Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kehidupan negara pada prinsipnya sama dengan kehidupan keluarga. Negara yaitu
suatu tempat yang di dalamnya di diami oleh banyak orang yang mempunyai tujuan
hidup yang bermacam-macam dan berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang
lain. Dalam suatu negara mempunyai ciri, pertanda, atau atribut hukum yang disebut
dengan kedaulatan (sovereigniteit).
Kedaulatan bagi sebuah negara adalah sangat penting sekali. Negara yang sudah
merdeka berarti itu sudah memiliki kedaulatan, oleh karena kemerdekaan adalah hak
setiap bangsa di dunia dan merupakan hak asazi setiap manusia di dunia. Bangsa
Indonesia mengutuk dan anti penjajahan seperti yang ditegaskan dalam Pembukaan
UUD 1945 pada alinea pertama.
Kedaulatan rakyat memberi gambaran, bahwa rakyatlah pemegang kekuasaan
tertinggi dalam setiap kehidupannya dalam bermasyarakat dan bernegara.
Penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan kedaulatan rakyat tersebut akan
terlihat dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dalam sistem pemerintahan Indonesia
akan tergambarkan peran lembaga negara sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Istilah dan Pengertian Kedaulatan


Kedaulatan merupakan hasil terjemahan dari kata “sovereignty” (bahasa inggris),
“ souverainete” (bahasa prancis), “sovranus” (bahasa italia). Istilah ini diturunkan dari
kata latin “superanus” yang berarti yang tertinggi. Para pemikir Negara dan hokum
pada abad pertengahan, menggunakan makna “superanus” dengan istilah “ summa
potestas” atau “ plenitudo potestatis” yang artinya “kedaulatan tertinggi dari suatu
kesatuan politik”
Jean Bodin (1530- 1596) merupakan bapak ajaran kedaulatan atau peletak dasar
kedaulatan, menurut Jean Bodin, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap para
warga Negara dan rakyatnya,tanpa ada suatu pembatasan apapun dari undang-undang.
Kedaulatan menurut Jean Bodin adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat
hokum didalam suatu Negara yang sifatnya*:
1. Tunggal; berarti bahwa di dalam Negara itu tidak ada kekuasaan lainnya lagi yang
berhak menentukan atau membuat undang-undang atau hukum.
2. Asli; berarti bahwa kekuasaan itu tidak berasal dari kekuasaan lain
3. Abadi; berarti bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu
adalah Negara
4. Tidak dapat dibagi-bagi; berarti bahwa kedaulatan itu tidak dapat diserahkan
kepada orang atau badan lain, baik sebagian maupun seluruhnya.
Kedaulatan adalah kekuasaaan yang tertinggi dalam setiap Negara. Kedaulatan
tidak mengizinkan adanya saingan. Kedaulatan tidak mengenal batas, karena
membatasi kedaulatan berarti adanya kedaulatan yang lebih tinggi. Kedaulatan itu
lengkap, sempurna, karena tidak ada manusia dan organisasi yang diperkecualikan
dari kekuasaan yang berdaulat.

B. Pengertian Kedaulatan Rakyat


Kedaulatan rakyat mengandung arti, bahwa yang terbaik dalam masyarakat ialah
yang dianggap baik oleh semua orang yang meruoakan rakyat. Pengertian kedaulatan
adalah : kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang undang dan
melaksanakannya dengan semua cara yang tersedia. Oleh karena itu, kedaulatan
rakyat membawa konsekuensi, bahwa rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kedaulatan rakyat berarti juga, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Pemerintah dari rakyat berati mereka yang duduk sebagai penyelenggara
pemerintah terdiri atas rakyat itu sendiri dan memperoleh dukungan rakyat.
Pemerintah oleh rakyat mengandung pengertian, bahwa pemerintah yang ada
diselenggrakan dan dilakukan oleh rakyat sendiri baik melalui demokrasi langsung
maupun demokrasi perwakilan.

