Anda di halaman 1dari 11

POKOK BAHASAN II

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang unsur-unsur dari
hukum Islam yang meliputi al-hakim, mahkum fih, dan mahkum
alaih.

I. AL-HAKIM (PENCIPTA HUKUM)

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Mahasiswa mampu menjelaskan tentang pengertian al-hakim dan
dasar hukumnya

A. PENGERTIAN HAKIM
Secara etimologi, hakim mempunyai dua pengertian :
1. Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.
2. Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan
menyingkapkan hukum.

Hakim merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqh, karena


berkaitan dengan “siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syari’at
Islam”; “siapakah yang menentukan hukum syara’, yang mendatangkan
pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu; apakah
akal sebelum datangnya wahyu mampu menentukan baik buruknya
sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang
berbuat buruk dikenakan sanksi.” Dalam ilmu ushul fiqh 1, hakim disebut
dengan syar’i.
Dari pengertian pertama di atas, hakim adalah Allah SWT. Dia-lah
pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada
seluruh mukallaf. Oleh sebab itu, tidak ada syari’at dalam Islam kecuali
dari Allah SWT, baik berhubungan dengan hukum taklifi (wajib, sunah,
haram makruh, mubah) maupun hukum wadh’i (sebab, syarat, halangan,
sah, batal, fasid, azimah, dan rukhshah) Semua hukum ini, menurut

1
Ushul fiqh adalah mengetahui kaidah-kaidah umum (kulli) yang dapat dipergunakan
untuk menetapkan (istinbat) hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah melalui dalil-dalil yang
terinci.
kesepakatan ulama, bersumber dari Allah SWT. Dengan demikian sumber
hukum secara hakikat adalah Allah SWT, baik hukum itu diturunkan-Nya
kepada Nabi Muhammad saw. Melalui wahyu, maupun hasil ijtihad para
mujtahid melalui berbagai teori istinbat2. Sunnah, ijma’, dan metode
istinbat hukum lainnya merupakan alat untuk menyingkap hukum yang
datang dari Allah SWT. Dalam hubungan inilah para ulama ushul fiqh
menetapkan sebuah kaidah yang berbunyi : Tidak ada hukum kecuali
bersumber dari Allah. Dari pemahaman ini pulalah mereka mendefinisikan
hukum sebagai titah Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan orang
mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan, maupun wadh’i.

B. DASAR HUKUM HAKIM


Alasan yang dikemukakan para ulama ushul fiqh dalam mendukung
pernyataan bahwa Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah adalah:
1. Surat al-An’am ayat 57
“… Menetapkan hukum itu hanya Allah, Dia menerangkan yang
sebenarnya, dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.”

2. Surat al-Maidah ayat 49


“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut
apa yang diturunkan Allah, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka…”

3. Surat al-Maidah ayat 44


“… Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

4. Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa untuk mencari berbagai hukum


apabila ada suatu perkara yang hendak ditentukan hukumnya,
hendaklah merujuk al-Qur’an dan sunnah. Dalam kaitan ini Allah
berfirman :

2Istinbat adalah menarik kesimpulan hukum dari nash al-Qur’an atau


sunnah Rasulullah SAW.
2
“… Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (sunnah), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat.” (Surat an-Nisa’ ayat 59).

5. Allah menafikan iman seseorang sampai ia rela menetapkan hukum


sesuai dengan kehendak Allah dan rela dengan hukum-hukum Allah
itu. Dalam Surat an-Nisa’ ayat 65, Allah berfirman :
“… Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.”

