PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kehidupan negara pada prinsipnya sama dengan kehidupan keluarga. Negara yaitu
suatu tempat yang di dalamnya di diami oleh banyak orang yang mempunyai tujuan
hidup yang bermacam-macam dan berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang
lain. Dalam suatu negara mempunyai ciri, pertanda, atau atribut hukum yang disebut
dengan kedaulatan (sovereigniteit).
Kedaulatan bagi sebuah negara adalah sangat penting sekali. Negara yang sudah
merdeka berarti itu sudah memiliki kedaulatan, oleh karena kemerdekaan adalah hak
setiap bangsa di dunia dan merupakan hak asazi setiap manusia di dunia. Bangsa
Indonesia mengutuk dan anti penjajahan seperti yang ditegaskan dalam Pembukaan
UUD 1945 pada alinea pertama.
Kedaulatan rakyat memberi gambaran, bahwa rakyatlah pemegang kekuasaan
tertinggi dalam setiap kehidupannya dalam bermasyarakat dan bernegara.
Penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan kedaulatan rakyat tersebut akan
terlihat dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dalam sistem pemerintahan Indonesia
akan tergambarkan peran lembaga negara sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
BAB II
PEMBAHASAN
Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 195 (sebelum perubahan) yang semula
berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat”, pada perubahan ketiga UUD 1945 Agustus
tahun 2001 berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Perubahan rumusan pasal ini
melalui proses panjang di MPR, baik dalam sidang Panitia Ad Hoc (PAH) Badan
Pekerja (BP) MPR, sidang BP MPR, Sidang Komisi MPR, maupun dalam sidang
Paripurna MPR.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum perubahan) oleh banyak Ahli
Hukum Tata Negara dipandang sebagai sumber supremasi MPR, menempatkan
MPR sebagai satu-satunya pelaksana kedaulatan rakyat, MPR sebagai
penjelmaan rakyat, MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Kedudukan MPR
semacam ini mengesankan bahwa seolah-olah kedaulatan rakyat telah beralih
pada MPR, padahal MPR hanya pelaksana kedaulatan rakyat. Karena itu, di
samping berbagai kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945, rumusan Pasal 1
ayat (2) ini merupakan salah satu rumusan kunci yang memperlemah sistem
ketatanegaraan dalam UUD 1945. Itu sebabnya, ketika perubahan UUD 1945
dilakukan MPR sebagai salah satu agenda tuntutan reformasi, rumusan Pasal 1
ayat (2) UUD 1945 (sebelum perubahan) menjadi salah satu pasal yang akan
diubah.
Pada perubahan pertama UUD 1945, rumusan Pasal 1 ayat (2) belum
menjadi sasaran perubahan sebab semangat perubahan yang dimiliki MPR ketika
itu adalah bagaimana menata ulang hubungan kekuasaan antara DPR dan
Presiden; Presiden yang terlalu dominan (executive heavy), khususnya dalam
pembentukan UU. Pada perubahan kedua UUD 1945, rumusan kedaulatan dalam
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sudah mulai dimasukkan dalam inventarisasi usul
perubahan pada perubahan kedua UUD 1945 yang diajukan oleh PAH I BP MPR
RI. Usulan perubahan ini muncul setelah terlebih dahulu PAH I BP MPR
melakukan penjaringan aspirasi masyarakat terhadap perubahan UUD yang
dilakukan antara lain melalui seminar, dialog dengan berbagai kelompok
masyarakat. Dalam rapat PAH I BP MPR, oleh juru bicara tim yang bertugas ke
Aceh untuk melakukan penjaringan, yakni Andi Mattalatta, mengemukakan
usulan perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berupa menghilangkan kata
“sepenuhnya”, sehingga perkataan “dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”,
menjadi “dilaksanakan oleh MPR”.
Dalam penelusuran penulis pada risalah perubahan UUD 1945, usulan itu
merupakan usulan konkrit pertama tentang perubahan rumusan Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945, meskipun sesungguhnya usulan semacam ini bukan hal yang baru.
Dalam dengar pendapat yang diadakan PAH I BP MPR dengan Universitas
Kristen Indonesia (UKI), tgl. 23 Februari, pihak UKI (Anton Reinhart),
mengusulkan agar Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berubah menjadi “Kedaulatan
adalah di tangan rakyat dan dijalankan oleh MPR, DPR dan DPD. Dalam dengar
pendapat ini, anggota PAH I BP MPR sama sekali tidak mempersoalkan atau
mempertanyakan hal Pasal 1 ayat (2) ini, tetapi hanya pada susunan MPR yang
terdiri dari DPR dan DPD.
