Anda di halaman 1dari 14

KONSEP KEDAULATAN

DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Ayu Nrangwesti
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti
ayu.nrangwesti@trisakti.ac.id

ABSTRAK

Kedaulatan adalah konsep yang sangat luas dalam pemaknaannya. Beberapa pihak
menyebutkan kedaulatan itu muncul seiring dengan munculnya negara-negara modern. Arti
awal kedaulatan adalah pemberi sumber yang sah bagi hukum (souverainete). Kedaulatan
mempunyai batasan apabila dilihat dari sudut pandang hak dan kewajiban. Kedaulatan
memiliki keterkaitan dengan aspek-aspek antara lain wilayah, kewenangan, hukum,
kewarganegaraan dan penduduk. Kedaulatan dapat positif dan negatif. Perspesktif positivisme
memberikan definisi kedaulatan sebagai kekuasaan yang tertinggi, absolut, dan tidak ada
instansi lain yang dapat menyamakannya atau mengontrolnya, yang dapat mengatur warga
negara dan mengatur juga apa yang menjadi tujuan dari suatu negara, dan mengatur berbagai
aspek pemerintahan, dan melakukan berbagai tindakan dalam suatu negara, termasuk tetapi
tidak terbatas pada kekuasaan membuat undang-undang, menerapkan dan menegakkan hukum,
menghukum orang, memungut pajak, menciptakan perdamaian dan menyatakan perang,
menandatangani dan memberlakukan traktat, dan sebagainya. Dalam hukum internasional,
kedaulatan diakui oleh negara-negara sebagai norma dasar dari masyarakat internasional.
Hukum internasional melihat kedaulatan dari 3 aspek yaitu intern, ekstern dan territorial.
Kedaulatan telah dikukuhkan di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa. Pada
perkembangannya, kedaulatan dalam hukum internasional telah mengalami evolusi yang
diawali dengan international legal sovereignity, Westphalian sovereignity, domestic
sovereignity, dan kemudian diakhiri dengan interdependence sovereignity. Saat ini negara-
negara mengakui kedaulatan sebagai tanggung jawab. Konsep kedaulatan ini timbul akibat
pengaruh perkembangan hak asasi manusia. Negara berdaulat adalah negara yang bertanggung
jawab atas kehidupan warganegaranya.

Kata kunci: Kedaulatan, Kedaulatan Negara, Kedaulatan sebagai Tanggung Jawab

11
A. Pendahuluan
Istilah kedaulatan pertama kali digunakan oleh Jean Bodin, seorang penulis
Perancis, yang dalam aslinya atau bahasa Perancis disebut souverainete, diartikan sebagai
pemberi sumber yang sah bagi hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan kedaulatan yang
disini adalah konsep yang muncul sebagai respon atas keadaan historis yang spesifik, yakni
benturan antara kekuasaan sekuler dan religius. 1
Bagaimanapun kedaulatan sebagai sebuah konsep memiliki ketidakjelasan, yang
oleh karenanya Martin Dixon dan Robert McCorquodale menyebutnya sebagai a nebulous
concept. Hal ini bisa kita lihat dalam asal usul dari kedaulatan itu sendiri. Kedaulatan
diasumsikan oleh Mills muncul berbarengan dengan terbentuknya negara-bangsa modern
yang ditandai dengan sistem yang terdesentralisir pada tingkat internasional, yang berbeda
dengan sistem tradisional yang sangat hirarkis. Dalam sistem tradisional otoritas
keagamaan memiliki kewenangan yang sangat luas termasuk lingkup sekuler. Tapi, ada
juga yang berpendapat apabila kedaulatan muncul pada masa setelah perjanjian Westphalia.
Tidak heran apabila Philip Allot mengomentari kedaulatan sebagai, sovereignity is not a
fact but a theory.
Kedaulatan itu ada batasnya jika kedaulatan dipandang sebagai hak. Kedaulatan
terbatas karena kewajiban yang membentuk hak, dan tanpa kewajiban, tidak akan ada hak,
yang membatasi aktivitas setiap kedaulatan milik masyarakat internasional. Alasan
mengapa prinsip non-intervensi melindungi prinsip-prinsip kedaulatan, sebagaimana
dikatakan Vincent, bahwa:
“…that non intervention imposes duties that also constrain the sovereignity of the
states that bear the duty. It protects mine by constraining everyone else’s and
protects everyone else’s by constraining mine. This is what rights do. Where there
are rights, there are duty-imposing rules.” 2
Prinsip non intervensi adalah sebagai pelindung kedaulatan negara, sebagaimana
dikemukakan oleh Vincent sebagai berikut:
“If a state has a right to sovereignity, this implies that other states have a duty to
respect that right by, among other things, refraining from intervention in its
domestic affairs… The function of the principle of non-intervention in international
relations might be said, then, to be one of protecting the principle of state
sovereignity” 3
Prinsip non intervensi memang melindungi prinsip kedaulatan, akan tetapi pada saat
yang sama prinsip non intervensi ini membatasi prinsip kedaulatan. Norma non intervensi
sering digambarkan sebagai sisi lain dari koin kedaulatan. 4
Kedaulatan ada yang berada dalam rezim kedaulatan yang positif (positive
sovereignity), tetapi dapat pula menjadi kedaulatan yang negative (negative sovereignity).
Positive sovereignity lebih menekankan tentang kemampuan negara melaksanakan
kewenangan di dalam wilayah negaranya dan penduduknya serta kemampaun untuk
mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan publiknya (the ability of a state to
effectively exercise authority over its territory and population, and the ability the develop

1
Jawahir Thontowi & Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2006), h. 172.
2
Jennifer M. Welsh, Humanitarian Intervention and International Relations, (New York: Oxford
University Press, 2004), h. 15.
3
Ibid., h. 16.
4
Ibid., h. 17.

