Anda di halaman 1dari 6

A.

Asas Kedaulatan Rakyat


Asas Kedaulatan Rakyat dalam bidang legislatif merupakan
perwujudan dari kedaulatan rakyat ada wewenang yang dimiliki DPR.
Sedangkan dalam yudikatif terlihat bahwa hakim-hakim baru dapat
diangkat setelah ada pengusulan dari Komisi Yudisial kepada anggota
DPR untuk mendapat penetapan yang selanjutnya diangkat oleh presiden.
Dalam pembukaan UUD 1945 asas ini tertuang dalam alinea IV
yang menyatakan, “Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia
itu dalam Undang-Undang Dasar negara Indonesia yang berkedaulatan
rakyat...”.
Asas kedaulatan rakyat menghendaki agar setiap tindakan dari
pemerintah harus berdasarkan kemauan rakyat, yang pada akhirnya semua
tindakan pemerintah harus berdasarkan kemauan rakyat, yang pada semua
tindakan pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat
melalui wakil-wakilnya. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan Pemilu oleh
presiden pada Pemilu 1971, yang merupakan kehendak rakyat yang
dituangkan dalam UU No. 15 Tahun 1969 dan pelaksanaannya dari
ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1968, serta adanya UUD 1945, yang
kemudian MPR No. VI/MPR/1973.
Penjelmaan dari ketetapan ini dapat dilihat pada persetujuan dari
rakyat atau tindakan pemerintah itu dapat ditunjukan bahwa presiden tidak
dapat menetapkan suatu peraturan pemerintah. Dan akhirnya presiden
harus memberikan pertanggungjawabnnya kepada MPR yang merupakan
penjelmaan dari rakyat Indonesia yang memegang kedaulatan rakyat.
Asas kedaulatan rakyat ini semakin memperoleh ruhnya, dalam era
reformasi dengan dilaksanakan Pemilu secara langsung sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 22E UUD 1945 pasca-amandemen yang juga
dituangkan dalam UUD No. 12 Tahun 2004 Tentang Pemilu Anggota
DPR dan DPRD dan UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden.1
Pada umumnya telah diterima suatu pengertian bahwa kedaulatan
berarti kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Kata ini merupakan
hasil terjemahan dari kata sovereignty (Inggris), souvereiniteit (Belanda),
souvereinete (Perancis), dan sovranus (Italia). Dalam bahasa latin dikenal
istilah superanus yang diberi arti “yang tertinggi”. Ajaran tentang
kedaulatan dalam arti kekuasaan yang tertinggi sudah dikenal sejak
Aristoteles.
Di dalam perkembangannya pengertian kedaulatan telah
mengalami perubahan-perubahan, sehingga istilah kedaulatan dapat
mempunyai berbagai macam pengertian. Jean Bodin salah seorang Sarjana
Perancis dianggap sebagai orang yang pertama memberikan dan
menggunakan istilah kedaulatan dalam hubungannya dengan negara, yaitu
sebagai ciri negara, sebagai atribut negara, yang membedakan negara dari
persekutuan-persekutuan lainnya. Jean Bodin melihat hakikat negara pada
kedaulatan itu. Ajaran Jean Bodin tentang kedaulatan tergolong dalam
konsep tradisional, yang mengartikan kedaulatan sebagai satu-satunya
kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang mempunyai ciri-ciri:
a. Kelanggengan (permanence) artinya kedaulatan itu abadi, akan tetap
ada sepanjang negara itu ada, akan tetap dimiliki negara,
b. Tidak dapat dipisah-pisahkan, artinya kedaulatan itu bulat, tunggal,
tidak dapat dibagi-bagi, sehingga dalam suatu negara hanya ada satu
kekuasaan yang tertinggi,
c. Sebagai kekuasaan tertinggi, tidak terbatas yaitu tidak mengizinkan
adanya saingan dan tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi yang dapat
membatasi kedaulatan,
d. Asli, artinya kekuasaan tertinggi itu tidak berasal dari kekuasaan lain
yang lebih tinggi.

1
Titik Triwulan Titik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945,
(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 81.
Konsep tradisional ini sering disebut juga dengan konsep kedaulatan yang
monistis.

Di samping konsep yang monistis tentang kedaulatan juga terdapat


aliran pluralis, yang menyangkal kekuasaan yang tertinggi dan tak terbatas
dari negara. Aliran pluralis tidak menyangkal kekuasaan negara dalam
bidang perundang-undangan, tetapi kekuasaan negara itu tidak mutlak; ada
batasnya, baik dari segi hukum internasional, segi etis maupun dari segi
pragmatis.2

Ajaran Kedaulatan Rakyat menyatakan bahwa kekuasaaan tertinggi


dalam negara berada ditangan rakyat. Teori kedaulatan Rakyat dipelopori
oleh J.J. Rousseau, seorang pemikir besar, Ahli Negara dan Hukum,
kelahiran Swiss.

Rousseau termasuk salah seorang pemikir besar tentang negara dan hukum
pada abad ke-18, pada zaman berkembangnya teori hukum alam dalam
pemikiran tentang asal mula negara. Para sarjana menganut teori hukum
alam yang mulai berkembang pada abad ke-17, berpendapat bahwa asal
mula terbentuknya negara adalah karena perjanjian masyarakat.

Menurut Rousseau, manusia dalam keadaan alamiah, dalam


keadaan belum ada negara (instate of nature) asalnya baik, ia telah
membawa hak-hak kodrati. Akan tetapi dalam keadaan alam bebas
manusia yang asalnya baik itu dirusak oleh peradaban. Maka dalam
keadaan alam bebas orang memerlukan jaminan keselamatan jiwa dan
miliknya. Mereka lalu menyelenggarakan perjanjian masyarakat, untuk
membentuk negara. Bukunya yang terkenal adalah Du Contract Social
(Perjanjian Masyarakat).

