A. PENGERTIAN HAKIM
Secara etimologi, hakim mempunyai dua pengertian :
1. Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.
2. Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan
menyingkapkan hukum.
1
Ushul fiqh adalah mengetahui kaidah-kaidah umum (kulli) yang dapat dipergunakan
untuk menetapkan (istinbat) hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah melalui dalil-dalil yang
terinci.
kesepakatan ulama, bersumber dari Allah SWT. Dengan demikian sumber
hukum secara hakikat adalah Allah SWT, baik hukum itu diturunkan-Nya
kepada Nabi Muhammad saw. Melalui wahyu, maupun hasil ijtihad para
mujtahid melalui berbagai teori istinbat2. Sunnah, ijma’, dan metode
istinbat hukum lainnya merupakan alat untuk menyingkap hukum yang
datang dari Allah SWT. Dalam hubungan inilah para ulama ushul fiqh
menetapkan sebuah kaidah yang berbunyi : Tidak ada hukum kecuali
bersumber dari Allah. Dari pemahaman ini pulalah mereka mendefinisikan
hukum sebagai titah Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan orang
mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan, maupun wadh’i.
SOAL UJIAN
A. PENGERTIAN
Mahkum fih adalah perbuatan orang mukallaf3 yang dibebani suatu
perbuatan hukum.
Tidak ada pembebanan selain perbuatan. Artinya beban itu erat
hubungannya dengan perbuatan orang mukallaf. Apabila syari’at
mewajibkan atau mensunnatkan suatu perbuatan kepada seorang
mukallaf, maka perbuatan itu tidak lain adalah perbuatan yang harus
dikerjakan. Demikian juga apabila syari’at mengharamkan atau
memakruhkan sesuatu, maka beban tersebut juga berupa perbuatan.
Sebab larangan itu sebenarnya adalah menahan hawa nafsu dari
melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan dan dimakruhkan.
3
Orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum ATAU manusia yang berkewajiban
melaksanakan syari’at karena telah dewasa dan berakal sehat.
3
Jadi, perintah atau larangan adalah berkaitan dengan perbuatan orang
mukallaf.
4
- Kemustahilan yang dilihat pada zatnya, adalah kemustahilan
terhadap sesuatu yang tidak tergambar eksistensinya oleh akal
seperti adanya dua hukum yang bertolak belakang dalam satu
taklifi.
Contoh : dalam suatu perbuatan ada dua ketentuan hukum pada
waktu yang bersamaan dan tertuju kepada pribadi yang sama, yaitu
wajib untuk dikerjakan dan pada saat yang sama juga haram
dikerjakan.
- Kemustahilan dilihat dari luar zatnya adalah sesuatu yang
tergambar dari eksistensinya dalam akal, tetapi menurut hukum
kebiasaan hal itu tidak pernah terjadi.
Misalnya : Manusia bisa terbang dengan sendirinya seperti burung.
Dalam dua jenis kemustahilan, menurut ulama, tidak sah adanya taklifi,
karena Allah sendiri menyatakan bahwa taklifi terhadap sesuatu yang
tidak bisa dikerjakan tidak ada. (Q.S. al-Baqarah, 2:286 dan ath-
Thalaaq, 65:7)
SOAL UJIAN
Jelaskan apa yang dimaksud dengan mahkum fih
Jelaskan syarat-syarat mahkum fih dan berikan contohnya masing-
masing
A. PENGERTIAN
Mahkum alaih adalah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum.
B. SYARAT-SYARAT MAHKUM ALAIH
1. Orang yang telah mampu memahami kitab syari’ (tuntutan syara’)
yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah, baik secara langsung
5
maupun melalui orang lain; seseorang yang melakukan suatu
pekerjaan, disuruh atau dilarang, tergantung pada pemahamannya
terhadap suruhan dan larangan yang menjadi tuntutan syara’.
Dengan demikian, orang tidak mempunyai kemampuan untuk
memahami tuntutan syara’ tidak mungkin melaksanakan suatu taklifi.
Kemampuan untuk memahami taklifi tersebut hanya bisa dicapai
melalui akal manusia, karena akallah yang bisa mengetahui taklifi itu
harus dilaksanakan atau ditinggalkan. Akan tetapi, karena akal
adalah sesuatu yang abstrak dan sulit diukur, serta berbeda antara
seseorang dengan yang lainnya, maka syara’ menentukan patokan
dasar sebagai indikasi yang konkrit (jelas) dalam menentukan
seseorang telah berakal atau belum. Indikasi konkrit tersebut adalah
balighnya seseorang. Penentuan seseorang telah baligh itu ditandai
dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani
bagi pria melalui mimpi yang pertama kali. Hal ini sejalan dengan
firman Allah dalam surat an-Nur, 24:59 : “Apabila anakmu sampai
umur baligh, maka minta izin seperti orang-orang sebelum mereka
minta izin…”
Implikasi dari syarat pertama ini adalah anak kecil, orang gila, orang
lupa, orang terpaksa, dan orang tidur tidak dikenakan taklifi, karena
dalam keadaan dan status mereka masng-masing tidak atau belum
mampu memahami dalil syara’. Hal ini sejalan dengan sabda
Rasullah saw : “Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis
orang) : orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh,
dan orang gila sampai ia sembuh.” (HR. al-Bukhari, Abu Daud, al-
Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibn Majah, dan al-Daruquthni sari Aisyah dan Ali
bin Abi Thalib).
