rep. 1994 112, dalam
Martin Dixon dan Robert McCorquodale, Op.Cit., h. 61.
102
Thomas Buergenthal dan Harold G. Maier, Public International Law in a Nutshell,
West Publishing Co, St. Paul Minn, 1990, h. 91.
103
Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., h. 85.
104
Thomas Buergenthal dan Harold G. Maier, Op.Cit., h. 91, lihat juga Rebecca M.M
Wallace, Op.Cit., h. 197.
dipunyai negara untuk memulai dan mengembangkan hubungan internasional.105
Tiap-tiap negara pasti menjadi para pihak dari traktat dan mereka juga
memastikan bahwa kepentingan mereka yang tertuang dalam traktat tersebut dapat
berjalan secara efektif, sama halnya ketika semua negara memiliki aturan yang
diplomatik.106 Selain itu, traktat adalah alternatif legal utama untuk menyelesaikan
sengketa internasional, yang mana saat ini penggunaan kekerasan menjadi illegal
105
F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbit Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 1994, h. 88.
106
Peter Malanczuk, Op.Cit., h. 130.
107
Werner Levi, Op.Cit., h. 202.
108
Malcolm N. Shaw, Op.Cit., h. 838-839.
wider perspective than the other two and emphasises the object
should be measured.
Dari pernyataan yang dikemukakan oleh Shaw di atas, dapat diartikan bahwa
pertama pemusatan kepada teks yang ada dalam perjanjian dan menekankan pada
analisis penggunaan kata. Kedua melihat pada tujuan dari para pihak mengadopsi
perjanjian tersebut sebagai solusi atas keambiguan dari beberapa ketentuan, dan
hal ini dapat disebut dengan pendekatan subyektif dalam perbedaan ketidaksuaian
mengambil perspektif yang lebih luas daripada dua yang sebelumnya dan
menetapkan obyek dan kegunaan dari traktat sebagai yang sangat penting sekali
yang mana arti dari beberapa ketentuan traktat yang menjadikan ukuran traktat
tersebut).109
Hingorani mengemukakan tiga macam aliran interpretasi, yaitu (1) tekstual, yang
mana aliran ini berpendapat bahwa traktat harus diinterpretasikan menurut hakikat
dan arti yang biasa dalam teks traktat tersebut; (2) intentions or subjective, aliran
ini berpendapat bahwa suatu traktat tidak akan sempurna tanpa mengetahui intensi
dari pembuat traktat tersebut, yang mana di sini diperlukan travaux preparationes
(preparatory works), yang berarti bahwa ulasan seperti debat, diskusi, dan
109
Ibid., h. 839.
teleological, yang mana suatu traktat dapat ditafsirkan dengan mengetahui obyek
mengacu pada aturan umum (general rule of interpretation) yang terdapat dalam
and annexe:
treaty;
provisions;
interpretation;
110
R.C. Hingorani, Op.Cit., h. 234-235.
(c) Any relevant rules of international law applicable in the
interpretasi terhadap beberapa masalah penafsiran (arti kata atau kalimat) yang
ambigu dan hasil yang tidak masuk akal dan tidak beralasan.
bahwa traktat tidak menciptakan hak ataupun kewajiban terhadap negara ketiga
111
Ibid., h. 235.
1969, bahwa “[a] treaty does not create either obligations or rights for a third
State without its consent.” Dan juga perlu diingat, bahwa perjanjian internasional
merupakan “res inter alios acta” oleh karena itu pada prinsipnya perjanjian
dengan suksesi negara adalah “one of a number of states that succeed a former
telah berubah identitasnya, oleh negara lain, yang terjadi adalah hilangnya seluruh
atau sebagian kedaulatan wilayah dari negara lama dan sekaligus perolehan
112
Sugeng Istanto, Op.Cit., h. 91.
113
United Nations Conventions on the Law of Treaties, Article 35.
114
Peter Malanczuk, Op. Cit., h. 161.
115
F. Sugeng Istanto, Op.Cit., h. 114.
replacement of one state by another in the responsibility for the international
wilayah).116
bentuk bentuk suksesi negara ini memiliki kegunaan dan kategori deskriptif,
bahwa kata-kata ini merefleksikan teori suksesi yang khusus, semisal antara cessi
dan union; dan conquest dan seccession117. Adapun menurut O’Brien suksesi
baru Y, X dan Z;
negara, yaitu dari Eropa Kontinental dan Amerika Serikat. Dalam sudut pandang
116
Article 2 (b) Konvensi Wina 1978; dan Article 2 (a) Konvensi Wina 1983.
117
Matthew C.R. Craven, “The Problem of State Succession and the Identity of States
under International Law,” European Journal of International Law 9, 1998, h. 146.
118
John O’Brien, International Law, Cavendish, London, 2001, h. 588, dalam Jawahir
Thontowi dan Praboto Iskandar, Op.Cit., h. 214.
mendefinisikan suksesi negara sebagaimana tercantum dalam Konvensi Wina
1978 dan Konvensi Wina 1983.119 Ada beberapa unsur penting yang menyangkut
wilayah, negara, dan hubungan antara negara yang melakukan suksesi dan
wilayah negara tersebut120; dan dalam hal pengakuan tidak diperlukan (hanya
bersifat deklaratif).121
Dalam sudut pandang Amerika Serikat, yang menjadi titik tolok dalam
suksesi negara adalah pengakuan (bersifat konstitutif)122, yang mana hal ini salah
menyatakan bahwa "[i]n order to take advantage of diversity jurisdiction [in U.S.
baik pada fakta atau kenyataan ketika telah terjadi suksesi (factual succession),
119
Matthew C.R. Craven, Op.Cit., h. 759.