Dari pemikir-pemikir sebelumnya seperti Thomas Hobbes (1588-


1879) dan Marsilius, bahwa dengan perjanjian masyarakat, bearti

2
Rozikin Daman, Hukum Tata Negara (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1993), hlm. 149.
masyarakat telah menyerahkan hak-hak dan kekuasaannya, sehingga
setelah mengadakan perjanjian pembentukan negara, masyarakat langsung
menyerahkan haknya atau kemerdekaannya kepada penguasa atau raja.
Sehingga ajaran Thomas Hobbes yang juga berdasarkan perjanjian
masyarakat akan melahirkan monarchi absolut.

Berbeda dengan Thomas Hobbes, menurut Rousseau “yang


merupakan hal pokok dari perjanjian masyarakat ini adalah menemukan
bentuk kesatuan, yang membela dan melindungi kekuasaan bersama di
samping kekuasaan pribadi dan milik setiap orang, sehingga karena itu
semuanya dapat bersatu, akan tetapi meskipun demikian masing-masing
orang tetap mematuhi dirinya sendiri, sehingga orang tetap merdeka dan
bebas seperti sedia kala”.

Oleh karena itu Rousseau “rakyat tidak menyerahkan kekuasaan


kepada pihak penguasa, karena pada perjanjian masyarakat individu-
individu itu menyerahkan haknya kepada rakyat sendiri sebagai satu
keseluruhan. Penguasa menjalankan kekuasaannya tidak karena haknya
sendiri, melainkan sebagai mandataris rakyat. Sewaktu-waktu rakyat bisa
menarik atau mengubah kembali mandat itu”. Dengan demikian adanya
perjanjian masyarakat tidak menjadikan hilangnya kekuasaan rakyat
karena telah diserahkan kepada penguasa; rakyat tetap berdaulat dan
penguasa sebagai penjelmaan kemauan rakyat yang diserahkan kepada
penguasa. Maka dapat digambarkan bahwa perjanjian masyarakat itu
sendiri menjadi mempunyai pengrtian semu, fiksi saja, dianggap telah
diadakan perjanjian masyarakat secara diam-diam.3

Oleh karena itu pengertian kedaulatan rakyat pun “merupakan


pengertian yang semu dan abstrak, oleh karena pengertian itu tidak dapat
dilihat dengan nyata dalam bentuk yang kongkrit”. Memang apabila
dipikirkan kata rakyat itu sendiri dapat mempunyai pengertian yang
abstrak, memperlihatkan arti jamak dalam keseluruhan dan kesatuannya.
3
Ibid., hlm. 152.
Kata rakyat dipergunakan untuk menyebut keseluruhan penduduk yang
menjadi warga negara suatu negara. Ia dapat digunakan oleh seseorang
atau dikaitkan dengan seseorang sebagai bagian dari keseluruhan kesatuan.
Oleh karena itu kata rakyat tidak bisa diklaim oleh individu tanpa kaitan
dengan keseluruhannya. Tidaklah benar kiranya kalau seorang individu
mengatakan bahwa “saya adalah rakyat, saya mempunyai kedaulatan”.
Yang dimaksud rakyat oleh Rousseau “bukanlah penjumlahan dari
individu-individu dalam negara itu, melainkan adalah kesatuan yang
dibentuk oleh individu itu, dan yang mempunyai kehendak, kehendak yang
diperolehnya dari individu-individu itu, dan yang mempunyai kehendak,
kehendak yang diperolehnya dari individu-individu masyarakat, yang
disebut kehendak umum atau volonte generale, yang dianggap
mencerminkan kemauan atau kehendak umum.

Oleh karena itu kekuasaan yang tertinggi atau kedaulatan tadi,


disebut kedaulatan rakyat. Kedaulatan ini pula yang tidak dapat
dipisahkan, tidak dapat diserahkan. Ia tetapada dan dimiliki masyarakat
atau rakyat. Tetapi seperti dikemukakan di atas bukan rakyat yang secara
individual/perorangan, melainkan rakyat yang sudah menjadi suatu
kesatuan. Berdasarkan pemikiran ini, maka “tiap orang masih tetap
memiliki kemuan khusus di samping ada kemauan umum”.

Kiranya dapat dikemukakan bahwa asas kedaulatan rakyat menurut


Pancasila adalah “Kedaulatan Rakyat yang bersumber dan dijiwai oleh
Dasar falsafah negara Pancasila”. Kedaulatan Rakyat yang bersumber dan
dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan dan untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan
demikian asas kedaulatan rakyat bersumber dan dijiwai oleh nilai-nilai
moral, tidak semata-mata bersifat formal lahiriah, tetapi mengindahkan
nilai-nilai moral spiritual dalam kehidupan bangsa Indonesia. Jadi asas
kedaulatan rakyat bagi bangsa Indonesia bersumber dan dijiwai oleh nilai-
nilai Ketuhanan, Kemausian, Persatuan dan dengan dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan serta nilai-nilai keadilan sosial. Inilah kiranya yang pertama
kali harus dikemukakan sebagai ciri khusus asas kedaulatan rakyat
menurut Undang-Undang Dasar 1945. Pemahaman semacam ini dapat
disandarkan pada ketentuan Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 pada
alinea ke-4 yang merumuskan “maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.4

4
Ibid., hlm.157.

Anda mungkin juga menyukai