SOAL UJIAN

Jelaskan pengertian dari al-hakim dan sebutkan dasar hukumnya

II. MAHKUM FIH (PERBUATAN HUKUM)

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

 Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian mahkum fih


 Mahasiswa mampu menjelaskan syarat-syarat dari mahkum fih
dengan memberikan contohnya

A. PENGERTIAN
Mahkum fih adalah perbuatan orang mukallaf3 yang dibebani suatu
perbuatan hukum.
Tidak ada pembebanan selain perbuatan. Artinya beban itu erat
hubungannya dengan perbuatan orang mukallaf. Apabila syari’at
mewajibkan atau mensunnatkan suatu perbuatan kepada seorang
mukallaf, maka perbuatan itu tidak lain adalah perbuatan yang harus
dikerjakan. Demikian juga apabila syari’at mengharamkan atau
memakruhkan sesuatu, maka beban tersebut juga berupa perbuatan.
Sebab larangan itu sebenarnya adalah menahan hawa nafsu dari
melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan dan dimakruhkan.

3
Orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum ATAU manusia yang berkewajiban
melaksanakan syari’at karena telah dewasa dan berakal sehat.
3
Jadi, perintah atau larangan adalah berkaitan dengan perbuatan orang
mukallaf.

B. SYARAT-SYARAT MAHKUM FIH


1. Perbuatan itu diketahui oleh orang mukallaf secara sempurna
sehingga ia dapat mengerjakannya sesuai dengan tuntutan.
Contoh : Perintah menjalankan shalat di dalam al-Qur’an tidak
dijelaskan syarat, rukun, dan cara-cara menjalankankannya, maka
perbuatan tersebut belum dapat dibebankan kepada orang mukallaf.
Mukallaf tidak dituntut untuk berbuat atau meninggalkan suatu
perbuatan dan juga mukallaf tidak mendapat pahala dan siksa. Tetapi
setelah ada penjelasan dari Rasulullah SAW, maka perbuatan tersebut
dapat dibebankan kepada orang mukallaf.
2. Mukallaf mengetahui dengan baik sumber taklifi suatu perbuatan yang
akan ia laksanakan, sehingga pelaksanaannya merupakan ketaat dan
kepatuhan terhadap perintah Allah.
Tujuan mukallaf dalam melaksanakan perintah tersebut sejalan
dengan tujuan Allah dalam hukum taklifi tersebut. Dalam kaitan
dengan hal ini, para ulama senantiasa mengemukakan dalil syar’i
dalam pembahasan mereka terhadap suatu hukum, sehingga dapat
menjadi hujjah (argumentasi) bagi para mukallaf untuk melaksanakan
hukum itu dengan ketaatan dan kepatuhan. Yang dimaksud para
ulama dengan pengetahuan terhadap sumber taklifi adalah
kemungkinan untuk mengetahuinya, yaitu melalui kemampuan
akalnya. Hal ini terkait dengan masalah baligh dan berakalnya
seseorang, sehingga ia dapat mencerna perintah yang disampaikan
kepadanya dan mengerjakan-nya, atau ia dapat bertanya kepada
orang yang lebih tahu (ulama). Oleh sebab itu anak kecil, orang gila,
orang yang baru masuk Islam tidak dituntut melakukan taklifi yang
belum diketahuinya, karena mereka belum atau tidak mampu
membahas dan meneliti hukum itu dengan baik.
3. Perbuatan itu adalah perbuatan yang mungkin dikerjakan atau
ditinggalkan oleh orang mukallaf.
Ulama menyatakan bahwa tidak boleh ada taklifi terhadap sesuatu
yang mustahil, yaitu :

4
- Kemustahilan yang dilihat pada zatnya, adalah kemustahilan
terhadap sesuatu yang tidak tergambar eksistensinya oleh akal
seperti adanya dua hukum yang bertolak belakang dalam satu
taklifi.
Contoh : dalam suatu perbuatan ada dua ketentuan hukum pada
waktu yang bersamaan dan tertuju kepada pribadi yang sama, yaitu
wajib untuk dikerjakan dan pada saat yang sama juga haram
dikerjakan.
- Kemustahilan dilihat dari luar zatnya adalah sesuatu yang
tergambar dari eksistensinya dalam akal, tetapi menurut hukum
kebiasaan hal itu tidak pernah terjadi.
Misalnya : Manusia bisa terbang dengan sendirinya seperti burung.