12
and implement public policy). Sedangkan negative sovereignity menekankan hak hukum
untuk tidak diintervensi, berdasarkan status hukum sebagai negara. 5
Namun demikian kedaulatan yang efektif tidak selalu berkaitan dengan wilayah
negara. Dalam kaitan antara kedaulatan dengan wilayah negara, maka Murphy membagi 2
(dua) kedaulatan yaitu de jure dan de facto sovereignity. 6 Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa kedaulatan itu tidak selalu inheren dengan wilayah negara dan juga tidak juga selalu
berdasarkan atau berbasis kepada suatu negara. 7
Kedaulatan memiliki imunitas yang merupakan suatu konsep hukum yang berasal
dari sistem feodal. Kemunculannya terkait erat dengan doktrin rex gratia dei, raja adalah
anugerah Allah. 8 Carl Schmitt berpendapat bahwa kedaulatan itu adalah suatu keputusan
yang otoritatif (yang memberi kewenangan) di dalam suatu situasi yang luar biasa, sehingga
bisa dijadikan bahan kajian tersendiri mengenai kedaulatan. Kedaulatan diasumsikan
sebagai karakter yang melekat atau inheren dengan fungsi-fungsi negara. 9
Kedaulatan merupakan suatu konsep bahasa yang penuh dengan makna. Adapun
makna dasarnya antara lain adalah otonomi domestik, hak terhadap otonomi domestik dan
hak mendapatkan kepribadian internasional (yang terakhir ini adalah untuk negara). 10
Kedaulatan secara luas meliputi wilayah, kewenangan, hukum, kewarganegaraan dan
penduduk. 11
Pemahaman tentang kedaulatan tidak akan lengkap tanpa memahami mengenai
keinginan dari yang berdaulat (the will of sovereignity). Sepanjang sejarah telah terjadi
suatu permasalahan tentang kedaulatan, dalam hal ini masalah hakekat dan kepemilikan
kedaulatan, apakah di dalam ranah domestik atau politik global. Pihak yang berdaulat (the
sovereign) adalah yang paling memiliki kekuasaan di dalam masyarakat yang meliputi
kekuasaan terhadap obyek-obyek, subyek-subyek dan ruang. 12
Teori hukum tentang kedaulatan (sovereignity) sangat terkait dengan paham hukum
positivisme, karena paham hukum positivisme inilah yang banyak membahas persoalan ini.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika persoalan kedaulatan ini banyak dibahas dalam
buku-buku yang dikarang oleh para penganut paham hukum positivisme, seperti yang
dikarang oleh John Austin, HLA Hart, Hans Kelsen, Friedman, dan Lon Fuller. 13
Apa yang dimaksud dengan kedaulatan (sovereignity) adalah kekuasaan yang
tertinggi, absolut, dan tidak ada instansi lain yang dapat menyamakannya atau
mengontrolnya, yang dapat mengatur warga negara dan mengatur juga apa yang menjadi
tujuan dari suatu negara, dan mengatur berbagai aspek pemerintahan, dan melakukan
berbagai tindakan dalam suatu negara, termasuk tetapi tidak terbatas pada kekuasaan
membuat undang-undang, menerapkan dan menegakkan hukum, menghukum orang,
memungut pajak, menciptakan perdamaian dan menyatakan perang, menandatangani dan
memberlakukan traktat, dan sebagainya. 14

5
Dominik Zaum, The Sovereignity Paradox The Norms and Politics of International Statebuilding, (New
York: Oxford University Press, 2007), h. 35.
6
John Agnew, Globalization & Sovereignity, (UK: Rowman & Littlefield Publisher, 2009), h. 6.
7
Ibid., h. 9.
8
Christopher Shortell, Rights Remedies, and the Impact of State Sovereign Immunity, (New York:
University of New York Press, 2008), h. 13
9
Douglas Howland and Luise White, The State of Sovereignity Territories, Laws, Populations, (USA:
Indiana University Press, 2009), h. 1.
10
Ibid, h. 2.
11
Ibid., h. 2.
12
Ibid., h. 266.
13
Munir Fuady, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory), (Jakarta: Prenadamedia Group,
2013), h. 91.
14
Ibid.

13
Pihak lain memberikan definisi kedaulatan yang dikaitkan dan politik dan teologi:
The Sovereign is the political being characterized by this consciousness of the
possibility of its own death. The state must first come into being; it must achieve its
own existence. It must continue to will itself to be ini the face of the acknowledgment
of its own mortality. To flee from confroting the possibility of the death of the state
is a kind of inauthenticity. To take up that knowledge is to achieve a kind of political
authenticity. 15
Kedaulatan menyiratkan sebuah kekuasaan yang teratas (supreme power) terhadap
warganegara dan subyek-subyek hukum. Status sebagai negara (statehood) menyiratkan
adanya kedaulatan sebagai sesuatu yang secara hakiki bersifat absolut, abadi, tak terpisahkan
dan tidak bisa dicabut (perpetual, indivisible dan inalienable). Oleh karena itu, teori-teori
tentang kedaulatan adalah teori-teori yang menjadi satu kesatuan (theories of unity). 16
Beberapa pihak ada yang mengklaim bahwa kedaulatan juga mempunyai moral, ini
yang disebut dengan kedaulatan moral (moral sovereignity), dimana negara dianggap sebagai
perwujudan dari kebaikan bersama (common good) dari warganegaranya. Kehendak yang
berdaula adalah kehendak moral itu sendiri. 17 Teori ini tidak diterima oleh banyak pihak.
Selain itu, beberapa pengertian yang juga pernah diberikan kepada kedaulatan atau
(sovereignity) sebagai berikut:
1. Jean Bodin: dalam bukunya De La Republique, Bodin mengartikan kedaulatan sebagai
kekuasaan yang absolut dan berkelanjutan dalam sebuah negara yang berada diatas hukum
positif.
2. Pufendorf: kedaulatan tidaklah bersifat absolut, tetapi dapat saja dibatasi oleh konstitusi.
3. Thomas Hobbes: dalam konsep kedaulatan, terkandung makna kemahakuasaan
(omnipotence).
4. John Austin: orang atau badan ataupun pimpinan negara yang memiliki kedaulatan dapat
membuat hukum positif yang akan diterapkan terhadap para anggota dari suatu masyarakat
politik independe dibawah kekuasaan pemangku kedaulatan tersebut. Dalam hal ini
mayoritas dari masyarakat tersebut akan mematuhi kehendak dari pemangku kedaulatan
yang bersangkutan. 18