C. Kedaulatan Kedalam dan Kedaulatan Keluar


a. Kedaulatan Kedalam
Kedaulatan kedalam artinya pemerintah (negara) mempunyai kekuasaan untuk
mengatur kehidupan negara melalui lembaga negara atau alat perlengkapan negara
yang diperlukan untuk itu. Kedaulatan kedalam nampak pada tujuan negara seperti
yang ada dalam pembukaan UUD 1945, sebagai berikut:
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan perdamaian
abadi dan kedilan sosial
Dari penjelasan tentang kedaulatan kedalam dapat disimpulkan bahwa, Negara
Indonesia memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan rakyat Indonesia,
menyejahterakan rakyat Indonesia, dengan segenap kemampuannya tanpa campur
tangan negara lain. Misalnya menentukan pendidikan yang cocok untuk bangsa
Indonesia, ekonomi, politik yang cocok untuk bangsa Indonesia, dan lainya.
b. Kedaulatan Keluar
Kedaulatan keluar mengandung pengertian kekuasaan untuk mengadakan
hubungan atau kerjasama dengan negara lain. Hubungan dan kerjasama ini tentu saja
untuk kepentingan nasional. Ini berarti pula bahwa negara Indonesia mempunyai
kedudukan yang sederajat dengan negara lain. Kedaulatan keluar ini nampak pada
Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945, yaitu:
Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan social
 Pasal 11 ayat (1), berbunyi : Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan
perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.
 Pasal 13 ayat (1), berbunyi : Presiden mengangkat duta dan konsul
D. Teori Kedaulatan
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam Negara, dan untuk mengetahui
siapakah pemegang kedaulatan itu, maka kedaulatan dapat dikelompokkan kedalam
beberapa teori kedaulatan yakni :
1. Kedaulatan Tuhan
Teori kedaulatan Tuhan menurut sejarahnya berkembang pada zaman abad
pertengahan, yaitu antara abad ke-5 sampai abad ke-15. Didalam
perkembangannya teori ini sangat erat hubungannya dengan perkembangan agama
baru yang timbul pada saat itu yaitu agama Kristen, yang kemudian dioraganisasi
dalam satu organisasi keagamaan, yaitu gereja yang dikepalai seorang paus.
Tokoh-tokoh penganut teokrasi antara lain; Agustinus, Thomas Aquinas, dan
Marsillius.
Sedangkan, menurut Ahmad Azhar Basyir, predikat teokrasi tidak dapat diterima
sebab islam tidak mengenal adanya kekuasaan Negara yang menerima limpahan
dari Tuhan,. menurutnya kekuasaan Negara berasal dari umat dan penguasanya
bertanggung jawab kepada umat**. Menurut ajaran islam, kedaulatan hanya milik
Allah semata, dan hanya Dia-lah pemberi hukum. Dalam Negara Islam,
organisasi-organisasi politik itu disebut khilafah.Manusia merupakan khalifah
Tuhan di muka bumi dan memiliki tugas untuk melaksanakan dan menegakkan
perintah dari pemegang kedaulatan.
2. Kedaulatan Raja
Kedaulatan raja (the kings of souveregnty) berarti dalam Negara itu, yang
berdaulat adalah raja, raja dianggap sebagai orang yang suci,bijaksana sehingga
dianggap berbeda dengan rakyat (warga negaranya) meskipun sama-sama
manusia. Posisi raja dalam hal ini adalah sangat kuat dan tidak ada yang
menandingi pada saat itu.
Menurut Marsilius, kekuasaan tertinggi dalam Negara berada di tangan raja,
karena raja adalah wakil Tuhan atau semacam diberi amanah dari Tuhan untuk
berkuasa atas rakyat dan berhak melakukan apa saja karena menurutnya semua
tindakannya itu sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan. bahkan raja merasa
berkuasa menetapkan kepercayaan atau agama yang harus dianut oleh rakyatnya
atau warga negaranya.
Kekuasaan mutlak yang ada pada raja, sehingga terjadi penyelewengan kekuasaan
kedalamtyranny. Seperti yang terjadi di Prancis pada masa pemerintahan raja
Louis IV yang menyatakan “Negara adalah saya (I’etat cest moi)”. Pada saat itu
banyak keluarga raja yang berpesta pora diatas kesengsaraan rakyat, yang