Dalam dua jenis kemustahilan, menurut ulama, tidak sah adanya taklifi,
karena Allah sendiri menyatakan bahwa taklifi terhadap sesuatu yang
tidak bisa dikerjakan tidak ada. (Q.S. al-Baqarah, 2:286 dan ath-
Thalaaq, 65:7)

SOAL UJIAN
 Jelaskan apa yang dimaksud dengan mahkum fih
 Jelaskan syarat-syarat mahkum fih dan berikan contohnya masing-
masing

III. MAHKUM ALAIH (SUBJEK HUKUM)

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


 Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian mahkum alaih
 Mahasiswa mampu menjelaskan syarat-syarat mahkum alahih
 Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dan keadaan
manusia bila dihubungkan dengan ahliyatul wujub dan ahliyatul
‘ada
 Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam halangan
terhadap kemampuan bertindak manusia

A. PENGERTIAN
Mahkum alaih adalah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum.
B. SYARAT-SYARAT MAHKUM ALAIH
1. Orang yang telah mampu memahami kitab syari’ (tuntutan syara’)
yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah, baik secara langsung
5
maupun melalui orang lain; seseorang yang melakukan suatu
pekerjaan, disuruh atau dilarang, tergantung pada pemahamannya
terhadap suruhan dan larangan yang menjadi tuntutan syara’.
Dengan demikian, orang tidak mempunyai kemampuan untuk
memahami tuntutan syara’ tidak mungkin melaksanakan suatu taklifi.
Kemampuan untuk memahami taklifi tersebut hanya bisa dicapai
melalui akal manusia, karena akallah yang bisa mengetahui taklifi itu
harus dilaksanakan atau ditinggalkan. Akan tetapi, karena akal
adalah sesuatu yang abstrak dan sulit diukur, serta berbeda antara
seseorang dengan yang lainnya, maka syara’ menentukan patokan
dasar sebagai indikasi yang konkrit (jelas) dalam menentukan
seseorang telah berakal atau belum. Indikasi konkrit tersebut adalah
balighnya seseorang. Penentuan seseorang telah baligh itu ditandai
dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani
bagi pria melalui mimpi yang pertama kali. Hal ini sejalan dengan
firman Allah dalam surat an-Nur, 24:59 : “Apabila anakmu sampai
umur baligh, maka minta izin seperti orang-orang sebelum mereka
minta izin…”
Implikasi dari syarat pertama ini adalah anak kecil, orang gila, orang
lupa, orang terpaksa, dan orang tidur tidak dikenakan taklifi, karena
dalam keadaan dan status mereka masng-masing tidak atau belum
mampu memahami dalil syara’. Hal ini sejalan dengan sabda
Rasullah saw : “Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis
orang) : orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh,
dan orang gila sampai ia sembuh.” (HR. al-Bukhari, Abu Daud, al-
Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibn Majah, dan al-Daruquthni sari Aisyah dan Ali
bin Abi Thalib).
2. Mempunyai kemampuan untuk menerima beban/perintah, terdiri
dari:
a. Ahliyatul wujub
Sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang
menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh
kewajiban.

6
b. Ahliyatul ‘ada
Sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap
sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh
perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif.

Keadaan manusia bila dihubungkan ahliyatul wujub :


1. Manusia yang mempunyai ahliyatul wujub yang kurang sempurna.
Seseorang hanya pantas menerima haknya saja, sedangkan untuk
menerima kewajiban belum pantas.
Contoh : Anak dalam kandungan berhak menerima waris.
2. Manusia yang mempunyai ahliyatul wujub yang sempurna.
Seseorang yang sudah pantas menerima hak dan kewajiban.
Kemampuan ini melekat sejak ia lahir sampai ia meninggal. Setiap
manusia yang hidup mempunyai ahliyatul wujub yang sempurna.
Contoh : Seseorang menerima hak kewarisan dan melaksanakan
kewajiban zakat fitrah.