B. Kedaulatan Negara dalam Hukum Internasional


Kedaulatan negara merupakan suatu konsep pilar yang fundamental dari sistem
internasional, yang merupakan norma dasar (basic norm) dari masyarakat internasional, prinsip
tertinggi (cardinal principle) dalam hukum internasional dan batu penyangga (corner stone)
dari Piagam PBB serta merupakan kovenan global. 19 Kedaulatan mempunyai nilai yang sangat
tinggi. Bahkan kedaulatan menurut Thomas Hobbes mengandung makna kemahakuasaan
(omnipotence). 20 Disamping itu kedaulatan mengandung prinsip kewenangan (power).
Kewenangan sendiri merupakan suatu kebebasan (liberty), kekuasaan (authority) atau
kemampuan (ability) yang dimiliki seseorang atau suatu badan untuk melakukan suatu tindakan
hukum yang dapat menghasilkan suatu efek, kekuatan, paksaan, dominasi dan kontrol atas
orang lain. 21
Kedaulatan dalam konteks negara (kedaulatan negara) merupakan kekuasaan tertinggi
yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai
15
Paul W. Kahn, Political Theology, Four New Chapters on The Concept of Sovereignity, (New York:
Columbia University Press, 2006), h. 61.
16
Andrew Vincent, Theories of the State, (New York: Basic Blackwell Ltd, 1987), h. 198.
17
Ibid. h. 201.
18
Ibid., h. 92.
19
Supra catatan kaki nomor 21.
20
Munir Fuady, Op. Cit., h. 93.
21
Ibid.

14
kepentingannya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional. 22
Kedaulatan dalam pengertian ini memiliki 3 (tiga) aspek utama yaitu ekstern, intern dan
teritorial. 23 Aspek ekstern kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas
menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-kelompok lain tanpa
kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain. 24 Aspek intern kedaulatan ialah hak atau
wewenang eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja
lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang diinginkannya serta
tindakan-tindakan untuk mematuhi. 25 Sedangkan aspek teritorial kedaulatan berarti kekuasaan
penuh dan eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang
terdapat di wilayah tersebut. 26
Kedaulatan negara dalam konteks hukum internasional seringkali dikaitkan dengan
wilayah negara. 27 Hakim Huber memberikan pengertian kedaulatan dalam kasus Kepulauan
Palmas sebagai berikut:”…sovereignity in relation to a portion of the surface of the globe is
the legal condition necessary for the inclusion of such portion in the territory of any particular
state…”. 28 Kedaulatan merupakan suatu kondisi hukum untuk bagian wilayah permukaan bumi
dari negara tertentu. Inilah yang dinamakan dengan kedaulatan teritorial.
Berkaitan dengan definisi di atas, dikatakan bahwa kedaulatan itu erat kaitannya dengan
kemerdekaan: “…sovereignity in the relations between states signifies independence.
Independence in regard to a portion of the globe is the right to exercise there in, to the
exclusion of any other state, the function of a state.” 29 Kedaulatan dapat pula menjadi anarki,
jika kedaulatan tersebut diimplementasikan secara absolut:…”the concept of sovereignity,
being made to serve the state or nation regarde as an absolute end, wa interpreted as justifying
the use of absolute power or symbplising the actual possession of it.” 30
Kedaulatan teritorial sendiri adalah istilah mengenai keberadaan hak-hak dari wilayah
teritorial, yang melebihi pengertian kedaulatan sebagai kemerdekaan negara atau sebagai
hubungan individu dengan individu. 31 Kedaulatan teritorial ini berakar dari Hukum Romawi
yang mengatur tentang kepemilikan dan kepunyaan (ownership and possession). Sehingga
disini esensi dari kedaulatan adalah hak (title). 32
Perwujudan dari kedaulatan negara (state sovereignity) diwujudkan salah satunya
dengan prinsip non intervensi. Prinsip non intervensi terkandung di dalam aturan yang
mengatur tentang larangan penggunaan senjata dan kekerasan bersenjata dalam hubungan antar
negara-negara. Aturan ini dicantumkan di dalam Artikel 2 (4) dari Piagam PBB sebagai
berikut: “…All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of
force against the territoiral integrity or political independence of any state, or in any other
manner inconsistent with the Purposes of the United Nations…”. 33 Aturan tersebut dinyatakan

22
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,
(Bandung: Penerbit PT Alumni, 2001), h. 24.
23
Ibid.
24
Ibid.
25
Ibid.
26
Ibid.
27
Disamping inheren dengan wilayah negara, kedaulatan juga melekat pada penduduknya serta tanggung
jawabnya.
28
Malcolm N. Shaw, International Law, (New York: Cambridge University Press, 2008)., h. 489.
29
Neil Walker, ed. Sovereignity in Transition, (Oregon: Hart Publishing, 2006), h. 118.
30
Ibid. h. 119.
31
Ibid., h. 490.
32
Ibid.
33
Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice, (United Nations
Department of Public Information, 1997), h. 6.