menyebabkan rakyat tidak lagi percaya pada kekuasaan tertinggi yang berada
ditangan raja.
Kemudian rakyat mulai memberontak terhadap kekuasaan raja dan mulai
menyadari kekuatannya sendiri sebagai “rakyat” yang beridentitas dan berhak.
3. Kedaulatan Negara
Dalam teori kedaulatan Negara (staatssouvereniteit) ini menganggap Negara
sebagai suatu “rechtsperson” atau “badan hokum” yang dianggap memiliki
berbagai hak dan kewajiban serta dapat melakukan perbuatan atau tindakan
hukum, tidak ubahnyaseperti juga seorang “natuurlijkpersoon” yang menjadi
pendukung hak dan kewajiban yang sekaligus dapat melakukan perbuatan atau
tindakan hukum. Negara sebagai badan hokum inilah yang memiliki kekuasaan
tertinggi didalam kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat
Menurut Georg Jellineck yang menciptakan hukum bukan tuhan dan bukan pula
raja, tetapi Negara. Adanya hukum karena adanya Negara. Jellineck juga
mengatakan bahwa hokum merupakan penjelmaan dari kemauan Negara. Negara
adalah satu-satunya sumber hokum. Oleh sebab itu, kekuasaan tertinggi harus
dimiliki oleh Negara.
Namun ada pula yang beranggapan bahwa kedaulatan Negara merupakan
kelanjutan dari kedaulatan raja, dimana pada pelaksanaanya yang menjadi
penguasa atau yang memegang kekuasaan dalam suatu Negara adalah raja sendiri,
seperti yang disebut dengan ajaran “verkulpringstheorie” yang artinnya Negara
menjelma dalam tubuh raja.
Penganut teori kedaulatan Negara ini antara lain Jean Bodin dan Georg Jellineck.
4. Kedaulatan Hukum
Menurut teori kedaulatan hukum atau rechts-souvereiniteit, kekuasaan tertinggi di
dalam suatu Negara itu adalah hukum itu sendiri. Karena itu baik raja atau
penguasa maupun rakyat atau warga Negaranya, bahkan Negara itu sendiri
semuanya tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku, dan perbuatannya
harus sesuai atau menurut hukum.
Kemudian terjadi pertentangan diantara para ahli penganut paham berbeda yakni
antara Krabbeyang menganut teori kedaulatan hukum dengan Jellineck yang
menganut paham kedaulatan Negara. Jellineck mengemukakan teorinya
“selbstbindung” yang isinya antara lain bahwa Negara harus tunduk secara
sukarela kepada hukum.
Kemudian Krabbe yang menganut aliran historis yang pelopori oleh Von savigny,
yang mengatakan bahwa “hukum timbul bersama kesadaran hukum masyarakat.
Hukum tidak tumbuh dari kehendak atau kemauan Negara, maka berlakunya
hukum terlepas dari kemauan Negara.” Alasan ini dikemukakan sebbagai
jawaban, bahwa kalau benar Negara yang berkuasa, apa sebabnya Negara itu
patuh kepada hokum dan dapat dihukum. Bukankah Negara berkuasa membuat
undang-undang ? bagaimana mungkin Negara yang berkuasa secara sukarela
mengikat dirinya dengan undang-undang itu.
5. Kedaulatan Rakyat
Kedaulatan rakyat( popular sovereignty) dimaksudkan kekuasaan rakyat sebagai
tandingan atau imbangan terhadap kekuasaan penguasa tunggal atau yang
berkuasa. Ajaran kedaulatan rakyat mensyaratkan adanya pemilihan umum yang
menghasilkan dewan-dewan rakyat yang mewakili rakyat dan yang dipilih
langsung atau tidak langsung oleh warga Negara.
Paham kedaulatan rakyat itu sudah dikemukakan oleh kaum monarchomachen
seperti Marsilio, William Ockham, Buchanan, Hotman dan lain-lain. Mereka
inilah yang mula-mula sekali mengemukakan ajaran bahwa, rakyatlah yang
berdaulat penuh dan bukan raja, karena raja berkuasa atas persetujuan rakyat.
Ajaran kaum monarchomachen ini kemudian dilanjutkan oleh John Locke dan
kemudian J.J Rousseau.
Menurut Locke, memang rakyat menyerahkan kekuasaan-kekuasaannya kepada
Negara. Dengan demikian Negara memiliki kekuasaan yang besar. Tetapi
kekuasaan ini ada batasnya, batas itu adalah hak alamiah dari manusia, yang
melekat padanya ketika manusia itu lahir. Hak ini sudah ada sebelum Negara
terbentuk . karena itu, Negara tidak bisa mengambil atau mengurangi hak alamiah
itu.

