NIM: 6211211028
Hukum Internasional
Dosen Pengampu: Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D.
YURISDIKSI
Keberadaan Hukum internasional merupakan hal vital dalam menjalin hubungan antar
negara. Hukum Internasional, selain sebagai rambu-rambu dalam menjalin hubungan bilateral
maupun multilateral. Hukum internasional juga menjadikan landasan suatu negara untuk
mempertahankan tindakannya masing-masing sebagaimana dicontohkan oleh Prof.
Hikmahanto lewat perselisihan Rusia-Ukraina. Dikatakan bahwa perselisihan yang terjadi di
antara kedua negara tersebut menimbulkan pertanyaan apakah tindakan yang dilakukan
negara bersangkutan melanggar hukum internasional yang ada? Pada kenyataannya negara
yang bersengketa dan negara-negara yang bersangkutan memiliki pembelaannya masing-
masing bahwa tindakan yang diambil memiliki landasan hukumnya masing-masing.
Pihak Russia sendiri meyakini bahwasanya tindakan yang ia lakukan merupakan self-
defence berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB yang tertulis “Tidak ada suatu ketentuan dalam
Piagam ini yang boleh merugikan hak perorangan atau bersama untuk membela diri apabila
suatu serangan bersenjata terjadi terhadap suatu Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa,”.
Namun sejumlah negara yang menentang tindakan Rusia mengatakan bahwa tindakan yang
diambil telah melanggar Pasal 1, ayat 1 dan Pasal 2, ayat 4 Piagam PBB. Prof. Hikmahanto
juga menegaskan tweet dari Presiden Indonesia yang menuliskan “Setop perang...” secara
tidak langsung menanggapi konflik yang sedang berlangsung ini dengan menggunakan dasar
hukum internasional Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB.
Setelah menjelaskan bahwa tindakan tiap negara dalam berinteraksi dengan negara
lain memiliki dasar Hukum Internasional sehingga Prof. Hikmahanto menegaskan lagi
pentingnya penguasaan akan hukum internasional oleh mahasiswa jurusan Internasional.
Dalam memahami isi-isi maupun fenomena-fenomena yang terjadi antara satu negara,
Hukum internasional dapat dijadikan salah satu dasar dalam mengkaji setiap tindakan yang
diambil suatu negara, dan nantinya ketika kita merepresentasikan suatu negara, dasar hukum
yang dimiliki dapat dijadikan instrumen yang mumpuni dalam berargumen. Prof.
Hikmahanto pun hendak membuat double degree, khusus bagi mahasiswa Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik untuk jurusan Ilmu Hubungan Internasional dan Ilmu Hukum. Hal
yang sama pernah diajukan oleh Prof. Hikmahanto semasa ia hanya menjabat sebagai seorang
dosen. Sang rektor pada saat itu tidak menyetujuinya. Namun sekarang setelah menjabat
sebagai seorang Rektor, giliran menteri yang tidak menyetujui, sehingga hal tersebut memicu
Prof. Hikmahanto untuk mengejar posisi menteri (intermezzo).
Permasalahan penghakiman terhadap warga negara luar juga dialami oleh Indonesia
dengan Singapura. Prog. Hikmahanto menjelaskan bahwa selama ini banyak orang-orang
yang terkait dengan kasus pencurian uang maupun pendapatan ilegal lainnya melarikan diri
ke Singapura. Hal tersebut dikarenakan Singapura terbuka akan setiap bentuk investasi tanpa
mempertanyakan sumber uang nya. Sehingga Singapura menjadi pilihan terbaik bagi para
koruptor untuk melakukan money laundry. Namun bagi pihak Indonesia sendiri, penegakan
hukum yang dilakukan bagi oknum-oknum tersebut terkendala oleh hukum yang berlaku.
Indonesia tidak bisa sembarangan menarik oknum-oknum yang bersangkutan di Singapura
dikarenakan sejauh ini belum terdapat perjanjian ekstradisi antara keduanya.
Objek Yurisdiksi terbagi menjadi tiga, yang pertama adalah Yurisdiksi personal.