15
sebagai prinsip dalam hukum kebiasaan internasional dan oleh karenanya mengikat terhadap
semua negara dalam komunitas dunia. 34
Selain daripada itu, terdapat juga suatu teori umum dalam hukum yang mengasumsikan
bahwa disetiap masyarakat yang didalamnya tentu terdapat hukum, selalu ada yang disebut
dengan pihak pemangku kedaulatan (sovereign person). Asumsi hukum ini sangat mendasar
dan fundamental dalam setiap sistem hukum. Pihak pemangku kewenangan ini dalam istilah
sehari-hari sering disebut dengan pejabat yang berdaulat, baik pejabat formal maupun pejabat
informal, baik tingkat lokal maupun tingkat nasional. Para pejabat berdaulat inilah yang
masing-masing akan merancang, membuat, menemukan, menafsirkan, menerapkan, dan
menegakkan hukum dalam suatu negara dan masyarakat.
Pembahasan hukum tentang kedaulatan (sovereignity) memunculkan suatu teori yang
disebut dengan teori kedaulatan atau oleh Hart disebut dengan istilah the doctrine of
sovereignity. Dalam memahami teori kedaulatan haruslah dipahami secara komprehensif.
Dalam teori kedaulatan, dikenal teori kedaulatan absolut. Teori ini mengacu pada
pendapat J.J. Rousseau yang mengemukakan 3 (tiga) ciri kedaulatan. Pertama, kedaulatan itu
sesungguhnya adalah pelaksaan dari volente generale, yaitu kehendak dari seluruh warga
negara. Itulah sebabnya, dalam konteks ini kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi, sebab jika
kedaulatan itu dapat dibagi-bagi maka kedaulatan itu bukan lagi menjadi volente generale
tetapi mejadi volente de tous. Kedua, kedaulatan itu tidak dapat diwakili. Ketiga, kedaulatan
itu tidak dapat dimusnahkan. 35 Teori Kedaulatan Pluralis
Disamping kedaulatan absolut, ada pula kedaulatan yang pluralis. Dalam pandangan
penganut paham kedaulatan yang pluralis tentang kedaulatan dinyatakan bahwa sangat penting
desentralisasi kekuasaan dan kewenangan kepada society. Harold J. Laski sebagai salah satu
penganut aliran pluralisme tentang kedaulatan mengatakan: “… sovereignity, in fact, has
necessarily to be distributed in order that the purposes of men may be achieved”. 36
Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara
bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal saja kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan hukum internasional. Sesuai konsep hukum internasional, kedaulatan
memiliki tiga aspek utama yaitu: ekstern, intern dan teritorial.
a. Aspek ekstern kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan
hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan,
tekanan atau pengawasan dari negara lain;
b. Aspek intern kedaulatan ialah hak atau wewenang eksklusif suatu negara untuk
menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga-lembaga tersebut dan hak
untuk membuat undang-undang yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk
mematuhi;
c. Aspek teritorial kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki oleh
negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah tersebut. 37
Di samping itu kedaulatan juga mempunyai pengertian negatif dan positif. Pengertian
negatif berarti bahwa negara tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum internasional yang
mempunyai status yang lebih tinggi. Kedaulatan dalam pengertian negatif berarti pula negara
tidak tunduk pada kekuasaan apapun dan dari manapun datangnya tanpa persetujuan negara
yang bersangkutan.
Sedangkan kedaulatan dalam pengertian positif berarti kedaulatan itu memberikan
kepada negara, pimpinan tertinggi atas warga negaranya. Ini yang dinamakan wewenang penuh

34
Malcolm. N. Shaw, Op. Cit., h. 1123.
35
Hinca IP Pandjaitan, Kedaulatan Negara Versus Kedaulatan Fifa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2011) h. 55.
36
Ibid.
37
Boer Mauna, Op. Cit., h. 24.

16
dari suatu negara. Pengertian positif dari kedaulatan juga berarti bahwa kedaulatan
memberikan wewenang kepada negara untuk mengeksploitasi sumber-sumber alam wilayah
nasional bagi kesejahteraan umum masyarakat banyak. Ini yang disebut kedaulatan permanen
atas sumber-sumber kekayaan alam. 38
Selanjutnya kedaulatan juga ekivalen dengan kemerdekaan. Bila suatu negara disebut
berdaulat, itu juga berarti merdeka dan sebaliknya. Bagi suatu negara yang baru lahir dan yang
mengadakan kegiatan hubungan luar negeri, sering disebut negara merdeka ataupun negara
berdaulat saja. Kata merdeka lebih diartikan bahwa suatu negara tidak lagi berada di bawah
kekuasaan asing dan bebas untuk menentukan kebijaksanaan dalam dan luar negerinya dan
kata kedaulatan lebih mengutamakan kekuasaan eksklusif yang dimiliki negara tersebut dalam
melaksanakan kebijaksanaannya. Namun, sebagai atribut negara, kedua kata tersebut
mempunyai arti yang hampir sama dan yang satu dapat menguatkan yang lain. 39

C. Kedaulatan dan Wilayah Negara


Uraian di atas telah menjelaskan bahwa kedaulatan dalam konteks hukum internasional
adalah kedaulatan negara (state sovereignity). Kedaulatan dalam hal ini inheren dengan
wilayah teritorial, walaupun bukanlah satu-satunya yang melekat pada kedaulatan. Oleh karena
itu, perlu pula diketahui tentang apa yang disebut dengan wilayah negara.
Wilayah negara sendiri secara karateristik, terdapat 4 (empat) kategori wilayah secara
umum yaitu:
a. “Territory owned by a sovereign state (sovereign territory);
b. Territory not owned by any State due to its special status (trust territory);
c. Territory capable of ownership, although not yet under sovereign control (terra
nullius); and
d. Territory that cannot be owned by any nation (res communis)”. 40
Salah satu atribut utama dari kedaulatan negara adalah hak kepemilikan dan
pengawasan yang eksklusif terhadap wilayahnya. Suatu negara berhak untuk melakukan
kedaulatan atas tanah yang terletak di dalam wilayah teritorialnya. Batas kedaulatan biasanya
dibatasi oleh garis batas alami, seperti lautan, gunung, dan perbatasan alami lainnya yang
biasanya memberikan batasan geografis pada kemampuan negara untuk mengawasi
wilayahnya. 41
Kategori kedua dari kedaulatan adalah wilayah yang tidak tunduk pada kedaulatan
negara manapun karena merupakan wilayah dengan status khusus. Wilayah tersebut
merupakan mandat Liga Bangsa-bangsa dan wilayah dibawah perwalian PBB setelah Perang
Dunia ke-II. Di bawah Piagam PBB, kategori wilayah ini tidak memiliki kemampuan
mengendalikan wilayahnya sendiri karena tidak memiliki infrastruktur politik. Liga Bangsa-
bangsa dan PBB menempatkan wilayah-wilayah semacam itu di bawah perlindungan negara-
negara yang besar untuk mempromosikan penentuan nasib sendiri (self determination) dari
para penghuninya. 42
Kategori wilayah yang ketiga adalah terra nullius. Pada suatu waktu, tidak ada negara
yang memiliki wilayah ini. Wilayah ini disebut pada era kolonial sebelumnya sebagai wilayah
yang terra nullius. 43

38
Ibid, h. 25.
39
Ibid.
40
William R, Slomanson, Fundamental Perspective on International Law, (United States: West
Thomson Learning, 2000), h. 231.
41
Ibid, h. 232.
42
Ibid.
43
Ibid.