E. Pengertian Kedaulatan Rakyat Setelah Amandemen UUD 1945

Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 195 (sebelum perubahan) yang semula
berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat”, pada perubahan ketiga UUD 1945 Agustus
tahun 2001 berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Perubahan rumusan pasal ini
melalui proses panjang di MPR, baik dalam sidang Panitia Ad Hoc (PAH) Badan
Pekerja (BP) MPR, sidang BP MPR, Sidang Komisi MPR, maupun dalam sidang
Paripurna MPR.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum perubahan) oleh banyak Ahli
Hukum Tata Negara dipandang sebagai sumber supremasi MPR, menempatkan
MPR sebagai satu-satunya pelaksana kedaulatan rakyat, MPR sebagai
penjelmaan rakyat, MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Kedudukan MPR
semacam ini mengesankan bahwa seolah-olah kedaulatan rakyat telah beralih
pada MPR, padahal MPR hanya pelaksana kedaulatan rakyat. Karena itu, di
samping berbagai kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945, rumusan Pasal 1
ayat (2) ini merupakan salah satu rumusan kunci yang memperlemah sistem
ketatanegaraan dalam UUD 1945. Itu sebabnya, ketika perubahan UUD 1945
dilakukan MPR sebagai salah satu agenda tuntutan reformasi, rumusan Pasal 1
ayat (2) UUD 1945 (sebelum perubahan) menjadi salah satu pasal yang akan
diubah.
Pada perubahan pertama UUD 1945, rumusan Pasal 1 ayat (2) belum
menjadi sasaran perubahan sebab semangat perubahan yang dimiliki MPR ketika
itu adalah bagaimana menata ulang hubungan kekuasaan antara DPR dan
Presiden; Presiden yang terlalu dominan (executive heavy), khususnya dalam
pembentukan UU. Pada perubahan kedua UUD 1945, rumusan kedaulatan dalam
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sudah mulai dimasukkan dalam inventarisasi usul
perubahan pada perubahan kedua UUD 1945 yang diajukan oleh PAH I BP MPR
RI. Usulan perubahan ini muncul setelah terlebih dahulu PAH I BP MPR
melakukan penjaringan aspirasi masyarakat terhadap perubahan UUD yang
dilakukan antara lain melalui seminar, dialog dengan berbagai kelompok
masyarakat. Dalam rapat PAH I BP MPR, oleh juru bicara tim yang bertugas ke
Aceh untuk melakukan penjaringan, yakni Andi Mattalatta, mengemukakan
usulan perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berupa menghilangkan kata
“sepenuhnya”, sehingga perkataan “dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”,
menjadi “dilaksanakan oleh MPR”.
Dalam penelusuran penulis pada risalah perubahan UUD 1945, usulan itu
merupakan usulan konkrit pertama tentang perubahan rumusan Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945, meskipun sesungguhnya usulan semacam ini bukan hal yang baru.
Dalam dengar pendapat yang diadakan PAH I BP MPR dengan Universitas
Kristen Indonesia (UKI), tgl. 23 Februari, pihak UKI (Anton Reinhart),
mengusulkan agar Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berubah menjadi “Kedaulatan
adalah di tangan rakyat dan dijalankan oleh MPR, DPR dan DPD. Dalam dengar
pendapat ini, anggota PAH I BP MPR sama sekali tidak mempersoalkan atau
mempertanyakan hal Pasal 1 ayat (2) ini, tetapi hanya pada susunan MPR yang
terdiri dari DPR dan DPD.
Pada rapat ke-24 PAH I BP MPR dengan acara dengar pendapat dengan
WALUBI dan PERISADA, wakil PARISADA Hindu (Ida Bagus Gunandha)
mengusulkan agar Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berubah menjadi “Kedaulatan
adalah di tangan rakyat yang dilakukan melalui pelaksanaan pemilihan umum
yang jujur dan adil setiap 5 tahun sekali”. Ada pertanyaan menarik dari anggota
PAH I BP MPR (Slamet Effendi), bahwa jika kedaulatan rakyat hanya pada
pemilu yang sekali dalam 5 tahun, maka setelah itu sampai 5 tahun berikutnya
dimana kedaulatan itu. Pertanyaan ini sangat tepat sebab jika kedaulatan hanya
temporer, maka terjadi kekosongan setelah itu, pertanyaan Slamet Effendi ini
tidak terjawab. Dalam pandangan akhir Fraksi di PAH I BP MPR pada proses
perubahan kedua UUD 1945, Fraksi PDIP dan Fraksi Reformasi yang secar tegas
mengusulkan rumusan perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yaitu dengan
menghilangkan kata “sepenuhnya”, sehingga rumusannya menjadi “Kedaulatan
adalah di tangan rakyat, dan dilakukan oleh MPR”, meskipun Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 belum menjadi agenda pada rancangan perubahan kedua UUD 1945
hasil kerja PAH I BP MPR, namun rumusan ini kemudian masuk dalam
materi rancangan perubahan UUD 1945 hasil BP MPR untuk bahan perubahan
UUD 1945 berikutnya.
BP MPR yang diberi tugas mempersiapkan rancangan perubahan ketiga
UUD 1945 dalam rapat pleno ke-1 PAH I BP MPR tanggal 6 September 2000
yang dipimpin oleh wakil ketua MPR/wakil ketua BP MPR telah membentuk
pimpinan PAH I BP MPR dengan komposisi sebagai berikut: ketua: Jakob
Tobing (fraksi PDIP), wakil ketua: Slamet Effendi Yusuf (Fraksi PG) & Harun
Kamil (Fraksi UG), Sekretaris: Ali Masykur Musa (F KB). Dalam proses
perubahan ketiga UUD 1945, ada yang berbeda dengan perubahan-perubahan
sebelumnya, jika pada perubahan sebelumnya, PAH I BP MPR hanya
mengundang ahli/pakar untuk menjadi narasumber dalam diskusi yang sifatnya
insidental/temporer berdasarkan kebutuhan, maka dalam proses perubahan ketiga
ini, PAH I BP MPR mengagendakan pembentukan tim ahli untuk mendampingi
PAH I BP MPR dalam proses pembahasan perubahan ketiga.
Tidaklah mudah bagi anggota PAH I BP MPR dalam membentuk tim ahli