Pada rapat ke-24 PAH I BP MPR dengan acara dengar pendapat dengan
WALUBI dan PERISADA, wakil PARISADA Hindu (Ida Bagus Gunandha)
mengusulkan agar Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berubah menjadi “Kedaulatan
adalah di tangan rakyat yang dilakukan melalui pelaksanaan pemilihan umum
yang jujur dan adil setiap 5 tahun sekali”. Ada pertanyaan menarik dari anggota
PAH I BP MPR (Slamet Effendi), bahwa jika kedaulatan rakyat hanya pada
pemilu yang sekali dalam 5 tahun, maka setelah itu sampai 5 tahun berikutnya
dimana kedaulatan itu. Pertanyaan ini sangat tepat sebab jika kedaulatan hanya
temporer, maka terjadi kekosongan setelah itu, pertanyaan Slamet Effendi ini
tidak terjawab. Dalam pandangan akhir Fraksi di PAH I BP MPR pada proses
perubahan kedua UUD 1945, Fraksi PDIP dan Fraksi Reformasi yang secar tegas
mengusulkan rumusan perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yaitu dengan
menghilangkan kata “sepenuhnya”, sehingga rumusannya menjadi “Kedaulatan
adalah di tangan rakyat, dan dilakukan oleh MPR”, meskipun Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 belum menjadi agenda pada rancangan perubahan kedua UUD 1945
hasil kerja PAH I BP MPR, namun rumusan ini kemudian masuk dalam
materi rancangan perubahan UUD 1945 hasil BP MPR untuk bahan perubahan
UUD 1945 berikutnya.
BP MPR yang diberi tugas mempersiapkan rancangan perubahan ketiga
UUD 1945 dalam rapat pleno ke-1 PAH I BP MPR tanggal 6 September 2000
yang dipimpin oleh wakil ketua MPR/wakil ketua BP MPR telah membentuk
pimpinan PAH I BP MPR dengan komposisi sebagai berikut: ketua: Jakob
Tobing (fraksi PDIP), wakil ketua: Slamet Effendi Yusuf (Fraksi PG) & Harun
Kamil (Fraksi UG), Sekretaris: Ali Masykur Musa (F KB). Dalam proses
perubahan ketiga UUD 1945, ada yang berbeda dengan perubahan-perubahan
sebelumnya, jika pada perubahan sebelumnya, PAH I BP MPR hanya
mengundang ahli/pakar untuk menjadi narasumber dalam diskusi yang sifatnya
insidental/temporer berdasarkan kebutuhan, maka dalam proses perubahan ketiga
ini, PAH I BP MPR mengagendakan pembentukan tim ahli untuk mendampingi
PAH I BP MPR dalam proses pembahasan perubahan ketiga.
Tidaklah mudah bagi anggota PAH I BP MPR dalam membentuk tim ahli
ini sebab ada beberapa anggotanya yang merasa tidak membutuhkannya, bahkan
beberapa orang dari anggota PAH I BP MPR merasa dirinya juga ahli, demikian
pula perihal keberadaan tim ahli ini, apakah ia bersifat insidental ataukah
permanen. Akhirnya disepakati bahwa tim ahli ini sifatnya permanen yang terdiri
dari ahli/pakar dibidangnya. Dalam diskusi awal dengan Tim Ahli, Ismail Suny
selaku ketua Tim Ahli menyampaikan bahwa pada prinsipnya tim ahli
menyetujui kesepakatan Fraksi-fraksi di MPR dalam sidang umum 1999 dan
sidang tahunan 2000 bahwa: tidak melakukan perubahan terhadap pembukaan
UUD 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan RI dan tetap
mempertahankan sistem pemerintahan presidensiil.Tim Ahli yang dibentuk ini
memiliki peranan yang signifikan dalam perubahan ke-3 UUD 1945, barangkali
juga pada perubahan berikutnya, meskipun latar belakang pembentukannya dapat
saja bertujuan politis, semisal untuk melegitimasi rancangan perubahan UUD
yang sudah disepakati oleh fraksi-fraksi di MPR. Kesan seperti ini dikemukakan
oleh Soewoto Mulyosudarmo, salah seorang anggota Tim Ahli bidang hukum
dalam rapat pleno PAH I BP MPR, tanggal 29 Mei 2001.