17
Kategori wilayah selanjutnya adalah res communis. Kategori keempat wilayah ini tidak
mampu dimiliki atau dikendalikan secara hukum. Wilayah ini milik 1 (satu) pihak dan harus
dapat dipergunakan bersama oleh semua negara. Di bawah hukum internasional, seluruh
komunitas bangsa harus memiliki akses tanpa batas ke wilayah tersebut. Wilayah-wilayah ini
tidak dapat secara sah dikendalikan oleh negara atau kelompok negara mana pun tanpa
persetujuan komunitas bangsa-bangsa. Contoh paling jelas dari res communis adalah laut lepas
(high seas) dan ruang angkasa. 44 Contoh lainnya adalah Antartika yang didasarkan pada
Artikel 4 Antartic Treaty 1959. Beberapa kalangan mengatakan antartika menjadi res
communis karena cuaca yang sangat ekstrim sehingga sulit untuk di okupasi. Sementara pihak-
pihak lainnya mengatakan bulan dan benda-benda langit lainnya (others celestial bodies) juga
termasuk res communis. 45

D. Perkembangan Konsep Kedaulatan dalam Hukum Internasional


Pada perkembangannya, kedaulatan digunakan di dalam 4 (empat) macam jenis yang
berbeda, yaitu: “international legal sovereignity, Westphalian sovereignity, domestic
sovereignity, dan interdependence sovereignity.” Stephen D. Krasner menjelaskan macam-
macam kedaulatan tersebut dengan jelas sebagai berikut:
“International legal sovereignity refers to the practices associated with mutual
recognition, usually between territorial entities that have formal juridical
independence. Westphalian sovereignity refers to political organization based on the
exclusion of external actors from authority structures within a given territory. Domestic
sovereignity refers to the formal organization of political authority within the state and
the ability of public authorities to exercise effective control within the borders of their
own polity. Interdependence sovereignity refers to the ability of public authorities to
regulate the flow of information, ideas, good, people, pollutants, or capital across the
borders of their state.” 46

Kedaulatan dengan wilayah negara memiliki hubungan yang sangat erat, yang
kemudian disatukan, disebut dengan istilah kedaulatan teritorial (territorial sovereignity) atau
kedaulatan wilayah. Kedaulatan teritorial atau kedaulatan wilayah didefinisikan sebagai
kedaulatan yang dimiliki negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksklusif di wilayahnya. Di
dalam wilayah inilah negara memiliki wewenang untuk melaksanakan hukum nasionalnya. 47
Pada prinsipnya, fungsi dan pelaksanaan kedaulatan dilaksanakan di dalam wilayah
negara tersebut. Semua orang, benda yang berada atau peristiwa hukum yang terjadi di suatu
wilayah pada prinsipnya tunduk kepada kedaulatan dari negara yang memiliki wilayah
tersebut. 48 Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi dan bersifat monopoli atau summa potesta
atau supreme power yang hanya dimiliki oleh negara. Dalam hal ini berlakulah adagium qui in
territorio meo est, etiam meus subditus est. Prinsip yang lahir dari pengertian kedaulatan
teritorial ini adalah bahwa negara tersebut harus mampu melaksanakan kekuasaan yang penuh
atau eksklusif atas wilayahnya. Prinsip ini dinyatakan oleh Chief Justice Marshall dalam
sengketa the Schooner Exchange v. McFaddon (1812). 49
Kedaulatan teritorial mengalami perubahan yang terjadi pada 2 (dua) sektor, yaitu
sektor perluasannya dan pengurangannya. Kedaulatan teritorial mengalami perluasan terjadi
karena kondisi negara memperoleh wilayah baru berdasarkan cara-cara yang sah dalam hukum

44
Ibid.
45
Ibid.
46
Stephen D. Krasner, Sovereignity Organized Hypocrisy, (UK: Princeton University Press, 1999), h. 3.
47
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam HUkum Intenasional, (Bandung: Keni Media, 2011), h. 107.
48
Ibid.
49
Ibid.