Keadaan manusia bila dihubungkan dengan ahliyautl ‘ada :


1. Manusia yang tidak mempunyai ahliyatul ‘ada sama sekali
Segala perkataan dan perbuatannya tidak menimbulkan akibat
hukum.
Contoh : Anak usia 0-7 tahun dan orang gila
2. Manusia yang mempunyai ahliyatul ada yang kurang sempurna
Ada perkataan dan perbuatannya yang dianggap sah dan ada yang
tidak sah.
Contoh : Anak usia 7-15 tahun.
3. Manusia yang mempunyai ahliyatul ‘ada yang sempurna
Segala perkataan dan perbuatan dianggap sah.
Contoh : Orang dewasa yang berakal sehat.

Tindakan anak usia 7-15 tahun ditinjau dari tiga jenis perbuatan
1. Dalam transaksi yang mengandung manfaat
Tindakannya adalah sah tanpa tergantung izin dari walinya.
Misalnya : Menerima hibah, shadaqah.
2. Dalam transaksi yang mengandung unsur pemindahan hak milik
Tindakannya tidak sah walau ada izin dari wali.

7
Misal : Memberikan hibah, wakaf, dan shadaqah.
3. Dalam transaksi yang mengandung manfaat dan unsur
pemindahan hak milik.
Tindakannya sah apabila ada izin dari wali.

Hukum Islam menetapkan kedewasaan seseorang melalui dua cara :


1. Segi biologis
Laki-laki : ihtilam (keluar sperma)
Perempuan : menstruasi
2. Segi usia
- Ulama Malikiyah dan Hanfiyah
Laki-laki : 18 tahun
Perempuan : 17 tahun
- Ulama Hambali dan Syafi’iyah
Laki-laki dan perempuan : 15 tahun.

Macam-macam halangan terhadap kemampuan bertindak manusia :


1. Halangan samawiyah
Halangan yang disebabkan oleh hal-hal yang berada di luar usaha mausia,
yaitu :
a. Keadan belum dewasa f. Lupa
b. Sakit gila g. Sakit
c. Kurang akal h. Menstruasi
d. Tidur i. Nifas
e. Pingsan j. Meninggal

2. Halangan kasabiyah
Halangan yang disebabkan oleh hal-hal yang diusahakan manusia, yaitu :
a. Boros
b. Mabuk
c. Bepergian
d. Lalai
e. Bergurau (main2)
f. Bodoh
g. Terpaksa (ikrah)

8
Ada tiga daya kekuatan halangan yang menimpa kepada kemampuan bertindak
manusia, yaitu :
1. Dapat menghilangkan kemampuan bertindak sama sekali.
Ahliyatul wujub terhadap kebendaan :
Orang gila : dilakukan oleh walinya.
Pingsan dan tidur : diselesaikan setelah sadar dari pingsan dan bangun dari
tidur.
Meninggal : kemampuan bertindak dan ahliyatul wujubnya hilang
sama sekali. Hak kebendaannya hilang sama sekali
kecuali wasiat.

2. Dapat mengurangi kemampuan bertindak, akan tetapi tidak menghilangkan sama


sekali.
- Orang yang kurang akal
Atas dasar sedikit banyaknya kekurangan akal, maka transaksi-transaksi yang
dilakukan oleh orang yang kurang akal itu ada yang disamakan dengan
transaksi-transaksi yang dilakukan oleh anak usia 7-15 tahun.
3. Tidak mempunya pengaruh untuk menghilangkan atau mengurangi kemampuan
bertindak, hanya merubah ketentuan hukum.
a. Pemboros (safih)
Adalah termasuk orang yang sempurna akalnya, hanya saja ia tidak dapat
diserahi pengurusan kebendaan selama belum cakap mengurusinya. Oleh
karena itu ia tidak terlepas dari beban taklifi dan amal perbuatannya masih
diperhitungkan.
b. Lupa dan lalai
Lupa, yakni tidak ingat sesuatu yang telah ditanggapnya sewaktu
diperlukannya, dan lalai yakni sesuatu yang dikerjakan berbeda dengan apa
yang dimaksudkan, adalah tidak menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul
‘ada, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hak sesama manusia tidak
dapat dianggap sebagai suatu udzur. Lupa dan lalai yang berhubungan dengan
hak-hak Allah menyebabkan terangkatnya dosa dan adzab di akhirat (Surat al-
Baqarah ayat 286 : “… Ya Tuhan kami, jangan Engkau hukum kami, jika kami
lupa atau kami tersalah…”).
c. Sakit