ini sebab ada beberapa anggotanya yang merasa tidak membutuhkannya, bahkan
beberapa orang dari anggota PAH I BP MPR merasa dirinya juga ahli, demikian
pula perihal keberadaan tim ahli ini, apakah ia bersifat insidental ataukah
permanen. Akhirnya disepakati bahwa tim ahli ini sifatnya permanen yang terdiri
dari ahli/pakar dibidangnya. Dalam diskusi awal dengan Tim Ahli, Ismail Suny
selaku ketua Tim Ahli menyampaikan bahwa pada prinsipnya tim ahli
menyetujui kesepakatan Fraksi-fraksi di MPR dalam sidang umum 1999 dan
sidang tahunan 2000 bahwa: tidak melakukan perubahan terhadap pembukaan
UUD 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan RI dan tetap
mempertahankan sistem pemerintahan presidensiil.Tim Ahli yang dibentuk ini
memiliki peranan yang signifikan dalam perubahan ke-3 UUD 1945, barangkali
juga pada perubahan berikutnya, meskipun latar belakang pembentukannya dapat
saja bertujuan politis, semisal untuk melegitimasi rancangan perubahan UUD
yang sudah disepakati oleh fraksi-fraksi di MPR. Kesan seperti ini dikemukakan
oleh Soewoto Mulyosudarmo, salah seorang anggota Tim Ahli bidang hukum
dalam rapat pleno PAH I BP MPR, tanggal 29 Mei 2001.
Salah satu peranan yang menonjol dari Tim Ahli dalam perubahan ke-3
UUD 1945 adalah pada perubahan rumusan kedaulatan dalam Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945. Berdasarkan materi rancangan UUD 1945 hasil BP MPR RI Tahun
1999-2000, yang merupakan lampiran dari Tap MPR No. IX/MPR/2000,
rumusan kedaulatan dalam Pasal 1 ayat (3) berbunyi: Kedaulatan adalah di
tangan rakyat dan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi,
rumusan pasal ini hanya menghilangkan kata “sepenuhnya” dalam rumusan Pasal
1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum perubahan). Namun, setelah beberapa kali Tim
Ahli bidang hukum melakukan rapat, kemudian beberapakali pula dilakukan
rapat gabungan antara Tim Ahli bidang hukum dan bidang politik, maka dalam
rapat pleno PAH I BP MPR pada tanggal 10 Mei 2001, bidang hukum yang
diwakili oleh Jimly Asshiddiqie mengusulkan rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Menurut Tim Ahli
Hukum, alasan yang melatar belakangi usulan rumusan tersebut agar supaya bisa
diwadahi beberapa kemungkinan, termasuk ide pemilihan Presiden langsung
meskipun belum diputuskan, juga bisa menampung ide untuk menjelmakan
prinsip kedaulatan rakyat dalam sistem Demokrasi Perwakilan, baik itu DPR
saja, atau DPR dan DPD.
Dalam risalah perubahan UUD yang dikeluarkan Sekretariat Jenderal
MPR RI Th. 2001, tidak diketahui pemikiran siapa dari anggota Tim Ahli bidang
hukum maupun bidang politik yang berpengaruh terhadap usulan rumusan
“kedaulatan” tersebut. Soewoto Mulyosudarmo dalam tulisannya berjudul
“Implikasi Perubahan Rumusan Kedaulatan Terhadap Sistem Ketatanegaraan”
yang merupakan artikel yang ditulis ketika ada perdebatan di Tim Ahli BP MPR
terkait dengan pembahasan perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dalam
menanggapi materi rancangan perubahan UUD 1945 hasil kerja BP MPR RI
1999-2000. Dalam rancangan itu, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berubah menjadi
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”; dalam mengomentari hal ini, Soewoto berpendapat
bahwa menghilangkan kata “sepenuhnya” dalam rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 hanya mengubah gaya bahasa yang hiperbolistik, sehingga menurutnya
tidak mengubah makna. Karena itu ia mengusulkan agar “Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD”, atas usul ini kemudian Sri
Soemantri menyempurnakan dengan rumusan: “Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Menurut Soewoto Mulyosudarmo,
dengan formula baru rumusan kedaulatan rakyat, menempatkan MPR di bawah
UUD, sehingga mengubah prinsip ketatanegaraan yang semula didasarkan pada
“supremacy of parliament” menjadi prinsip “supremacy of law”.
Proses pembahasan di PAH I BP MPR terhadap usulan rumusan
kedaulatan dari Tim Ahli ditanggapi beragam oleh anggota PAH I BP MPR. Pada
mulanya kurang direspon oleh anggota PAH I BP MPR, hanya ada tiga orang
yang mempertanyakannya ialah H. Patrialis Akbar, Hobbes Sinaga, dan
Soewarno. Itupun sebatas yang selama ini mereka pahami dan telah menjadi
kesepakan dikalangan fraksi-fraksi, serta telah menjadi materi rancangan
perubahan UUD 1945 dari BP MPR, yaitu hanya menghilangkan kata
“sepenuhnya” dalam rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Dalam perkembangan
selanjutnya, anggota PAH I BP MPR menyepakati usulan rumusan kedaulatan
dari Tim Ahli, yang selanjutnya menjadi alternatif kedua dari rancangan usulan
dari pelaksanaan tugas PAH I BP MPR dalam menyiapkan materi perubahan
UUD 1945, adapun alternatif pertama tetap pada materi rancangan BP MPR RI
1999-2000, yaitu: Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Pada perubahan ketiga UUD 1945 dalam sidang
Tahunan MPR RI Tahun 2001, diputuskan bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
berbunyi: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang- Undang Dasar. Ini berarti usulan rumusan kedaulatan dari Tim Ahli BP
MPR, Soewoto Mulyosudarmo yang kemudian diperbaiki oleh Sri Soemantri
diterima sepenuhnya menjadi rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 pada
perubahan ketiga UUD 1945.
G. Kedaulatan Rakyat Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945