18
internasional. Perluasan juga terjadi karena terjadinya klaim-klain atas wilayah, terutama
wilayah laut. Klaim ini didorong oleh perkembangan teknologi, khususnya teknologi militer
dan teknologi penambangan dasar laut samudera dalam. 50
Sedangkan pengurangan kedaulatan teritorial tampak pada meningkatnya regionalisme
dan globalisasi ekonomi. Misalnya, perkembangan di Eropa Barat yang ditandai dengan
bersatunya Eropa Barat, yakni Masyarakat Eropa (ME) sekarang Uni Eropa (European Union).
Sejak tahun 1992, setiap penduduk ME bebas mengunjungi dan bekerja di negara-negara ME
lainnya tanpa prosedur imigrasi atau administrasi yang ketat. 51
Pada perkembangan lebih lanjut, konsep kedaulatan berkembang menjadi kedaulatan
sebagai tanggung jawab. Tanggung jawab dalam konteks hukum internasional adalah tanggung
jawab negara (state responsibility). Pada perkembangannya, dikenal pula konsep tanggung
jawab perdata dari negara atau state liability.
Hukum tentang tanggung jawab negara memiliki sejarah dan perkembangannya sendiri
yang dapat diuraikan melalui tahap-tahap ringkasan sebagai berikut:
1. Hukum tentang tanggung jawab negara telah dilepaskan dari keseluruhan aturan-aturan
hukum yang substantif yang mengatur tentang perlakuan terhadap orang-orang asing. Hal
inilah yang membedakan antara primary rules dengan secondary rules dalam hukum
internasional. Primary rules berupa kebiasaan maupun perjanjian internasional yang
berisikan kewajiban negara-negara seperti imunitas negara, perlakuan terhadap orang
asing, imunitas diplomat dan konsuler, penghormatan terhadap kedaulatan teritorial negara
lain. Sedangkan secondary rules berupa “…rules establishing the conditions on which a
breach of a primary rule may be held to have accured and the legal consequences of this
breach...”. 52
2. Hukum tentang tanggung jawab negara saat ini telah memberikan klarifikasi terhadap
beberapa aturan-aturan terdahulu yang kontroversial seperti: teori kesalahan, pengertian
kerusakan, keadaan yang meniadakan tindakan yang salah (wrongfulness).
3. Hukum tentang tanggung jawab telah dikristalisasikan untuk kebutuhan pembedaan
terhadap kategori tanggung jawab dimana negara dapat dibebankan untuk bertanggung
jawab. Ada 2 (dua) bentuk kategori negara yang dapat dibebankan bertanggung jawab.
Pertama, negara dibebankan bertanggung jawab terhadap pelanggaran hukum internasional
yang biasa. Kedua, negara bertanggung jawab terhadap sekumpulan tanggung jawab yang
mengganggu (aggravated responsibility) karena melanggar aturan-aturan yang
fundamental dari hukum internasional. 53 Setiap kali satu negara melakukan tindakan yang
melanggar hukum internasional terhadap negara lain, tanggung jawab internasional
dibebankan kepada negara tersebut. Pelanggaran kewajiban internasional menimbulkan
kewajiban untuk untuk mengganti kerugian dalam bentuk reparation. 54
4. Hukum tentang tanggung jawab telah berkembang tidak hanya negara yang dapat
bertanggung jawab, tetapi individu juga dapat dibebankan untuk bertanggung jawab. Ini
yang disebut dengan individual criminal liability, yang merupakan lawan dari state
responsibility 55
Pemahaman tentang kedaulatan sebagai tanggung jawab dilandasi oleh muncul dan
berkembangnya konsep hak asasi manusia. Hak-hak asasi yang dimiliki individu terhadap
negara, mempengaruhi pemahaman pihak barat tentang kedaulatan pada khususnya.
Penekanan pada hak asasi manusia telah mengubah hubungan antara negara dan orang-orang

50
Ibid., h. 110.
51
Ibid.
52
Antonio Cassese, Op. Cit.,h. 185.
53
Ibid., 185 et seq.
54
Malcolm N. Shaw, Op. Cit., h. 778.
55
Ibid, hlm 186.

19
yang diperintah, memperkuat gagasan kedaulatan rakyat dan hak-hak yang diperintah oleh
negara. Negara dalam melaksanakan kewenangan berdaulatnya, harus memberikan hak sipil
dan politik kepada warga negaranya dan menghormati hak-hak tersebut. Hal ini memperkuat
klaim atas partisipasi politik yang muncul dari gagasan kedaulatan rakyat. 56
Kedaulatan sebagai tanggung jawab merupakan a new normative principle of
international order. 57 Pada dasarnya kedaulatan sebagai tanggung jawab ini merupakan sebuah
bentuk pembatasan kedaulatan negara. Hal ini dikemukakan oleh Henry Shue sebagai berikut:
“Sovereign states also have duties, apart from rights (rights which may include a state’s
right to do some wrongs). Such duties constrain states’ behavior by making their
sovereignty conditional on a minimal level of respect for the human rights of their own
citizens (Shue 2004). And so, sovereignty is not, as it used to be, a natural feature of
political societies, but a status conferring membership of the international system: that
it should not be unconditionally conferred reflects simple moral institutions as well as
recent trends in international law. In the twentieth century, sovereignty came to be
justified increasingly in terms of the state’s role as guarantor of certain basic human
rights, replacing the politically ineffective legitimating principle of absolute right.” 58

Mantan Sekjen PBB Kofi Annan bahkan mempertegas keterbatasan kedaulatan ini
dengan mengatakan bahwa ada 2 (dua) konsep kedaulatan yang membuat masyarakat
internasional memiliki tanggung jawab sekaligus merupakan hak negara-negara.
Konsep kedaulatan sebagai tanggung jawab diutarakan pertama kali oleh Francis Deng
yang memformulasikan konsepnya sebagai berikut:
“that responsibility, rather than control, should be seen as the essence of sovereignty.
They developed a theory of authority to justify the exercise of governmental functions
by international actors in Africa. Sovereignty as Responsibility argues that the state
has an obligation 'to preserve life-sustaining standards for its citizens’. That obligation
is a necessary condition of sovereignty”. 59
Konsep ini didasari pada konsep kedaulatan menurut Ron Fuller bahwa: “…the
sovereign does not exist above the law but that the legitimacy of the sovereign is instead judged
according to law…” 60 Fuller mengatakan bahwa sebuah kediktatoran bisa merupakan bentuk
hukum sendiri yang jauh dari moralitas ketertiban, jauh dari moralitas kebatinan hukum itu
sendiri, sehingga tidak lagi menjadi sistem hukum yang baik. Menurut Fuller lebih lanjut:
As we seek order, we can meaningfully remind ourselves that order will do us no good
unless it is good for something. As we seek to make our order good, we can remind
ourselves that justice is impossible without order, and that we must not lose order itself
in the attempt to make it good. 61
Adapun unsur-unsur dari kedaulatan sebagai tanggung jawab adalah sebagai berikut:
1. To qualify for the name of government, a government has now to meet certain
standards, all of which involve restraints on the use of power;
2. The international community has a responsibility to ensure that the state meets
these standards and is in fact able and willing to guarantee protection to its citizens
3. Sovereignty understood in that sense of an obligation to preserve life has become a
pooled function. 62

56
Dominik Zaum, Op. Cit, h. 37.
57
Cristina Gabriela Badescu, Op. Cit., h. 23.
58
Ibid., h. 24.
59
Anne Orford, Op. Cit., h. 13.
60
Ibid.
61
Ibid.
62
Ibid.,h. 14.