Yurisdiksi personal atau dikenal sebagai yurisdiksi perseorangan adalah yurisdiksi terhadap
seseorang, apakah dia adalah warga negara atau orang asing. Suatu negara dapat mengklaim
yuridiksinya berdasarkan asas personalitas. Dalam hal ini orang yang bersangkutan tidak
berada dalam wilayahnya atau dalam batas-batas teritorial dari negara yang mengklaim
yurisdiksi tersebut. Negara yang mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya baru dapat
menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya apabila orang yang bersangkutan sudah
datang dan berada dalam batas-batas teritorialnya, apakah dia datang dengan cara sukarela
atau dengan cara terpaksa, misalnya melalui proses ekstradisi. Menurut prinsip yurisdiksi
personal, suatu negara dapat mengadili warga negaranya karena kejahatan yang dilakukannya
di mana pun juga. Sebaliknya, adalah kewajiban negara untuk memberikan perlindungan
diplomatik kepada warga negaranya di luar negeri. Ketentuan ini telah diterima secara
universal. Prof. Hikmahanto juga menambahkan bahwa prinsip nasionalitas dijadikan
argumen atas dasar tidak menjalankan yurisdiksi. Sebagaimana diketahui bahwa yurisdiksi
personal merupakan otoritas yang ditimbulkan oleh kedaulatan negara atas individu-individu
berdasarkan proteksi(perlindungan). Hal tersebut mengakibatkan adanya pelaku aktif dan
korban pasif.
Terdapat pula prinsip yurisdiksi universal, bahwa setiap negara mempunyai yurisdiksi
terhadap tindak kejahatan yang mengancam masyarakat internasional. Yurisdiksi ini lahir
tanpa melihat dimana kejahatan dilakukan atau warga negara yang melakukan kejahatan.
Lahirnya prinsip yurisdiksi universal terhadap jenis kejahatan yang merusak terhadap
masyarakat internasional sebenarnya juga disebabkan karena tidak adanya badan peradilan
internasional yang khusus mengadili kejahatan yang dilakukan orang-perorang (individu).
Terdapat beberapa tindak pidana tertentu yang karena sifat atau karakternya
memungkinkan atau memperkenankan semua negara tanpa terkecuali untuk mengklaim dan
menyatakan kewenangannya atas suatu tindak pidana yang bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan tanpa menghiraukan siapa pelakunya, siapa korbannya, juga tanpa
menghiraukan tempat terjadinya maupun waktu terjadinya. Tindakan-tindakan yang
dimaksud antara lain kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia, kejahatan
kemanusiaan, perompakan laut, pembajakan udara, kejahatan terorisme dan berbagai
kejahatan kemanusiaan lainnya yang dinilai dapat membahayakan nilai nilai kemanusiaan
dan keadilan.
Selanjutnya terdapat yurisdiksi teritorial dapat diartikan sebagai hak, kekuasaan atau
kewenangan yang dimiliki oleh suatu negara untuk membuat peraturan-peraturan hukum,
melaksanakan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut dalam hubungannya
dengan orang, benda, hal atau masalah yang berada dan atau terjadi di dalam batas-batas
wilayah dari negara yang bersangkutan. Dalam hukum internasional, dikenal adanya
perluasan yurisdiksi teritorial (the extension of territorial jurisdiction) yang timbul akibat
kemajuan iptek, khususnya teknologi transportasi, komunikasi dan informasi serta hasil-
hasilnya. Kemajuan iptek ini ditampung dan diakomodasi oleh masyarakat dan hukum
internasional, guna mengantisipasi pemanfaatan dan penyalahgunaan hasil-hasil iptek ini oleh
orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran hukum maupun tindak pidana di dalam wilayah
suatu negara.
Objek yurisdiksi yang ketiga adalah yurisdiksi quasi teritorial. Disebut quasi teritorial
karena ruang atau tempat area dimana yurisdiksi negara itu ditetapkan sebenarnya bukanlah
wilayah negara. Hanya saja berdekatan atau bersambungan dengan wilayah negara.
Yurisdiksi quasi teritorial sebenarnya adalah yurisdiksi teritorial yang diterapkan pada area
yang bukan merupakan wilayah negara tetapi berdekatan dan bersambungan dengan wilayah
negara lain. Area tersebut seakan-akan merupakan seli wilayah negara. Perlu diingat
berdasarkan konvensi hukum laut 1982 di kawasan perairan tidak memiliki kedaulatan penuh
seperti di laut teritorial.
Daftar Pustaka
https://diskumal.tnial.mil.id/fileartikel/artikel-20180511-152350.pdf
https://www.republika.co.id/berita/r6id8c409/hikmahanto-singapura-cerdik-jokowi-dikecoh
https://bangka.tribunnews.com/2016/04/23/inilah-alasan-mengapa-koruptor-indonesia-aman-
di-singapura