2. Mempunyai kemampuan untuk menerima beban/perintah, terdiri
dari:
a. Ahliyatul wujub
Sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang
menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh
kewajiban.
6
b. Ahliyatul ‘ada
Sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap
sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh
perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Tindakan anak usia 7-15 tahun ditinjau dari tiga jenis perbuatan
1. Dalam transaksi yang mengandung manfaat
Tindakannya adalah sah tanpa tergantung izin dari walinya.
Misalnya : Menerima hibah, shadaqah.
2. Dalam transaksi yang mengandung unsur pemindahan hak milik
Tindakannya tidak sah walau ada izin dari wali.
7
Misal : Memberikan hibah, wakaf, dan shadaqah.
3. Dalam transaksi yang mengandung manfaat dan unsur
pemindahan hak milik.
Tindakannya sah apabila ada izin dari wali.
2. Halangan kasabiyah
Halangan yang disebabkan oleh hal-hal yang diusahakan manusia, yaitu :
a. Boros
b. Mabuk
c. Bepergian
d. Lalai
e. Bergurau (main2)
f. Bodoh
g. Terpaksa (ikrah)
8
Ada tiga daya kekuatan halangan yang menimpa kepada kemampuan bertindak
manusia, yaitu :
1. Dapat menghilangkan kemampuan bertindak sama sekali.
Ahliyatul wujub terhadap kebendaan :
Orang gila : dilakukan oleh walinya.
Pingsan dan tidur : diselesaikan setelah sadar dari pingsan dan bangun dari
tidur.
Meninggal : kemampuan bertindak dan ahliyatul wujubnya hilang
sama sekali. Hak kebendaannya hilang sama sekali
kecuali wasiat.
9
Tidak menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ‘ada dan sahnya
mengadakan transaksi kebendaan, akan tetapi hanya menjadi sebab adanya
keringanan apabila sakit demikian parah hingga melemahkan daya bertindak.
(Surat al-Baqarah ayat 286 : “Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya…”).
d. Menstruasi dan nifas
Tidak menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ‘ada. Tetapi syara’
menjadikan menstruasi dan nifas sebagai sebab gugurnya kewajiban
melakukan shalat dan puasa.
e. Mabuk
Tidak menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ‘ada, tetapi hanya merubah
beberapa ketentuan hukum baginya. Ucapan yang keluar dari orang yang
sedang mabuk dianggap tidak sah. Tetapi apabila pada saat mabuk
menimbulkan kerugian pada orang lain, maka ia dapat dituntut ganti rugi.
f. Bergurau
Adalah mengeluarkan pembicaraan secara sadar dan memahami artinya, tetapi
tidak menghendaki apa yang dimaksud oleh pembicaraan itu, adalah tidak
menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ’ada, tetapi hanya merubah
beberapa ketentuan hukumnya.
- Dalam hal i’tiqadiyah, apabila bergurau itu menyebabkan kemurtadan, maka
dianggap sah, dan karenanya ia menjadi orang murtad.
- Dalam hal pemberitaan, dapat membatalkan apa yang diberitakan, karena
yang demikian itu berarti dusta.
- Dalam hal mu’amalat dan perikatan, apabila bergurau (main-main) itu ada
bukti bahwa betul pura-pura, maka bergurau tersebut tidak membawa akibat
hukum.
g. Kebodohan (tidak mengetahui sesuatu)
Tidak menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ‘ada, hanya ketidaktahuan
itu ada yang menjadi :
- keudzuran, yaitu ketidaktahuan karena adanya keserupaan diantara
ketentuan atau karena ketiadaan dalil yang jelas.
Misalnya: seorang penguasa memberikan kuasa kepada pegawai yang
berada di bawah kekuasaannya untuk melakukan transaksi tertentu,
kemudian penguasa tersebut mencabut surat kuasanya melalui surat yang
dikirimkan kepadanya. Orang yang diberi kuasa tetap melaksanakan apa
10
yang dikuasakan kepadanya karena ia tidak pernah menerima surat
pembatalannya. Maka perbuatan yang dilakukan si penerima kuasa
tersebut dianggap sebagai suatu udzur. Hingga perbuatannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan lagi.
- Yang tidak menjadi keudzuran adalah ketidaktahuan terhadap sesuatu yang
sudah diketahui secara umum ketentuan-ketentuan, ketetapan-ketetapan,
atau dalil-dalil yang sudah jelas atau melalui penyampaian, penyiaran, dan
penerangan.
h. Paksaan (ikrah)
Baik paksaan dengan kekerasan maupun tidak dengan kekerasan tidak
menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ‘ada. Hanya saja paksaan dengan
kekerasan itu menghilangkan kerelaan dan ikhtiar dan paksaan dengan yang
tidak dengan kekerasan itu tidak sampai menghilangkan kerelaan dan ikhtiar.
SOAL UJIAN
Jelaskan pengertian dan syarat-syarat mahkum alaih
Jelaskan pengertian ahliyatu wujub dan ahliyatul ‘ada
Jelaskan keadaan manusia bila dihubungkan dengan ahliyatul wujub
dan ahliyatul ‘ada
Jelaskan macam-macam halangan terhadap kemampuan bertindak
manusia
DAFTAR PUSTAKA
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,
PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1986.
11