20
Latar belakang lahirnya konsep kedaulatan sebagai tanggung jawab ini berasal dari
tugas utama dari negara yang harus bertanggung jawab atas fungsi melindungi keselamatan
dan kehidupan warga negaranya dan peningkatan kesejahteraannya. Tanggung jawab untuk
melakukan fungsi melindungi warga negara dan meningkatkan kesejahteraan ini merupakan
fungsi yang pertama dan utama. Namun, fungsi-fungsi itu sering tidak dilakukan oleh negara,
sebagaimana dibuktikan oleh fakta-fakta antara lain bahwa kehidupan manusia tetap berada
dalam belas kasihan perang saudara, pemberontakan, penindasan negara, dan keruntuhan
negara. Dalam keadaan seperti itu, negara yang tidak memiliki kekuatan, kapasitas atau
kemauan untuk memenuhi tanggung jawabnya untuk melindungi warganegaranya akan
memunculkan suatu kebutuhan akan tindakan internasional.
Akibat dari kedaulatan sebagai tanggung jawab ini adalah:
1. Bahwa konsep kedaulatan yang mutlak dan tak terbatas terpecahkan melalui konsep ini
yang digantikan dengan konsep kedaulatan sebagai tanggung jawab agar negara melakukan
good governance;
2. Suatu negara memiliki tanggung jawab untuk membantu negara lain atau bahkan
melindungi warganegara negara lain, jika negaranya tidak menjalankan tanggung jawabnya
sendiri. 63
Intervensi internasional yang diambil untuk melindungi individu dari bencana
kemanusiaan, baik yang diundang oleh negara yang bermasalah atau dipaksakan sebagai
langkah terakhir, tidak selalu merupakan pelanggaran kedaulatan. Sebaliknya, hal tersebut
menjadi bagian yang normal dari kerangka kerja untuk tanggung jawab dan akuntabilitas
sebagai anggota dalam masyarakat internasional, dan karenanya justru harus dilihat sebagai
pelengkap dan penguat kedaulatan nasional.
Francis Deng sebagai pelopor konsep kedaulatan sebagai tanggung jawab mengatakan
bahwa:
“I realize this is an internal matter. I am wholly respectful of your country's
sovereignty, but the essence of being a sovereign country these days is not just
protection from outside interference—rather it's a matter of states having positive
responsibilities for their own citizens' welfare, and to assist each other. So on that basis,
let us engage together to see how we can solve this problem." 64
Di sisi lain ada pihak-pihak yang menyatakan bahwa konsep kedaulatan sebagai
tanggung jawab ini cacat. Alasan dari kecacatannya adalah 2 (dua) hal yaitu:
1. Bahwa sebenarnya kedaulatan sebagai tanggung jawab bukanlah sebuah konsep yang baru.
Konsep kedaulatan negara, dalam dimensi eksternalnya, secara tradisional dipahami
sebagai sebuah konsep yang mandiri. Perumusan secara tepat oleh hakim Max Huber dalam
kasus Pulau Palmas (sebagai arbitrator), tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup
kedaulatan absolut dari negara. Sebagai norma hukum internasional, kedaulatan selalu
dipahami juga mencakup kewajiban hukum (legal obligation). Misalnya saja pada
Deklarasi Hubungan Bersahabat yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB tahun 1970
secara eksplisit mengakui konektivitas antara kedaulatan dan kewajiban berdasarkan
hukum internasional. Ketika suatu negara menuntut elemen kesetaraan kedaulatan dengan
negara-negara lain, tidak hanya hak-hak negara tertentu saja tetapi juga kewajiban negara
untuk menghormati negara lainnya serta untuk mematuhi sepenuhnya dan dengan itikad
baik dengan kewajiban internasional mereka. 65
2. Kesimpulan hukum yang konkret dari perubahan konsep kedaulatan negara adalah sesuatu
yang tidak mungkin. Sebagaimana dikodifikasikan dalam Pasal 2.1 Piagam PBB,
kedaulatan, adalah norma hukum. Pada saat yang sama, norma-norma dan prinsip-prinsip
63
Julia Hoffman dan Andre Noelkamper, Op. Cit., h. 187.
64
Gareth Evans, Op. Cit.,h. 35.
65
Mehrdad Payandeh, Loc. Cit., h., 12.

21
hukum lainnya sering dilihat dalam konteks dengan kedaulatan seperti non intervensi,
integritas wilayah, atau kapasitas hukum. Norma-norma ini memiliki keberadaan
hukumnya sendiri sebagai norma dan prinsip hukum yang independen. Oleh karena itu,
perubahan konseptual di dalam prinsip kedaulatan hanya dapat memiliki dampak terbatas
pada norma-norma ini.
Disamping itu laporan ICISS meskipun mengacu pada Pasal 2.1 Piagam PBB,
berbicara tentang kedaulatan sebagai prinsip fungsional hubungan internasional yang harus
direkayasa ulang. ICISS melakukan redefinisi konseptual ini untuk merekonsiliasi ketegangan
antara konsep kedaulatan negara dan hak asasi manusia. Laporan ICISS terdiri dari proposal
konkret untuk perubahan dalam kerangka internasional untuk pencegahan dan penahanan
pelanggaran berat HAM, tetapi tidak ada kaitannya dengan isi kedaulatan sebagai prinsip
hukum. 66
Konsep kedaulatan sebagai tanggung jawab ini dikeluarkan seiring berkembangnya
konsep human security dalam hubungan internasional. Mary Kaldor memberikan definisi
human security sebagai berikut:
“as about the security of individuals and communities rather than the security of states
and it combines both human rights and human development, freedom from fear and
freedom from want” 67

Perspektif di atas terinspirasi melalui berakhirnya Perang Dingin (Cold War), efek dari
globalisasi, integrasi dari negara-negara Eropa dan meningkatnya peran dari aktor
transnasional. 68 Hal-hal baru dicetuskan di dalam konsep human security ini:
“The existence of a human community with certain shared rights and obligations…The
basic rights of individuals, regardless of their nationality, were thus increasingly
deemed inviolable and of greater import than the rights of states” 69
Perspektif tentang human security terdiri dari visi normatif tentang tanggung jawab
negara terhadap warganya dan, secara signifikan, tanggung jawab masyarakat internasional
terhadap warga negara di negara-negara yang gagal memenuhi tanggung jawab ini. Dengan
demikian hak asasi manusia dianggap sebagai keprihatinan internasional dan bukan satu-
satunya yurisdiksi negara berdaulat.