120
Ibid., h. 760-761.
121
Ibid., h. 759-761.
122
Ibid., h. 759.
123
Ibid., h. 769. “Under U.S. law, it is generally accepted that a suit on behalf of a
sovereign state may be maintained in U.S. courts "only by that government which has been
recognized by the political department of [the U.S.] government as the authorized government of
the foreign state.”
124
National Petrochemical Co. of Iran v. M/T Stolt Sheaf, 860 F.2d 551, 553 2d Cir.,
1988, citing Pfizer Inc. v. India, 434 U.S. 308, 1978, h. 319-320, dalam Ibid., h. 770-771.
125
Budi Lazarusli dan Syahmin A.K., Suksesi Negara dalam Hubungannya dengan
Perjanjian Internasional, Remadja Karya, Bandung, 1986, h. 20.
A government, the instrumentally trough which a State
berubah, baik pada bentuknya seperti, misalnya, dari kerajaan menjadi republik
atau sebaliknya, maupun pada orang-orang atau personalia yang menjadi kepala
pemerintahan, yaitu misalnya kabinet yang satu diganti kabinet yang lain, atau
juga kepala negara yang satu diganti kepala negara lainnya, misalnya melalui
internasional.127
Hal ini terlihat dalam kasus Orient Marine Corp. v. Star Trading & Marine, Inc.,
di mana penggugat menuntut Sudan atas wanprestasi oleh Sudan atas kontrak
yang dibuat kedua belah pihak tersebut.129 Sudan membela diri bahwa negara
karena terjadinya pergantian pemerintahan dari rezim militer yang digantikan oleh
126
G.H. Hackworth, Digest of International Law, Vol. I, U.S. Goverment Printing
Office, Washington, 1940, h. 127, dalam Ibid., h. 21.
127
Ibid.
128
Ibid., h. 22.
129
Carsten Thomas Ebenroth dan Matthew James Kemner, “The Enduring Political
Nature of Questions of State Succession and Secession and The Quest for Objective Standards,”
Journal of International Economic Law, University of Pennsylvania, Vol. 17, No. 3, 1996, h. 756.
pemerintahan sipil.130 Namun, pengadilan memutuskan bahwa Sudan hanya
berganti pemerintahan saja dan bukan negara (karena masih dalam satu negara)131,
tersebut. Begitu pula dengan kasus lain, seperti Revolusi Bolshevik 1917 (Uni
dari kedua kasus ini negara tetap bertanggung jawab atas hutang-hutang yang
ditandatangani oleh kekaisaran atau parent State.133 Ini menunjukkan bahwa dapat
dikatakan negara baru yang dimulai dengan clean slate (lembaran baru) tidak
traktat multilateral termasuk traktat kategori khusus mengenai hak asasi manusia
internasional; traktat mengenai ketentuan teritorial dan rezim; traktat bilateral; dan
suksesi sendiri, seperti yang tertuang dalam Konvensi Wina 1978, secara umum
traktat dibagi menjadi tiga macam, antara lain traktat mengenai teritori, politik,
130
Ibid., h. 757.
131
Ibid., “The court found that the "only changes in the Sudan...have been in the
government...But there has been only one state."”
132
Ibid., h. 758.
133
R.C. Hingorani., Op.Cit., h. 103.
134
Ibid.
135
Malcolm N. Shaw, Op.Cit., h. 871.
dan traktat lainnya.136 Ketika bagian wilayah suatu negara, atau ketika beberapa
negara tersebut, maka wilayah tersebut menjadi bagian dari wilayah negara lain,
dengan catatan bahwa traktat negara pendahulu masih berlaku sejak tanggal
terikat atas hak dan kewajiban atas traktat yang berlaku terkecuali negara
rezim wilayah terdapat dalam Article 11, di mana suksesi negara tidak berakibat
pada batas yang telah ditetapkan dalam traktat; dan hak dan kewajiban yang
12, yaitu dalam ayat (1) suksesi negara tidak berakibat pada hak dan kewajiban
yang telah ditetapkan dalam traktat terhadap penggunaan beberapa wilayah, atau
pembatasan penggunaan wilayah atas negara asing; dan aturan ini berlaku pula
pada sekelompok negara (ayat (2)). Provisi terhadap Article 12, menurut ayat (3),
tidak berlaku pada kewajiban negara pendahulu atas pendirian basis militer negara
asing terhadap wilayah negara tersebut yang mana berhubungan dengan suksesi
negara.
136
Ibid.
137
Konvensi Wina 1978, Article 15.
138
Konvensi Wina 1978, Article 9.
Untuk negara yang baru merdeka (newly independent state/clean slate),
maka traktat yang dibuat oleh negara pendahulu tidak terikat kepadanya.139
Konvensi Wina 1978 ini juga membagi traktat menjadi dua, yaitu traktat
multilateral dan bilateral. Dalam hal traktat multilateral, khususnya dalam hal
negara yang baru merdeka, sesuai dengan ketentuan dalam Article 17 dan 18,
antara lain dalam hal status sebagai pihak peserta traktat;contracting State, baik
jika traktat tersebut belum berlaku (not into force) atau sudah berlaku (enter into
force).
139
Konvensi Wina 1978, Article 16.