Salah satu peranan yang menonjol dari Tim Ahli dalam perubahan ke-3
UUD 1945 adalah pada perubahan rumusan kedaulatan dalam Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945. Berdasarkan materi rancangan UUD 1945 hasil BP MPR RI Tahun
1999-2000, yang merupakan lampiran dari Tap MPR No. IX/MPR/2000,
rumusan kedaulatan dalam Pasal 1 ayat (3) berbunyi: Kedaulatan adalah di
tangan rakyat dan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi,
rumusan pasal ini hanya menghilangkan kata “sepenuhnya” dalam rumusan Pasal
1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum perubahan). Namun, setelah beberapa kali Tim
Ahli bidang hukum melakukan rapat, kemudian beberapakali pula dilakukan
rapat gabungan antara Tim Ahli bidang hukum dan bidang politik, maka dalam
rapat pleno PAH I BP MPR pada tanggal 10 Mei 2001, bidang hukum yang
diwakili oleh Jimly Asshiddiqie mengusulkan rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Menurut Tim Ahli
Hukum, alasan yang melatar belakangi usulan rumusan tersebut agar supaya bisa
diwadahi beberapa kemungkinan, termasuk ide pemilihan Presiden langsung
meskipun belum diputuskan, juga bisa menampung ide untuk menjelmakan
prinsip kedaulatan rakyat dalam sistem Demokrasi Perwakilan, baik itu DPR
saja, atau DPR dan DPD.
Dalam risalah perubahan UUD yang dikeluarkan Sekretariat Jenderal
MPR RI Th. 2001, tidak diketahui pemikiran siapa dari anggota Tim Ahli bidang
hukum maupun bidang politik yang berpengaruh terhadap usulan rumusan
“kedaulatan” tersebut. Soewoto Mulyosudarmo dalam tulisannya berjudul
“Implikasi Perubahan Rumusan Kedaulatan Terhadap Sistem Ketatanegaraan”
yang merupakan artikel yang ditulis ketika ada perdebatan di Tim Ahli BP MPR
terkait dengan pembahasan perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, dalam
menanggapi materi rancangan perubahan UUD 1945 hasil kerja BP MPR RI
1999-2000. Dalam rancangan itu, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berubah menjadi
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”; dalam mengomentari hal ini, Soewoto berpendapat
bahwa menghilangkan kata “sepenuhnya” dalam rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 hanya mengubah gaya bahasa yang hiperbolistik, sehingga menurutnya
tidak mengubah makna. Karena itu ia mengusulkan agar “Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD”, atas usul ini kemudian Sri
Soemantri menyempurnakan dengan rumusan: “Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Menurut Soewoto Mulyosudarmo,
dengan formula baru rumusan kedaulatan rakyat, menempatkan MPR di bawah
UUD, sehingga mengubah prinsip ketatanegaraan yang semula didasarkan pada
“supremacy of parliament” menjadi prinsip “supremacy of law”.
Proses pembahasan di PAH I BP MPR terhadap usulan rumusan
kedaulatan dari Tim Ahli ditanggapi beragam oleh anggota PAH I BP MPR. Pada
mulanya kurang direspon oleh anggota PAH I BP MPR, hanya ada tiga orang
yang mempertanyakannya ialah H. Patrialis Akbar, Hobbes Sinaga, dan
Soewarno. Itupun sebatas yang selama ini mereka pahami dan telah menjadi
kesepakan dikalangan fraksi-fraksi, serta telah menjadi materi rancangan
perubahan UUD 1945 dari BP MPR, yaitu hanya menghilangkan kata
“sepenuhnya” dalam rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Dalam perkembangan
selanjutnya, anggota PAH I BP MPR menyepakati usulan rumusan kedaulatan
dari Tim Ahli, yang selanjutnya menjadi alternatif kedua dari rancangan usulan
dari pelaksanaan tugas PAH I BP MPR dalam menyiapkan materi perubahan
UUD 1945, adapun alternatif pertama tetap pada materi rancangan BP MPR RI
1999-2000, yaitu: Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Pada perubahan ketiga UUD 1945 dalam sidang
Tahunan MPR RI Tahun 2001, diputuskan bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
berbunyi: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang- Undang Dasar. Ini berarti usulan rumusan kedaulatan dari Tim Ahli BP
MPR, Soewoto Mulyosudarmo yang kemudian diperbaiki oleh Sri Soemantri
diterima sepenuhnya menjadi rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 pada
perubahan ketiga UUD 1945.
G. Kedaulatan Rakyat Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945