E. Kesimpulan
1. Pengertian hakiki dari kedaulatan adalah pemberi yang sah bagi hukum. Kedaulatan
bukanlah sebuah fakta, namun hanya merupakan sebuah teori atau konsep saja. Kedaulatan
dapat dibatasi, jika dipandang sebagai hak. Kewajiban dapat memunculkan hak.
Kedaulatan (sovereignity) adalah kekuasaan yang tertinggi, absolut, dan tidak ada pihak
lain yang dapat menyamakannya atau mengontrolnya, yang dapat mengatur warga negara
dan mengatur juga apa yang menjadi tujuan dari suatu negara, dan mengatur berbagai
aspek pemerintahan, dan melakukan berbagai tindakan dalam suatu negara, termasuk
tetapi tidak terbatas pada kekuasaan membuat undang-undang, menerapkan dan
menegakkan hukum, menghukum orang, memungut pajak, menciptakan perdamaian dan
menyatakan perang, menandatangani dan memberlakukan traktat, dan sebagainya.
2. Dalam hukum internasional, kedaulatan negara merupakan suatu konsep pilar yang
fundamental dari sistem internasional, yang merupakan norma dasar (basic norm) dari
masyarakat internasional, prinsip tertinggi (cardinal principle) dalam hukum internasional
dan batu penyangga (corner stone) dari Piagam PBB serta merupakan kovenan global.

66
Mehdad Payandeh, Loc. Cit., h.13.
67
Aidan Hehir, Op. Cit., h. 109 et seqq.
68
Ibid.
69
Ibid., h. 110.

22
Dalam hukum internasional, kedaulatan memiliki aspek ekstern, intern dan teritorial.
Kedaulatan berkaitan erat dengan wilayah suatu negara.
3. Pada perkembangan saat ini, kedaulatan dipandang sebagai sebuah tanggung jawab. Hal
ini artinya adalah bahwa sebagai negara yang mempunyai kedaulatan berarti negara
tersebut mempunyai kewajiban untuk memelihara kehidupan warganegaranya dengan baik
sesuai standar hidup yang layak sebagai manusia. Apabila negara melanggar kewajiban
ini, berarti negara telah melanggar kewajibannya. Pelanggaran kewajiban adalah
pelanggaran terhadap kedaulatan. Oleh karena ada pelanggaran kedaulatan, maka dapat
dikatakan ada pelanggaran terhadap hukum internasional.

Daftar Pustaka
Jawahir Thontowi & Pranoto Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: PT
Refika Aditama, 2006.

Jennifer M. Welsh. Humanitarian Intervention and International Relations. New York:


Oxford University Press, 2004.

Dominik Zaum. The Sovereignity Paradox The Norms and Politics of International
Statebuilding. New York: Oxford University Press, 2007.

John Agnew. Globalization & Sovereignity. UK: Rowman & Littlefield Publisher, 2009.

Christopher Shortell. Rights Remedies, and the Impact of State Sovereign Immunity. New
York: University of New York Press, 2008.

Douglas Howland and Luise White. The State of Sovereignity Territories, Laws,
Populations. USA: Indiana University Press, 2009.

Munir Fuady. Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory). Jakarta: Prenadamedia
Group, 2013.

Stephen D. Krasner. Sovereignity Organized Hypocrisy. UK: Princeton University Press,


1999.

Huala Adolf. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Bandung: Keni Media,
2011.

Paul W. Kahn. Political Theology, Four New Chapters on The Concept of Sovereignity.
New York: Columbia University Press, 2006.

Andrew Vincent. Theories of the State. New York: Basic Blackwell Ltd, 1987.

Boer Mauna. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global. Bandung: Penerbit PT Alumni.

Malcolm N. Shaw. International Law. New York: Cambridge University Press, 2008.

Neil Walker, ed. Sovereignity in Transition.Oregon: Hart Publishing, 2006.

23
Hinca IP Pandjaitan. Kedaulatan Negara Versus Kedaulatan Fifa. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2011.

William R, Slomanson. Fundamental Perspective on International Law. United States:


West Thomson Learning, 2000.

Antonio Cassese. International Law. New York: Oxford University Press, 2001.

Dominik Zaum. The Sovereignty Paradox The Norms and Politics of International
Statebuilding. New York: Oxford University Press, 2007.

Cristina Gabriela Badescu. Humanitarian Intervention and the Responsibility to Protect


Security and Human Rights. London, New York: Routledge Taylor and Francis Group, 2011.

Anne Orford. International Law and its Others. New York: Cambridge University Press,
2006.

Julia Hoffman, André Nollkaemper. Responsibility to Protect From Principle to


Practice. Amsterdam: Pallas Publications, 2012.

Gareth Evans. The Responsibility to Protect Ending Mass Atrocity Crimes Once and For
All. Washington,D.C.: The Brookings Institution, 2008.

Aidan Hehir. Humanitarian Intervention An Introduction. New York: Palgrave, 2010.

Payandeh, Mehdrad. “With Great Power Comes Great Responsibility? The Concept of
The Responsibility to Protect Within The Process of International Law Making”. Yale Journal
of International Law. (Volume 35 Summer 2010).

24

Anda mungkin juga menyukai