9
Tidak menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ‘ada dan sahnya
mengadakan transaksi kebendaan, akan tetapi hanya menjadi sebab adanya
keringanan apabila sakit demikian parah hingga melemahkan daya bertindak.
(Surat al-Baqarah ayat 286 : “Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya…”).
d. Menstruasi dan nifas
Tidak menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ‘ada. Tetapi syara’
menjadikan menstruasi dan nifas sebagai sebab gugurnya kewajiban
melakukan shalat dan puasa.
e. Mabuk
Tidak menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ‘ada, tetapi hanya merubah
beberapa ketentuan hukum baginya. Ucapan yang keluar dari orang yang
sedang mabuk dianggap tidak sah. Tetapi apabila pada saat mabuk
menimbulkan kerugian pada orang lain, maka ia dapat dituntut ganti rugi.
f. Bergurau
Adalah mengeluarkan pembicaraan secara sadar dan memahami artinya, tetapi
tidak menghendaki apa yang dimaksud oleh pembicaraan itu, adalah tidak
menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ’ada, tetapi hanya merubah
beberapa ketentuan hukumnya.
- Dalam hal i’tiqadiyah, apabila bergurau itu menyebabkan kemurtadan, maka
dianggap sah, dan karenanya ia menjadi orang murtad.
- Dalam hal pemberitaan, dapat membatalkan apa yang diberitakan, karena
yang demikian itu berarti dusta.
- Dalam hal mu’amalat dan perikatan, apabila bergurau (main-main) itu ada
bukti bahwa betul pura-pura, maka bergurau tersebut tidak membawa akibat
hukum.
g. Kebodohan (tidak mengetahui sesuatu)
Tidak menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ‘ada, hanya ketidaktahuan
itu ada yang menjadi :
- keudzuran, yaitu ketidaktahuan karena adanya keserupaan diantara
ketentuan atau karena ketiadaan dalil yang jelas.
Misalnya: seorang penguasa memberikan kuasa kepada pegawai yang
berada di bawah kekuasaannya untuk melakukan transaksi tertentu,
kemudian penguasa tersebut mencabut surat kuasanya melalui surat yang
dikirimkan kepadanya. Orang yang diberi kuasa tetap melaksanakan apa
10
yang dikuasakan kepadanya karena ia tidak pernah menerima surat
pembatalannya. Maka perbuatan yang dilakukan si penerima kuasa
tersebut dianggap sebagai suatu udzur. Hingga perbuatannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan lagi.
- Yang tidak menjadi keudzuran adalah ketidaktahuan terhadap sesuatu yang
sudah diketahui secara umum ketentuan-ketentuan, ketetapan-ketetapan,
atau dalil-dalil yang sudah jelas atau melalui penyampaian, penyiaran, dan
penerangan.

h. Paksaan (ikrah)
Baik paksaan dengan kekerasan maupun tidak dengan kekerasan tidak
menghilangkan ahliyatul wujub dan ahliyatul ‘ada. Hanya saja paksaan dengan
kekerasan itu menghilangkan kerelaan dan ikhtiar dan paksaan dengan yang
tidak dengan kekerasan itu tidak sampai menghilangkan kerelaan dan ikhtiar.

SOAL UJIAN
 Jelaskan pengertian dan syarat-syarat mahkum alaih
 Jelaskan pengertian ahliyatu wujub dan ahliyatul ‘ada
 Jelaskan keadaan manusia bila dihubungkan dengan ahliyatul wujub
dan ahliyatul ‘ada
 Jelaskan macam-macam halangan terhadap kemampuan bertindak
manusia

DAFTAR PUSTAKA

Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,
PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1986.

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,

11

Anda mungkin juga menyukai