Bentuk kedaulatan yang diterapkan di Indonesia adalah kedaulatan


rakyat. Pemyataan bahwa Indonesia adalah negara yang berkedaulatan
rakyat antara lain sebagai berikut :

a. Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat

"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu


pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kepada perdamaian abadi, dan keadilan sosial maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-
undang dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu
susunan negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada • Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat indonesia." Alinea tersebut menegaskan tujuan
negara Indonesia, bentuk negara Indonesia, republik yang
berkedaulatan rakyat dan dasar negara Indonesia. Salah satu
pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu pokok pikiran ketiga
mengatakan bahwa negara berkedaulatan rakyat berdasar alas
kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan.
b. UUD 1945 Pasal I ayat I dan 2
Pasal I ayat I berbunyi, "Negara Indonesia ialah negara
kesatuan yang berbentuk Republik". Ayat 2 berbunyi,
"Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar". Pasal ini menunjukkan bahwa dalam
negara Indonesia, rakyatlah yang berkuasa menurut undang
undang dasar. Kekuasaan rakyat sepenuhnya dipercayakan kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri atas
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). Hal ini berarti MPR, DPR, dan DPD memiliki
kekuasaan legislatifyang sama.
c. Pancasila
Sila keempat berbunyi, "Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan".
Dengan demikian, jelaslah bahwa negara kita menganut
kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh MPR,
DPR,DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD.

Anda mungkin juga menyukai